• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewujudkan Hidup yang Damai Sejahtera Le

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mewujudkan Hidup yang Damai Sejahtera Le"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Mewujudkan Hidup (yang) Damai Sejahtera Lewat Etika Konfusius:

Sebuah Usaha Pencarian Jalan Keluar dari Keabsurdan Hidup

Yogie Pranowo

Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara

Pengantar

Akhir akhir ini, marak dijumpai persoalan tentang multikulturalisme di Indonesia, mulai dari perselisihan antar agama, kasus penutupan-pembangunan tempat ibadah hingga perang suku. Bhineka Tunggal Ika yang digadang gadang menjadi kekuatan nasionalpun harus bungkam, ia telah menutup mulutnya. Ia tidak lagi mau bersaksi atupun menjelaskan apa maksud dari ke-Bhineka-an nya itu. Pancasila tinggal wacana kebangsaan yang abu abu, tak jelas juntrungannya, malahan ideologi semacam itu menjadi doktrin untuk semakin menyengsarakan rakyat. Pemerintah seakan tak lagi peduli dengan nasib bangsanya, hal itu dapat kita lihat dari minimnya usaha Pemerintah dalam mengatasi persoalan pelik ini. Siapa sangka di zaman yang serba mewah dan canggih ini, ternyata malah terjadi krisis moral yang berkepanjangan. Di sana sini, orang sibuk dengan blackberry, I-phone, I-pad, dan apple nya, namun orang orang malah semakin cuek dengan realita kehidupan, tak peduli lagi dengan apa yang telah terjadi, sungguh ironis dan absurd! Peristiwa demi peristiwa yang mengenaskan pun telah mewarnai krisis moral bangsa ini, mulai dari “pembantaian” umat ahmadiyah, teror bom buku, “perampokan” uang nasabah Citybank, kasus korupsi Ratu Atut, hingga kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Sitok Srengenge1 terhadap mahasiswi jurusan Sastra Jerman Universitas Indonesia menjadi bukti kemerosotan moral bangsa ini.

Padahal, mengenai hal ini, Driyarkara, seorang filsuf dari Indonesia pernah mengatakan bahwa eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesama adalah sebagai homo homini socius: manusia adalah kawan bagi sesamanya, kawan yang membantu menjadi semakin manusiawi dan kawan yang ikut menghantarnya menuju ke pusat hidup manusia yakni, Tuhan. Singkatnya, ia meng-kritik hubungan antar manusia yang semakin memakan, yang sering membenci, yang homo homini lupus: manusia adalah serigala bagi sesamanya2. Adanya perbedaan ini tentunya menjadi masalah. Driyarkara menawarkan sebuah konsep yang ideal bagi

(2)

manusia, yakni homo homini socius, sedangkan realita yang terjadi di masyarakat malah sebaliknya, manusia menjadi makluk yang saling memakan satu sama lain, mereka saling mengobjekkan diri. Dari pengobjekkan diri itulah yang menyebabkan manusia menemui banyak persoalan kemanusiaan. Persoalan kemanusiaan ini sebenarnya dapat diatasi jika manusia mau merefleksikan hidupnya dengan lebih serius lagi, dengan lebih dalam lagi. Duc in altum! Dengan kata lain, manusia harus mampu memberikan makna yang mendalam kepada dirinya sendiri. Hal itu dapat ditempuh salah satu caranya lewat apa yang disebut oleh Konfusius sebagai etika.

Konfusius adalah seorang filsuf Cina yang mengembangkan suatu etika humanistik. Ia memusatkan perhatiannya kepada keteraturan tatanan sosial dengan basis pengembangan diri pribadi manusia. Ia adalah pemikir Cina yang pertama kali menyusun dasar-dasar penempaan diri. Ia tidak hanya sekadar pembawa ajaran tradisi tapi ia juga memberi arti dan penjelasan baru atasnya. Etika Konfusius adalah etika yang menerapkan beberapa prinsip penting – tanggung jawab dan perkembangan individu, hubungan-hubungan, dan perilaku yang layak menekankan nilai moral – dimana semuanya membawa kita menjadi individu-individu yang bernilai moral baik adanya, hubungan yang sehat dan pada akhirnya harmoni(s). Fokus utama dari etika Konfusius adalah perkembangan moral dari individu manusia. Mengapa demikian? Sebab, bagi Konfusius, adalah kewajiban moral dari individu manusia untuk mengembangkan karakter yang baik dengan mendapatkan pengetahuan moral dan melalui pengembangan-diri, yang mampu didapat hanya melalui pembelajaran dan praktek. Perilaku didasarkan pada nilai-nilai seperti kebajikan, kebenaran, hormat, kepercayaan dan aturan emas.

