• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI MIKORIZA PADA TEGAKAN Gmelina arborea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI MIKORIZA PADA TEGAKAN Gmelina arborea"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI MIKORIZA PADA TEGAKAN Gmelina arborea

Oleh :

LILY ISTIGFAIYAH M 111 14 336

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)
(3)

iii

ABSTRAK

Lily Istigfaiyah (M 111 14 336). Identifikasi dan Karakterisasi Mikoriza pada Tegakan Gmelina arborea di Bawah Bimbingan Gusmiaty dan Siti Halimah Larekeng

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genus spora mikoriza yang berasosiasi dengan tegakan Gmelina arborea. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Oktober 2017 hingga Februari 2018. Metode penelitian ini meliputi pengambilan sampel tanah dan akar Melina, identifikasi spora mikoriza pada sampel tanah, kolonisasi mikoriza pada sampel akar dan identifikasi spora mikoriza pada sampel akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe spora yang ditemukan pada sampel tanah dan akar Melina adalah Glomus, Gigaspora dan Scutellospora dengan Glomus memiliki kelimpahan relatif tertinggi. Bagian akar yang paling banyak terinfeksi mikoriza adalah bagian ujung cabang akar.

Persentase Kolonisasi mikoriza pada kedua lokasi masuk dalam kategori sedang.

Kata Kunci : Mikoriza, Vesikular, Arbuskular, Gmelina arborea

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera ...

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menuntun dan menyertai disepanjang kehidupan penulis hingga saat ini.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, ada begitu banyak hal yang penulis peroleh baik dalam hal akademik maupun non akademik selama berada di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah melewati perjuangan yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit, namun tanpa bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun material, langsung maupun tidak langsung, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orangtua, Ayahanda Muh. Ansar M. dan Ibunda St. Suhaenah yang telah mengasuh, mengarahkan dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, serta kepada saudara-saudaraku terkasih Dwi Nur Amaliyah Ansar, Azrafil Azhar dan Aidah Zahrani Ansar terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.

Penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih dengan penuh keikhlasan juga penulis ucapkan kepada :

1. Ibu Gusmiaty, SP., MP dan Dr. Siti Halimah Larekeng, SP., MP selaku dosen pembimbing atas keikhlasannya meluangkan waktu untuk memberikan masukan dalam pembuatan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muh Restu, MP., Dr. Ir. Sitti Nuraeni dan Dr. Ir.

Andi Sadapotto, MP selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritik guna perbaikan skripsi ini

3. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Administrasi Fakultas Kehutanan atas bantuannya selama penulis berada di kampus Universitas Hasanuddin

4. Rekan kerja yang sangat membantu dalam penelitian, Nurlaila Hasil, Hasfiranita dan Sri Wahyuningsih terimakasih atas kerjasama dan bantuannya selama melakukan penelitian

(5)

v 5. Kakak-kakak yang banyak membantu : Kak Ani dan Kak Aminah di Laboratorium Terpadu Unit Fisika dan Kimia dan Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon

6. Rekan-rekan yang telah memberikan dukungan moril terhadap penulis, Yuli, Syakura, Kurnia, Nur, Rina, Ilsye, Desti, Mutia, Edo, Jems dan Alam terimakasih atas dukungannya.

7. Teman-teman KKN UNHAS Gelombang 96 Desa Moncongkomba, yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis selama menjalankan penelitian

(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Kegunaan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Deskripsi Gmelina arborea ... 3

2.1.1 Sistematika ... 3

2.1.2 Penyebaran dan Habitat ... 3

2.1.3 Morfologi ... 3

2.1.4 Persyaratan Tempat Tumbuh ... 4

2.1.5 Manfaat ... 4

2.2 Mikoriza ... 4

2.2.1. Definisi Mikoriza ... 4

2.2.2 Manfaat Mikoriza ... 4

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Mikoriza ... 5

2.2.4 Jenis-Jenis Mikoriza ... 7

2.2.5 Struktur Mikoriza Arbuskular ... 8

2.2.6 Genus Spora Mikoriza ... 9

2.3 Identifikasi dan Karakterisasi Mikoriza ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 19

3.3 Prosedur Kerja ... 19

3.3.1 Pengambilan Sampel Tanah dan Akar ... 19

3.3.2 Isolasi dan Identifikasi Spora pada Tanah ... 20

3.3.3 Kolonisasi Spora pada Akar ... 21

3.3.4 Identifikasi Spora pada Akar ... 22

3.4. Variabel yang Diamati ... 23

3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

(7)

vii

4.1. Identifikasi Mikoriza pada Sampel Tanah dan Akar ... 25

4.1.1. Mikoriza pada Sampel Tanah ... 25

4.1.2. Mikoriza pada Sampel Akar ... 28

4.2. Struktur Pembentuk Mikoriza ... 32

4.3. Persentase Kolonisasi Akar ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1. Kesimpulan ... 36

5.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

LAMPIRAN ... 42

(8)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman Tabel 1. Klasifikasi banyaknya infeksi akar ... 24 Tabel 2. Karakteristik morfologi spora pada sampel tanah hasil

pengamatan ... 25 Tabel 3. Kelimpahan relatif spora mikoriza pada sampel tanah

di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan dan Desa

Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 27 Tabel 4. Karakteristik morfologi spora pada sampel akar hasil

pengamatan ... 28 Tabel 5. Kelimpahan relatif spora mikoriza pada sampel akar

Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan dan Desa

Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 31 Tabel 6. Total struktur pembentuk mikoriza yang ditemukan

pada sampel akar Melina di Desa Balong Kabupaten

Bulukumba dan dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 33

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Ektomikoriza ... 7

Gambar 2. Endomikoriza ... 8

Gambar 3. Ektendomikoriza ... 8

Gambar 4. Spora Glomus ... 9

Gambar 5. Spora Paraglomus ... 10

Gambar 6. Spora Gigaspora ... 10

Gambar 7. Spora Scutellospora ... 11

Gambar 8. Spora Acaulospora ... 11

Gambar 9. Spora Entrophospora ... 11

Gambar 10. Spora Archaeospora ... 12

Gambar 11. Spora Funneliformis ... 12

Gambar 12. Spora Ambispora ... 13

Gambar 13. Spora Septoglomus ... 13

Gambar 14. Spora Dentiscutata ... 13

Gambar 15. Spora Rhizophagus ... 14

Gambar 16. Spora Racocetra ... 14

Gambar 17. Peta lokasi pengambilan sampel tanah dan akar Melina ... 16

Gambar 18. Titik pengambilan sampel tanah dan akar Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba ... 17

Gambar 19. Titik Pengambilan sampel tanah dan akar Melina di Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 18

Gambar 20. Pola pengambilan sampel tanah dan akar ... 20

Gambar 21. Bagian akar yang diamati ... 22

Gambar 22. Perbandingan spora Glomus pada sampel tanah hasil pengamatan dengan spora berdasarkan INVAM ... 26

Gambar 23. Perbandingan spora Gigaspora pada sampel tanah hasil pengamatan dengan spora berdasarkan INVAM ... 27

Gambar 24. Perbandingan spora Glomus pada sampel akar hasil pengamatan dengan spora berdasarkan INVAM ... 30

Gambar 25. Perbandingan spora Gigaspora pada sampel akar hasil pengamatan dengan spora berdasarkan INVAM ... 30

(10)

x Gambar 26. Perbandingan spora Scutellospora pada sampel akar hasil

pengamatan dengan spora berdasarkan INVAM ... 31 Gambar 27. Struktur pembentuk mikoriza pada sampel akar Melina hasil

pengamatan (Perbesaran 400x) ... 33 Gambar 28. Rata-rata persentase infeksi mikoriza pada sampel akar Melina di Bulukumba dan Sinjai ... 34

(11)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman Lampiran 1. Pengambilan Sampel Tanah dan Akar pada Tegakan

Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba ... 43

Lampiran 2. Pengambilan Sampel Tanah dan Akar pada Tegakan Melina di Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 43

Lampiran 3. Isolasi dan Identifikasi Mikoriza pada Sampel Tanah ... 44

Lampiran 4. Kolonisasi Mikoriza pada Sampel Akar ... 45

Lampiran 5. Identifikasi Spora Mikoriza pada Sampel Akar ... 45

Lampiran 6. Titik koordinat pohon sampel Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 46

