SKRIPSI
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PENYELUNDUPAN PENYU DI WILAYAH HUKUM
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
IDA BAGUS KOMANG PARAMARTHA NIM. 1203005062
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
SKRIPSI
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PENYELUNDUPAN PENYU DI WILAYAH HUKUM
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
IDA BAGUS KOMANG PARAMARTHA NIM. 1203005062
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN PENYU DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR” ini, dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktek. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immateriil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
6. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH., MH., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat, dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
7. Bapak I Ketut Keneng, SH.,M.H., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
9. Bapak dan Ibu Staff Laboratorium, perpustakaan, dan tata usaha yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 10. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi
ini.
11. Informan yang banyak membantu penulis dalam memberikan informasi yang tidak sebutkan namanya satu persatu.
vi
7
12. Kepada keluarga penulis Ayah tercinta (Alm) Ida Bagus Kade Sandi Adnyana, Ibu tercinta Ida Ayu Putu Raka Widiati dan kedua kakak tersayang Ida Ayu Putu Widi Udian dan Ida Ayu Kade Sawitri terimakasih atas doa, kasih sayang serta dorongan morilnya selama penulis mengikuti pendidikan. Terimakasih atas kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani serta memberikan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan dasar sampai dalam menyelesaikan studi Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
13. Kepada orang terdekat dan tersayang penulis Ida Ayu Gede Pradanyaningrat terimakasih atas dorongan dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
14. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis Gede Adi Nugraha, Nyoman Satria Wibawa, Arista Wirdiantara, Gusti Ngurah Satria Wibawa, Alex, Pebri Dirgantara, Arik Widiyatmika, Erik Hendrawan, Ariesta Wiryawan, Bima Prastama, Kevin Saputra, Taka, yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.
15. Rekan-Rekan angakatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Udayana, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Semoga mereka yang telah mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap langkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, Dengan kerendahan hati, penulis
vii
8
menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.
Denpasar, 22 Maret 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
11 DAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN PENYU ... 26
2.1. Pengertian Penegakan Hukum ... 26
2.2. Tindak Pidana Penyelundupan Penyu ... 33
BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN PENYU DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR ... 41
3.1. Perlindungan Penyu di TCEC (Turtle Conservation and Education Center) ... 41
3.2. Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar ... 45
3.3. Data Tindak Pidana Penyelundupan Penyu di Bali ... 67
3.4. Data Perkara Tindak Pidana Penyelundupan Penyu Yang Diputus Oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar ... 69
BAB IV FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN PENYU DAN PENGHAMBAT PENEGAKAN HUKUMNYA ... 75
4.1. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Penyelundupan Penyu ... 75
xi
12
4.1.1. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Penyelundupan Penyu Berdasarkan Penelitian di
Direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali ... 75
4.1.2. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Penyelundupan Penyu Berdasarkan Penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar ... 77
4.2. Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Penyu ... 78
4.3. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Penyelundupan Penyu... 81
4.4. Upaya-Upaya Mengatasi Hambatan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Penyelundupan Penyu ... 84
BAB V PENUTUP ... 88
5.1 Simpulan ... 88
5.2 Saran ... 89
DAFTAR INFORMAN ... 90
DAFTAR PUSTAKA
xii
ABSTRAK
Penyu adalah salah satu hewan langka yang ada di Indonesia yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Kehidupan penyu dan jumlah populasi setiap tahunnya mengalami penurunan dan terancam punah, akibat ulah manusia yang melakukan penyelundupan dan perdagangan penyu secara ilegal. Untuk menanggulangi kejahatan ini, Indonesia membentuk Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mengatur tentang perlindungan terhadap penyu.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar serta mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya.
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum empiris dan diperoleh kesimpulan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar melalui sebuah proses sistem peradilan pidana dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan sidang pengadilan. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu belum efektif, masih terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu. Disamping itu faktor penyebab terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor ekternal, serta penghambat penegakan hukumnya adalah kurangnya personil polisi, kurangnya sarana dan prasarana, serta penjatuhan sanksi yang terlalu ringan oleh hakim.
Kata kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana, Penyelundupan Penyu
14
ABSTRACT
Turtle is one of the rare animals that exist in Indonesia which are protected by the Government of Indonesia. Turtle life and the number of population annually declining and endangered due to human activiies are doing the smuggling and illegal trade of sea turtles. In order to combat those crime, Indonesia established Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems, which regulates the protection of sea turtles.
The purpose of this paper is to investigate the law enforcement against criminal acts of smuggling of turtles in the Denpasar District Court jurisdiction and determine the factors that cause the occurrence of criminal smuggling of turtles in Bali and inhibiting enforcement.