Dalam tulisan pendek ini, saya akan mencoba menunjukkan bagaimana pemikiran Konfusius sebenarnya memiliki peran yang cukup signifikan terhadap perkembangan nilai kehidupan bersama masyarakat perkotaan yang semakin individualis dan terkesan absurd. Keyakinan saya terhadapnya didasari pada fakta-fakta bahwa Konfusius lewat teori etikanya ingin menghadirkan kembali garis-garis tebal mengenai hubungan antar manusia yang semakin lama semakin memudar. Sehingga komunikasi yang harmonis antar manusia akan mengantar kita kepada kehidupan yang damai sejahtera.

Selayang Pandang Sejarah Filsafat Cina3 dan Pengaruh Konfusius

(3)

Pertama-tama, marilah kita lihat bagaimana filsafat Cina mengalami perkembangan yang pesat lantaran mau menerima keadaan. Dan disini juga akan saya uraikan bagaimana peran dari Konfusius di dalam sejarah filsafat Cina itu sendiri.

Masa dinasti Zhou (1122 – 221 SM) dikenal sebagai zaman klasik dari kebudayaan Cina. Dinasti Zhou menurut sejarah filsafat Cina terbagi atas dua zaman, yakni western Zhou (西周)

dan eastern Zhou (東 周). Dinasti Zhou terpecah belah menjadi banyak negara feodal yang saling berperang. Masing-masing berupaya untuk menjadi yang terkuat sehingga membuat pemerintah pusat Dinasti Zhou menjadi lemah.

Lahirnya Sekolah Sekolah

Kembali ke masa perang, dinasti Zhou. Situasi yang tidak stabil tersebut dan peperangan yang terjadi di mana-mana telah menyebabkan penderitaan bagi rakyat jelata. Dari situasi yang demikian ini mendorong munculnya sekolah-sekolah yang berusaha untuk mengatasi penderitaan. Semua sekolah-sekolah (aliran filsafat Cina) muncul dalam tahap ini dan memiliki tujuan yang sama, “damai di bumi” PING TIAN XIA (平 天 下). Sekolah-sekolah tersebut muncul dengan ciri ajarannya masing-masing. Dengan demikian menurut sejarah filsafat Cina, kita dapat menemukan nama-nama sekolah macam Sekolah Dao (道家), Sekolah Hukum (法 家), Sekolah Nama (名家), Sekolah Yin Yang (阴阳家), Sekolah Ru (儒家) dan Sekolah Mo.

Konfusius

Konfusius adalah seorang Ru dan pendiri sekolah Ru yang di Barat dikenal sebagai sekolah Konfusianisme. Kaum Ru sendiri adalah orang-orang yang ahli dalam musik, tata cara, dan upacara-upacara. Pada masa kejayaan dinasti Zhou Barat, mereka menjadi orang-orang yang menjalankan upacara/ritual dan menjaga tradisi. Dalam melakuan ritual-ritual dan upacara-upacara, musik menjadi sarana yang sangat berpengaruh, sehingga mereka biasanya ahli dalam hal ini juga.

(4)

Sedangkan di Cina, ia lebih dikenal sebagai K’ung Tzu atau Guru K’ung. Nama keluarganya adalah K’ung dan namanya sendiri Ch’iu. Ia lahir pada tahun 551 SM5 di negara bagian Lu, di bagian Selatan propinsi Shantung, Cina Selatan. Nenek moyangnya telah menjadi anggota keluarga bangsawan negara bagian Sung, yang adalah keturunan dari raja-raja Shang, dinasti yang mendahului Zhou. Karena terjadi kekacaauan politik, maka sebelum Konfusius lahir keluarganya telah kehilangan posisi bangsawannya dan pindah ke negara Lu.

Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius adalah biografi yang terangkum dalam bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap ca. 86 SM). Pada usia lima puluh tahun ia meraih pangkat kepegawaian yang paling tinggi. Namun, sebagai akibat dari intrik politis, ia terpaksa meninggalkan jabatannya dan diasingkan. Selama tiga belas tahun ia mengembara dari negara yang satu ke negara lain, dan selalu berharap untuk menemukan sebuah kesempatan untuk mewujudkan cita-cita politik dan sosialnya. Dalam kitab Li Chi dilukiskan bahwa pada suatu hari, menjelang akhir hidupnya, ia melantunkan sebuah lagu bernada sedih:

Gunung yang besar akan runtuh Tiang yang kokoh akan patah

Dan manusia bijak kian layu seperti tanaman6

Konfusius akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 479 SM.7

Mencius dan Xunzi

Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah

5 Sze-ma Chien, dalam kitab Shih Chi bab 47, mengatakan bahwa Konfusius dilahirkan dalam tahun ke dua puluh

dua Adipati Hsiang. Itu berarti tahun 551 SM. Lihat juga James Legge, The Chinese Classic. Confucius Analects, The Great Learning and Doctrine of The Mean, Taipei: Southern Materials Center, Inc,1983, hlm.59

(5)

prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.

Mencius mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih menekankan diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Konfusius; yaitu sistem masyarakat Cina, ada lima jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman. Penerus ajaran Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip prinsip Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil dari sayap idealistik, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistik, karena ia menekankan kontrol sosial dan meyakini bahwa pada dasarnya kodrat manusia adalah buruk adanya.

Mohisme

Sekolah Mo berakar dari para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan kemudian menjadi pengembara ( 游 侠 / yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (L /ǐ 禮), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì/利) dan pencapaian

(Kung/ 功). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:

"penilaian standar harus dilakukan... Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah,

keberuntungan (li ) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus

diverifikasi... tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi

(6)

rakyat…"8

Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka9. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih memanfaatkan.10

Daoisme

Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.

Para penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri, mencita citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi karena diantara mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.

Sementara itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistik

8 Fung. Vol I, 85-86. 9 Fung. Vol I, 86

10 Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006.

(7)

Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya.

Han Fei Zi

Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian .Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.

Neo Konfusianisme

Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama

Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk 'Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi 'ke-satu-an' dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.

(8)

Lewat sejarah filsafat Cina, kita diajak untuk merefleksikan diri kita, apakah sebagai manusia yang saling berelasi kita sudah melakukannya sesuai dengan keutamaan kita atau belum, maka pada bagian ini saya akan menguraikan bagaimana konsep manusia sebagai individu menurut Konfusius beserta pengaruhnya kelak.

Dalam pemikiran konfusius, menurut kodratnya manusia itu sama dan sederajat sebagai individu. Bertolak dari manusia sebagai individu maka ia juga mempunyai moralitasnya sebagai individu. Manusia yang bermoral ini akan mencapai kedewasaan diri yang sejati. Konfusius tidak pernah mengajar tentang manusia dari segi kodratnya. Menurut pandangannya manusia itu waktu dilahirkan dalam keadaan netral, artinya tidak jahat, tidak pula baik. Manusia pada saat lahir merupakan suatu tabula rasa, pengalamanlah yang akan membentuk perkembangannya. Konfusius berpendapat bahwa manusia pada waktu lahir dalam keadaan sama. Dalam Lun yu dikatakan bahwa menurut kodratnya, manusia adalah sama, dalam prakteknya, mereka menjadi sangat berbeda.11 Manusia juga dianggap sama secara kodrati dalam hal memberikan jawaban terhadap situasi yang sama. Bagi Konfusius, dari fakta kesamaan itu, tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi secara sama pula. Sebagai gantinya, prinsip timbale balik atau shu yang akan dibahas kemudian, sering digunakan untuk mendorong para penguasa untuk membagikan kekayaan dan kesenangan mereka kepada rakyat.