Lampiran 7. Perhitungan kelimpahan relatif spora pada sampel tanah dari rhizosfer Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 47

Lampiran 8. Perhitungan kelimpahan relatif spora pada sampel akar Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 48

Lampiran 9. Struktur pembentuk mikoriza pada masing-masing bagian di sampel akar Melina Desa Balong Kabupaten Bulukumba ... 50

Lampiran 10. Struktur pembentuk mikoriza pada masing-masing bagian di sampel akar melina Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai ... 51

Lampiran 11. Karakteristik tanah di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai berdasarkan literatur ... 52

(12)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Melina (Gmelina arborea) merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat (Rengganis, 2013). Melina memiliki pertumbuhan yang cepat (fast growing species) dan kegunaan sebagai bahan baku industri pulp, bahan pembuatan papan partikel, core kayu lapis, korek api, peti kemas dan bahan kerajinan kayu (Sudomo dkk, 2007). Keuntungan pembudidayaan Melina yaitu perawatan tanaman yang mudah, teknik penanaman tidak sulit dan nilai ekonomi yang baik (Misnawati dan Rahmawati, 2014)

Salah satu upaya mendukung pertumbuhan Melina adalah meningkatkan kesuburan tanahnya yang dapat dilakukan dengan pemberian pupuk organik.

Namun dalam penanaman skala besar, pupuk yang dibutuhkan relatif banyak dan mahal. Oleh karena itu, diperlukan cara alternatif untuk meningkatkan kesuburan tanah melalui pemanfaatan mikoriza (Rengganis, 2013).

Mikoriza sesunguhnya berasal dari bahasa Yunani yaitu mykes yang artinya cendawan, dan rhiza artinya akar, sehingga secara harfiah berarti cendawan akar.

Mikoriza dapat berkolonisasi dan berkembang secara simbiosis mutualisme dengan akar tanaman, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, serta membantu menekan perkembangan beberapa patogen tanah. Infeksi mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kemampuannya memanfaatkan nutrisi terutama unsur P, Ca, N,Cu, Mn, K, dan Mg (Pulungan, 2015). Hal ini disebabkan oleh kolonisasi mikoriza pada akar tanaman dapat memperluas bidang serapan akar dengan adanya hifa eksternal yang tumbuh dan berkembang melalui bulu akar (Sari dan Ermavitalini, 2014).

Penelitian tentang identifikasi mikoriza arbuskular pada berbagai macam tipe ekosistem hutan rakyat di Sulawesi Selatan telah dilakukan oleh Gusmiaty, dkk (2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga tipe spora yang ditemukan yaitu genus Glomus, Gigaspora dan Acaulospora. Danda (2015) melakukan penelitian identifikasi mikoriza pada hutan jati di Kabupaten Barru.

(13)

2 Hasil penelitian menunjukkan ada empat tipe spora yang ditemukan yaitu Gigaspora, Glomus, Acaulospora, dan Scutellospora.

Penelitian mengenai identifikasi mikoriza pada tegakan Melina di Sulawesi Selatan belum dilaporkan sehingga diperlukan penelitian mengenai jenis-jenis mikoriza yang berasosiasi dengan tanaman Melina. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pemanfaatan mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan Melina.

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui genus spora mikoriza yang berasosiasi dengan tegakan Melina. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan acuan yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai genus spora mikoriza yang berasosiasi dengan tanaman Melina sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertumbuhannya.

(14)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Gmelina arborea Roxb.

2.1.1. Sistematika

Menurut Kosasih (2013), sistematika Melina adalah : Regnum : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Subdivisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Menghasilkan bunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil) Subkelas : Asteridae

Ordo : Lamiales

Famili : Verbenaceae

Genus : Gmelina

Spesies : Gmelina arborea Roxb.

2.1.2. Penyebaran dan Habitat

Penyebaran asli Melina tersebar Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Cina Selatan. Di hutan alam, spesies ini umumnya ditemukan menyebar dan berasosiasi dengan spesies lainnya. Hal ini ditemukan pada hutan cemara di Myanmar dan Bangladesh (Rachmawati dkk, 2002).

2.1.3. Morfologi

Pohon Melina berukuran sedang dengan tinggi dapat mencapai 30-40 meter, berbatang silindris dengan diameter rata-rata 60 cm (Kosasih, 2013). Kulit kayu tipis dan berwarna keabu-abuan (Florido dan Cornejo, 2002), daun tunggal, tata letak daun berhadapan (opposite) Bentuk daun bulat telur (ovate), ujung daunmeruncing (acuminate), tepi daun rata (entire), dan permukaan daun licin (glabrous) (Pathala dkk, 2015).

(15)

4 2.1.4. Persyaratan Tempat Tumbuh

Melina tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan curah hujan 1.000 mm per tahun. Suhu udara yang dikehendaki berkisar antara 21˚C - 28˚C. Tanaman ini tumbuh subur pada daerah dengan drainase baik pada pH 4 – 7 saluran tanah dalam dan lembab. Melina tidak cocok pada tanah gambut berpasir dengan pengaruh pasang surut, begitu pula dengan tanah yang kedap dan lapisan olah yang sangat tipis (Kosasih, 2013).

2.1.5. Manfaat

Melina umumnya digunakan dalam industri pembuatan kertas. Melina juga biasanya digunakan dalam industri kayu pertukangan, furniture, peralatan musik, hiasan kapal, kayu lapis dan kayu bakar (Florido dan Cornejo, 2002).

2.2. Mikoriza

2.2.1. Definisi Mikoriza

Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (cendawan) dan rhiza (akar) (Sieverding, 1991 dalam Husna dkk, 2007). Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P (Husna dkk, 2007).

2.2.2. Manfaat Mikoriza

Indriyanto (2008) mengungkapkan peranan mikoriza yaitu : 1. Mikoriza berperan dalam meningkatkan penyerapan unsur hara

2. Mikoriza berperan dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen akar

3. Mikoriza berperan dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan dan kekurangan air pada musim kemarau

4. Mikoriza berperan dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh nabati

(16)

5 5. Mikoriza berperan dalam memperbaiki struktur tanah

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Mikoriza

Pertumbuhan mikoriza sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu : 1. Suhu

Schenk dan Schroder (1974) menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap perkembangan spora, penetrasi hifa serta perkembangannya pada korteks akar.

Hal itu disebabkan karena terdapat perbedaan ketahanan enzim masing-masing spesies mikoriza terhadap suhu tertentu.

2. Kadar Air Tanah

Mikoriza dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi kering. Mikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang (Pujianto, 2001).

3. Intensitas Cahaya

Cahaya memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan mikoriza. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh fungi mikoriza. Tumbuhan dengan laju fotosintesis tinggi juga cenderung memperbaiki suplai fotosintat bagi mikoriza, akibat pada meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam akar (Daniel and Trappe, 1980).

4. pH Tanah

Powell dan Bagyaraj (1984) mengemukakan bahwa pH dengan perkecambahan spora fungi mikoriza terdapat hubungan yaitu pH berpengaruh pada aktivitas enzim, aktivitas enzim berpengaruh pada perkecambahan. Selain itu pH rendah atau asam juga berpengaruh menjadi tidak tersedianya fosfat sebagai unsur penting dalam pembelahan sel pada proses perkecambahan spora mikoriza.

5. Bahan Organik

Jumlah spora mikoriza berhubungan erat dengan kandungan bahan organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2% sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001).

(17)

6 6. Logam Berat dan Unsur Lain

Logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskular diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn) (Janouskova dkk, 2006).

7. Tanaman Inang

Cendawan mikoriza merupakan simbion obligat yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanaman inang sebagai tempat hidupnya. Tanaman inang merupakan sumber senyawa karbon yang merupakan nutrisi bagi cendawan mikoriza. Kondisi fisik tanaman akan mempengaruhi perkembangan cendawan mikoriza, sehingga apabila kondisi tanaman terganggu baik akibat kekeringan maupun penyakit maka kondisi cendawan mikoriza pun akan terganggu (Shi dkk, 2007)

8. Mikroorganisme Lain

Mikroorganisme lain dalam tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman inang. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme di dalam tanah ada yang bersifat antagonis terhadap tanaman dan ada juga yang bersifat non antagonis terhadap tanaman. Mikroorganisme yang bersifat antagonis akan menyerang tanaman inang dan menimbulkan gangguan fisik, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman inang dan mampu memicu sporulasi cendawan mikoriza (Paulitz dan Linderman, 1991).

