• Tidak ada hasil yang ditemukan

DWP dan EDM Sebagai Pembentuk Identitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DWP dan EDM Sebagai Pembentuk Identitas"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI SOSIOLOGI MODERN

Ujian Akhir Semester

Dosen Pengampu : Syaifudin, S.Pd., M.Kesos

Tri Hadiyanto Utomo

(4825142524)

Sosiologi Pembangunan A

JURUSAN SOSIOLOGI PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

(2)

DWP dan EDM Sebagai Pembentuk Identitas dan Simbolik

Dalam Pergaulan di Ibukota Saat Ini

Tri Hadiyanto Utomo

Jurusan Sosiologi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta,

Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia

ABSTRAK

Pada tulisan ini akan membahas mengenai hubungan antara menikmati musik EDM dan mengikuti acara musik DWP dengan teori sosiologi modern. Menikmati musik EDM dan mengunjungi konser DWP merupakan dua hal yang sedang naik daun dan menjadi trend saat ini. Kedua trend ini bagi sebagian orang dianggap sebagai pemicu munculnya identitas terhadap keeksistensian suatu individu. Karena adanya identitas dan anggapan tersebut maka individu nantinya akan memiliki kapital simbolik yang akan melekat di dalam dirinya. Di dalam tulisan ini, akan dijelaskan bagaimana menikmati musik EDM dan mengunjungi DWP bisa memunculkan suatu identitas pada individu dan apa dampaknya jika individu tersebut telah memiliki kapital simbolik bagi masyarakat dan pergaulannya di ibukota. Maka dari itu, penulis akan mengkaitkannya dengan teori sosiologi modern yang penulis pernah diajarkan sebelumnya.

Kata Kunci: Kapital Simbolik, Identitas, EDM 1. Latar Belakang

Musik merupakan sebuah budaya yang sudah ada dan terus diciptakan dari zaman pra sejarah sampai sekarang. Budaya berupa musik ini adalah budaya yang sangat sering kita jumpai pada kehidupan kita sehari-hari. Bahkan ada pula individu yang tidak dapat lepas dari musik dalam kehidupan sehari-harinya. Musik merupakan bahasa salah satu bahasa universal dan merupakan cara untuk berkomunikasi dengan orang lain yang digunakan untuk mengungkapkan maksud, gagasan atau pikiran dan perasaaan.1 Musik dapat dijadikan suatu refleksi individu dalam mempersepsikan dunia luar dan terkadang juga, musik dapat merepresentasikan sifat atau watak individu penikmatnya. Dengan cara mendatangi atau mengunjungi suatu konser ataupun

(3)

pentas seni musik adalah sebuah bentuk bagaimana suatu kelompok menikmati salah satu hasil budaya yang mereka sukai ini. Lebih spesifik lagi, suatu kelompok yang mendatangi suatu konser dengan aliran musik tertentu biasanya memiliki selera musik yang sama satu individu dengan yang lainnya.

Kelompok-kelompok tersebut akan mendatangi suatu event ataupun konser yang menurut mereka event atau konser tertentu akan menampilkan suatu pertunjukkan musik yang memiliki aliran yang sama dengan aliran musik yang dinikmati oleh kelompok itu. Adanya sebuah konser musik yang dapat menarik minat masyarakat yang memiliki aliran musik yang sama akan memberi suatu ruang bagi kelompok tersebut dalam membentuk sosialisasi lebih lanjut yang berhubungan dengan musik yang mereka nikmati pada konser atau pada suatu event. Tak kala, individu yang datang pada suatu konser musik akan menemui individu lain yang memiliki selera musik sama yang dipertunjukkan di konser tersebut dan pada akhirnya individu-individu tersebut akan membuat suatu kelompok yang terjadi pada jangka waktu tertentu – termasuk pula pada konser itu.