Ajaran tentang kedewasaan sejati pada hakikatnya merupakan esensi dari konsep Konfusius mengenai etika. Jalan menuju kepribadian yang benar tidak menuntut jalan khusus seperti tapa, mati raga atau meditasi. Kepribadian benar itu hanya dapat dicapai lewat hidup harian yang diarahkan. Mengetahui bagaimana melakukan pendekatan terhadap tetangga sehingga hubungan antar tetangga menjadi harmonis, atau menekan rasa cemburu terhadap orang lain agar tidak berlebihan adalah salah satu contohnya. Seorang yang berkepribadian benar menampilkan diri dalam kerendahan hati sambil berusaha percaya pada orang lain. Jalan ini merupakan usaha sendiri. Usaha yang tertinggi yang bisa dicapai seseorang ialah menyatukan tingkah laku moralnya dengan tatanan moral universal. Orang yang mencapainya pasti sudah menjalankan usaha yang benar dan menjalankan tatanan moral atau li.

(9)

Etika bagi konfusius tak lain adalah pengarahan diri pada yang baik sebagai suatu usaha yang mandiri. Usaha tersebut tak luput dari apa yang dinamakan li, ren, yi, chun zhu, dan ming. Maka pada bagian selanjutnya akan diuraikan konsep penting dalam pemikiran Konfusius.

Li (Ritual) dalam Pemikiran Kongzi

Karakter Li (禮) dibentuk dari 2 bagian. Karakter sebelah kiri berarti “intervensi dari surga”, sedangkan karakter sebelah kanan menggambarkan alat untuk mempersembahkan kurban. Karakter ini menggambarkan perjumpaan antara langit yang memberi tuntunan pada manusia dan manusia yang memberikan persembahan pada langit12.

Secara umum, li diartikan sebagai ritual yang berarti perilaku religius untuk tujuan perlindungan “supranatural” dan berkat, misalnya untuk memohon bantuan dari kekeringan, serangan serangga, dan sebagainya guna memperkuat kedaulatan.13 Dipercaya bahwa kehendak roh dapat dipengaruhi melalui perilaku religius ini. Dalam hal ini, pengorbanan menjadi aspek terpenting dari ritual yang meliputi pengorbanan kepada langit, roh bumi, dan roh leluhur.14

LunYu15 bab 10 menggambarkan betapa Konfusius menaruh hati pada pelaksanaan ritual secara tepat. Selama ritual penyucian, Konfusius mengganti makanan hariannya dan ia tidur tidak di tempat seperti biasanya (10.7). Setelah melayani pengorbanan umum, ia tidak memakan hidangan persembahan hingga berlalu tiga hari (10.9). Konfusius menggambarkan ritual sebagai tanggul bendungan, Jika tanggul rusak, maka banjir datang. Demikian pula jika kita menghilangkan ritual, maka kekacauan dan bencana akan datang.16

Di samping itu, Konfusius juga memberi pemahaman baru mengenai li. Ia memandang li tidak hanya sebatas praksis ritual, melainkan juga sebagai etiket social dan standar pribadi yang harus dipegang.

“[…] tidak hanya upacara keagamaan agung negara, tapi juga apa yang kita sebut sebagai aturan etiket sosial dan standar perilaku.”17

Li tidak hanya berarti praktik ritual, tapi juga sikap ritual. Dalam hal ini, li juga dapat dipahami sebagai sopan santun, sikap tepat. Bagi confusius, li senantiasa berhubungan dengan18: norma yang mengendalikan mereka yang berada di atas dan di bawah, cara yang pantas dalam 12 Hendra Sutedja, Bahan Kuliah jenjang strata satu matakuliah Filsafat Timur II, STF Driyarkara, 2010.

13 Xinzhong Yao, An Introduction to Confisinism, Cambridge:Cambridge University Press, 2000, hlm. 197 14 Xinzhong, 2000, hlm. 193.

15 Menurut Legge, Kitab ini merupakan kumpulan sabda konfusius yang berhasil dihimpun oleh murid-muridnya. 16 Jefrey L Richey, Teaching Confucianism, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 28-29.

(10)

memerintah negara, dan relasi yang pantas antara penguasa dan mentri, bapak dan anak, kakak dan adik, suami dan istri, mertua dan menantu.

