• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan Perilaku Kekerasan Pada Siswa Kelas Xi Sma Negeri Karangpandan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan Perilaku Kekerasan Pada Siswa Kelas Xi Sma Negeri Karangpandan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam usaha

mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak

diharapkan dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada diri mereka dan

membentuk kepribadian yang dimiliki secara maksimal sehingga dapat menjadi

individu yang bermanfaat. Pendidikan dapat diperoleh pada saat berada dirumah

bersama orang tua dan disekolah bersama guru.

Sekolah merupakan tempat yang ideal untuk penyelenggaraan pendidikan

dan mengembangkan potensi pada anak. Di sekolah seorang anak tidak hanya

mengembangkan potensi kognitif, akan tetapi juga mengembangkan kemampuan

emosional, moral dan psikososial. Seorang anak dapat belajar berhitung sekaligus

belajar menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan teman seusia dan belajar

berperilaku sesuai dengan tata tertib yang berlaku disekolah.

Sekolah tidak hanya dapat menjadi tempat yang sesuai untuk

mengembangkan potensi anak. Akan tetapi, sekolah juga dapat menimbulkan

stressor-stressor yang dapat menganggu perkembangan pada seorang anak. Salah

satu stressor yang dapat mengganggu perkembangan diri anak adalah adanya

perilaku kekerasan di sekolah. Sebagian pihak sekolah dan orang tua

mengganggap kekerasan di sekolah merupakan fenomena yang biasa terjadi

disekolah. Padahal, kekerasan di sekolah dapat menimbulkan berbagai masalah

(2)

commit to user

Perilaku kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang

oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa

lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang lain yang terjadi

dilingkungan sekolah (Riauskina dkk, 2005). Kekuasaan yang dimaksudkan

dalam pengertian diatas adalah adanya budaya senioritas antara adik kelas dengan

kakak kelas, bahwa kakak kelas memiliki kekuasaan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan adik kelas. Pengertian agresif sendiri adalah suatu serangan,

serbuan atau tindakan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau benda

(Chaplin, 2006). Kekerasan dan perilaku agresif memiliki kesamaan dalam

melakukan serangan kepada orang lain, akan tetapi ada perbedaan antara

kekerasan dan perilaku agresif yang terletak pada jangka waktunya. Kekerasan

terjadi secara berkelanjutan dengan waktu yang lama, sehingga menyebabkan

korbannya terus menerus dalam keadaan cemas dan terintimidasi sedangkan

perilaku agresif dilakukan hanya dalam waktu satu kali kesempatan dan dalam

waktu yang pendek (Krahe, 2005).

Maraknya kasus-kasus perilaku kekerasan di lingkungan sekolah sudah

menjadi permasalahan yang mendunia, perilaku kekerasan juga terdapat di

negara-negara maju contohnya seperti di Amerika Serikat dan Jepang. Beberapa

fakta di Amerika Serikat tentang perilaku kekerasan di sekolah dikutip dari

National Institute for Children and Human Development, pada tahun 2001 bahwa

lebih dari 16% murid mengaku menjadi korban kekerasan di sekolah oleh murid

yang lain. Sedangkan menurut Elliot (2005), bahwa 6 dari setiap 10 anak usia

(3)

commit to user

Di Jepang, menurut Richard Werly dalam tulisannya Persecuted Even On The

Playground For Liberation 2001 bahwa 10% murid yang stress karena mengalami

kekerasan, sudah pernah melakukan bunuh diri paling tidak satu kali. Pada Januari

1999, Marie Bentham (8 tahun), seorang siswa sekolah dasar di Inggris,

menggantung diri di kamar tidurnya dengan alat lompat talinya karena merasa tak

mampu lagi menghadapi kekerasan di sekolahnya. Marie Bentham dianggap

sebagai korban bunuh diri termuda akibat kekerasan di sekolah di Inggris

(Coloroso, 2007)

Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8

hingga 16 tahun menunjukkan bahwa hingga 8% hingga 38% siswa adalah korban

kekerasan di sekolah (McEachern dkk, 2005). Sementara itu, menurut Swearer &

Doll (2001) bahwa angka kejadian dunia untuk kekerasan pada remaja di sekolah

adalah sekitar 10% siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) hingga 27% siswa

SMA (Sekolah Menengah Atas) tercatat sering mengalami kekerasan. Penelitian

terhadap usia 11 hingga 16 tahun di Spanyol, terhadap 25% anak yang mengaku

melakukan kekerasan pada teman-teman di sekolah, disampaikan juga bahwa

laki-laki lebih agresif dan lebih banyak terlibat dalam perilaku kekerasan daripada

perempuan (McEachern dkk, 2005).