9. Fungisida

Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh fungi penyebab penyakit pada tanaman. Di samping mampu memberantas fungi penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah (2.5 𝜇g per gram tanah) kolonisasi mikoriza yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P (Manjunath dan Bagyaraj, 1984).

10. Ketersediaan Hara

Tanaman yang tumbuh pada daerah subur dan memiliki pertumbuhan perakaran yang sangat intensif justru akan mengalami penurunan jumlah persentase kolonisasi mikoriza pada akar tersebut, sebaliknya jika tanaman tumbuh pada lahan miskin hara mineral ditanah dengan intensitas

(18)

7 pertumbuhan cabang akar yang rendah menunjukkan peningkatan kolonisasi endomikoriza pada akar, terutama akar-akar serabut. Hal ini membuktikan bahwa endomikoriza sangat bermanfaat pada tanaman yang tumbuh pada daerah kurang subur atau miskin hara (Oehl dkk, 2004).

2.2.4. Jenis-Jenis Mikoriza

Menurut Prabaningrum (2017), mikoriza secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Ektomikoriza

Ektomikoriza adalah asosiasi simbiosa antara jamur dan akar tumbuhan, dimana jamur membentuk suatu sarung yang menyelubungi semua atau beberapa cabang-cabang akar dan adakalanya masuk ke dalam sel tetapi tidak pernah menembus melewati korteks dan hifa intraseluler tidak menyebabkan kerusakan sel inang. Contoh ektomikoriza disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Ektomikoriza (Russulales, 2010) 2. Endomikoriza

Endomikoriza adalah asosiasi simbiosis mutualisme antara jamur tertentu dengan akar tanaman, dimana jamur tumbuh sebagian besar di dalam korteks akar dan menembus akar tanaman inang. Endomikoriza dibedakan atas tiga grup yaitu erikoid mikoriza, orchidaceous mikoriza dan mikoriza vesikular arbuskular.

Contoh endomikoriza disajikan pada Gambar 2.

(19)

8 Gambar 2. Endomikoriza (INVAM, 2017)

3. Ektendomikoriza

Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya.

Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas. Contoh ektendomikoriza disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Ektendomikoriza (Anonim, 2004) 2.2.5. Struktur Mikoriza Arbuskular

Struktur mikoriza arbuskular, yaitu : 1. Arbuskular

Arbuskular adalah struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di dalam sel korteks akar tanaman inang. Bentuk arbuskular menyerupai pohon kecil yang berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit primer antara fungi dan akar tanaman (Brundrett, 2008). Semakin bertambahnya umur, arbuskular berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan tidak dapat dibedakan lagi (Pattimahu, 2004).

(20)

9 2. Vesikel

Vesikel merupakan hifa fungi endomikoriza yang mengalami penggembungan (melebar). Penggembungan hifa bisa terjadi secara internal di dalam sel atau di luar sel akar tanaman inang yang terbentuk pada hifa terminus dan interkalar. Vesikel berbentuk bulat atau oval/lonjong yang berisi senyawa lemak. Vesikel merupakan organ penyimpanan cadangan makanan bagi fungi endomikoriza (Brundrett, 2008).

3. Hifa Eksternal

Hifa eksternal merupakan struktur lain dari cendawan mikoriza yang berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah.

Terbentuknya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman berperan penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih luas (Mosse, 1981).

4. Hifa Internal

Hifa internal adalah hifa yang menembus ke dalam sel korteks dari satu sel ke sel yang lain. Hifa internal sangat penting untuk mengetahui adanya kolonisasi mikoriza dalam akar tanaman (Pujianto, 2001).

2.2.6. Genus Spora Mikoriza

Berdasarkan INVAM (2017), ada 13 genus spora mikoriza yaitu : 1. Glomus

Genus ini dicirikan dengan bentuk bulat dan oval. Warna spora genus Glomus bervariasi mulai dari, kuning, kuning kemerahan, kuning kecoklatan, coklat kekuningan, coklat muda, coklat tua kehitaman, ungu hingga hitam. Selain itu, spora dapat diproduksi secara tunggal maupun bergerombol membentuk agregat. Contoh spora Glomus disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Spora Glomus (INVAM, 2017)

(21)

10 2. Paraglomus

Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan dan bening.

Jumlah dinding spora terdiri atas lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk silinder. Ukuran spora rata-rata 85 𝜇m. Contoh spora Paraglomus disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Spora Paraglomus (INVAM, 2017) 3. Gigaspora

Spora pada genus ini memiliki dua lapis dinding serta auxiliary cells.

Karakteristik khas pada Gigaspora ialah memiliki bulbous suspensor. Spora Gigaspora dihasilkan secara tunggal di dalam tanah, dengan ukuran yang relatif besar dan memiliki bentuk bulat, oval dan iregular. Warna spora pada genus ini bervariasi mulai dari kuning, kuning kehijauan, hijau kekuningan, kuning kecoklatan, coklat kekuningan hingga hitam. Contoh spora Gigaspora disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Spora Gigaspora (INVAM, 2017) 4. Scutellospora

Spora Scutellospora umumnya ditemukan dengan atau tanpa ornament.

Genus Scutellospora memiliki bentuk spora bulat, elips dan terkadang iregular dengan warna dinding spora kuning, biru, coklat hingga kehitaman. Scutellospora memiliki germination shield yang terletak pada lapisan dinding fleksibel bagian dalam. Contoh spora Scutellospora disajikan pada Gambar 7.

(22)

11 Gambar 7. Spora Scutellospora (INVAM, 2017)

5. Acaulospora

Genus Acaulospora memiliki bentuk bulat, iregular dan elips dengan dua lapis dinding spora. Warna spora bervariasi mulai kuning, oranye kecoklatan, merah tua, hingga merah kecoklatan. Genus Acaulospora memiliki saccule yang berbentuk bulat hingga iregular dengan warna bervariasi dari transparan, kuning, merah muda transparan, hingga putih. Contoh spora Acaulospora disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Spora Acaulospora (INVAM, 2017) 6. Entrophospora

Proses perkembangan spora Entrophospora berada di antara hifa terminal dan dudukan hifa. Warna sporanya kuning dan coklat. Jika spora belum matang, warnanya tampak jauh lebih buram. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata- rata 121 𝜇m. Dinding spora terdiri atas dua lapisan. Contoh spora Entrophospora disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Spora Entrophospora (INVAM, 2017)

(23)

12 7. Archaeospora

Perkembangan spora pada genus Archaespora merupakan perpaduan antara perkembangan spora genus Glomus dan Entrophospora atau Acaulospora.

Proses awal pembentukan spora berupa pembentukan Sporiferous saccule di ujung hifa. Leher saccule akan berkembang menjadi pedicel atau percabangan hifa dari leher saccule. Contoh spora Archaeospora disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Spora Archaeospora (INVAM, 2017) 8. Funneliformis

Spora terbentuk secara tunggal dalam tanah atau berkelompok. Spora biasanya dikelilingi oleh seluruh atau bahkan sebagian dari selimut miselium.

Dasar spora biasanya berbentuk corong dan dinding spora terdiri atas dua atau tiga lapisan. Lapisan luar hialin dan akan meluruh seiring dengan pematangan spora.

Contoh spora Funneliformis disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Spora Funneliformis (INVAM, 2017) 9. Ambispora

Genus Ambispora berbentuk bulat dan struktur subselulernya terdiri dari tiga lapis. Dinding spora berwarna dan memiliki dua germination wall. Dinding spora terluar membentuk permukaan spora yang berumur pendek dan jarang terbentuk pada spora dewasa. Germination wall terluar membentuk dua lapisan yang biasanya saling melekat, sementara germination wall terdalam membentuk tiga lapisan. Contoh spora Ambispora disajikan pada Gambar 12.