Nilai-Nilai kemanusiaan dan Kebajikan (Yi) bagi Konfusius

Mengenai keutamaan yang harus dimiliki seseorang, Konfusius menekankan dua hal pokok yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan. Kebajikan (Yi) adalah sebuah keharusan dari sebuah situasi19. Kebajikan ini bermakna kategori imperatif seperti yang dikemukakan Kant. Bagi Konfusius, setiap orang harus memiliki sesuatu yang harus dikerjakan untuk pekerjaan itu sendiri kepada masyarakat sebagai sebuah tindakan moral yang benar. Tetapi jika pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan lain diluar cakupan moral, walaupun dilakukan karena seharusnya dikerjakan, perbuatan itu bukan merupakan sebuah perbuatan untuk kebajikan. Dalam Konfusianisme, digunakan kata Yi untuk kebajikan dan li lebih rendah, karena melakukan sesuatu untuk memperoleh keuntungan atau sekadar pamrih.

Yi adalah sebuah gagasan yang agak formal dan mendapatkan wujud kongkritnya dalam gagasan mengenai Ren/Jen. Hakekat mengenai Yi adalah kewajiban yang harus dilakukan dalam masyarakat namun semua itu didasarkan pada Ren yaitu “Cinta Kasih terhadap orang lain”20. Konfusius memberikan contoh bahwa seorang ayah harus mencintai anaknya sebagaimana ‘keharusan’ yang harus dilakukan sebagai seorang ayah yaitu mengasihi anaknya (ci), begitu pun seorang anak harus menghormati dan mengasihi ayahnya sesuai dengan ‘keharusannya’ sebagai seorang anak (xiao). Nilai-nilai kemanusiaan (Ren) terwujud dalam bentuk saling mengasihi.

Ren ini menjelaskan tentang usaha dari Konfusius untuk memperoleh perdamaian dengan memperbaiki relasi yang telah rusak dalam sistem sosial dan politik. Konfusius melihat hierarki ini dengan menjadikan keluarga sebagai model dari Ren itu sendiri. Kekaisaran diumpamakan sebagai sebuah keluarga besar, dengan kepala keluarga dan anggota keluarganya yang masing-masing harus berperilaku dan bertindak sesuai dengan namanya masing-masing-masing-masing. Dengan mengangakat kembali Li (ritual) yang didasarkan pada Ren, Konfusius mau menekankan tentang kasih (Ren) dalam relasi familiar. Raja sebagai kepala keluarga harus bertindak sebagaimana seorang kepala keluarga dalam sebuah keluarga. Relasi itu juga diikat sebagaiaman relasi yang 18 Bryan W dan Van Norden (ed.), Confucius and The analects: New Essays, New York: Oxford University Press,

2002, hlm. 54.

(11)

menjadi tindakan kongkrit dan bukan ritual saja

menjadi kekuatan dari dalam diri untuk hormat kepada raja.

diciptakan dalam ritual (Li) kepada penguasa langit karena garis Li sendiri secara liturgis memberikan cara bagaimana relasi. Dengan demikian, Konfusius menghidupkan kembali ritual

Li (revive the Zhou) dengan menempatkan Ren sebagai dasar pelaksanaan. Ren menjiwai pelaksanaan Li itu sendiri. Latar belakangnya tentu karena ketika sebelumnya Li kehilangan maknanya pada zaman Zhou Timur.

Chung dan Shu dalam Pemikiran Konfusius21

Ren/Jen sendiri berarti ‘jangan melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang sebenarnya tidak kau lakukakan atau inginkan itu terjadi terhadap dirimu’22. Seorang manusia Ren adalah orang yang mengembangkan dan mendukung orang lain seperti apa yang diperbuat terghadap dirinya sendiri dengan kata lain, lakukan kepada orang lain apa yang kau harapakan untuk dirimu. Inilah yang dinamakan Chung dalam aras positif-afirmatif. Sedangkan Shu sendiri adalah aras “negatif”, yaitu adanya suatu sikap altruisme, dengan rumusan; jangan lakukan kepada orang lain, apa yang tidak kau lakukan untuk dirimu sendiri. Dengan melakukan semuanya ini, seseorang sudah melakukan Ren itu sendiri atau sebaliknya. Pengamalan dari Ren

itu sendiri adalah bentuk penghargaan dan rasa cinta kepada orang lain. Dengan demikian prinsip

Ren adalah suatu prinsip yang menjadikan diri sendiri sebagai acuan untuk mengatur perilakunya sendiri.

