• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI penegakan hukum pidana. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SKRIPSI penegakan hukum pidana. docx"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI

(

EIGENRECHTING

)

PUTU BAGUS DARMA PUTRA NIM : 1116051031

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(2)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI

(

EIGENRECHTING

)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

PUTU BAGUS DARMA PUTRA NIM : 1116051031

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 2 JUNI 2016

Pembimbing I

A.A Ngurah Yusa Darmadi,SH.,MH NIP 195711251986021001

Pembimbing II

(4)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 16 juli 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 0903/UN14.4E/IV/pp.07.02.05/2016 Tanggal 11 Juli 2016

Ketua : A.A Ngurah Yusa Darmadi,SH.,MH ( )

Sekretaris : I Gusti Ngurah Parwata,SH.,MH ( )

Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum ( )

2. I Wayan Suardana, SH.,MH ( )

3. Sagung Putri M.E Purwani, SH.,MH ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala penyertaan dan rahmat-Nya, karena dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan tugas dan kewajiban bagi setiap mahasiswa di tingkat terakhir pada Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai syarat untuk menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Meskipun pada awalnya terdapat berbagai hambatan dan keraguan dalam proses pembuatannya, namun karena ini adalah kewajiban penulis yang harus diselesaikan sebagai bagian dari pertanggungjawaban, maka sudah menjadi kewajiban penulis untuk dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan sebaik-baiknya. Adapun judul skripsi yang penulis angkat ialah PENEGAKAN HUKUM PIDANA

TERHADAP TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI ( EIGENRECHTING ).

Dengan terselesaikannya skripsi akhir ini, maka satu kewajiban penulis dapat terselesaikan. Keberhasilan ini tidak begitu saja dapat diraih tanpa adanya motivasi, baik itu dalam bentuk materiil dan imaterril dari berbagai pihak. Sehingga baiknya penulis sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan dari hati yang paling dalam kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., MHum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak A.A Gede Oka Parwata, SH., M.Si., Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu A.A Sri Utari, SH.,MH, Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi banyak motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak A.A Ngurah Yusa Darmadi, SH.,MH, Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, beliau selalu memberikan petunjuk, arahan, motivasi serta meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta petunjuk dengan penuh kesabaran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

8. Bapak I Gusti Ngurah Parwata, SH.,MH, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran serta masukan dalam perbaikan skripsi ini, guna menghasilkan skripsi yang sempurna, beliau selalu teliti, cermat serta sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi. 9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta pegawai administrasi

dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(7)

dampingan serta kasih sayang mereka penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini, mereka telah berkorban demi penulis, mereka selalu ada disaat penulis susah ataupun senang, mendidik, serta selalu memberi nasehat dan selalu memberikan semangat agar penulis tidak putus asa.

11. Seorang wanita istimewa, A.A Ayu Manik Pratiwiningrat, SH yang tidak henti-hentinya menuntun, menemani, menasihati serta mendukung dan memberikan semangat moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman angkatan 2011 di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan nuansa dan warna selama menjalani masa perkuliahan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa kesempurnaan adalah hanya milik Tuhan/Ida Shang Hyang Widhi Wasa, dan kekurangan adalah milik segala manusia, maka begitu pula dalam skripsi ini mungkin belum mampu memaparkan secara sempurna permasalahan yang di kaji, sehingga Penulis tidak menutup diri terhadap kritik dan saran yang konstruktif. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan pemikiran di masa mendatang.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, Juni 2016

Penulis

(8)

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 8 Juni 2016 Yang menyatakan,

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUN DALAM... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... viii

DAFTAR ISI... ix

ABSTRAK... xii

ABSTRACT... ...xiii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 6

... 1.4 Tujuan Penulisan... 8

1.4.1 Tujuan Umum... 8

1.4.2 Tujuan Khusus... 8

1.5 Manfaat Penelitian... 8

1.5.1 Manfaat Teoritis... 8

1.5.2 Manfaat Praktis... 9

(10)

1.6.1 Landasan Teori... 9

1.6.2 Hipotesa... 31

1.7 Metode Penulisan... 32

1.7.1 Jenis Penelitian... 32

1.7.2 Jenis Pendekatan... 32

1.7.3 Data dan Sumber Data ... 32

1.7.3.1 Data Primer ... 32

1.7.3.2 Data Sekunder ... 32

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data... 33

1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis... 33

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI DAN PENEGAKAN HUKUM 2.1. Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting)... 34

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana ... 34

2.1.2. Pengertian tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). 37 2.1.3. Unsur-unsur tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). 38 2.1.4 Jenis-jenis tindakan main hakim sendiri (eigenrechting)... 40

2.2. Penegakan Hukum... 41

2.2.1. Pengertian penegakan hukum... 41

2.2.2. Unsur-unsur penegakan hukum... 43

(11)

BAB III. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA

TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING)

3.1. Faktor Penal... 46 3.2. Faktor Non Penal... 51

BAB IV. PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN MAIN

HAKIM SENDIRI (EIGENRECHTING)