(4)

2010 selalu ada peningkatan pada jumlah artisnya, hal ini dapat memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan pada setiap tahunnya.2 Peningkatan ini dapat dilihat dari sisi kualitas maupun penontonnya meningkat akibat sedang trendnya musik EDM di kalangan masyarakat kota. Akibat musik EDM yang sedang trend (atau sedang hits dan booming) saat ini, masyarakat mulai menimbulkan suatu anggapan kepada kelompok tertentu yang meikmati dan memiliki selera pada genre musik EDM ini, apalagi kelompok-kelompok tertentu yang menikmatinya langsung dengan cara mengunjungi konser-konser aliran musik elektronik seperti DWP.

Pada tulisan ini, penulis akan menjabarkan hubungan antara anggapan masyarakat mengenai individu-individu yang menjadikan EDM sebagai aliran musiknya dan kelompok yang menonton konser DWP dengan teori sosiologi modern. Disamping itu juga, adapun individu-individu yang sekedar hanya ikut-ikutan dengan kedua trend tersebut supaya mendapatkan anggapan yang berlaku pada pergaulan mereka di ibukota. Individu-individu yang mengikuti kedua trend tersebut akan mendapatkan suatu identitas tertentu yang datang dari pergaulan disekitar berupa kapital yang lebih dari individu-individu yang tidak mengikuti kedua trend tersebut. Penulis pada tulisan ini akan menggunakan teori sosiologi modern dari Petter Bourdieu tentang kapital/modal.

2. Tinjauan Pustaka

1) Pengertian EDM (Electronic Dance Music)

“The sound is the force that drives people to dance –indeed, causes them to feel that they have to dance. The sound motivates DJs to play this particular record at particular moment. Most EDM tracks are made with expectation that, in live performance, they will be combined with other tracks and danced to; as a result, several key potentials of the music are only realized fully within a live dance context”.3Menurut

pejelasan sebelumnya, bahwa EDM adalah suatu suara yang membuat manusia menari karena adanya DJ yang memainkan lagu-lagu tertentu dan pada waktu atau momen-momen tertentu yang dimana biasanya pada pertunjukkan langsung di dalam EDM terdapat kunci musik yang potensial.

2) Konsep Kapital/Modal Bourdieu

2 Cesira Amanda Putri. (2014). “Industrialisasi Musik Festival di Indonesia”. 14

(5)

Bourdieu memaknai modal secara lebih luas. Baginya, modal bukan hanya dimaknai semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menubuh” –terjiwai dalam diri seseorang). Apabila materi ini dimiliki seseorang secacra privat atau bersifat eksklusif, memungkinkan mereka memiliki energi sosial dalam bentuk kerja yang diretifikasi maupun yang hidup (Bourdieu, 2004).4 Terdapat tiga jenis kapital/modal yang dipakai penulis untuk mengkaji kasus kedua kegiatan yang sedang trend tersebut, yaitu:

a) Modal Sosial. Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Bourdieu, 2004).5

b) Modal Ekonomi. Kapital ekonomi merupakan bentuk rasionalitas (khususnya rasionalitas instrumental) yang tertinggi dibanding kapital lainnya. Sebab ia memiliki nilai nominal tertentu yang bisa diakumulasikan, ditentukan harganya, dan dinvestasikan secara lebih nyata.6

c) Modal Simbolik. Penggunaan simbol-simbol untuk melegitimasi pemilikan pelbagai tingkat dan konfigurasi ketiga bentuk kapital lainnya (yaitu kapital ekonomi, kapital sosial dan kapital budaya).7

3) Habitus

Dari buku Outline of a Theory of Practice (1977:83), yaitu: “sebuah sistem diadopsi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengitegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi, apresiasi dan tindakan-tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang nyars serupa”. Jadi, agen membuat persepsi, menyatakan apresiasi dan melakukan tindakan dengan mempertimbangkan matriks yang disediakan oleh habitus.8

4) Teori Kelas Sosial, Pierre Bourdieu

4 Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2012. Hlm. 32

5 Ibid. Hlm. 33

6 Ibid.

7 Prof. Dr. Damsar dan Dr. Indriyani, S.E., M.M. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group. 2009. Hlm. 224