Sistematikanya: YI

LI

REN

Chung/Shu

Dalam Kitab Ta Hsueh yang merupakan bagian dari kitab Li Chi juga menegaskan tentang pentinganya rasa saling menghormati antara sorang bawahan dan atasan dan sebaliknya. Penghormatan dan cinta kasih ini dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Dalam Chung Yung (ajaran tentang jalan tengah); bagian lain dari kitab Li Chi juga memberikan contoh bentuk

21 Bandingkan dengan Fung Yu Lan, 1948, hlm. 43-44

(12)

kongkrit dari pelaksanaan Chung dan Shu itu sendiri. Segi positif dari ajaran ini adalah bagaimana menempatkan diri sendiri sebagai tolok ukur dan bukan pada hal-hal yang lain.

Pelaksanaan Chung dan Shu yang sekaligus merupakan pelaksanaan prinsip Ren menjadi nyata dalam pelaksanaan tanggung jawab serta kewajiban seseorang dalam masyarakat yang di dalamnya terkandung sikap Yi atau nilai-nilai kebajikan. Dengan demikian Chung dan Shu menjadi awal dan akhir kehidupan moral seseorang. Karena setiap orang memiliki masing-masing acuan bagi dirinya sendiri maka itu diharapka untuk dilakukan kapan saja dan di mana saja.

Ming [] dalam Pemikiran Konfusius23

Para Konfusianis memperolehkan ide “bertindak demi ketiadaan” (doing for nothing) dari ide keadilan. Sedangkan para Daois mengajarkan teori mengenai “tidak melakukan apa-apa” (doing nothing). Menurut Konfusianis bertindak untuk ketiadaan berarti seorang melakukan apa yang harus dia lakukan, seolah-olah karena tindakan itu secara moral benar untuk dilakukan, dan bukan atas pertimbangan eksternal terhadap paksaan moral itu. Dengan kata lain, seorang tidak bisa tidak melakukan apa-apa, sebab setiap orang mempunyai sesuatu yang harus dia lakukan. Akan tetapi, tindakannya itu dilakukan demi ketiadaan, karena nilai dari melakukan apa yang harus dia lakukan terletak dalam tindakan itu sendiri, dan bukan dalam hasil eksternalnya (hasil yang terlihat).24

Apakah Ming itu? Ming sering diterjemahkan sebagai Nasib, Takdir atau Dekrit. Bagi Konfusius, Ming berarti Dekrit Langit atau Kehendak Langit (Decree of Heaven, Will of Heaven). Namun, dalam pemahaman Konfusianisme selanjutnya, Ming secara sederhana berarti kondisi “berada seluruhnya” (total existent) dan kekuatan dari seluruh alam semesta. Demi keberhasilan eksternal dari kegiatan yang dilakukan, kerjasama keadaan- keadaan itu selalu dibutuhkan. Akan tetapi, kerja sama ini seluruhnya berada di luar kendali kita.

Dalam aksi atau tindakan eksternal, hal terbaik untuk dilakukan adalah secara sederhana mencoba melaksanakan apa yang kita tahu harus kita laksanakan tanpa peduli apakah pada

(13)

prosesnya kita berhasil atau gagal. Bertindak seperti ini adalah untuk “mengetahui Ming”, dalam arti mengetahui Ming sebagai mengakui ketakterelakan dunia sebagai dunia yang hadir, dan mengabaikan keberhasilan atau kegagalannya. Jika kita bertindak demikian, kita tidak akan pernah gagal sebab, jika kita melakukan kewajiban atau tugas kita dengan cara kita (tidak peduli terhadap keberhasilan atau kegagalan atas tindakan tersebut), secara moral kita telah menyelesaikan kewajiban atau tugas tersebut.