(24)

13 Gambar 12. Spora Ambispora (INVAM, 2017)

10. Septoglomus

Spora terbentuk secara tunggal maupun berkelompok dalam tanah.

Susunan hifanya tidak beraturan dengan lapisan laminasi pada dinding spora.

Spora memiliki satu atau lebih lapisan dinding bagian luar. Dudukan berbentuk silindris atau sedikit berbentuk corong pada dasar spora. Contoh spora Septoglomus disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Spora Septoglomus (INVAM, 2017) 11. Dentiscutata

Genus Dentiscutata biasanya memiliki ornamen spora. Memiliki dinding spora yang berlapis-lapis dan dua dinding bagian dalam yang fleksibel. Auxiliary cell berdinding tipis dengan permukaan yang halus dan menonjol, dan dihasilkan pada hifa dalam tanah dekat permukaan akar. Contoh spora Dentiscutata disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Spora Dentiscutata (INVAM, 2017) 12. Rhizophagus

Perkembangan spora Rhizophagus mirip dengan perkembangan spora pada genus Glomus. Spora glomoid terbentuk secara tunggal pada tanah dan juga akar.

(25)

14 Genus cenderung tidak membentuk struktur vesikular-arbuskular yang khas.

Contoh spora Rhizophagus disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Spora Rhizophagus (INVAM, 2017) 13. Racocetra

Genus Racocetra bisa memiliki ornamen spora. Spora memiliki dua lapis dinding spora dan dua lapis dinding germinal dalam yang fleksibel. Auxiliary cell berdinding tipis dengan permukaan halus dan menonjol, dan diproduksi melalui hifa di tanah yang dekat dengan permukaan akar. Contoh spora Racocetra disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Spora Racocetra (INVAM, 2017) 2.3. Identifikasi dan Karakterisasi Mikoriza

Teknik identifikasi dan karakterisasi mikoriza secara umum ada dua, yaitu : 1. Teknik Pendekatan Morfologi

Identifikasi dengan menggunakan morfologi merupakan jenis identifikasi yang umum digunakan. Identifikasi ini merupakan dasar identifikasi mikoriza karena hifa dan organ-organ lainnya seperti arbuskular dan vesikular tidak spesifik untuk setiap spesies. Beberapa genus seperti Archaeospora tidak hanya membutuhkan karakteristik morfologi tapi juga membutuhkan data sekuens.

Karakteristik yang diperoleh selanjutnya dicocokkan dengan deskripsi spesies yang ada dalam dalam rujukan asli. Rujukan yang umum digunakan adalah INVAM dan Morton (FNCA, 2012).

(26)

15 Kelemahan identifikasi berdasarkan morfologi adalah spora yang dikoleksi dari lapangan sering terkena parasit atau mengalami kerusakan sehingga tidak dapat diidentifikasi. Selain itu, identifikasi tanpa keahlian yang cukup dapat menyebabkan kesalahan pendugaan spesies. Oleh karena itu, identifikasi spesies sebaiknya di bawah bimbingan ahli fungi mikoriza (Hidayat, 2015).

2. Teknik Pendekatan Molekuler

Penanda molekuler telah dikembangkan untuk keperluan deteksi dan identifikasi mikoriza. Pendekatan molekular dilakukan berdasarkan prinsip mengeksploitasi variasi genetik. Studi tentang genom mikoriza telah menjadi tren, karena disadari bahwa fungi ini memiliki banyak genom dibandingkan dengan zygomycetes lain, yaitu berkisar 0.13 sampai 1.0 pg DNA per nukleus. Analisis terhadap komposisi basa DNA Sembilan spesies glomelian memperlihatkan kandungan GC rendah dengan level tinggi methylcytisine. dan genom memiliki sekuens DNA ulangan yang banyak. Metode molekular telah berhasil dilakukan untuk mempelajari sekuens rDNA dari mikoriza (Hidayat, 2015).

Kurangnya konsep spesies yang jelas dan polimorfisme gen penanda yang digunakan membuat kesulitan dalam identifikasi mikoriza secara molekuler. Satu lokus genetik tunggal (misalnya rDNA) juga tidak bisa memberikan perbedaan yang jelas antara variasi genetik intra-spesies dan antar spesies. Masalah yang ditemui dalam identifikasi ini adalah kesulitan dalam ekstraksi DNA. Dalam identifikasi secara molekuler, primer spesifik sangat dibutuhkan. Merancang satu primer pada semua jamur glomalean dan lainnya terbukti sangat sulit. Masalah tersebut bisa dipecahkan dengan menggunakan primer kelompok tertentu. Namun, penggunaan primer ini membutuhkan perencanaan yang sangat teliti (Reddy dkk, 2005)

(27)

16

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama bulan Oktober 2017 hingga Februari 2018.

Proses pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan di Hutan Rakyat Desa Balong Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba dan Hutan Rakyat Desa Lamatti Riawang Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai (Gambar 17). Proses isolasi dan identifikasi spora dilakukan di Laboratorium Kehutanan Terpadu dan Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.

Gambar 17. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah dan Akar Gmelina arborea

(28)

17 Desa Balong adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba. Batas administrasi dari Desa Balong, yaitu (BPS Kabupaten Bulukumba, 2011):

Utara : Desa Tamatto Kecamatan Ujung Loe Timur : Desa Balleangin Kecamatan Ujung Loe Selatan : Desa Garanta Kecamatan Ujung Loe Barat : Desa Lonrong Kecamatan Ujung Loe

Desa Balong terletak pada ketinggian 96 mdpl dengan curah hujan rata-rata 350 mm per tahun. Musim kering berlangsung sangat panjang dan suhu udara dapat mencapai 46˚C. Jenis tanah bervariasi antar dusun, namun yang paling umum adalah Planosol (Bisjoe dkk, 2016). Peta letak pohon pengambilan sampel tanah dan akar pada hutan rakyat di Desa Balong Kabupaten Bulukumba disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Titik Pengambilan Sampel Tanah dan Akar pada Tegakan Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba

(29)

18 Desa Lamatti Riawang merupakan salah satu desa di Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Wilayah desa Lamatti Riawang memiliki batas-batas sebagai berikut (Pemerintah Desa Lamatti Riawang, 2014) :

Sebelah Utara : Desa Raja Kecamatan Kahu Kabupaten Bone Sebelah Selatan : Desa Lamatti Riaja Kecamatan Bulupoddo Sebelah Timur : Desa Lamatti Riaja Kecamatan Bulupoddo Sebelah Barat : Desa Lamatti Riattang Kecamatan Bulupoddo

Desa Lamatti Riawang terletak pada ketinggian 25 – 100 mdpl dengan curah hujan rata-rata 2345 mm/tahun. Kelembaban udara rata-rata, tercatat berkisar antara 64 - 87%, dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 21,1˚C - 32,4˚C.

Struktur batuan memiliki formasi Walanae yang tersusun dari perselingan batu pasir, konglomerat, tufa dengan sisipan batu lanau, batu lempung, batu gamping, napal dan lignit dan batu pasir. Jenis tanah di desa ini adalah inseptisol (PPSP, 2012). Peta letak pohon pengambilan sampel tanah dan akar pada di Desa Lamatti Riawang disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Titik Pengambilan Sampel Tanah dan Akar pada Tegakan Melina di Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai

(30)

19 3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan akar tanaman adalah cangkul, kantong plastik, linggis, gunting, spidol, kamera, dan GPS. Alat yang akan digunakan di laboratorium adalah gelas ukur dan gelas piala, sentrifus dan tabung sentrifus, timbangan analitik, saringan spora (53 𝜇m, 45 𝜇m dan 38 𝜇m), cawan petri, pipet tetes, pinset, pengaduk, kaca objek, kaca penutup, blender, mikroskop primostar trinokular, kalkulator dan alat tulis menulis.

Bahan yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan akar adalah label. Sedangkan bahan yang digunakan di laboratorium adalah sampel tanah dan akar Melina, glukosa 60%, larutan FAA 1000 ml (formalin 900 ml, asam asetat 50 ml, alkohol 50 % sebanyak 50 ml), larutan KOH 10% 1000 ml, larutan H2O2 10%

1000 ml, larutan HCl 2% 1000 ml, larutan staining 250 ml (gliserol 100 ml, asam laktat 100 ml, aquades 50 ml dan trypan blue 0,12 gram) dan aluminium foil.