4.1. Tindakan Main Hakim Sendiri Sebagai Tindakan Melawan Hukum... 61 4.2. Tindakan Main Hakim Sendiri Dan Penegakan Hukum... 71

BAB V. PENUTUP

5.1 Simpulan... 81 5.2 Saran... 82

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul penegakan hukum pidana terhadap tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), latar belakang dari penelitian ini adalah Hukum pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin adanya kepastian dan tertib hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Sebagai negara hukum, maka adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang hukum, politik, sosial, budaya, ekonomi dan keamanan merupakan syarat utama disamping terjadinya peradilan yang bebas dari segala pengaruh kekuatan lain dan tidak memihak serta adanya aparatur pemerintah yang tidak "Kebal Hukum", atau dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis, oleh karena banyaknya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, dan tindakan main hakim yang banyak tidak diproses secara hukum karena kurangnya alat bukti, selain itu Kondisi masyarakat yang emosionalnya sangat besar dalam menghadapi pelaku kasus kriminal secara langsung terutama golongan masyarakat yang ekonominya kebawah, ditambah rendahnya pengetahuan hukum.

Metode penulisan pada penelitian ini menggunakan metode penelitian Empiris dengan melihat fakta-fakta yang ada dilapangan menggunakan pendekatan Sosiologis yaitu pendekatan secara fakta yaitu mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada sesuai permasalahn yang diangkat, dengan teknik penulisan kualitatif.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim adalah, Faktor Individu yaitu kurangnya pemahaman dan kesadaran hukum membuat seseorang cendrung menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan masalah tanpa melalui proses hukum. Faktor Instrumental yaitu produk hukum yang tidak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakserasian dan terhadap masyarakat tidak percaya terhadap hukum itu sendiri. Faktor Institusional yaitu aparat penegak hukum sering melaksanakan tugas diluar kewenangannya dan cendrung memihak dalam menyelesaikan masalah. Penegakkan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri merupakan salah satu perbuatan tindak pidana oleh karena itu, Barang siapa yang melakukan perbuatan pidana harus diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Aparat penegak hukum harus mampu memberikan perlindungan hukum pada masyarakat. Hukum itu harus ditegakkan sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku.

(13)

ABSTRACT

The tittle of this study is law enforcement to eigenrechting toward someone body law interest, background of this study is law at essential have purpose to guaranteee there is assure and obedient to the law in nation life. As the stated based on the law, hence there is confession and protection on human right in the law field, politic, social, culture, economoic and security is priority beside occurance of free judicature from all other power effect and imparrtially and government official is impunity or able be responsible juridically, thus many vigilantism by public and eigenrechting that many don’t processed in law because there was many lack of evidence, beside that high emotional public condition to face the actor of criminal case directly especially public with low economic, added to have low law knoledge.

This study method was used emperical design with facts that exist at field by using sociology approach that is by conduct field research by looking reality that match with issue arised by using qualitative technique.

This study is empirical study by using sociology and fact approach, with qualitative method. Some factor effected on eigenrechting are individual factor that is lack of knowledge and awareness of law to make someone tend to use hisself to solve theirself problem without through law process. Instrument facto that is law product that unmatching with public’s norms, so that it arise unmatching and for the public don’t believe on the law itself. Institutional factor is law enforcement official that often conduct on duty outside its authority and tend take side in settlement of case. Law enforcement on eigenrechting is one of criminal action. Who is conduct a criminal should be processed in law as accordding the law applied. The law enforcer should give law protection for the public. This law should be enforced as according the norms and rules applied.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin adanya kepastian dan tertib hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, jaminan adanya tertib hukum dapat dilihat dari sistem Pemerintahan Negara Indonesia yang tertuang di dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu : "Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)".

Sebagai negara hukum, maka adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang hukum, politik, sosial, budaya, ekonomi dan keamanan merupakan syarat utama disamping terjadinya peradilan yang bebas dari segala pengaruh kekuatan lain dan tidak memihak serta adanya aparatur pemerintah yang tidak "Kebal Hukum", atau dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis.

Adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam bidang hukum maka sebagai konsekwensinya adalah bahwa setiap orang diakui sebagai subyek hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat terhadap hukum dan Undang-undang.

(15)

Didalam proses beracara pidana, maka sejalan dengan tujuan hukum acara pidana untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran materiil, maka terdapat dua macam kepentingan yang harus diperhatikan yaitu :

(1) Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang melanggar suatu peraturan hukum pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat.

(2) Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan secara adil demikian rupa, sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat tidak seimbang dengan kesalahannya.1

Mengingat demikian penting tujuan menentukan dan mewujudkan kebenaran materiil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan tersangka, maka proses penyidikan sebagai upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukan tindak pidana guna menemukan si bersalah merupakan tugas yang harus benar-benar diperhatikan oleh polri dalam kedudukannya sebagai aparat negara dalam menangani proses pemeriksaan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.2

Sebagai suatu upaya penting dalam rangka mencari kebenaran yang sejati maka proses penyidikan harus benar-benar menyadari kedudukan tersangka sebagai pihak yang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga ia harus ditetapkan sebagai subyek yang harus diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

1 Wiryono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Cet XIV, Sumur,

Bandung, hal. 21.

2 Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Penyelidikan dan Penyidikan, Ghalia Indonesia,

(16)

Polisi sebagai salah satu alat negara penegak hukum merupakan aparat negara yang dipercaya dan diharapkan mampu menegakkan wibawa hukum dengan selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara serta senantisasa mengindahkan norma keagamaan perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan, sehingga Polisi tidak dibenarkan melakukan segala macam tekanan dan paksaan yang menjurus pada tindakan yang menyimpang dari ketentuan merupakan tumuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian penting Negara hukum.

2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang.

4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. 4

Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum sebagai berikut:

1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.

2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya. 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa

terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas).

3 D. P. M Sitompul, 1985, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Tarsito, Bandung, hal. 114. 4 Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, 1988,

(17)

4. Adanya pembagian kekuasaan. 5

Terkait dengan Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum, secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.6

Dalam konteks penegakan hukum, mencari dan menemukan kebenaran adalah pekerjaan yang amat mahal di Indonesia. Bahkan boleh dikatakan, mustahil. Lembaga-lembaga yang mengurus kebenaran secara telanjang telah mengangkangi kebenaran yang hakiki. Karena itu upaya mencari kebenaran akhirnya direbut oleh massa di jalan raya, atau dilempar secara sengaja kepada khalayak. Pada akhirnya rakyat lebih memilih untuk jadi hakim sendiri (walaupun ramai-ramai) dari pada hakim yang main sendiri. Fenomena kekecewaan masyarakat yang memuncak terhadap penegakan hukum tersebut semakin mendapat perannya ketika roda reformasi digulirkan oleh mahasiswa. Tindakan aksi massa yang menghakimi sendiri pelaku yang dianggap bersalah menjadi berita utama di beberapa media, karena tidak dapat dipungkiri tindakan main hakim sendiri sudah menjadi mega trend di berbagai daerah.

Contoh yang dapat dikedepankan terhadap hal ini adalah tewasnya Jhony Leopato di Baturiti, pengeroyokan pengacara dalam eksekusi obyek sengketa di Padangsambian, penyerangan oleh para preman terhadap petugas negara yang sedang mengeksekusi obyek sengketa Hotel Bali Garden di Kuta, pembakaran

5 Bagir Manan,1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945,

Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun 1994-1995, di Bandung, hal. 19.

6 Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa,

(18)

rumah di Yangapi Tabanan, pembakaran bus Akas yang menabrak seorang nenek di Antosari Tabanan dan beberapa kasus lainnya yang cenderung menghakimi sendiri pelakunya.7

Berikut data tindakan main hakim sendiri yang terjadi di Kota Denpasar pada tahun 2015 – 2016 adalah sebgai berikut :

Sumber Data : Polresta Denpasar tahun 2016

Tahun Denbar Densel Dentim Denut Kuta Kutsel

2015 28 13 4 5 6 5

2016 12 6 3 4 6 4

Kasus tindakan main hakim sendiri ini banyak yang diproses secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku tetapi tidak sedikit juga yang dilepas begitu saja karena kurangnya bukti. Kondisi masyarakat yang emosionalnya sangat besar dalam menghadapi pelaku kasus kriminal secara langsung terutama golongan masyarakat yang ekonominya kebawah, ditambah rendahnya pengetahuan hukum sehingga mudah memicu kemaharan dan lebih suka melakukan penghukuman sendiri pada pelaku kejahatan karena bagi masyarakat penghukuman seperti itu lebih efektif.8

Masyarakat yang ikut melakukan perbuatan main hakim sendiri seharusnya dapat dipidana karena melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP, yang disebutkan bahwa, “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Dalam hali ini, mengingat si korban kehilangan nyawa akibat

7 http://hendrapgmi.blogspot.co.id/2012/05/perbuatan-main-hakim-sendiri-dalam.html 8 Revrisond Baswir, 1996, Kesenjagan, Korupsi, Dan Kerusuhan Massa, Media Indonesia

(19)

penganiayaan tersebut, dalam Pasal 351 (3) KUHP diatur bahwa: “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP, disebutkan bahwa, “barang siapa yang dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap prang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan ( Lima tahun enam bualan )” Dalam hal ini, mengingat si korban kehilangan nyawa/matinya orang akibat kekerasan tersebut maka berdasarkan Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP diancam pidana dengan penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.

Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti terror baik dengan sasaran psikologis maupun fisik. Maka dalam membangun masyarakat yang sadar dan patuh hukum pemerintah harus secepatnya membangan moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari penegak hukum dengan mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh masyarakat dibarengi dengan menindak secara tegas setiap anggota atau kelompok masyarakat yang melakukan cara main hakim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mereka hadapi. Selain itu pencegahannya dapat diupayakan baik dari segi masyarakat sendiri, pemerintah, maupun perangkat peraturan hukum pidana yang berlaku.