Jika demikian, hasilnya kita akan selalu bebas dari kecemasan akan keberhasilan atau ketakutan akan kegagalan, dan akan merasa gembira. Oleh karena itu, Konfusius mengatakan bahwa “Orang bijaksana lepas dan bebas dari keraguan; orang bajik lepas dan bebas dari kecemasan; yang berani lepas dari ketakutan”. “Manusia unggul selalu gembira; manusia yang rendah sedih”25.

Etika: Proyek yang Tak Pernah Selesai26

Konfusius memberikan pedoman pengembangan diri yang baik menuju suatu pribadi yang bermoral. Pengembangan diri ini dimaksudkan untuk mencapai yang dia sebut sebagai chun-tzu. Perbandingan antara chun-tsu dan Hsiao-jen dibuat begitu kontras dalam pemikirannya untuk menunjukkan bahwa yang perlu itu adalah chun-tzu. Setiap orang diharapkan memberi perhatian yang besar kepada pembinaan diri. Akan tetapi pembinaan ini tidak bisa berhasil jika hanya memikirkan dan tidak pernah keluar dari dirinya. Sebaliknya seorang yang mau mencoba mencapai kepribadian benar harus tampil rendah hati dan percaya pada orang lain. Ia tidak perlu agresif untuk menjaga dirinya. Usaha itu dijalankan dengan rendah hati dan dengan penuh kehati-hatian. Pribadi yang utuh hanya bisa dicapai dengan juga memperhatikan perkembangan orang lain di sekitar. Oleh karena itu, relasi dengan orang lain perlu mendapat perhatian dalam usaha mencapai pribadi yang utuh ini. Inilah yang disebut dengan ren. Ren ini menjadi dasar dan batas akhir pencapaian pengembangan diri oleh manusia. Di sini orang diharapkan memakai akal budinya untuk mengabdi kemanusiaan.

Pribadi yang ren itu ditata lebih konkrit lagi dalam dua kaidah chung dan shu. Dengan chung orang melakukan kewajibannya sebagaimana dilukiskan oleh li. Sementara dengan shu, 25 […] “The wise are free from doubts; the virtuous from anxiety; the brave from fear.” (Analects, IX, 28) Or again:

“The Superior man is always happy; the small man sad.” (VII, 36) dalam Fung Yu Lan, 1948, hlm. 45.

26 Yang saya maksud disini bukanlah mengacu pada pengertian bahwa etika adalah proyek yang gagal, namun lebih

(14)

seseorang dapat tahu apa yang tidak boleh dilakukan. Semua konsep tersebut dikembangkan sebgaai pedoman hidup harian. Hidup harian yang menyangkut hidup social diatur oleh li. Li mengatur tata hubungan social dalam suatu hirarki. Penerapan li membuat semua hubungan jernih, baik dalam pemerintahan maupun dalam keluarga dan antar sesama. Ketepatan mengikuti semua pedoman dan pelaksanaannya dalam hidup bermasyarakat memungkinkan seseorang mencapai kepribadian yang tepat. Kesadaran akan keutamaan inilah yang membuat manusia berperikemanusiaan. Dengan sadar akan kebajikan dan kemanusiaan, manusia akan berbudi luhur dan membawanya menjadi manusia seutuhnya yang (juga pastinya) homo homini socius, dengan kata lain menjadi manusia yang mampu memanusiakan sesamanya.

Dalam seluruh pemikiran Konfusius, jika kita telusuri lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan sebuah hubungan keterlibatan pemikirannya dengan pemikiran (orang) lain, yakni Mencius dan Hsun-Tzu. Pengaruh Mencius bagi Konfusius terletak dalam pandangannya yang komprehensif seputar diri manusia yang dapat berkembang secara alami. Mencius beranggapan bahwa diri manusia telah dibekali dengan sifat baik yang dapat dikembangkan melalui upayanya sendiri. Dengan demikian, Mencius mengajak manusia untuk mengembangkan kualitas moral dalam dirinya sebagai ekspresi diri27. Sedangkan dalam pemikiran Hsun-Tzu, diuraikan bahwa ada hubungan yang kait kelindan antara aspek eksternal di luar diri manusia dan lingkungan kebudayaan. Dengan demikian Hsun-Tzu menginginkan manusia untuk menghormati otoritas, bahkan otoritas harus dipahami sebagai standar inspirasi daripada sekadar pemaksaan hukum28. Kombinasi dari kedua pemikir ini berakar dari pemikiran Konfusius sendiri yang mempunyai proyek bahwa manusia dapat menjadi sempurna dengan menempa dirinya. Dengan demikian etika Konfusius merupakan pembentukan tradisi yang berfokus pada pembentukan manusia menjadi manusia seutuhnya.