3.3. Prosedur Kerja

Prosedur kerja dari penelitian ini dibagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu : 3.3.1. Pengambilan Sampel Tanah dan Akar

Prosedur kerja pengambilan sampel tanah dan akar tanaman, yaitu :

1. Menentukan masing-masing lima pohon Melina yang akan dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel secara purposive sampling dan mengambil titik koordinatnya. Titik koordinat pohon sampel Melina disajikan pada Lampiran 6.

2. Mengambil sampel tanah dan akar di bawah pohon Melina dengan ke dalaman tanah 0 cm – 20 cm pada jarak ¾ dari pangkal tajuk. Tanah diambil di sekitar daerah perakaran tanaman dari empat arah mata angin (Gambar 20).

(31)

20 Gambar 20. Pola Pengambilan Sampel Tanah dan Akar pada Tegakan Melina

(Selvaraj dkk, 2001)

3. Memasukkan sampel tanah dan akar ke dalam kantong plastik dan diberi label yang tertulis jenis tanaman, lokasi pengambilan, tanggal pengambilan dan nama pengambil sampel. Pengambilan sampel tanah dan akar disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2

4. Setiap lokasi diambil 20 sampel tanah dan 20 sampel akar. Jadi secara keseluruhan, terdapat 40 sampel tanah dan 40 sampel akar untuk seluruh lokasi.

3.3.2. Isolasi dan Identifikasi Mikoriza pada Tanah

Teknik yang digunakan adalah teknik tuang saring basah (Pacioni, 1992 dalam Yulianitha, dkk, 2011) dan dilanjutkan dengan sentrifugasi (Brundrett dkk., 1996). Prosedur kerja isolasi dan identifikasi mikoriza pada sampel tanah, yaitu :

U

T

S B

(32)

21 1. Menimbang 25 gram sampel tanah pada setiap arah mata angin

2. Mengompositkan tanah dari empat arah mata angin pada setiap pohon 3. Melarutkan sampel tanah yang telah dikompositkan dengan 200 – 300 ml air.

4. Mengaduk dan mendiamkan larutan selama 15 – 30 detik. Proses pengadukan suspensi tanah disajikan pada Lampiran 3.

5. Menyaring dalam satu set saringan bertingkat dengan ukuran 53 μm, 45 μm dan 38 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Proses penyaringan suspensi tanah dan hasil saringannya disajikan pada Lampiran 3.

6. Memidahkan bahan yang lolos ke dalam tabung sentrifus dan menambahkan glukosa 60 % setinggi 2 cm

7. Menutup rapat tabung dan melakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2500 ppm selama 3 menit.

8. Menuangkan endapan yang tersisa ke dalam cawan petri

9. Membuat preparat slide dan melakukan pengamatan morfologi spora (warna, bentuk, ukuran, dudukan hifa dan ornamen spora). Hasil pengamatan yang telah dilakukan diidentifikasi menggunakan panduan INVAM

3.3.3. Kolonisasi Mikoriza pada Akar

Teknik pengamatan kolonisasi mikoriza pada akar menggunakan metode panjang akar terinfeksi (Giovannetti dan Mosse, 1980 dalam Husna, 2003).

Prosedur kerja kolonisasi mikoriza pada akar tanaman, yaitu :

1. Memilih akar-akar halus segar dari tanaman lalu mencucinya hingga bersih.

Proses pencucian sampel akar dengan air disajikan pada Lampiran 4.

2. Merendam sampel akar dalam larutan FAA selama 24 jam kemudian membuang larutan FAA dan mencuci sampel akar hingga bersih. Proses pemberian larutan FAA pada sampel akar disajikan pada Lampiran 4.

3. Merendam sampel akar ke dalam larutan KOH 10% selama 24 jam kemudian membuang larutan KOH dan mencuci akar sampai bersih

4. Merendam akar ke dalam larutan H2O210 % selama 24 jam kemudian membuang larutan H2O2 dan mencuci akar sampai bersih

5. Merendam akar dalam larutan HCl 2 % selama 24 jam kemudian membuang larutan HCl dan mencuci akar hingga bersih. Proses perendaman akar dengan larutan HCl 2 % disajikan pada Lampiran 4.

(33)

22 6. Akar dibagi menjadi dua bagian. satu bagian dikeringkan dan lainnya direndam dalam larutan staining selama 24 jam. Akar dibungkus dengan aluminium foil agar terhindar dari cahaya

7. Akar yang sudah diwarnai selanjutnya disayat sebanyak lima sampel akar dengan panjang 1 cm untuk masing-masing bagian akar (pangkal, tengah, ujung, ujung cabang dan pangkal cabang) seperti pada Gambar 21. Akar yang telah disayat kemudian disusun pada kaca preparat dan diamati di bawah mikroskop.

Gambar 21.Bagian Akar yang Diamati (a) Pangkal Akar

(b) Tengah Akar (c) Ujung Akar

(d) Pangkal Cabang Akar (e) Ujung Cabang Akar

8. Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Instrumen yang diamati berupa keberadaan hifa, vesikular dan arbuskular.

3.3.4. Identifikasi Spora Mikoriza pada Akar

Identifikasi spora mikoriza dilakukan dengan menggunakan metode pewarnaan akar (Nusantara dkk, 2012 dalam Ura dkk, 2015). Prosedur identifikasi spora mikoriza yaitu :

1. Sebagian sampel akar yang telah dibagi menjadi dua dikeringkan selama 24 jam lalu diblender sampai halus.

2. Merendam sampel akar yang telah diblender dengan larutan staining selama 24 jam

3. Mengambil tiga sampel akar terhalus dan disusun dalam kaca preparat

(34)

23 4. Potongan-potongan akar tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop.

Proses identifikasi spora dengan mikroskop disajikan pada Lampiran 5.

3.4. Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini, yaitu : 1. Morfologi Spora Mikoriza

Spora yang ditemukan pada sampel tanah dan akar diamati karakter morfologinya berupa bentuk, warna, dudukan hifa dan ornamen spora. Morfologi spora didapatkan melalui hasil ekstraksi.

2. Genus Spora Mikoriza

Jenis spora yang ditemukan pada sampel akar dan tanah dilakukan identifikasi hingga tingkat genus. Identifikasi didasarkan pada morfologi spora berupa bentuk, warna, dudukan hifa dan ornamen, serta dicocokkan dengan ciri spora pada situs INVAM.

3. Kelimpahan Relatif Spora

Kelimpahan relatif dihitung berdasarkan rumus (Shi dkk, 2004):

Kelimpahan relatif = Jumlah Spora dalam Suatu Genus

Jumlah Spora Keseluruhan × 100 % 4. Infeksi Akar

Kolonisasi perakaran dilihat berdasaran persen infeksi perakaran oleh struktur mikoriza yang dihitung berdasarkan rumus (Setiadi, 1992) :

% Infeksi Akar = Jumlah Akar Terinfeksi

Total Seluruh Akar yang Diamati× 100%

3.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh, diolah dan disajikan dalam bentuk data tabulasi dan gambar. Kriteria klasifikasi banyaknya akar yang terinfeksi digolongkan ke dalam lima kelas.

(35)

24 Tabel 1. Klasifikasi Banyaknya Infeksi Akar

Persen Kolonisasi (%) Kategori

0– 5 Sangat Rendah

6 – 25 Rendah

26 – 50 Sedang

51 – 75 Tinggi

76 – 100 Sangat Tinggi

Sumber : Setiadi 1994 dalam Lukman dan Khotimah 2015

(36)

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Mikoriza pada Sampel Tanah dan Akar

4.1.1. Mikoriza pada Sampel Tanah

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis spora mikoriza yang ditemukan pada kedua lokasi penelitian adalah Glomus dan Gigaspora.