Legal research methods used in this paper is the method of empirical legal research and we concluded that the enforcement of the law against the crime of smuggling of turtles in the jurisdiction of the Denpasar District through a process of the criminal justice system of the level of investigation, the investigator compliment up to the trial court. Law enforcement againts turtle smuggling has not been effective, there are still criminal acts of turtles smuggling. Besides, the causes of the crime of smuggling of turtles is caused by two factors: internal factors and external factors , as well as inhibitors of law enforcement is the lack of police personnel , lack of facilities and infrastructure , as well as the imposition of sanctions which are too light by the judge.
Keywords : Law Enforcement , Crime , Smuggling Turtles
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam,
baik hayati maupun non hayati. Sumber daya alam hayati Indonesia dan
ekosistemnya mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan manusia
khususnya bagi penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam
hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan
penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu
dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya, baik masa kini maupun masa depan sejalan dengan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak
terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol
dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup
tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan
sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Mengingat akan
dampak negatif tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai
2
tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan melindungi berbagai macam
satwa-satwa langka yang ada di Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan satwa yang beragam. Sederet rekor dan catatan
kekayaan dimiliki oleh negeri ini. Namun Indonesia juga merupakan salah satu
penyumbang kepunahan satwa di dunia. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya
perburuan-perburuan liar dan perdagangan ilegal yang dilakukan di Indonesia. Makin
lama, semakin panjang daftar jenis satwa Indonesia yang masuk dalam kategori
terancam kepunahan. Salah satu satwa yang terancam punah di Indonesia adalah
penyu. Penyu adalah salah satu satwa langka peninggalan dari zaman purba yang
dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Kehidupan penyu saat ini mulai terancam
punah akibat gangguan-gangguan oleh manusia, predator, lingkungan maupun penyu
itu sendiri. Penyu merupakan satwa langka yang bukan hanya milik negara tertentu
saja, akan tetapi menjadi milik dunia sehingga semua bangsa di dunia
berkepentingan untuk menjaga kelestariannya.
Penyu merupakan hewan langka yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia
tentu saja memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, sehingga terjadi perdagangan
dan penyelundupan penyu yang terjadi di perairan Indonesia. Penyelundupan satwa
penyu merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, di mana tindak pidana ini
melibatkan banyak pihak mulai dari pemburu sampai dengan eksportir. Oleh karena
itu, sangat penting bagi Indonesia memiliki pengaturan yang tegas mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan penyelundupan penyu. Sebagai negara kepulauan dengan
3
rentan terhadap berbagai bentuk penyelundupan, termasuk salah satunya
penyelundupan satwa penyu.
Negara-negara di dunia membentuk suatu perjanjaian yang dinamakanCITES
(Convention on International Trade in Endangered Species) adalah suatu Perjanjian
Internasional antar pemerintah (Negara Anggota) yang ditandatangani di
Washington, D.C., pada tanggal 3 Maret 1973.1 Selanjutnya diubah di Bonn, Jerman
Barat, pada tanggal 22 Juni 1979, yang kemudian diratifikasi dengan Keputusan
Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Tujuan dari CITES itu sendiri adalah untuk
memastikan bahwa perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar (atau
bagian dan produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya) tidak
mengancam kelestariannya.CITESmerupakan perjanjian yang memuat tiga lampiran
(appendix) yang terdiri dari :
a. Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial,
b. Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam
kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan
terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,
c. Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang
telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan
habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota
1
Chairul Saleh dkk. 2005,Peraturan Perundang-Undangan Penanganan Kasus Peredaran
4
CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I.2
Penyu secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, hal
ini berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan
tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.3
Setelah diratifikasinya CITES, pemerintah Indonesia mengambil langkah
bertahap untuk melindungi penyu laut. Langkah awal pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap satwa penyu dimulai dari Tahun 1978 melalui Keputusan
Menteri Pertanian No. 237/Kpts/Um/5/1978, tanggal 29 Mei Tahun 1978, tentang
Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi dan memberikan status
terlindungi untuk jenis penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Tahun 1980
melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980, tanggal 4 Oktober
Tahun 1980 tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi,
memberikan status terlindungi untuk jenis penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan
penyu tempayan (Caretta-caretta). Tahun 1990 melalui Undang-undang No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Larangan
terhadap segala bentuk eksploitasi terhadap Satwa yang dilindungi. Tahun 1996
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996, tentang Penetapan
Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk
jenis Penyu Pipih (Natatordepressa). Tahun 1996 melalui Keputusan Menteri
Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang
2
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO_III01/IV_III01.htm, (diakses tanggal 26 Oktober 2015).