Menggali kembali gagasan Konfusius terhadap sikap hidup manusia yang seharusnya setidaknya mengingatkan kita akan satu hal, bahwa kita hidup tidak sendirian, dan karenanya kita juga tidak dapat seenaknya sendiri memperlakukan orang lain sebagaimana yang kita maui tetapi, justru persis disitu letak tanggung jawab kita sebagai sesama manusia untuk saling menghormati dan menghargai sebagai individu. Dengan demikian kedamaian dan kesejahteraan

27 Bacaan selengkapnya lihat Philip Ivanhoe, Ethichs in the Confusian Tradition: The Thought of Mengzi and

Wangyaming. Atlanta: Sholars Press.

28 Bacaan selengkapnya lihat Burton, Watson (trans). Hsun-Tzu: basic writing, New York: Columbia University

(15)

hidup akan tercipta dengan sendirinya manakala kita sadar dan terus menerus mengembangkan dan mengamalkan etika konfusius.

Daftar Pustaka

Sudiarja, A.,(eds); 2006; Karya Lengkap Driyarkara; Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Ivanhoe, Philip J.;2000; Confusian Moral Self Culvitation; Indianapolis: Hackett Publishing

Company, Inc.

---; 1990; Ethics in Confusian Tradition: The Thought of Mencius and Wang Yang-ming; Atlanta: Scholars Press.

Legge, James; 1971; Confusian Analects, The Great Learning, and The Doctrine of The Mean; New York: Dover Books.

Rainey, Lee Dian; 2010; Confusius and Confucianism: The Essential; Willey-Blackwell. Richey, Jeffrey L. (ed); 2008; Teaching Confucianism; New York: Oxford University Press. Van Norden, Bryan W. (ed); 2002; Confucius and The Analects: New Essays; New York:

Oxford University Press.

Watson, Burton (trans); 1963; Hsun-Tzu: Basic Writing; New York: Columbia University Press. Yao, Xinzhong; 2000; An Introduction to Confucianism; Cambridge: Cambridge University

Press.

Yu-Lan, Fung; 1952; A History of Chinesse Philosophy Vol I: The Period of The Philosopher; Princeton: Princeton University Press.

Referensi

Dokumen terkait

gan dari algor tma Lowest C -First mencari nilai heuristic ritma yang men yang terdapat p gnakan kedua Pencarian akan Algo etia Racana ndung 40132, e dapat guna alam , dan

Kista sebasea atau kista ateroma, terbentuk akibat sumbatan kelenjar sebasea sehingga produk kelenjar yang seperti bubur putih abu-abu (aterom) terkumpul dalam satu

Dikutip dari: Brodie dkk. Alonso dkk berpendapat bahwa Le Grand schematic eye adalah model schematic eye paling sederhana yang paling merepresentasikan struktur optik mata

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan implementasi Kurikulum 2013 yang dilakukan guru matematika di SMA Negeri 3 Maros dalam perencanaan pembelajaran

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian menyangkut potensi pati sagu dan pendapatan masyarakat dikampung Mega Distrik Mega Kabupaten Sorong, sehingga dapat

• Pada 28 April 1915 , Pegawai Daerah Puteh menghantar Sarjan Che Wan untuk menangkap Tok Janggut kerana gagal membayar cukai. • Perbalahan berlaku menyebabkan Sarjan Che Wan

Hasil belajar Afektif yang diukur dengan lembar pengamatan rata- rata 83,33 (kategori baik) Hasil penelitian ini adalah bahwa proses pembelajaran matematika melalui model

Penilaian tersebut meliputi berapa jumlah tenaga kader aktif mengikuti kegiatan, berapa peserta yang datang berkunjung teratur setiap bulannya, berapa kali olahraga