(20)

yaitu : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI ( EIGENRECHTING )

1.2. Rumusan masalah

Terhadap permasalahan yang telah dikemukakan diatas, menarik untuk dibahas sebagai pokok pembahasan adalah :

1. Faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim sendiri ?

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri ?

1.3. Ruang lingkup masalah

Agar pembahasan tidak menyimpang dari substansi permasalahan diatas, maka rumusan permasalahan akan dibatasi mengenai Faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim sendiri dan Penegakan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan pokok dari penyusunan skripsi ini dapat dibedakan menjadi 2 antara lain :

1.4.1. Tujuan Umum meliputi :

(21)

1.4.2. Tujuan Khusus meliputi:

1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim sendiri.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Manfaat dari segi teoritis, diharapkan hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat terutama bagi penambahan ilmu pengetahuan yang sekaligus dapat memperkaya bahan-bahan pengembangan keilmuan yang berdimensi hukum acara pidana khususnya mengenai tindakan main hakim sendiri.

1.5.2. Manfaat Praktis

Diharapkan juga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khsusnya dalam tindakan main hakim sendiri, dan bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian hukum pidana khususnya tindakan main hakim sendiri.

1.6 Landasan Teoritis dan Hipotesis

1.6.1. Landasan Teori

1. Teori Negara Hukum

(22)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa Indonesia merupakan negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara Negara/ Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sanksi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya.

Itulah konsep equality before the law (persamaan didepan hukum) dalam konsep rule of law. Konsep rule of law itu sendiri seperti diterangkan oleh A.V Dicey, memiliki unsur utama yaitu : supremacy of law, equality before the law dan the constiution based on individual right.9

Unsur pertama, yaitu supremacy of law atau supremasi hukum, di Inggris tempat dicetuskannya konsep tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, hal ini merupakan unsur yang diperjuangkan rakyat inggris lebih awal jika dibandingkan dengan negar-negara barat lainnya.

Unsur kedua, yaitu equality before the law atau persamaan di depan hukum. Semua warga baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada hukum dan di adili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila melanggar hukum baik secara individu maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam pengadilan yang sama pula.

(23)

Unsur ketiga, yaitu constiution based on individual right, disini tidak seperti yang umum terdapat di negara lain yang berupa sebuah dokumen yang disebut constition atau Undang-undang dasar, melainkan constition disini menunjuk pada sejumlah dokumen yang isinya bersifat fundamental.10

Dalam konsep negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara Negara/ Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sanksi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya.

Konsep rule of law bukan satu-satunya konsep negara hukum, selain itu masih banyak konsep negara hukum dari negara-negara lain yang dikenal dengan konsep Rechsstaat. Pemahaman mengenai negara hukum dengan konsep rule of law umumnya berkembang di negara-negara eropa kontinental, pemahaman terhadap negara hukum mengikuti konsep rechsstaat. Konsep rechsstaat menurut beberapa sarjana dikenal dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menurut Friedich Julius Stahl, rechsstaat memiliki unsur utama, sebagai berikut:

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, b. Pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politika,

c. Penyelenggaraan Pemerintah menurut Undang-undang (wetmatig bestuur), dan

d. Adanya peradilan administrasi negara.11

(24)

2. Menurut Scheltema, unsur utama rechsstaat, meliputi: a. Kepastian hukum,

b. Persamaan, c. Demokrasi, dan

d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.12

3. Menurut H.D.Van Wijk dan Konijnenbelt, dengan unsur utama : a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestur);

b. Hak-hak asasi,

c. Pembagian kekuasaan, dan

d. Pengawasan oleh kekuasaan peradilan.13

4. Menurut zippenlius, unsur utama negara hukum adalah : a. Pemerintahan menurut hukum,

2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk meniliai perbuatan penguasa

terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas) 4. Adanya pembagian kekuasaan.14

Selain itu Sri Soemantri juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang terpenting dari negara hukum ada 4, yaitu :

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum.

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle)15

Demikian pula seperti yang diunkapkan oleh Philipus M. Hadjon yang

12 Ibid, hal. 66

13 A. Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 311.

14 Bagir Manan, 1994, Dasar- dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD

1945, Makalah Ilmiah Disampaikan Pada Mahsiswa Pasca Sarjana UNPAD, Tahun 1994-1995, di Bandung, hal.19.

15 Sri Soemantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni

(25)

mendasarkan diri pada sifat-sifat liberal dan demokratis yang dikemukakan oleh S.W. Couwenberg berpendapat bahwa ciri-ciri rechsstaat, adalah :

1. Adanya Undang-Udang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

2. Adanya pembagia kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas Undang-undang.

3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.16

Ditambahkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa atas cin-cin tersebut diatas, maka rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.

Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Seperti yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen UUDNRI 1945 menyatkan bahwa " Negara Indonesia adalah negara Hukum". Sehingga jika dikaitkan deng ruang lingkup Pengadilan Pajak maka secara filosofis konstitusional jelas di nyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara Hukum yang dinamis atau welfare state (negara kesejahteraan), sebab negara wajib menjamin kepastian hukum serta kesejahteraan sosial masyarakat.17

2 Teori tentang Penegakan (Efektivitas) Hukum

16 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, hal. 76.

17 S.F. Marbun, Moh.Mahfud MD, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,

(26)

Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah sifat atau keadaan mulai berlakunya undang-undang.18

Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undang-undang atau peraturan.19

Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum, secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.20

Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa “salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif atau negatif.21

18 J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar

Harapan, Jakarta, hal. 371.

19 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,

Balai Pustaka, Jakarta, hal. 284.

20 Soerjono Soekanto I, loc. cit.

21 Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi

(27)

Ketaatan seseorang berperilaku sesuai harapan pembentuk undang-undang, Friedman menyatakan bahwa:

Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior that bens toward the legal act that evoked it. Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability.22

Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan.23

Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu :

a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang.

b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.24

22 Lawrence, Friedman M., The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage

Foundation, New York, 1975, dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.

(28)

Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan25 :

a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang, seperti undang-undang tidak berlaku surut (artinya undang-undang-undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku;

b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag tersebut diperintahkan demikian);

c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.

Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin

(29)

dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan, yaitu :

a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;

b) tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi;

c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;

d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;

e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.26

Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, yaitu :

a) yang tidak ada –diadakan yang baru betul;

b) yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan; c) yang kurang –ditambah;

d) yang macet – dilancarkan;

e) yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.27

Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim). Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak

(30)

hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya.

Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat.

Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang belum tentu berlaku secara sosiologis.28

Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan

(31)

hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya.

Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya, merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.29

3. Teori Keadilan

Teori Keadilan untuk menganalisa perbuatan main hakim sendiri, menurut Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.30

29 Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo

Perkasa, Jakarta, hal. 203.

(32)

Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup mannusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.

Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat. Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru.31

Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal :

(33)

1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.

2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu .

Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni : 1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang

pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan psikisnya.

2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan, yakni dengan keadilan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana.

3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama suka mengejar kepentingan individualnya dan baru kemudian kepentingan umum.

(34)

1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan semua pihak.

2. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (different principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity).

Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas.

(35)

Selanjutnya, prioritas kedua merupakan relasi antardua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu antara prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan). Menurut Rawls, prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu daripada prinsip perbedaan.

Pertanyaan terakhir kita berikutnya adalah tentang teori keadilan seperti apa yang berlaku bagi bangsa Indonesia? Secara jelas kita dapat langsung menemukan, bahwa dalam rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu. Sila ke-2 berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Sila ke-5 menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, butir-butir dari prinsip keadilan (termasuk yang disebutkan oleh Rawls) telah diungkapkan pula secara jelas. Selanjutnya, apabila kita melihat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan itu.

(36)

menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum.

Keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan, tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan seperti disebutkan oleh Notohamidjojo dia tas dapat juga disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.

(37)

pragmatisme dan voluntarisme, (4) acsetisisme dan hedonisme, (5) empirisme dan intuisionisme, (6) rasionalisme dan romantisisme.

Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah ke arah suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung per kapita) menurut Utilitarianisme, atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari Rawls. Sesuai dengan keseimbangan nilai-nilai antinomi, maka keadilan sosial dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, indvidulisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme.

(38)

Maka akhirnya ini akan berarti, bahwa penegakan rule of law secara ideal adalah penegakan the rule of social justice atau keadilan sosial.

Yaitu justice atau keadilan, sesuai dengan alam pikiran atau pola masyarakat yang bersangkutan. Atau dapat pula kita katakan bahwa the rule of law itu berarti the rule of just law, kekuasaan daripada hukum yang adil. Sebab hanya hukum yang dapat membawa dan menjamin keadilan sosial itu dapat mengadakan pembagian (distribusi) daripada hak-hak secara adil pula.

4. Pengertian Perlindungan Hukum

Pengertian perlindungan hukum, seperti dilihat dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang dimaksudkan dengan perlindungan hukum adalah :

“Suatu upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memperoleh perlindungan berdasarkan peraturan-peraturan atau undang-undang”.32

Sedangkan menurut Kamus Hukum Perlindungan Hukum adalah :

“Suatu upaya kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan berdasarkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan negara dan sebagainya atau dapat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat atau negara”.33

Konsep perlindungan hukum atas suatu kepentingan tertentu, merupakan manifestasi dari prasyarat untuk masuk ke dalam phase Negara kesejahteraan. Fenomena Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan fenomena penting di akhir abad ke-19 dengan gagasan bahwa Negara didorong untuk semakin

32 Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 897. 33 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, Kamus Hukum, hal. 954.

(39)

meningkatkan perannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk masalah-masalah perekonomian yang dalam tradisi liberalisme sebelumnya cenderung dianggap sebagai urusan masyarakat sendiri.34

Perlindungan tidak hanya berdasar hukum tertulis tetapi termasuk juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda yang dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Hadjon menyebutkan, ada 2 macam perlindungan hukum bagi rakyat yaitu :

1. Perlindungan Hukum Preventif : Kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Bertujuan mencegah terjadinya sengketa. 2. Perlindungan Hukum Represif : bertujuan menyelesaikan sengketa.35

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum preventif, pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dengan pengertian demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum represif.

Mengenai perilaku kolektif yang agresif-destruktif atau yang lebih lazimnya disebut sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) ini secara normatif tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur apa yang dimaksud dengan main

34 Jimly Asshiddiqie, 2000. Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif & Eksekutif,

Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 97.

35 Hardjon M. Philippus, 1988. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu

(40)

hakim sendiri. Oleh karenanya untuk memperoleh pengertian yuridis dari tindakan main hakim sendiri tersebut akan disampaikan beberapa pendapat sarjana.

Menurut Wirjono Prodjodikoro menghakimi sendiri (eigenrichting) ini memiliki hubungan erat dengan sifat melawan hukum dari setiap tindak pidana.36

Selanjutnya dikatakan, biasanya dengan suatu tindak pidana seseorang menderita kerugian. Ada kalanya si korban berusaha sendiri untuk meniadakan kerugian yang ia derita dengan tidak menunggu tindakan alat-alat negara seperti polisi atau jaksa, seolah-olah ia menghakimi sendiri (eigenrichting). Usaha orang ini tidak dilarang selama ia, dalam usahanya itu, tidak melakukan perbuatan yang masuk perumusan tindak pidana lain. Apabila misalnya, seorang dicopet dompetnya, dan ia meminta kembali dompetnya itu dari si pencopet, dan permintaan itu dituruti, maka tindakan “menghakimi sendiri” ini tidak dilarang.

Selanjutnya dikatakan lain halnya apabila si pencopet semula tidak mau mengembalikan barangnya, kemudian si korban memaksa si pencopet dengan kekerasan untuk menyerahkan barangnya, maka tindakan si korban dapat masuk perumusan tindak pidana “memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu” dari pasal 335 ayat 1 KUHP ; maka dari itu sebetulnya tidak diperbolehkan.

Korban dapat dikatakan terpaksa juga untuk melakukan kekerasan terhadap si pencopet, dan kekerasan ini mutlak perlu untuk membela kepentingannya berupa milik atas barang yang dicopet. Maka berdasar atas pasal 49 ayat 1 KUHP (noodweer atau membela diri), si korban berhak melakukan kekerasan ini. Asal

36 Wirjono Prodjodikoro, 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Edisi ke-2,

(41)

tentunya, kekerasan yang dilakukan itu tidak melampaui batas, seimbang dengan kepentingan si korban yang dibelanya.

Kemudian dikatakan bahwa hal menghakimi sendiri atau eigenrechting ada kalanya diperbolehkan, artinya tidak bersifat melanggar hukum, dan dari itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

Menurut Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa sebenarnya seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan, yang merupakan sesuatu delik. Perbuatan mana dilakukannya untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, melakukan sesuatu perbuatan yang disebut : “Daad Van Eigenrichting”.37

Daad Van Eigenrichting ini sebenarnya dilakukan oleh undang-undang. Adapun artinya dari daad van eigenrichting ini adalah “Tindakan yang diambilnya sendiri” dan ini dilarang.

Baliau mengatakan, dengan diketahuinya larangan terhadap daad van eigenrichting ini belum lagi diketahui bagaimana hubungannya itu dengan pembelaan, yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan noodweer. Walaupun daad van eigenrichting itu tidak diperkenankan, akan tetapi apabila perbuatan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri terhadap serangan, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, maka perbuatan itu diperkenankan.

Adapun perbuatan, yang dilakukan semata-mata untuk mencegah serangan itu diperkenankan, oleh karena orang yang justru menghadapi serangan pada

37 Satochid Kartanegara, 1989, Hukum Pidana, Bagian I, tanpa nomor cetakan, Balai

(42)

ketika itu dan untuk menunggu tindakan/ pertolongan dari perlengkapan/ alat negara, tidak ada waktu lagi dan akan terlambat.

Berangkat dari kerangka teoritis tersebut diatas secara yuridis tindakan eigenrechting ada kalanya diperkenankan, artinya tidak bersifat melanggar hukum asalkan dalam melakukan pembelaan tersebut tidak melampaui batas, dan seimbang dengan kepentingan yang dibelanya.

Namun demikian dalam konteks penegakan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan terpaksa untuk membela kepentingannya berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat 1 KUHP (noodweer), maka kewajiban dari penegak hukumlah tentunya yang harus membuktikan sifat dari pembelaannya itu.