(6)

Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengkondisian yang serupa. Pembedaan ini dilakkan secara vertikal. Menurut Bourdieu, setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Perbedaan ini kemudian menyebabkan munculnya hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Seseorang dapat dengan mudah digolong-golongkan meurut kelasnya hanya dari budaya atau cara hidup mereka.9

3. Pembahasan

Sebelum penulis menjabarkan hubungan antara menikmati musik EDM dan menikmati musik EDM pada acara DWP dengan teori sosiologi modern, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu konteks historis dari musik EDM itu sendiri. “Electronic dance music was about to be born. Its origins can be traced back to 1960’s Jamaica. Using reel-to-reel tape players, artists would overlay multiple tracks, usually instrumentals of existing tracks, and hook it up to an amp to create a brand new dance track. This was the creation of the disk jockey, or the DJ. These DJs would play their tapes, grab a MC, and throw a party. This style eventually became known as Dub Music and led to the next form of electronic music known as House Music.

A man that went by the name of “Frankie Knuckles” can be accredited as the founder of house music. In 1970’s Detroit, the “Godfather of House” would play at clubs with a mixer and two turntables. Using this equipment he was able to reconstruct records by mixing them, adjusting tempos and adding percussive layers. These effects are the fundamental tools that DJs and producers use today when playing a live set or recording a track in a studio. House music is the premier dance music. Its penetrating beat in 4/4 time make for an irresistible groove”.10

Dapat diambil kesimpulan bahwa Electronic Dance Music sudah ada dari tahun 1960 dan berasal dari Jamaica. Awalnya menggunakan pemutar tape, beberapa lagu dan instrument yang telah ada sebelumnya untuk dijadikan lagu yang baru lagi. Lalu seiring waktu, tahun 1970 munculah DJ yang pada akhirnya menggunakan teknologi yang lebih maju berupa mixer dan dua turntable yang menjadikannya sebagai awal dari kemunculan musik House yang termasuk ke dalam musik EDM.

1) Kapital Pembentuk Simbolik Individu dalam Pergaulannya

9 Martono, Nanang. Op. Cit. Hlm. 34

(7)

Bourdieu menyebutkan istilah setidaknya ada empat jenis kapital yaitu, modal ekonomi (economy capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital) dan modal simbolik (symbolic capital). Sebenarnya kapital-kapital tersebut behubungan satu sama lainnya, maka dari itu suatu individu tidak hanya memiliki satu jenis kapital saja melainkan memiliki lebih dari satu jenis kapital yang ada di dalam dirinya. Namun, pada kajian kali ini penulis mengkaji pengaruh dari kedua trend menikmati musik EDM dan mengunjungi DWP sebagai faktor timbulnya kapital simbolik serta kapital simbolik yang dapat dikonversi menjadi jenis kapital lainnya. Karena lebih fokus pada kapital simbolik maka yang pertama-tama akan dijabarkan adalah kapital simbolik terlebih dahulu, kemudian mengkonversikannya dari dan ke jenis kapital-kapital yang lain.

Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan natural.11 Pada penjelasan Bourdieu tadi sudah dijelaskan bawa kapital simbolik yaitu yang dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah. Dalam kaitannya dengan individu penikmat musik EDM dan individu yang mengunjungi DWP, individu-individu tersebut akan menerima suatu kapital simbolik karena individu tersebut melakukan suatu kegiatan yang sedang menjadi trend dikalangan masyarakat ibukota. Suatu pengakuan masyarakat dan lingkup pergaulan individu yang bersangkutan akan memberikan pengakuan serta identitas kolektif yang diterima oleh individu tersebut karena senang sekali dengan musik EDM dan juga sudah pernah merasakan pengalaman mengunjungi konser musik DWP sebelumnya. Misalnya, seorang bernama A suka sekali dengan musik EDM, karena musik EDM sedang menjadi trend saat ini, individu ini akan dikenal sebagai seorang yang lebih up-to date dan lebih gaul daripada orang lain yang tidak menikmati musik EDM. Disamping itu pula, dia setiap tahun tidak pernah melewatkan event musik DWP ini yang membuat masyarakat dan pergaulannya menganggap bahwa dia adalah individu yang mengikuti trend acara musik paling terkenal karena DWP adalah konser musik EDM terbesar di Indonesia. Pengakuan dari masyarakat dan pergaulan A yang menanggap bahwa dia adalah individu yang up-to date, gaul dan suka mengikuti trend saat ini menjadikannya mempunyai identitas tertentu dimana identitas dan pengakuan masyarakat dan pergaulan terhadap A ini termasuk ke

(8)

dalam kapital simbolik sebagaimana yang dijelaskan oleh Bourdieu. Hal ini juga dikarenakan oleh penujukkan individu tersebut yang melakukan pilihan dan dianggapnya pemilihan tersebut akan mempengaruhi kapital simboliknya. Modal simbolik ini misalnya dapat berupa pemilihan temat tinggal, apakah ia tinggal di daerah elit atau yang kumuh di pinggir sungai? Atau dapat juga ditunjukkan melalui tempat wisata untuk mengisi liburan, hobi, tempat makan, dan sebagainya.12 Jadi, A menjadikan menikmati musik EDM dan mengujungi konser DWP sebagai pilihannya dalam menghibur dirinya yang pada akhirnya pilihannya tersebut menunjukkan bahwa dia memiliki kapital simbolik di dalam dirinya.

Setelah mengetahui bagaimana memilih menikmati musik EDM dan mengunjungi DWP dapat dihubungkan dengan kapital simbolik, namun sesuai dengan kalimat sebelumnya bahwa individu tidak hanya memiliki satu jenis kapital saja, maka kapital lainnya yang dapat mempengaruhi individu dalam kajian ini adalah kapital ekonomi. Menurut Bourdieu, kapital ekonomi merupakan bentuk rasionalitas (khususnya rasionalitas instrumental) yang tertinggi dibanding kapital lainnya. Sebab ia memiliki nilai nominal tertentu yang bisa diakumulasikan, ditentukan harganya, dan dinvestasikan secara lebih nyata. Kapital ekonomi disini berbentuk materi, di dalam konteks ini materinya adalah uang. “A” akan dapat menikmati musik EDM apabila ia mempunyai lagu-lagu musik yang telah dia beli dari internet secara digital ataupun dari toko dalam bentuk fisik. Jika, ia tidak memiliki uang untuk membeli lagu-lagu EDM tersebut untuk dikmatinya, maka “A” tidak akan dapat anggapan bahwa ia adalah salah satu penikmat musik EDM. Begitu pula dengan konser musik DWP. “A” tidak memiliki uang untuk membeli tiket DWP tersebut maka “A” secara langsung tidak bisa mengalami pengalaman mengunjungi DWP saat itu. Pada akhirnya, “A” tidak dapat pengakuan bahwa ia adalah individu yang up-to date dan suka mengikuti trend lagi dari masyarakat dan pergaulannya karena “A” tidak tidak bisa merasakan kenikmatan mendengarkan musik EDM dan juga sensasi serta pengalaman yang didapat pada saat mengunjungi DWP. Hal ini bisa menjadi contoh bahwa tanpa adanya kapital ekonomi, kapital simbolik akan sulit untuk didapatkan untuk beberapa individu. Tanpa adanya kapital ekonomi, individu tidak bisa mendapatkan identitas dan anggapan yang di masyarakat atau di dalam pergaulannya. Oleh karena itu, apabila individu mendapatkan kapital sibmolik –

(9)

pada studi kasus ini – maka setidaknya individu memiliki kapital ekonomi yang diperlukan agar kapital simbolik berupa pengakuan atau identitas yang datang dari masyarakat atau pergaulannya bisa diterima oleh individu.