3
5
Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis penyu sisik (Eretmochelys
imbricata). Tahun 1999 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, Perlindungan terhadap semua jenis penyu di Indonesia,
termasuk penyu hijau.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut Undang-undang KSDAHE)
merupakan payung hukum untuk memberi perlindungan terhadap berbagai jenis
tumbuhan dan satwa, salah satunya adalah penyu. Larangan terhadap segala aktivitas
pemanfaatan satwa-satwa yang dilindungi, sudah sangatlah jelas diatur sebagaimana
ketentuan dalam Undang-undang KSDAHE, Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi :
Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di indonesia ke tempat lain didalam atau diluar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi.
Ketentuan dari larangan-larangan di atas, diikuti pula dengan sanksi-sanksi
dari tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Sebagaimana juga diatur dalam
6
1. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
5. tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
Selain sanksi pidana sesuai ketentuan diatas, perdagangan terhadap satwa liar
yang dilindungi khususnya penyu laut juga diancam dengan sanksi denda, yaitu
sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar diatur dalam Pasal 56
menyatakan :
1. barang siapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi hukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal21 Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. berbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta
dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan ijin usaha yang bersangkutan.
Disahkannya undang-undang ini dipandang sebagai suatu bentuk keseriuasan
7
penyelundupan penyu serta telah mampu mengisi kekosongan legislasi terkait
dengan penyelundupan penyu.
Akan tetapi nyatanya undang-undang tersebut belum mampu mengatasi
permasalahan terkait dengan penyelundupan penyu secara signifikan. Bahkan
pergerakan kegiatan penyelundupan penyu di wilayah Indonesia masih terjadi.
Khususnya di Provinsi Bali tepatnya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar
sering terjadinya penyelundupan penyu. Ini terbukti dari laporan Kepolisian Daerah
Bali pada bulan Agustus tahun 2014, kepolisian menggagalkan penyelundupan 17
penyu dari Banyuwangi. Dalam 2013, setidaknya lima kasus penyelundupan dengan
total bukti 85 penyu, serta 77 telur penyu. Pada Desember 2012, Polda Bali berhasil
menggagalkan penyelundupan 33 penyu.4
Walaupun Polisi sudah berhasil menggagalkan penyelundupan penyu di Bali,
namun praktek penyelundupan penyu masih marak terjadi, salah satu kasus
penyelundupan penyu yang tidak berhasil di gagalkan oleh pihak kepolisian terkait
penyelundupan karapas penyu dari Bali ke Turki. Selain itu penyelundupan penyu
yang masuk ke Bali juga melibatkan seorang oknum anggota Polair Polda Bali.
Pernyataan ini disampaikan LSM Pro Fauna terkait tertangkapnya seorang oknum
anggota Polair Polda Bali, berinisial MR, di Pantai Pandawa, Kutuh, Kuta Selatan,
Badung pada, Kamis (27/12/2012) malam lalu.5 MR ditangkap dalam kaitan dengan
dugaan penyelundupan 22 ekor penyu langka. Dan berdasarkan Konservasi Satwa
4
http://www.mongabay.co.id/2014/11/21/sita-51-penyu-hijau-kapolda-bali-target-penyelundupan/ (diakses tanggal 26 Oktober 2015).
5
8
Bagi Kehidupan (KSBK) beberapa waktu lampau mengungkapkan, perdagangan
daging, telur dan masakan daging penyu hijau terjadi secara bebas. Mulai restoran
besar hingga pedagang kecil, beberapa lokasi restoran yang dikenal menjual daging
penyu ada di Denpasar Barat, Denpasar Selatan, dan sedikit Denpasar Timur,6 yang
tidak ditangani serius oleh pihak Kepolisian. Ini berarti bahwa perdagangan penyu di
pulau Bali masih saja terjadi.
Tentu saja dalam hal ini walaupun penegak hukum sudah bekerja secara
maksimal untuk mencegah terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu dan
perdagangan daging penyu di Bali, namun penyelundupan dan perdagangan penyu
masih saja terjadi. Bahkan oknum anggota Kepolisian juga terlibat dalam tindak
pidana penyelundupan penyu di Bali, tentu saja ini menjadi keperihatinan bagi kita
semua, seharusnya oknum anggota Kepolisian sebagai penegak hukum bekerja
secara maksimal untuk mencegah terjadinya penyelundupan penyu di Bali.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas,
maka menarik untuk ditulis dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Penyu di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya terkait
dengan uraian latar belakang diatas ialah sebagai berikut:
6
9
1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan
penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar?
2. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan
yang akan diuraikan, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Menguraikan penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan
penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
2. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
1. Untuk memahami tentang bagaimana penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Denpasar.
2. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta
mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.
3. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahan
hukum dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan
10
4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk memahami penegakan hukum terhadap tindak pidana
penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri
Denpasar.
2. Untuk memahami faktor yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan
hukumnya.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan laporan ini, diantaranya:
1.5.1. Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pengembangan ilmu hukum.