Kasus perilaku kekerasan juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005 Fifi

Kusrini (13 tahun), siswi SMPN 10 Bekasi nekad bunuh diri karena sering diejek

sebagai anak tukang bubur. Pada tahun 2006, Linda Utami (15 tahun) siswi kelas

2 SLTPN 12 Jakarta ditemukan gantung diri di rumahnya. Sebelum bunuh diri,

(4)

commit to user

tidak naik kelas (Sejiwa, 2010). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian LSM

(Lembaga Swadaya Masyarakat) Sejiwa terhadap lebih dari 1.300 orang pelajar

dan guru di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta, menunjukkan bahwa setiap

sekolah pasti ada kasus kekerasan mulai dari yang ringan hingga berat (Sejiwa,

2010). Selain itu, menurut Aris Merdeka Sirait sebagai Ketua Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa kasus kekerasan cukup tinggi di

tahun 2011 terdapat 139 kasus dan di tahun 2012 terdapat 39 kasus yang

ditemukan di lingkungan sekolah (DetikNews, 2012).

Bukti lain mengenai fenomena kekerasan yang menjadi temuan di

lapangan adalah di SMA Negeri Karangpandan. Berdasarkan wawancara yang

dilakukan dengan guru bimbingan konseling, terjadi penyalahgunaan kekuasaan

yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa junior di sekolah tersebut.

Penyalahgunaan wewenang tersebut seperti menertibkan siswa junior dengan

kekerasan fisik sehingga siswa junior menjadi takut dengan siswa yang lebih

senior, pemalakan serta perkelahian yang diakibatkan karena salah paham. Selain

itu, selama mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) siswa junior mengalami

tindak kekerasan seperti didorong dan ditendang apabila perintah dari siswa senior

tidak dilaksanakan, dipermalukan di depan umum, dan diancam. Sehingga, dalam

kegiatan MOS di sekolah tersebut menjadi ajang balas dendam dan sudah menjadi

tradisi secara turun menurun.

Berdasarkan fenomena di atas, bahwa beberapa pihak sekolah menganggap

masalah tersebut belum dianggap serius karena masih terjadi berulang-ulang.

(5)

commit to user

kekerasan di sekolah ketika perilaku tersebut telah mengakibatkan timbulnya

cedera atau masalah fisik pada murid yang menjadi korban kekerasan tersebut.

Padahal dari definisi kekerasan di sekolah sendiri tidak terbatas pada tindakan

kekerasan yang menyebabkan cedera fisik semata. Secara psikis juga akan

terganggu, sehingga akan mengalami trauma secara psikis.

Penelitian yang dilakukan oleh Damantari (2011) menyebutkan mengenai

bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, kekerasan tersebut terjadi di kalangan (SMA)

Sekolah Menengah Atas. Bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, antara lain :

menghina, menyoraki, melempar barang dengan sengaja, memukul, memanggil

nama dengan julukan, dengan sengaja menginjak kaki atau mendiamkan teman.

Dengan demikian, berdasarkan penelitian tersebut bahwa kekerasan tidak hanya

menyerang secara fisik seseorang tetapi juga secara psikis dan mengakibatkan

psikis seseorang akan menjadi terganggu.

Perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasari.

Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal

yang dapat menyebabakan memunculkan perilaku kekerasan adalah faktor

keluarga, lingkungan (rumah dan sekolah), dan teman sebaya. Sedangkan faktor

internal meliputi karakteristik kepribadian dan adanya sifat pengganggu yang

dimiliki oleh individu. Sifat penganggu muncul apabila terjadi interaksi yang

kurang baik antara sesama teman serta kurangnya identifikasi kelompok. Seperti

diketahui, anak pada masa sekolah akan mengalami perkembangan dalam

hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk sebuah kelompok yang terdiri

(6)

commit to user

Memahami masalah perilaku kekerasan, tidak terlepas dari memahami

pelaku dan korban kekerasan. Diketahui bersama, bahwa kekerasan bisa terjadi

dimana saja, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif yang beragam,

sehingga pelaku dan korban bisa berasal dari kedua belah pihak laki-laki dan

perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Menteri Pendidikan

Nasional periode tahun 2004-2009 Bambang Sudibyo yang menyatakan bahwa

kekerasan muncul dimana-mana. Kekerasan tidak memilih umur atau jenis

kelamin korban (Astuti, 2008). Biasanya yang menjadi korban adalah kelompok

laki-laki atau kelompok perempuan yang lemah secara fisik dibandingkan dengan

kelompok sebanya. Selain itu, yang menjadi korban kekerasan adalah kelompok

yang lebih muda (yunior). Korban laki-laki lebih sering mendapat kekerasan

secara fisik, akan tetapi apabila korban perempuan lebih sering mendapat

kekerasan secara tidak langsung, seperti melalui kata-kata.

Hubungan antara pelaku dan korban kekerasan terdapat perbedaan

kekuatan yang tidak seimbang, sehingga korban pada kondisi yang tidak berdaya

untuk mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang

diterima oleh korban. Hal ini sesuai dengan pernyataan Olweus (dalam Philips &

Cornell, 2011) bahwa adanya ketidakseimbangan kekuatan tersebut

mengakibatkan pelaku akan mencederai, mengancam atau mempermalukan

korban. Dengan demikian, seseorang dikatakan sebagai korban apabila

dihadapkan pada tindakan yang negatif dari seseorang atau lebih, dilakukan

(7)

commit to user

Byrne (dalam Sullivan, 2000) menyatakan bahwa korban kekerasan

merasa malu, merasa bersalah dan merasa gagal karena tidak dapat mengatasi

tindak kekerasan. Selain itu, korban kekerasan akan selalu merasa tidak bahagia,

mengalami kecemasan, ketakutan dan selalu mengalami ketegangan lebih dari

batas normal. Sehingga, korban merasa sangat dirugikan dari segi akademis yaitu

anak akan merasa terganggu dalam kegiatan belajar, menurunkan prestasi

disekolah dan minat belajar. Kehadiran korban perilaku kekerasan di sekolah

seringkali memunculkan masalah bagi pihak sekolah. Dalam kegiatan di sekolah,

korban seringkali ditemukan takut untuk bersekolah. Hal ini terlihat dari tingginya

absensi korban untuk sekolah akibat keinginan korban untuk menghindar dari

kemungkinan dirinya terluka secara fisik akibat adanya kekerasan di sekolah.

sehingga, dengan terjadi kekerasan disekolah dapat menimbulkan trauma dan

akan mengalami gangguan pada proses belajar.

Salah faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan adalah situasi di

lingkungan sekolah, situasi di sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif

menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan di sekolah (Astuti,2008). Situasi yang

terjadi dalam lingkungan sekolah yang diciptakan oleh pola hubungan

antarpribadi dalam sekolah merupakan bagian dari iklim sekolah (Koehler dkk,

1981). Iklim sekolah sangat mendukung terjadinya perilaku kekerasan, apabila

guru dan berbagai pihak sekolah yang bersikap tidak peduli dan mengabaikan

perilaku kekerasan sehingga perilaku tersebut akan meningkat. Dengan

meningkatnya perilaku tersebut, korban yang ditimbulkan akan semakin tinggi.

(8)

commit to user

bersikap tertutup terhadap guru. Hal tersebut akan membuat siswa menyimpan

masalah dan tidak menceritakan kepada guru karena takut apabila tidak dipercaya

sehingga menimbulkan resiko bagi siswa yang menjadi mengalami kekerasan.

Menurut Sergiovanni & Startt (dalam Hadiyanto, 2004) iklim sekolah

merupakan karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri psikologis dari suatu

sekolah tertentu yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah yang lain

dalam mempengaruhi tingkah laku guru dan murid sekaligus mempengaruhi

perasaan psikologis yang dimiliki guru dan murid di sekolah tertentu. Dengan

demikian nampak jelas bahwa peran sekolah memberikan pengaruh terhadap

tingkah laku seorang murid di sekolah, terutama dalam menjalin hubungan

interaksi antara murid satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan adanya

iklim sekolah yang mendukung menjadikan perilaku kekerasan akan berkurang

terutama terjadi pada korban.

Pencapaian akademik yang rendah dan pemahaman yang rendah tentang

iklim sekolah juga berkaitan dengan tindak kekerasan di sekolah (Milson & Gallo,

2006). Berdasarkan pernyataan Espelage & Swearer (2009) iklim sekolah

merupakan faktor yang penting dalam mempertimbangkan bagaimana keyakinan

siswa mengenai kekerasan, gambaran tentang peran dari orang dewasa, dan

karakteristik kepribadian yang menyebabkan teradinya kekerasan di sekolah .

Sebuah studi mengungkapkan bahwa sekolah yang memiliki standar akademis

yang tinggi, keterlibatan orang tua yang tinggi, dan disiplin yang efektif, maka

kecenderungan tindak kekerasan di sekolah akan lebih sedikit (Ma dalam

(9)

commit to user

Berbagai pihak sekolah, terutama pada guru dan murid dituntut untuk

menciptakan iklim sekolah yang aman, dapat berinteraksi dengan baik dan

menyadari perbedaan setiap individu di dalam lingkungan sekolah. Sehingga

setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya kekerasan di

lingkungan sekolah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

Magfirah dan Rachmawati (2010), menyatakan bahwa semakin negatif iklim

sekolah semakin tinggi pula kecenderungan perilaku kekerasan terjadi dan

sebaliknya semakin positif iklim sekolah semakin rendah pula kecenderungan

perilaku kekerasan.

Faktor personal yang mempengaruhi kekerasan adalah harga diri

(O’Connell, 2003). Harga diri merupakan tingkat individu terhadap kepuasan

dirinya, menerima dirinya, menghargai dirinya, dan mencintai dirinya, sehingga

dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan tingkat kebanggaan individu

terhadap dirinya sendiri (Setiawan, 2005). Harga diri bukanlah faktor yang dibawa

sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk dari suatu pengalaman

individu dalam berhubungan dengan individu lain. Dalam interaksi ini setiap

individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan

dijadikan cermin bagi setiap individu untuk menilai dan memandang dirinya

sendiri.

Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa harga diri dapat

mempengaruhi tingkah laku individu. Branden (1992) mengungkapkan bahwa

harga diri adalah evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuan dan

(10)

commit to user

tidak berharga, maka perilakunya akan menunjukkan ketidakberhargaan tersebut.

Begitu juga sebaliknya apabila individu yang menganggap dirinya berharga dan

bermanfaat, maka individu akan berusaha yakin terhadap dirinya.

Setiap individu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, terutama pada

individu yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Casidy (2009) berpendapat

bahwa korban kekerasan di sekolah memperlihatkan level distress psikologi yang

tinggi, perilaku tidak sehat, dukungan yang rendah dari orang tua maupun guru,

gaya pemecahan masalah yang buruk, dan identitas sosial yang rendah. Apabila

kekerasan di sekolah tetap dibiarkan maka dapat mengganggu keadaaan

psikologis sehingga korban memiliki harga diri yang rendah. Hal tersebut

diperkuat dengan sebuah studi longitudinal bahwa individu yang menjadi korban

kekerasan di sekolah maka mereka memiliki harga diri yang rendah dan lebih

depresi (Olweus dalam Santrock, 2007).

Menurut Rosenberg & Owens (dalam Mruk, 2006) karakteristik individu

yang memiliki harga diri rendah adalah hypersensitivity, tidak stabil, kepercayaan

diri yang kurang, lebih memperhatikan perlindungan terhadap ancaman daripada

mengaktualisasikan kemampuan dan menikmati hidup, depresi, pesimis, kesepian

dan mengasingkan diri. Dengan demikian, korban kekerasan di sekolah biasanya

memiliki harga diri yang rendah. Korban biasanya akan memandang dirinya tidak

berharga. Perasaan tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak

berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial,

(11)

commit to user

rendah dengan teman-temannya, menganggap sebagai anak yang tidak popular,

dan kemampuan sosial korban dengan teman sebayanya kurang.