Setelah kapital ekonomi untuk mendapatkan kapital simbolik, disamping itu terdapat pula kapital sosial yang bisa mempengaruhi individu dengan kegiatannya menikmati musik EDM dan mengunjungi konser DWP. Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Bourdieu, 2004).13 Dalam hal kapital sosial DWP disini bisa dijadikan sebagai tempat untuk bertemunya kelompok yang terdiri dari individu-individu penyuka atau pecinta musik EDM. Kapital sosial akan terbentuk di DWP ini karena adanya kesamaan selera dengan musik yang dinikmatinya, dimana ini memudahkan bagi penikmat musik EDM untuk bersosialisasi dengan penikmat musik EDM yang lain. Modal sosial dalam bentuk praktis didasarkan pada hubungan yang relatif tidak terikat seperti pertemanan, sedangkan dalam bentuk yang terlembagakan, modal sosial terwujud dalam keanggotaan dalam suatu kelompok yang relative terikat, seperti: keluarga, suku sekolah dan sebagainya.14 Pada penjelasan sebelumnya terdapat dua bentuk kapital sosial, namun karena konteksnya adalah penikmat EDM dan individu-individu yang mengunjungi DWP, penulis kembali lebih memfokuskan pada jenis kapital sosial dalam bentuk praktis. Sebagai contoh, “B” mengunjungi DWP tahun ini. Di DWP “B” bertemu banyak penonton sesama penyuka EDM. Lalu, “B” mulai berkenalan dan berinteraksi dengan individu-individu penyuka EDM yang lainnya. Dengan interaksi dan obrolan-obrolan yang berhubungan dengan EDM itu lah “B” mendapatkan relasi dan kenalan baru yang dimana ia mulai menumbuhkan kapital sosial disini. DWP membuat “B” menjadi memiliki banyak relasi sesama penikmat EDM dan membuat kapital sosial “B” menjadi meningkat. Di lain hal, karena ia telah mengunjungi DWP sebelumnya, kapital simboliknya berpengaruh kembali diluar DWP tersebut. Di tempat lain, mungkin “B” kembali memiliki kapital sosial karena kapital simboliknya sebagai individu yang up-to date dan mengikuti trend dijadikan “alat” oleh rang lain untuk menanyakan tentang apa pengalamannya selama di DWP tersebut. Misalnya lagi, “B” telah mengunjungi DWP

13 Ibid.

(10)

sebelumnya, orang lain di lingkungan sekolah ataupun di rumah ia berbicara mengenai pengalamannya di DWP saat itu. Interaksi tersebut tidak berhenti hanya di lingkup DWP saja, namun karena “B” juga menyukai EDM, interaksi tersebut kemudian berlanjut dengan memperbincangkan obrolan tentang EDM. Karena bertemu dengan individu-individu baru di luar DWP tersebut kapital sosialnya pun kembali meningkat. Dalam dua contoh yang telah disebutkan sebelumnya bahwa “B” memiliki suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok yang telah ditemuinya serta pada jaringan-jaringan sosial yang telah terbentuk. Kapital sosial juga mengandung serangkaian nilai/norma informal yang dimiliki oleh antar anggota kelompok dan akan terjadi kerjasama diantaranya. Hal ini juga terlihat di dalam DWP dimana anggota-anggota kelompok yang terdiri individu-individu penikmat EDM telah memiliki nilai-nilai/norma-norma informal yang telah disepakati disana dan anggotanya mengakui adanya nilai/norma informal itu dan akhirnya akan menimbulkan kerjasama dianta individu-individu pengunjung DWP tersebut. Maka dari itu, DWP ini sudah dapat dikatakan telah bisa membuat peningkatan pada kapital sosial seseorang.