2. Untuk memperluas khasanah berpikir tentang penegakan hukum
terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah
Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan tambahan referensi bagi institusi pendidikan dan
mahasiswa dalam penelitian hukum pidana khususnya mengenai
penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu
11
2. Bagi masyarakat, memberikan pengetahuan praktis mengenai
hukum pidana dalam hal penegakan hukum terhadap tindak
pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Denpasar.
1.6 Landasan Teori
1. Teori Penanggulangan Kejahatan
Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan
waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama
kejahatan di ibukota dan kota-kota kecil. Upaya penanggulangan kejahatan
telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada
umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus
mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah
tersebut.7
Dalam pelaksanaannya, ada dua upaya yang digunakan untuk
menanggulangi kejahatan yaitu :
1. Upaya pencegahan (preventif)
Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk
mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah
kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi
lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu
usaha-7
Dedot Kurniawan, 2013, Upaya Penanggulagan Hukum, (diakses tanggal 28 Oktober
12
usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak
terjadi lagi kejahatan ulangan.
Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya
preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan
ekonomis.8
Terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan :
a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk
mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan
sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah
laku seseorang ke arah perbuatan jahat.
b. Memusatkan perhatian kepada individu-indivdu yang
menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun
potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan
psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis
yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang
harmonis.
Dari cara tersebut diatas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita
tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang
mempengaruhi seseorang kearah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan
pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak
8
Adam Chazawi, 2001,Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta,. h.
13
dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor
yang sekunder saja.9 Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita
melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu
kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang
menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya
seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong
timbulnya perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan
ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.10
2. Upaya penanggulangan (represif)
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara
konsepsional yang tempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan
dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan
sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka
sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang
melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan
mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat
sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.
Upayarepresif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode
perlakuan (treatment)dan penghukuman(punishment).Lebih jelas uraiannya
sebagai berikut :
9 Ibid. 10
14
a. Perlakuan (treatment)
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, yang membedakan berat
dan ringannya suatu perlakuan adalah :
1. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya
perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum
terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu
penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha
pencegahan.
2. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya
tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si
pelaku kejahatan.11
Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah
tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya.
Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali
sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di
dalam masyarakat seperti sedia kala.
b. Penghukuman(punishment)
Jika ada pelanggaran hukum yang tidak memungkinkan untuk
diberikan perlakuan, mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya
kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang
11
Muladi, Barda Nawawi Arief, 2005,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
15
sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Oleh karena
Indonesia sudah menganut sistem permasyarakatan, bukan lagi sistem
kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem
permasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah
hukuman yang semaksimal mungkin dengan berorientasi pada pembinaan
dan perbaikan pelaku kejahatan.
Jadi dengan sistem permasyarakatan, di samping narapidana harus
menjalani hukumannya di lembaga permasyarakatan, mereka pun dididik dan
dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar
menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi
seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan
jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat,
sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara
menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan
didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia
bertempat tinggal.
2. Teori Penegekan Hukum
Hukum merupakan suatu sarana dimana di dalamnya terkandung
nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran kemanfaatan
sosial dan sebagainya. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
penegakan ide-ide atau konsep-konsep, penegakan hukum merupakan usaha
untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi
16
kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum
bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal
secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun
demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang
bertanggung jawab.
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi penegakan hukum
merupakan usaha mengumpulkan ide dan konsep-konsep tadi untuk menjadi
kenyataan. Satjipto Raharjo juga membedakan istilah penegakan hukum
dengan penggunaan hukum. Tetapi penegakan hukum adalah dua hal yang
berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tapi
orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian
tujuan atau kepentingan lain.12
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti
perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Penegakan
hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana
tersirat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan
asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab,
12
Satjipto Raharjo, 2006, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, h.
17
agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif
akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.13
Penegakan hukum dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan
berupa penegakan hukum dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli
dibidangnya dan dalam penegakan hukum akan lebih baik jika penegakan
hukum mempunyai pengalaman praktik berkaitan dengan bidang yang
ditanganinya.
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai
suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh hukum.
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah
semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam
kenyataan di Indonesia kecendrungannya adalah seperti tersebut. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa
masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti
yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada faktor
tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
13
18
a. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
e. Faktor berbudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.14
Dalam proses penegakan hukum, terdapat beberapa unsur-unsur yang
harus di perhatikan dalam penegakan hukum adalah :
a. Kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. b. Kemanfaatan
Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum.
c. Keadilan
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.15
Dalam penegakan hukum juga terdapat undang-undang dalam arti
material adalah peraturan tertulis yang berlaku dan dibuat oleh penguasa
pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang
tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang
tersebut mempunyai dampak positif. Asas tersebut adalah :
14
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, ( selanjutnya disingkat soerjono soekanto I) h. 8. 15
Sudikno Mertokusumo, 1999,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.
19
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi;
c. Mempunyai kedudukan yang tinggi;
d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan
undang-undang yang bersifat umum, apabila perbuatannya sama;
e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan
undang-undang yang dibuat terdahulu;
f. Undang-undang tidak bisa diganggu gugat;
g. Undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian maupun pembaharuan.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,
yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan
inspirasi masyarakat. Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan
warga masyarakat lainnya yang mempunyai beberapa kedudukan dan peranan
sekaligus. Peranan penegak hukum sangatlah penting, oleh karena
pembahasan terhadap penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada
diskresi. Diskresi juga menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat
terkait oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peran.
3. Teori Kriminologi
Berdasarkan teori-teori kriminologi mengenai sebab-sebab kejahatan,
dapat diketahui faktor-faktor timbulnya kejahatan. Kejahatan pada umumnya
20
(unsur physic dan physis) dan lingkungan (Alam dan Masyarakat) sehingga
dapat diperinci yakni keturunan buruk, cacat jasmani, rohani tidak seimbang,
cacat mental, ketidakamanan emosi, kurang pendidikan, lingkungan yang
menyedihkan, pergaulan dengan orang-orang jahat, kemiskinan.16
Mengenai faktor-faktor terjadinya kejahatan, H. Hari Saherodji
mengatakan bahwa kejahatan timbul karena adanya dua faktor yaitu:
1. Faktor intern (faktor yang terdapat pada individual) dapat ditinjau dari:
a. Sifat-sifat umum dari individu : umur, sex, kedudukan individu
dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah rekreasi/hiburan
individu, dan agama individu.
b. Sifat-sifat khusus dari individu adalah sifat kejiwaan dari individu.
2. Faktor ekstern (faktor-faktor yang berada di luar individu). Faktor ini
berpangkal tolak dari lingkungan dan dicari hal-hal yang mempunyai
korolasi dengan kejahatan seperti waktu kejahatan, tempat kejahatan,
keadaan keluarga dalam hubungannya dengan keluarga.17
Untuk memahami sumber dan sebab-sebab kejahatan tersebut
hendaknya tidak hanya dilihat dari faktor intern (faktor individu) saja atau
hanya dilihat dari faktor ektern (faktor-faktor yang berada di luar individu),
tetapi keduanya unsur tersebut sangat penting dan perlu di perhatikan. Perlu
diingat bahwa kejahatan tidak memiliki pengertian tunggal sebab kejahatan
16
B. Simanjuntak, 1997,Pengantar Kriminologi dan Patalogi Sosial, Tarsito, Bandung, h.
26. 17
21
adalah variasi dari sekian banyak perbuatan melanggar hukum yang terjadi
dalam masyarakat. Apabila kejahatan itu telah terjadi, maka sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, pelaku kejahatan dapat dikenai sanksi hukuman
atau sanksi karena perbuatan tersebut telah melanggar peraturan yang
berlaku, disamping itu telah mengganggu kemanan dan ketertiban dalam
masyarakat.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum empiris,
dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala
empiris yang diamati di dalam kehidupan nyata. Peter Mahmud Marzuki,
menyatakan penelitian hukum empiris adalah data yang diperoleh langsung
dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan,
yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran
kuisioner.18 Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan
antara teori dan realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta
hukum, dan atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan
sistem akademik. Penelitian hukum empiris atau sosiologis lebih
menitikberatkan pada penelitian data primer yaitu melalui wawancara.
18
Peter Mahmud Marzuki, 2005,Penelitian Hukum, Kencana Predia Media Group, Jakarta,
22
1.7.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yakni
“penelitian secara umum termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum,
bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat”.19
1.7.3. Data dan Sumber Bahan Hukum
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris adalah
menggunakan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama20
dilapangan dimana data itu berasal dari observasi dan pengamatan tentang
informan. Informasi yang diperoleh dari wawancara itu di dalamnya
termasuk fakta-fakta, pendapat dan persepsi.
2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber
pertamanya, melainkan sumber dari data-data yang sudah terdokumenkan
dalam bentuk bahan-bahan hukum.21 Bahan hukum sekunder adalah
bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer
di antaranya: Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari pakar
huku/literatur, jurnal, makalah dan sebagainya.22 Penulis menggunakan
19
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,
Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43. 20
Amirudin dan H. Zaenal Azikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta., h. 30. 21
Burhan Ashshofa, 2007,Metode Penelitian Hukum, Cet. V, Rineka Cipta, Jakarta., h. 103. 22
23
bahan hukum sekunder berupa buku-buku atau literatur, hasil karya dari
kalangan hukum serta artikel-artikel yang diperoleh melalui media cetak
maupun media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan diangkat
dalam penelitian ini.
3. Sumber bahan hukum terseir, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
diantaranya kamus, ensiklopedi dan indeks komulatif.23 Disini penulis
juga menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sumber bahan
hukum tersier.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian Ilmu Hukum dengan Aspek Empiris, maka dalam
teknik pengumpulan data ada beberapa teknik yaitu studi dokumen,
wawancara (interview). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah melalui:
a. Teknik Wawancara: dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
pertanyaan kepada informan yang dirancang atau yang telah
dipersiapkan sebelum untuk memperoleh jawaban-jawaban yang
relevan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian.
Dan dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian
diolah dan dianalisa.24 Dalam teknik wawancara yang dilakukan
23
. Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, 2001,Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1, Cet. 6, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13. 24
24
penulis informan terdiri dari pihak Dit. Pol Air Polda Bali, Hakim
Pengadilan Negeri Denpasar, dan Pengelola TCEC (Turtle
Concervation and Education Center).
b. Dokumen: studi pustaka ini diperoleh dengan cara mempelajari kitab
peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, jurnal, dan
bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung
penyusunan skripsi ini.
1.7.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik
sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposif sampling yakni
sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan/penelitian subyektif dari
penelitian, jadi dalam hal ini penelitian menentukan sendiri responden mana
yang dianggap dapat mewakili populasi.25
1.7.6. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dengan analisis
kualitatif. Adapun yang dimaksudanalisis kualitatifadalah analisa yang tidak
digambarkan dengan angka-angka tetapi berbentuk penjelasan dan
pendeskripsian, dan data yang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian
kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak
dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi.26 Jadi sampel lebih kepada non
probabilitas dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara ke
25
Ibid, h. 91. 26
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah
25
lapangan yang disusun secara sistematis dan di analisis dengan menggunakan
26
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENEGAKAN HUKUM DAN TINDAK
PIDANA PENYELUNDUPAN PENYU
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana
penegakan hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Penegakan hukum
yang dikaitkan dengan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan tentunya
berkaitan dengan masalah penegakan hukum pidana. Tujuan ditetapkannya hukum
pidana adalah sebagai salah satu sarana politik kriminal yaitu untuk “perlindungan
masyarakat” yang sering pula dikenal dengan istilah “social defence”.27
Menurut Barda Nawawi, ada 4 aspek dari perlindungan masyarakat yang
harus juga mendapatkan perhatian dalam penegakan hukum pidana, yaitu:28
a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial
yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini,
maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan
kejahatan.
b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya
seseorang. Oleh karena itu wajar pula, apabila penegakan hukum pidana
27
Barda Nawawi Arief, 1998,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 11. 28
27
bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan
mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan
menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan
sanksi atau reaksi dari penegakan hukum maupun dari masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana
harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang
sewenang-wenang dilakukan hukum.
d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang tergantung sebagai
akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan
hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan manusia. Hukum harus dilaksanakan
agar kepentingan manusia terlindungi. Pelaksanaan dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Hukum yang dapat
dilanggar itu dalam hal ini harus ditegakkan melalui penegakan hukum inilah hukum
itu menjadi kenyataan.
Ada 3 unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu:29
29
28
1. Kepastian hukum (rechtssicherheit);
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. 2. Kemanfaatan (zweckmassigkeit); dan
Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum. 3. Keadilan (gerechtigkeit).
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.
Penegakan hukum (pidana), apabila dilihat dari suatu proses kebijakan maka
penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui
beberapa tahap, yaitu:30
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Tahap ini disebut tahap legislatif.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkrit oleh aparat penegak hukum. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap
mengenjawantahkannya dalam sikap dan tindakan sebagai serangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Tegaknya hukum
ditandai oleh beberapa faktor yang saling berkaiatan erat yaitu hukum dan
aturannya.31
30
Teguh Prasetyo & Abdul Halim, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 111.
31
29
Penegakan hukum tidak hanya mencakup Law enforcement tetapi juga
Peace maintenance.32Hal ini karena pada hakekatnya penegakan hukum merupakan
proses penyesuaian antara nilai-nilai, keadaan-keadaan dan pola perilaku nyata, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum
adalah mencapai keadilan.
Penegakan hukum dalam Negara dilakukan secara preventif dan represif.
Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan
pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan
pada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Sedangkan penegakan hukum represif
dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi ternyata masih juga terdapat
pelanggaran hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka hukum harus ditegakkan secara
preventif oleh alat-alat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan
hukum represif pada tingkat operasionalnya didukung dan melalui berbagai lembaga
yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada
dalam kerangka penegakan hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
sampai kepada lembaga pemasyarakatan.33
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat
diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang kongkrit. Hukum itu harus
berlaku sebagaimana mestinya dan pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang,
Fiat Justitia et pereat Mundus (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan).
Hal itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan
32 Ibid 33
30
perlindunggan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam kepastian tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya
kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan untuk adanya ketertiban masyarakat, sebaliknya
masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa suatu proses penegakan hukum sangat
dipengaruhi oleh budaya yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Hukum adalah
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai justru karena hukumnya
dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.
Unsur penegakan yang lain adalah keadilan. Masyarakat sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan harus
diperhatikan. Proses pelaksanaan atau penegakan hukum harus dilakukan secara adil,
hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, setiap orang yang
mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Keadilan
bersifat sebaliknya yaitu bersifat subyektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.34
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
34
31
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:35
a. Faktor hukum itu sendiri, misalnya Undang-undang.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana dan aktifitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada
efektifitas penegakan hukum. Unsur-unsur yang terkait dalam menegakkan hukum
sebaiknya harus diperhatikan, kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan
kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau
yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan
dikorbankan dan begitu selanjutnya.
Seseorang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya tanpa adanya kepastian
hukum dan akhirnya timbul keresahan. Rasa tidak adil dan kaku juga akan timbul
apabila terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum dan terlalu ketat mentaati
peraturan hukum. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus
ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat: Lex dura sed tamen scripta (undang-undang itu kejam,
tetapi memang demikianlah bunyinya). undang itu tidak sempurna.
Undang-undang itu memang tidak mugkin mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas.
35
32
Undang-undang itu adakalanya tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu
tidak jelas. Undang-undang harus dilaksanakan meskipun tidak lengkap atau tidak
jelas.
Hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang dalam hal
terjadi pelanggaran undang-undang. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Pasal 10 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Asas penegakan hukum yang tepat, sederhana dan berbiaya ringan hingga
saat ini belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan masyarakat.
Sejalan dengan itu pula, masih banyak ditemui sikap dan perilaku aparat penegak
hukum yang merugikan masyarakat maupun keluarga korban. Harus diakui juga
bahwa banyak anggota masyarakat yang masih sering melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Contohnya yaitu mempengaruhi
aparatur hukum secara negatif dan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada
proses penegakan hukum yang bersangkutan, yang ditujukan pada diri pribadi,
keluarga anak/kelompoknya.36
Faktor-faktor yang mempengaruhi belum berperannya masyarakat secara baik
dan optimal sesuai ketentuan dalam proses penegakan hukum tentu banyak sekali.
Peran masyarakat tentunya sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum,
selain itu tentu masih banyak ditemui hambatan/kendala-kendala yang merugikan
masyarakat selama proses penegakan hukum tersebut.
36
Soerjono Soekanto, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia,Rineka Cipta,
33
2.2 Tindak Pidana Penyelundupan Penyu
Berbicara mengenai tindak pidana penyelundupan penyu tentu saja kita harus
mengetahui terlebih dahulu mengenai tindak pidana, penyelundupan dan penyu itu
sendiri. Tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit dalam Bahasa
Belanda yang digunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kata feit dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sedangkan
strafbaar berarti dapat dihukum. Jadi secara harafiah strafbaar feit dapat
diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.37
Sesungguhnya penggunaan istilah strafbaar feit sendiri tidak dilengkapi dengan
penjelasan resmi mengenai makna dari istilahnya. Sehingga muncul beberapa doktrin
terkait dengan terjemahan serta perumusan terkait dengan istilah strafbaar feit
diantaranya perbuatan yang boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana,
delik (yang berasal dari Bahasa Latin yaitudelictum) dan tindak pidana.
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum.38 Adapula Moeljatno yang
menterjemahkan istilah strafbaar feit menjadi perbuatan pidana, yaitu perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
37
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ketiga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 181. 38
34
yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.39
Mr. R. Tresna memilih menggunakan istilah peristiwa pidana ialah suatu perbuatan
atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan lainnya, terhadap perbuatan tersebut diadakan tindakan penghukuman.40
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro merumuskan tindak pidana atau yang dalam istilah
asing tersebut delict sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.41
Perbedaan penggunaan istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi
masalah, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami
maknanya.42 Maka istilah tersebut dapat digunakan secra bergantian, bahkan dalam
konteks yang lain digunakan istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang
sama. Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, untuk selanjutnya penulis akan
menggunakan istilah tindak pidana sebagaimana yang digunakan dalam baik dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Berbicara mengenai tindak pidana maka tidak lepas dari unsur-unsur yang
dimilikinya setiap tindak pidana, sebab seseorang hanya dapat dipersalahkan karena
telah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan apa yang diatur dalam Kitab
39
Moeljatno, 2002,Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. Ketujuh, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 54.
40
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni
Ahem-Petehaem, Jakarta, h. 204. 41
Wirjono Prodjodikoro, 2002,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 2, Cet. Ketujuh,
Refika, Bandung, h. 55. 42
Tongat, 2008,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia: Dalam Persepektif Pembaharuan,
35
Undang-Undang Hukum Pidana jika telah memenuhi unsur-unsur yang telah
dirumuskan dalam undang-undang diantaranya:43
1. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun unsur-unsur subyektif
dari suatu tindak pidana ialah :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat dalam
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang
terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut (vress) seperti yang terdapat dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.
2. Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan dimana dalam keadaan-keadaan tersebut tindakan-tindakan si pelaku
harus dilakukan. Unsur-unsur obyektif tersebut diantaranya :
a. Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid);
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai
negeri dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
43
36
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Sedangkan istilah “penyelundupan”, “menyelundup” sebenarnya bukan istilah
yuridis. Ia merupakan pengertian gejala sehari-hari, dimana seseorang secara
diam-diam atau sembunyi-sembunyi memasukkan atau mengeluarkan barang-barang ke
atau dari dalam negeri dengan latar belakang tertentu.44
Latar belakang perbuatan demikian ialah untuk menghindari bea cukai (faktor
ekonomi), menghindari larangan yang dibuat oleh pemerintah seperti senjata api,
amunisi, dan sejenisnya, narkotika (faktor keamanan) dan lain-lain. Penyelundupan
dalam arti ini adalah dalam pengertian luas. Sedangkan dalam pengertian sempit
mengenai penyelundupan terdapat di dalam Keputusan Presiden No. 73 Tahun 1967
pada Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “tindak pidana penyelundupan ialah tindak
pidana yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke
luar negeri (ekspor) atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke Indonesia
(impor).45
Pengertian Penyelundupan sebagaimana yang dimuat dalam Keputusan
Presiden No. 73 Tahun 1967 sama dengan Pengertian Penyelundupan yang dimuat
dalam the New Grolier Webster International Of English Languange (Volume II,
halaman 916) yang berbunyi “To Import or export secretly and contrary to law,
44
Hamzah, 1985,Delik Penyelundupan, Akademi Pressindo, Jakarta, h. 1.
37
without payment of legally required duties” yang dalam terjemahannya adalah
“mengimpor atau mengekspor secara rahasia dan bertentangan dengan hukum yang
ditentukan dengan sah”46
Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan dalam bahasa Inggris “smuggle”
dan dalam bahasa Belanda “smokkel” yang artinya mengimpor, mengekspor,
mengantar pulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan Perundang-undangan
yang berlaku atau tidak memenuhi formalitas pabean (douneformaliteiten) yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.47
Dalam Law Dictionary,48 Secara umum jenis-jenis penyelundupan dapat
dibagi dalam dua jenis yaitu sebagai berikut : Penyelundupan diartikan dalam
terjemahannya adalah pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang
dilarang, atau pelanggaran atas pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang
yang tidak dilarang, tanpa membayar bea yang dikenakan atas Undang-undang Pajak
tau Bea Cukai. Dari pengertian penyelundupan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hakekat dari penyelundupan adalah untuk menghindari bea masuk atau bea
keluar, supaya mendapatkan keuntungan yang besar.
Pengertian tindak pidana penyelundupan dalam kamus bahasa Indonesia
adalah kata “tindak” yang artinya langkah dan perbuatan. Kata “pidana” yang
artinya kejahatan. Sedangkan kata “penyelundupan” yang kata dasarnya adalah
46
Baharudin Lopa, 1992, Tindak Pidana Ekonomi (Pembahasan Tindak Pidana
Penyelundupan), Pradnya Paramita, Jakarta, h. 22. 47
Soufnir Chibro, 1992, Pengaruh Tindak Pidana Penyeludupan Terhadap Pembangunan,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 5. 48
38
“seludup” artinya menyuruk, masuk dengan diam-diam, menukik dan menyelinap.
Jadi kata “penyelundupan” adalah proses, cara, perbuatan menyelundup.
Secara umum jenis-jenis penyeludupan dapat dibagi dalam dua jenis yaitu
sebagai berikut :49
1. Penyelundupan Impor, adalah suatu perbuatan memasukkan
barang-barang dari luar negeri kedalam wilayah Indonesia dengan tidak
memenuhi prosedur yang ditentukan bagi pemasukan barang-barang dari
luar negeri.
2. Penyelundupan Ekspor, adalah pengeluaran barang-barang dari Indonesia
keluar negeri tanpa melalui prosedur untuk itu.
Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa tindak pidana penyelundupan
(smuggling atau Smokkle) merupakan pelanggaran dalam ekspor atau impor,
perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan cara diam-diam atau menyelinap,
dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
menimbulkan kerugian bagi negara.
Indonesia telah mengatur sanksi pidana penyelundupan dalam ketentuan
Pasal 102, Pasal 102 A dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan , khususnya tindak pidana penyelundupan di bidang impor
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); dan tindak
49
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany, Amir Mushsin, 1987,Kejahatan-Kejahatan Yang