Korban yang memiliki harga diri rendah biasanya akan bersikap patuh dan

pasif kepada pelaku. Sikap patuh akan ditujukan dengan mengikuti keinginan

pelaku, sedangkan bersikap pasif hanya diam dan tidak melakukan apa-apa ketika

kekerasan terjadi pada dirinya. Menurut Coutrney dkk (2003) bahwa sikap patuh

dan pasif yang ditujukan korban seringkali membuat korban tidak disenangi oleh

teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, teman-teman sebayanya akan lebih

menghindari korban karena meraka takut akan menjadi korban berikutnya. Sikap

pasif korban akan cenderung menarik diri dalam hubungan dengan teman-teman

sebayanya. Sehingga korban memilih untuk menunggu ajakan teman

daibandingkan untuk berinisiatif memulai pembicaraan. Akibatnya korban tidak

memiliki banyak teman di sekolah, seringkali merasa kesepian dan tidak betah

berada di sekolah.

Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.

Alasan pemilihan SMA Negeri Karangpandan sebagai tempat penelitian karena

berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru bimbingan konseling,

ditemukan beberapa fakta yang berkaitan dengan penelitian ini. Lebih lanjut,

pemilihan siswa kelas XI sebagai subjek penelitian didasarkan atas beberapa

alasan. Siswa kelas XI masuk ke dalam kategori remaja pertengahan, hal ini

sesuai dengan pernyataan Monks, dkk (2004) bahwa remaja pertengahan berkisar

pada usia 15 sampai 18 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan baik fisik,

(12)

commit to user

kekerasan sebagai bagian pola perilaku antisosial yang berhubungan dengan

peningkatan kemungkinan perilaku menyimpang di masa remaja (Krahe, 2005).

Selain itu, siswa XI adalah siswa junior yang biasanya menjadi sasaran perilaku

kekerasan disekolah karena memiliki kekuasaan yang rendah dibandingkan siswa

senior dan siswa XI juga pernah mengalami MOS (Masa Orientasi Siswa) di

sekolah yang dilakukan oleh siswa senior.

Berdasarkan uraian mengenai perilaku kekerasan, iklim sekolah dan harga

diri yang telah dijelaskan serta krusialnya masalah tersebut pada masa remaja,

penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan dari ketiga

variabel tersebut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif melakukan penelitian

dengan judul : “Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan

Perilaku Kekerasan pada Siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini

adalah:

1. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan

perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan?

2. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan

pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan?

3. Apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada

(13)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan

perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.

2. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan

pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.

3. Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan

pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain :

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan memberikan pengembangan referensi di bidang

ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dan psikologi sosial dalam

memahami fenomena kekerasan di sekolah kaitannya dengan

pandangan-pandangan ilmu psikologi pendidikan dan psikologi sosial mengenai iklim

sekolah dan harga diri.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu

pengetahuan mengenai iklim sekolah, harga diri dan perilaku kekerasan,

yang selanjutnya dapat memberi masukan untuk meningkatkan kualitas

pribadi menjadi lebih baik

b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan

(14)

commit to user

sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat

dijadikan acuan dalam mendidik anak pada masa remaja.

c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

sekaligus dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian

selanjutnya, khususnya penelitian mengenai kekerasan di sekolah dengan

Referensi

Dokumen terkait

Acuan Operasional Penyusunan KTSP ...6D. Tujuan Pendidikan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan faktor risiko dominan yang memiliki kemungkinan paling besar terjadi dan memiliki dampak yang signifikan terhadap biaya

[r]

Dan pada akhirnya saya MOHON DIRI dan MOHON DOA RESTU semoga dalam pengabdian saya selanjutnya dapat berjalan dengan baik dan lancar. Aamin Ya

Sintaks Pembelajaran Matematika dengan Model Pembelajaran NHT pada Materi Persamaan Kuadrat .... Penelitian

Diera yang semakin modern seperti saat ini dalam mengembangkan motorik kasar anak banyak pendidik serta orang tua yang hanya terfokus dengan permainan modern saja

Dengan m enyadar i posisi st r at egis di at as, per an yang akan diam bil oleh PSI F didasar kan pada visi sebagai ber ik ut : ( a) m enj adi salah sat u inst it usi ak adem ik

Kepada para peserta Pelelangan diucapkan Terimakasih telah ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan pelelangan ini dan selanjutnya dapat Mengambil jaminan Penawaran