Dalam hal ini Soerjono Seokanto, mengatakan seorang penegak hukum,

sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya

mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian

tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik

(“status conflict” dan “conflicy of roles”). Kalau didalam kenyataan terjadi suatu

kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnnya

dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan

(“role-distance”).38

Apabila kita merujuk pada pendapat Soerjono Soekanto, dapat dikatakan

bahwa peranan dan integritas penegak hukum sangatlah menentukan dalam hal

38 Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

(43)

penegakan hukum atau dengan kata lain bahwa aparat penegak hukum dengan

kewenangannya memiliki kewajiban utama dalam penegakan hukum.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut RE.Baringbing mengatakan, untuk

dapat menegakkan sendi-sendi hukum di Indonesia, maka integritas penegak

hukum merupakan salah satu yang utama yang harus dimunculkan. Aparat catur

wangsa yang tidak memiliki integritas, sama saja dengan melakukan pekerjaan

menghabiskan waktu, menumpuk persolan dan tuntutan.39

Beliau mengatakan para penegak hukum inilah yang secara langsung mempunyai wewenang dan kewajiban menegakkan hukum dengan cara membuktikan dan menyatakan kebenaran ataupun kesalahan dan sanksi berdasarkan hukum yang ada. Jika kebenaran dan keadilan hukum sudah dapat dilihat dan dirasakan masyarakat maka akan tercipta masyarakat yang taat hukum. Karena setiap pelaku perbuatan pelanggaran hukum pasti menanggung sanksinya, sehingga setiap orang pasti merasa takut melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

1.7.2. Hipotesa

Berangkat dari kerangka teoritis tersebut diatas, dapat ditarik hipotesa, bahwa :

1. Faktor penegak hukum memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrechting).

39 RE.Baringbing, 2001, Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Cet.I, Pusat Kajian

(44)

2. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) merupakan perbuatan melanggar hukum, namun ada kalanya diperkenankan asalkan dalam melakukan pembelaan tersebut tidak melampaui batas, dan seimbang dengan kepentingan yang dibelanya.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah emperis dengan melihat bagaimana fakta-fakta yang ada dilapangan khususnya berkaitan dengan tindak pidana main hakim sendiri dan Penegakkan Hukum di Wilayah Hukum Polresta Denpasar.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis yaitu pendekatan secara fakta yaitu mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan atau fakta-fakta yang ada sesuai permasalahan yang diangkat.

1.8.3. Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder.

(45)

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber pada fakra-fakta yang terjadi di lapangan terkait tindakan main hakim sendiri khusus di Pengadilan Negeri Denpasar dan Polresta Denpasar.

1.8.3.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelitian lapangan (Field Research), yaitu dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Narasumber yang memahami tentang permasalahan untuk memperoleh data yang konkret untuk menunjang pembahasan masalah dalam proposal ini.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis mempelajari literatur yang ada

hubungannya dengan topik permasalahan yang dikumpulkan sedemikian rupa

melalui membaca, mencatat, memberi catatan. Disamping itu penulis juga

mengadakan interview atau wawancara langsung dengan Hakim Pengadilan

Negeri Denpasar, Polresta Denpasar dan dengan para informan yang berkaitan

dengan permasalahan dan bahan hukum dengan mengkaji peraturan

perundang-undangan dan membaca literature lalu dicatat dalam catatan kecil dan dituangkan

kedalam karya ilmiah dengan mengkaitkan permasalahan yang dibahas.40

1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisis

(46)

Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul, maka data-data tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif. Yang dimaksud dengan teknik pengolahan data secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan memilih data dengan kualitasnya untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.41 Penyajiannya dilakukan secara kualitatif analisis

yaitu suatu cara analisa data yang dilakukan dengan jalan menulis yang paling berkualitas sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang ilmiah.

41 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. IV,

(47)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI

DAN PENEGAKAN HUKUM

2.1. Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting)

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Moeljatno meyatakan bahwa Pengertian Tindak Pidana berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yg melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.42

Kanter dan Sianturi, Pengertian Tindak Pidana didefinisikan suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang/ diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab). Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana.

Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana. Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan

(48)

paling umum untuk istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit.

Lebih lanjut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit). adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. 43

Beliau membedakan membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid an het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

Dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

(49)

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pengertian straafbaarfeit menurut Simons dalam rumusannya adalah Tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Rumusan pengertian tindak pidana (straafbaarfeit) yang dinyatakan oleh Simons juga diatur dalam asas hukum pidana Indonesia, yaitu asas legalitas (principle of legality) atau dalam bahasa latin biasanya dikenal dengan Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali. maksudnya bahwa Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, ketentuan yang senada dengan asas tersebut juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perundang-undangan Pasal tersebut.44

Tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana yang hanya dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana, dimana pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan asas yang berbeda yaitu dengan asas yang tidak tertulis Tiada pidana tanpa kesalahan. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Tindak Pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan ( crime atu

44 Wirjono Prodjo, SH, 1976, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan ke VI, Sumur

(50)

verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan seeara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

2.1.2. Pengertian tindakan main hakim sendiri (eigenrechting).

Tindakan atau tindak pidana adalah istilah yang dipakai dalam hukum pidana terhadap perbuatan yang dilakukan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggarnya.

Main hakim sendiri dalam pengertian umum sinonim dengan menghukum sendiri. Menghukum merupakan suatu perbuatan atau tindakan memberikan nestapa. Dalam konteks hukum pidana menghukum sendiri adalah perbuatan memberikan nestapa yang dilakukan sendiri tanpa melalaui alat-alat negara seperti hakim. hal mana perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana.45

Menghakimi sendiri (eigenrechting) ini memiliki hubungan erat dengan sifat melanggar hukum dari setiap tindak pidana. Biasanya dengan suatu tindak pidana seseorang menderita kerugian dan untuk meniadakan kerugian itu orang tersebut melakukan suatu perbuatan tanpa menunggu tindakan alat-alat negara. Perbuatan mana dilakukan dengan menggunakan kekerasan yang dapat masuk dalam perumusan tindak pidana.46

Dengan demikian menghakimi sendiri itu adalah sebagai perbuatan melawan hukum, karena untuk meniadakan kerugian itu seseorang melakukan kekerasan yang dapat diancam pidana.

45 Roeslan Saleh, 1983, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Cet.IV, Aksara

Baru, Yogyakarta, September, hal. 10.

46 Ny. Soemarni, Diktat Kuliah Hukum Acara Pidana, 1965/1966, Yayasan Universitas

(51)

Secara normatif tidak ada ketentuan yang dapat memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan main hakim sendiri. Untuk meniadakan kebekuan terhadap istilah dan pengertian tersebut kiranya penjelasan diatas dapat memberikan suatu pengertian secara umum dari tindakan main hakim sendiri.

Yang dimaksud dengan tindakan main hakim sendiri adalah suatu perbuatan dengan maksud untuk meniadakan kerugian yang diderita yang dilakukan dengan kekerasan terhadap orang atau barang, perbuatan mana dilakukan secara melawan hukum.47

2.1.3. Unsur-unsur tindakan main hakim sendiri ( eigenrechting ).

Dari pengertian tindakan main hakim sendiri tersebut diatas dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :

1) Unsur subyektif (strict liability) a) Adanya orang yang berbuat.

Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir. Untuk adanya perbuatan pidana diperlukan orang yang yang melakukan perbuatan.48

Yang dihukum sebagai orang yang melakukan disini dapat dibagi 4 macam yaitu :

i) Orang yang melakukan (plegen).

ii) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). iii) Orang yang turut melakukan (medeplegen).

47 Bambang Purnomo,1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, hal.

126.

48 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.Raja Grafindo Persada,

(52)

iv) Orang yang membujuk melakukan (uitlokking).49

b) Adanya maksud atau kehendak.

Kehendak disini maksudnya adalah niat dari keadaan si pelaku. Niat ini telah keluar dan diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan oleh undang-undang. Pidana pada umumnya dijatuhkan hanya pada Barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.

2) Unsur obyektif (criminal act). a) Dilakukan dengan kekerasan.

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah. Misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

b) Ditujukan terhadap orang atau barang.

Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang. Hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang.

c) Bersifat melawan hukum

Hal ini berkaitan dengan azas legalitas (pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menyatakan tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap tindak pidana. Hal ini harus dibuktikan unsur kemampuan bertanggung jawab dari perbuatan yang dilakukan. 50

2.1.4. Jenis-jenis tindakan main hakim sendiri (eigenrechting).

Referensi

Dokumen terkait

Artikel ini merupakan hasil penelitian dengan judul Rekonstruksi Formulasi Pengaturan Arahan Pengawasan dan Evaluasi Penataan Ruang dalam Perda RTRW Provinsi Maluku

Laporan tugas akhir ini merupakan salah satu prasyarat untuk memenuhi persyaratan akademis dalam rangka meraih gelar kesarjanaan di Jurusan Sistem Informasi,

Metode yang digunakan terhadap “Analisis Semiotik Dalam Kumpulan Puisi Love Poems ‘Aku dan Kamu’ Saduran Sapardi Djoko Damono,” adalah metode kualitatif deskriptif..

Bencana alam dapat menyebabkan kondisi lingkungan yang merugikan seperti banjir atau angin kencang+ Kerusakan structural dari kejadian seperti gempa bumi dapat mengubah

'as ienahara Pen%eluaran kas ienahara Penerimaan Piutan% retriusi kesehatan Perseiaan *at+*atan Penyisihan Piutan%. J%LA

[r]

Tesis yang ditulis oleh Maimunah mahasiswi pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan judul Produktivitas Pada Wazan FI’il S|ula>si pada tahun

Sistem fonologi dalam pembahasan ini mencakup identifikasi fonem segmental dan pembuktian fonem, distribusi fonem, vokal rangkap, gugus konsonan, dan pola persukuan.Masalah