2) Selera dan Habitus pada Kelas Sosial Pemicu Identitas dalam Pergaulan

Setiap individu memiliki selera yang berebeda diantara satu sama lainnya. Tenntu saja ini juga berlaku pada selera musik seseorang. Entah itu rock, pop, dangdut ataupun EDM. Jika ada individu yang menyukai atau memiliki selera dengan musik EDM pastilah Djakarta Warehouse Project menjadi salah satu event musik yang paling diminati dan disenangi. Menurut Bourdieu, setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Perbedaan ini kemudian menyebabkan munculnya hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Seseorang dapat dengan mudah digolong-golongkan menurut kelasnya hanya dari budaya atau cara hidup mereka.15 Dalam kelas sosial ini, selera masih berperan penting dalam menentukan tingaktan kelas sosial menurut Bourdieu. Individu yang menikmati musik EDM dan mengunjungi DWP akan lebih memiliki kelas sosial yang lebih tinggi daripada individu yang tidak melakukan kedua aksi tersebut. Ini bisa dikarenakan kedua aksi tersebut merupakan suatu trend yang sedang hits dan booming dikalangan pergaulan ibukota saat ini. Berbeda dengan individu yang misalnya menyukai musik

(11)

keroncong. Musik keroncong lebih dikenal sebagai musik yang jadul ataupun kuno. Karena musik keroncong bukanlah salah satu dari kegiatan yang sedang trend dikalangan pergaulan ibukota saat ini, maka individu yang menyukai musik keroncong ini akan berada pada kelas sosial yang lebih rendah daripada individu-individu yang memiliki selera pada musik EDM dan yang sudah mengunjungi konser musik DWP.

Kelas sosial menurut Pierre Bourdieu tidak direduksi hanya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ekonomi atau produksi, melainkan juga didefinisikan oleh habitus. Habitus tidak sekedar merujuk pada pengetahuan, atau kompetensi atau rasa gaya, tetapi juga dijelmakan secara harafiah. Bagi Bourdieu, selera dibentuk habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. Habitus membentuk preferensi agen terhadap makanan, pakaian, perabotan rumah, musik, drama, sastra, lukisan, film, fotografi, dan preferensi etis lainnya.16 Pada individu yang memiliki selera di musik EDM dan mengunjungi DWP, terdapat habitus didalamnya dimana individu tersebut setiap harinya suka mendengarkan lagu-lagu EDM dan dia jarang sekali mendengarkan jenis-jenis musik lain selain musik EDM. Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh historis dari individu itu sendiri, seperti seseorang pada saat remaja sering dimainkan musik-musik EDM oleh kerabatnya hingga individu itu menjadi terbiasa dan akhirnya menyukai musik EDM itu sendiri. Oleh karena itu, suatu individu yang menyukai musik EDM sejak lama ini, kemudian terdapat suatu identitas yang muncul kembali dari masyarakat dan pergaulannya. Padahal individu tersebut menyukai musik EDM bukan karena sedang mengikuti trend, namun karena memang individu tersebut memliki selera musik EDM yang telah melekat di dalam dirinya.

Bourdieu memusatkan perhatiannya pada variasi “selera” estetis, disposisi yang diperoleh untuk membedakan beragam objek kultural kenikmatan estetis dan dan memberinya apresiasi secara berbeda. Selera juga merupakan praktik yang diantaranya berfungsi memberi individu, maupun orang lain, pemahaman akan tempatnya di tatanan sosial.17Perbedaan selera individu saat menikati musik akan memberikan suatu maksud yang berbeda pada masyarakat yang nantinya akan menimbulkan anggapan yang spesifik terhadap penikmat aliran musik tertentu. Karena musik dan juga EDM merupakan suatu objek kultural estetis, maka praktiknya juga dapat memberikan

16 Prof. Dr. Damsar dan Dr. Indriyani, S.E., M.M. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group. 2009. Hlm. 222

(12)

pemahaman yang bisa berupa identitas kepada suatu individu ataupun orang lain dan masyarakat. Bagi Bourdieu, selera membantu seorang individu untuk memahami posisinya di antara orang lain-orang lain.