Keduanya memiliki karakteristik morfologi yang berbeda. Karakteristik morfologi spora pada sampel akar disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Morfologi Spora pada Sampel Tanah Hasil Pengamatan

Kode Sampel Bentuk dan Warna Genus Gambar (Perbesaran 400x)

B1(1), B3(1), B4 (1), S2 (1), S3 (1), S4 (1) dan S5 (1)

Bulat dan Kuning Glomus

B1 (1), S1(1)

dan S4 (1) Oval dan Kuning Glomus

B1 (1), B2 (1), S1 (1) dan S2 (1)

Bulat dan Ungu Glomus

B2 (1) dan B5

(1) Oval dan Hitam Glomus

(37)

26 Lanjutan Tabel 2

Kode Sampel Bentuk dan Warna Genus Gambar (Perbesaran 400x)

B2 (1), B3 (1), B5 (1), dan S1 (1)

Bulat dan Hitam Glomus

B3 (2) Iregular dan Hitam Gigaspora

Keterangan : B (Bulukumba); S (Sinjai)

Berdasarkan Tabel 2, Spora yang ditemukan pada sampel tanah adalah Glomus dan Gigaspora. Bentuk-bentuk karakteristik spora yang ditemukan yaitu : 1. Glomus

Spora Glomus yang ditemukan pada umumnya berbentuk bulat dan oval dengan warna hitam, kuning dan ungu. Spora yang ditemukan ada yang terbentuk secara tunggal dan berkelompok. Tidak semua spora genus yang ditemukan memiliki dudukan hifa. Identifikasi spora Glomus dilakukan dengan mencocokkan spora Glomus hasil pengamatan dengan spora INVAM seperti pada Gambar 22.

Gambar 22. Perbandingan Gambar Spora Glomus pada Sampel Tanah Hasil Pengamatan dengan Spora berdasarkan INVAM

(a) dan (b) Glomus Hasil Pengamatan (Perbesaran 400x) (c) dan (d) Glomus berdasarkan INVAM (2017)

a b

c d

(38)

27 2. Gigaspora

Gigaspora yang ditemukan pada sampel tanah berbentuk iregular dengan warna hitam. Spora dihasilkan secara tunggal dan tidak terlihat adanya dudukan hifa yang melekat sehingga bulbous suspensor tidak terlihat. Identifikasi spora Gigaspora dilakukan dengan mencocokkan Gigaspora hasil pengamatan dengan spora INVAM seperti pada Gambar 23.

Gambar 23. Perbandingan Gambar Spora Gigaspora pada Sampel Tanah Hasil Pengamatan dengan Spora berdasarkan INVAM

(a) Spora Gigaspora Hasil Pengamatan (Perbesaran 400x) (b) Spora Gigaspora berdasarkan INVAM (2017)

.Kelimpahan relatif merupakan salah satu penentu dari penilaian kualitatif spora. Kelimpahan relatif ialah jumlah genus yang terdapat pada lokasi pengamatan dibagi dengan total spora yang ada pada lokasi pengamatan dengan dikali 100 %. Data ini menunjukan besarnya kelimpahan suatu jenis spora dalam suatu lokasi pengamatan. Persentase kelimpahan relatif spora pada sampel tanah kedua lokasi disajikan pada Tabel 3, sementara perhitungan kelimpahan relatif spora pada sampel tanah disajikan pada Lampiran 7.

Tabel 3. Kelimpahan Relatif Spora Mikoriza pada Sampel Tanah di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai

No Lokasi Kelimpahan Relatif (%)

Glomus Gigaspora

1 Desa Balong Kabupaten

Bulukumba 84,6 15,4

2 Desa Lamatti Riawang

Kabupaten Sinjai 100 -

Berdasarkan Tabel 3, Glomus memiliki kelimpahan relatif tertinggi pada sampel tanah pada kedua lokasi pengambilan sampel. Kelimpahan relatif Glomus pada sampel tanah kedua lokasi bahkan mencapai ˃ 80 %. Tingginya nilai kelimpahan Glomus disebabkan karena genus ini memiliki penyebaran yang luas (Tarmedi, 2006) dan mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap

b a

(39)

28 lingkungannya (Puspitasari dkk, 2012). Salah satu adaptasi yang dilakukan oleh genus Glomus yaitu mempunyai perkecambahan spora yang lebih cepat yaitu hanya memerlukan 4 – 6 hari. Genus Glomus lebih cepat berkecambah karena ukuran spora yang lebih kecil menyebabkan fase hidrasi terjadi sangat cepat, sehingga aktivitas enzim yang berhubungan dengan proses perkecambahan akan berlangsung lebih cepat (Saputra dkk, 2015). Genus spora lain yang ditemukan yaitu Gigaspora namun genus ini hanya ditemukan pada sampel tanah Bulukumba.

Menurut Sundari dkk (2011), perbedaan jenis spora yang ditemukan dipengaruhi oleh adanya perbedaan lokasi dan rhizosfer. Perbedaan lokasi sekaligus akan mempengaruhi perbedaan sifat tanah yang menjadi penentu dalam kehidupan spora mikoriza. Jenis tanah kedua lokasi penelitian berdasarkan Sunarko (2014) dan Nursyamsi dkk (2012) terdapat pada Lampiran 11.

Jenis tanah pada kedua lokasi penelitian berdasarkan Sunarko (2014) dan Nursyamsi dkk (2012) memiliki kandungan liat cukup tinggi dan pH tanah yang berada dalam kisaran masam hingga netral. Hal ini menyebabkan kelimpahan relatif spora Glomus di kedua lokasi tersebut menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiastuti dan Kramadibrata (1992) yang menyatakan bahwa contoh tanah yang didominasi oleh fraksi liat sangat sesuai dalam kehidupan spora Glomus. Simangunsong (2006) juga menyatakan bahwa Glomus mudah pada tanah dengan kisaran pH masam hingga netral.

4.1.2. Mikoriza pada Sampel Akar

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis spora mikoriza yang ditemukan pada kedua lokasi penelitian adalah Glomus, Gigaspora dan Scutellospora. Karakteristik morfologi spora pada sampel akar disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Morfologi Spora pada Sampel Akar Hasil Pengamatan

Kode Sampel Bentuk dan Warna Genus Gambar (Perbesaran 400x)

B1 (1), B3 (1)

dan S2 (1) Iregular dan Hitam Scutellospora

(40)

29 Lanjutan Tabel 4

Kode Sampel Bentuk dan Warna Genus Gambar (Perbesaran 400x)

B1 (1) dan B2 (1) Iregular dan Biru Scutellospora

B1 (1) dan B4 (1) Iregular dan Hitam Gigaspora

B3(3), B5(1) dan

S3 (1) Bulat dan Hitam Glomus

B1 (1) , B2(2), B4(2), B5 (1), S1(2), S3 (1), S4(2), S5(2)

Oval dan Biru Glomus

S2 (1) Bulat dan Bening Glomus

Keterangan : B (Bulukumba); S (Sinjai)

Berdasarkan Tabel 4, spora yang ditemukan pada sampel akar yaitu Glomus, Gigaspora dan Scutellospora. Bentuk-bentuk karakteristik spora yang ditemukan dalam lokasi penelitian, yaitu :

(41)

30 1. Glomus

Spora Glomus yang ditemukan berbentuk bulat dan oval serta berwarna biru, hitam dan bening. Tidak semua spora yang diamati memiliki dudukan hifa. Spora ada yang terbentuk secara tunggal maupun berkelompok. Identifikasi spora Glomus dilakukan dengan mencocokkan Glomus hasil pengamatan dengan spora pada INVAM seperti di Gambar 24.

Gambar 24. Perbandingan Gambar Spora Glomus pada Sampel Akar Hasil Pengamatan dengan Spora berdasarkan INVAM

(a) dan (b) Spora Glomus Hasil Pengamatan (Perbesaran 400x) (c) Spora Glomus berdasarkan INVAM (2017)

2. Gigaspora

Gigaspora yang ditemukan iregular serta berwarna hitam. Spora dihasilkan secara tunggal. Tidak terlihat adanya dudukan hifa yang melekat sehingga bulbous suspensor tidak terlihat. Identifikasi spora Gigaspora dilakukan dengan mencocokkan Gigaspora hasil pengamatan dengan spora pada INVAM di Gambar 25.

Gambar 25. Perbandingan Gambar Spora Gigaspora pada Sampel Akar Hasil Pengamatan dengan Spora berdasarkan INVAM

(a) Spora Gigaspora Hasil Pengamatan (Perbesaran 400x) (b) Spora Gigaspora berdasarkan INVAM (2017)

3. Scutellospora

Scutellospora yang ditemukan memiliki bentuk iregular dengan warna hitam dan biru. Spora memiliki dudukan hifa dan tidak memiliki ornamen.

Identifikasi spora Scutellospora dilakukan dengan mencocokkan Scutellospora hasil pengamatan dengan spora pada INVAM seperti di Gambar 26.

a b c

a b

(42)

31 Gambar 26. Perbandingan Gambar Spora Scutellospora pada Sampel Akar Hasil

Pengamatan dengan Spora berdasarkan INVAM

(a) dan (b) Spora Scutellospora Hasil Pengamatan (Perbesaran 400x) (c) Spora Scutellospora berdasarkan INVAM (2017)

.Kelimpahan relatif merupakan salah satu penentu dari penilaian kualitatif spora. Kelimpahan relatif ialah jumlah genus yang terdapat pada lokasi pengamatan dibagi dengan total spora yang ada pada lokasi pengamatan dengan dikali 100 %. Data ini menunjukan besarnya kelimpahan suatu jenis spora dalam suatu lokasi pengamatan. Persentase kelimpahan relatif spora pada sampel akar kedua lokasi disajikan pada Tabel 5, sementara perhitungan kelimpahan relatif spora pada sampel akar disajikan pada Lampiran 8.

Tabel 5. Kelimpahan Relatif Spora Mikoriza pada Sampel Akar Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai

No Lokasi

Kelimpahan Relatif (%)

Glomus Gigaspora Scutellospora

1 Desa Balong Kabupaten

Bulukumba 62,5 12.5 25

2 Desa Lamatti Riawang

Kabupaten Sinjai 90 - 10

Berdasarkan Tabel 5, Glomus memiliki kelimpahan relatif tertinggi pada sampel tanah kedua lokasi pengambilan sampel. Tingginya nilai kelimpahan Glomus disebabkan karena genus ini memiliki penyebaran yang luas (Tarmedi, 2006) dan mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap lingkungannya (Puspitasari dkk, 2012). Salah satu adaptasi yang dilakukan oleh genus Glomus yaitu mempunyai perkecambahan spora yang lebih cepat yaitu hanya memerlukan 4 – 6 hari. Genus Glomus lebih cepat berkecambah karena ukuran spora yang lebih kecil menyebabkan fase hidrasi terjadi sangat cepat, sehingga aktivitas enzim yang berhubungan dengan proses perkecambahan akan berlangsung lebih cepat (Saputra dkk, 2015). Genus spora lain yang ditemukan pada sampel tanah

a b c

(43)

32 yaitu Scutellospora dan Gigaspora. Scutellospora merupakan genus kedua yang mendominasi kedua lokasi sementara Genus Gigaspora hanya ditemukan pada sampel akar Melina di lokasi Bulukumba.

Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan genus spora yang ditemukan adalah faktor lokasi dan rhizosfer. Perbedaan lokasi dan rhizosfer secara langsung akan mempengaruhi perbedaan jenis tanah yang menjadi faktor pembatas dalam kehidupan spora. Jenis tanah kedua lokasi penelitian berdasarkan Sunarko (2014) dan Nursyamsi dkk (2012) terdapat pada Lampiran 11.

Jenis tanah pada kedua lokasi penelitian berdasarkan Sunarko (2014) dan Nursyamsi dkk (2012) memiliki kandungan liat cukup tinggi dan pH tanah yang berada dalam kisaran masam hingga netral. Hal ini menyebabkan kelimpahan relatif spora Glomus di kedua lokasi tersebut menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiastuti dan Kramadibrata (1992) yang menyatakan bahwa contoh tanah yang didominasi oleh fraksi liat sangat sesuai dalam kehidupan spora Glomus. Simangunsong (2006) juga menyatakan bahwa Glomus mudah pada tanah dengan kisaran pH masam hingga netral.

4.2. Struktur Pembentuk Mikoriza

Hasil penelitian menunjukkan adanya struktur pembentuk mikoriza yang ditemukan pada sampel akar yaitu hifa, arbuskular dan vesikular. Hifa menyerupai serabut halus yang menjalar dan berwarna biru di jaringan akar, arbuskular berbentuk seperti percabangan halus yang menyerap trypan blue dan struktur vesikular pada akar memiliki bentuk bulat dan bereaksi terhadap larutan trypan blue.

Struktur hifa, vesikular dan arbuskular bisa terdapat dalam satu akar, tapi bisa juga salah satu atau dua struktur saja. Menurut Utobo dkk (2011) memang tidak semua jenis mikoriza mampu membentuk struktur lengkap di dalam sel akar.

Beberapa jenis mikoriza mungkin dapat membentuk vesikula namun jenis lain tidak. Demikian pula dengan percabangan hifa pembentuk sel auxiliary di dalam tanah. Struktur pembentuk mikoriza yang ditemukan disajikan pada Gambar 27.

(44)

33 Gambar 27. Struktur Pembentuk Mikoriza pada Sampel Akar Melina Hasil

Pengamatan (Perbesaran 400x)

Infeksi dimulai ketika cendawan masuk ke dalam akar dan membentuk hifa.

Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar atau melalui celah antar sel epidermis dan berkembang di dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskula, vesikel intraseluler dan hifa internal di antara sel-sel korteks. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Hifa tersebut berkembang tanpa merusak sel (Novriani, 2006). Struktur pembentuk mikoriza yang ditemukan pada setiap bagian akar disajikan pada Lampiran 9 dan Lampiran 10 sementara total keseluruhan struktur pembentuk mikoriza yang ditemukan pada bagian akar disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Total Struktur Pembentuk Mikoriza yang Ditemukan pada Sampel Akar Melina di Desa Balong Kabupaten Bulukumba dan Desa Lamatti Riawang Kabupaten Sinjai

Bagian Akar Hifa Arbuskular Vesikular Total

Pangkal Akar 7 4 5 16

Tengah Akar 10 6 4 20

Ujung Akar 9 4 8 21

Ujung Cabang Akar 10 8 7 25

Pangkal Cabang Akar 11 5 3 19

Berdasarkan Tabel 6, terlihat adanya struktur pembentuk mikoriza pada seluruh bagian akar. Bagian akar berturut-turut yang memiliki struktur pembentuk

Hifa Arbuskular Vesikular

(45)

34 mikoriza adalah ujung cabang akar (25 struktur), ujung akar (21 struktur), tengah akar (20 akar), pangkal cabang akar (19 struktur) dan pangkal akar (16 struktur).

Bagian ujung cabang akar merupakan bagian akar yang paling banyak terinfeksi, sementara bagian pangkal akar memiliki jumlah infeksi paling rendah.

Menurut Santoso (1987), infeksi yang dilakukan oleh fungi mikoriza lebih banyak terjadi pada akar muda di belakang jaringan meristem. Akar muda memiliki diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan akar tua. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Puspitasari dkk (2012) yang menyatakan bahwa penetrasi hifa ditentukan oleh besar kecilnya diameter akar. Diameter yang besar memiliki lapisan epidermis lebih tebal dan menyulitkan penetrasi hifa untuk masuk ke dalam sel korteks.

4.3. Persentase Kolonisasi Akar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase kolonisasi mikoriza pada kedua lokasi berbeda. Rata-rata persentase infeksi mikoriza pada sampel akar disajikan pada Gambar 28.

Gambar 28. Rata-Rata Persentase Infeksi Mikoriza pada Sampel Akar Tegakan Melina di Bulukumba dan Sinjai

Berdasarkan Gambar 28, rata-rata persentase infeksi pada sampel akar Melina di kedua lokasi masuk dalam kategori sedang. Persentase infeksi mikoriza

34%

43%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

Kabupaten Bulukumba Kabupaten Sinjai

Rata-Rata Persentase Infeksi Akar (%)

Lokasi Penelitian

(46)

35 di Desa Lamatti Riawang Kab.Sinjai sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan Desa Balong Kab. Bulukumba. Hal ini disebabkan karena kondisi curah hujan pengambilan sampel pada kedua lokasi berbeda. Pengambilan sampel akar Melina di Desa Balong dilakukan pada musim kemarau, sementara di Lamatti Riawang dilakukan pada musim hujan. Menurut Delvian dan Elfianti (2016), Pada kondisi curah hujan tinggi, umumnya persentase kolonisasi meningkat dan pembentukan spora berkurang, sebaliknya pada musim kemarau pembentukan spora baru akan meningkat. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut, kategori infeksi mikoriza kedua lokasi masuk dalam kategori sedang. Faktor lain yang mempengaruhi persentase infeksi akar adalah tekstur tanah, pH tanah, tanaman inang dan pengolahan tanah.

Jenis tanah kedua lokasi penelitian berdasarkan Sunarko (2014) dan Nursyamsi dkk (2012) terdapat pada Lampiran 11.

Kandungan bahan organik juga memiliki pengaruh terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah. Jenis tanah pada kedua lokasi pengambilan sampel berdasarkan Sunarko (2014) dan Nursyamsi dkk (2012) memiliki kandungan organik yang rendah. Kandungan organik yang rendah mencirikan bahwa ketersediaan unsur hara di lokasi tersebut juga rendah. Menurut Sasli dan Ruliyansyah (2012), tanah yang mempunyai unsur hara yang rendah cenderung mempunyai persentase infeksi yang tinggi, sedangkan tanah yang mempunyai unsur hara yang tinggi cenderung mempunyai infeksi akar yang rendah.

(47)

36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu :

1. Jenis spora yang ditemukan pada tanah dan akar tegakan Melina adalah Glomus, Gigaspora dan Scutellospora. Jenis Glomus lebih banyak ditemukan dibandingkan jenis lainnya.

2. Bagian akar yang paling banyak terinfeksi mikoriza adalah bagian ujung cabang akar dan bagian yang paling sedikit terinfeksi mikoriza adalah pangkal akar

3. Rata-rata persentase kolonisasi mikoriza pada lokasi penelitian tergolong sedang

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan identifikasi jenis-jenis mikoriza yang telah diperoleh pada tegakan Melina dengan menggunakan pendekatan molekuler

2. Perlu dilakukan penelitian seberapa besar pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan pohon.

(48)

37

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Ectendomychorriza of The Wollemi Pine.

http://bugs.bio.usyd.edu.au/learning/resources/Mycology/StructureFunction/

haustoria.shtml [10 Januari 2018]

Bisjoe, A.R.H., A.K. Wakka., N. Hayati., B. Sumirat., A. Ruru., A. Rahim., R.

Purwanti., N. Muin., Zainuddin., A. Hermawan., W. Isnan dan Supardi.

2016. Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat : Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, Forda Press, Makassar

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulukumba. 2011. Kecamatan Ujung Loe dalam Angka 2011.https://bulukumbakab.bps.go.id/ [15 Januari 2018]

Brundrett M., N. Bougher., B. Dell., T. Grove dan N. Malajxzuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture, Pirie Printers, Canberra

Brundrett, M.C. 2008. Mycorrhizal

Associations .www.mycorrhizas.info/vam.html. [10 Januari 2018]

Danda, D. 2015. Identifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Hutan Rakyat Jati (Tectona grandis) di Kabupaten Barru. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar

Daniel, B.A.H dan J.M. Trappe. 1980. Factors Affecting Spora Germination of the VAM Fungus Glomus Epigaeus. Mycologya, 72(3), 457-471

Delvian dan Elvianti. 2016. Variasi Musiman dan Distribusi Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Pertanaman Sawit. National Seminar of Biodiversity, Depok

Florido, L.V. dan A.T. Cornejo. 2002. Yemane Gmelina arborea Roxb. Research Information Series on Ecosystems, 14(2), 3-4

[FNCA] Forum for Nuclear Cooperation in Asia. 2012. Mycorrhiza.

http://www.fnca.mext.go.jp/english/bf/bfm/pdf/4_3_Mycorrhiza0403.pdf, [18 Maret 2018]

Gusmiaty., M. Restu., S.A. Paembonan., A. Arif dan S.H. Larekeng. 2015.

Mycorrhiza Diversity from Various Private Forest Ecosystem Types in South Sulawesi. Proseding International Conference on Lifes Sciences and Biotechnology. Jember, 185 – 188

Hidayat, C. 2015. Aplikasi PCR-RAPD dalam Identifikasi CMA. Jurnal ISTEK, Vol 8(4)

(49)

38 Husna. 2003. Studi Diversitas Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Asal Sulawesi Tenggara. Proseding Seminar Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endomikoriza dan Ektomikoriza untuk TanamanPertanian, Perkebunan dan Kehutanan, Bandung

Husna, F., T. Tuheteru dan Mahfuz. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati di Muna. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 5(1), 1-4

Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan, Bumi Aksara, Jakarta

[INVAM] International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Micorrhizal Fungi. 2017. Arbuscular Mycorrhizal Fungi. West Virginia University https://invam.wvu.edu/ [27 Maret 2017]

Janouskova, M., D. Pavlikova dan M. Votsaka. 2006. Potensial Contribution of Arbuscular Mycorrhiza to Cadmium Immobili Sation in Soil. Chemosphere Kosasih, A.S. 2013. Manual Budidaya Jati Putih. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan, Jakarta

Lukman., R. dan S. Khotimah. 2015. Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (mikoriza) pada Rhizosfer Tanaman Langsat (Lansium domesticum Corr.) di Lahan Gambut. Jurnal Protobiont, 4(3), 89-97

Manjunath., A. dan D.J. Bagyaraj. 1984. Components of VA Mycorrhiza Inoculum and Their Effects of Growth of Onion. New Phytologist, 87(2), 355-361

Misnawati., Y. dan Rahmawati. 2014. Pertumbuhan Stump Melina (Gmelina arborea Roxb.) pada Berbagai Perbedaan Lama Waktu Penyimpanan.

Warta Rimba, 2(2), 133-140

Mosse, B. 1981. Vesikular-Arbuskular Mycorrizha Research for Tropical Agriculture Tress, Bull, Hawai.

Novriani. 2006. Peran dan Prospek Mikoriza.

https://idaunsri.files.wordpress.com/2009/06/mikoriza.pdf [ 01 April 2018]

Nursyamsi, D., A. Budiarto dan L. Anggria. 2012. Pengelolaan Kahat Hara pada Inceptisols untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Jagung. Jurnal Tanah dan Iklim, Vol 20

Oehl, F., E. Sieverding., P. Mäder., D. Dubois., K. Ineichen., T. Boller dan A.

Wiemken. 2004. Impact of Long-Term Conventional and Organic Farming on the Diversity of Arbuscular Mychorrhizal Fungi. Oecologia, 138, 574- 583

Referensi

Dokumen terkait

La gestión de la seguridad es un esfuerzo desperdiciado si la identificación de los peligros se limita solamente a aquellos raros eventos donde hay lesiones

Penelitian ini tentunya diharapkan mampu menjawab seberapa penting variabel kualitas layanan untuk mengukur tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan, penelitian ini

Pokja 12 ULP Provinsi Jawa Tengah akan melaksanakan Prakualifikasi untuk paket pekerjaan jasa konsultansi secara elektronik sebagai berikut :..

Simpulan yang didapat adalah bahwa aplikasi web yang dibuat sangat membantu dalam perhitungan biaya dimana total biaya pembangkit yang dihasilkan lebih optimal

Tidak terdapat hubungan antara penggunaan alat kontrasepsi intra vaginal dengan kejadian kekambuhan servisitis ( p value 0,13 ), responden WPS di lokalisasi sunan

Guru bertanya kepada anak mengenai materi yang berkaitan dengan panjang pendek dengan benda yang diketahui anak. Guru menjelaskan mengenai macam- macam ukuran panjang

Mean values and standard deviations of the times spent by male and female river buffalo calves during the first 4 and 8 months of their lives in each type of suckling behavior;

Berdasarkan identifikasi yang telah dikemukakan di atas, agar penelitian terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka penulis memberi batasan permasalahan pada :