Selera menyatukan mereka yang memilki preferensi serupa dan membedakannya dari mereka yang memiliki selera berbeda. Jadi, melalui penerapan dan implikasi praktis selera, orang mengklasifikasikan objek dan dengan demikian, dalam proses tersebut, mengklasifikasikan dirinya sendiri.18 Hal ini bisa dilihat dengan fenomena yang terjadi disaat ada beberapa individu yang mencoba mengikuti trend EDM saat ini dan/ataupun dengan cara menikmati EDM melalui acara musik DWP tersebut. Maka individu-individu tersebut ingin ada sesuatu identitas yang ingin dilekatkan kepada dirinya sendiri. Dengan anggapan bahwa ia telah menikmati musik EDM dan mengunjungi acara DWP, kemudian individu ini dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri bahwa ia memiliki selera yang “lebih baik” daripada individu-individu yang tidak menyukai dan yang tidak mengikuti trend musik EDM. Lalu, tercapailah tujuan dari indvidu tersebut untuk menumbuhan keeksistensiannya dengan identitas yang dimilikinya.

4. Kesimpulan

Pergaulan ibukota saat ini sangat menekankan sisi prestise dan dianggap harus selalu mengikuti trend yang sedang berlaku di masyarakat. Nilai-nilai tersebut seperti sudah ditanamkan kepada setiap pergaulan di ibukota untuk mencapai maksud tertentu. Trend berupa menikmati musik EDM atau Electronic Dance Music pada saat ini seperti menjamur dan tiba-tiba menjadi suatu tolak ukur apakah suatu individu memiliki identitas dan eksis dalam pergaulannya. Terlebih lagi dengan adanya konser musik EDM seperti Djakarta Warehouse Project membuat kedua trend tersebut harus dilakukan pada zaman seperti ini.

Dalam kaitannya dengan teori sosiologi modern, mengikuti kedua trend tersebut dapat diistilahkan sedang mendapatkan suatu kapital simbolik. Kapital simbolik ini berupa pengakuan dari pergaulan atau masyarakat akan identitasnya yang senang mengikuti trend dan keeksistensiannya di dalam pergaulan ibukota. Namun, kapital simbolik ini juga bisa dipengaruhi oleh kapital lain, seperti kapital modal ataupun kapital sosial. Hal ini dikarenakan individu tidak hanya memiliki satu kapital saja melainkan memiliki lebih dari

(13)
(14)

DAFTAR PUSTAKA

Butler, Mark J. Unlocking the Groove: Rhytm, Meter, and Musical Design in Electronic Dance Music. Indiana: Indiana University Press. 2006.

Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2012.

Prof. Dr. Damsar dan Dr. Indriyani, S.E., M.M. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group. 2009.

Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern (Trans: Nurhardi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2012

Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern (Trans: Nurhadi). Bantul: Kreasi Wacana. 2012.

Cesira Amanda Putri. (2014). “Industrialisasi Musik Festival di Indonesia”.

Farsakian, Troy. (2012). “The Evolution of Electronic Music”

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Strategis Tahun 2016 – 2021 Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Bumbu merupakan penjabaran dari visi, misi, program, dan kegiatan dalam bentuk rencana yang

Hasil uji statistik pada selisih pengetahuan sebelum dan setelah diberikan perlakuan antara kelompok kontrol dan ceramah menunjukkan bahwa terdapat berbedaan

The polychaeta from rocky intertidal shore of Indonesian waters is particularly unknown, although few species from Siboga Expedition were collected from intertidal

Salah satu fokus penelitian adalah peningkatan kepercayaan diri mahasiswa dalam pembelajaran statistika dasar melalui penerapan model problem based

” Proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan ”. Dari pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan pengertian

Melihat pentingnya peran strategis dari FKM Unsrat dalam mencetak calon manajer di wilayah Sulawesi Utara, serta masih kurangnya perhatian yang diberikan terhadap

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi