iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Pangkep, Mei 2020 Yang menyatakan,
Ivana Indriani
v
RINGKASAN
IVANA INDRIANI, 17 22 010 034 Teknik kultur Thallasiosira sp. Sebagai Pakan Alami Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei Boone) di PT. Matahari Sakti Situbondo Jawa Timur dibimbing oleh Rusli dan Andi Puspa Sari Idris.
Masalah teknis terbesar yang dihadapi oleh petani dalam menghasilkan benih yang berkualitas adalah ketidaksesuaian pakan alami yang digunakan dalam pemeliharaan larva. Oleh karena itu pengetahuan tentang teknik kultur pakan alami perlu dipelajari agar dapat diketahui teknik-teknik dalam mengkultur pakan alami.
Tugas Akhir ini disusun dengan tujuan untuk memperkuat penguasaan teknik kultur Thallasiosira sp. sebagai pakan alami untuk larva udang vaname (Litopenaeus vannamei), sehingga mampu melakukan pembenihan serta menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam manajemen pakan alami. Tugas akhir ini disusun berdasarkan kegiatan pengalaman kerja praktek mahasiswa (PKPM) yang dilaksanakan dari tanggal 31 Januari 2020 sampai 12 April 2020 di PT.
Matahari sakti, Situbondo, Jawa Timur.
Pertambahan populasi pada skala indoor pada wadah toples memiliki kepadatan yang cukup tinggi yaitu hari pertama 770.000 dan pada hari kedua mengalami peningkatan 965.00. Sedangkan pada wadah plastik pada hari pertama memiliki kepadatan 580.000 dan pada hari kedua 820.000. Pertambahan kepadatan populasi dapat dipengaruhi oleh wadah kultur, kualitas bibit, dan intensitas cahaya.
Pengukuran kualitas air pada kultur Thallasiosira sp. antara kultur skala indoor dan outdoor terdapat perbedaan kisaran kualitas air. Adanya perbedaan ini diduga disebabkan oleh tempat yang berbeda dimana pada kultur skala indoor dilakukan dalam ruangan yang tertutup sedangkan untuk skala outdoor dilakukan di tempat yang terbuka.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan dan atas izin-Nyalah saya dapat menyusun dan menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Teknik Kultur Thallasiosira sp. Untuk Pakan Alami Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei Boone)di PT. Matahari Sakti Situbondo Jawa Timur” dengan baik.
Laporan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai sebutan Ahli Madya Perikanan (A.Md.Pi) pada program studi budidaya perikanan yang dibuat berdasarkan praktek kerja lapangan yang dilaksanakan di PT. Matahari Sakti. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Laporan ini. Ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Rusli, S.Pi, M.Si selaku pembimbing I, ibu Dr. Andi Puspa Sari Idris, S.Pi.,M.Si selaku pembimbing ke II yang telah memberikan motivasi,arahan dan bimbingan hingga penyusunan tugas akhir ini selesai,
2. PT. Matahari Sakti yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan praktek kerja lapang.
3. Ketua Jurusan Budidaya Perikanan Bapak Ardiansyah, S.Pi, M.Biotech,St.,Ph.D
4. Bapak Dr. Ir.Darmawan.M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan
5. Ketua Program Studi Budidaya Perikanan ibu Dr. Andriani. S,Pi.,M.Si
vii
6. Rekan-rekan seangkatan di Jurusan Budidaya Perikanan, semua rekan penyusun, atas partisipasinya dan bantuanya dalam menyelesaikan tugas akhir ini
Akhirnya dengan tulus penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan baik berupa moril maupun materil serta beliau senantiasa mengiringi doa hingga penulis dapat menyusun tugas akhir ini dengan baik.
Semoga Laporan ini bermanfaat bagi pembaca.
Pangkep, Mei 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
RINGKASAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan dan Manfaat ... 2
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname ... 4
2.1.1 Klasifikasi ... 4
2.1.2 Morfologi ... 4
2.2 Makanan dan Kebiasaan Makan ... 5
2.3 Habitat dan Siklus Hidup ... 6
2.4 Plankton ... 8
2.5 Thallasiosira sp. ... 9
2.5.1 Biologi Thallasiosira sp. ... 9
2.5.2 Habitat Thallasiosira sp. ... 11
2.5.3 Budidaya Thallasiosira sp... 11
ix
2.5.4 Kandungan Gizi Thallasiosira sp... 12
2.5.5 Fase Pertumbuhan ... 12
III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 15
3.2 Alat dan Bahan ... 15
3.2.1 Alat... 15
3.2.2 Bahan ... 17
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 18
3.4 Metode Pelaksanaan ... 18
3.4.1 Persiapan Wadah Kultur ... 18
3.4.2 Persiapan Air ... 19
3.4.3 Persiapan Pupuk ... 20
3.4.4 Pemeliharaan ... 21
3.4.5 Pengukuran Kualitas Air ... 25
3.4.6 Pemanenan ... 25
3.5 Parameter yang diamati dan Analisis Data ... 26
3.5.1 Parameter yang Diamati ... 26
3.5.2 Metode Analisis Data ... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Populasi Thallasiosira sp. pada Kultur Skala Indor ... 28
4.2 Jumlah Populasi Thallasiosira sp. pada Kultur Skala Outdoor ... 30
4.3 SR Panen Larva ... 34
4.4. Kualitas Air untuk Kultur Thallasiosira sp. ... 35
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 38
5.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA . ... 40
LAMPIRAN ... ...42
RIWAYAT HIDUP ... 51
x
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 3.1 Alat yang Digunakan pada Kultur Pakan Alami Thallasiosira sp. .. 15 Tabel 3.2Bahan yang Digunakan pada Kultur Pakan Alami Thallasiosira sp. 17 Tabel 3.3 Dosis Pupuk untuk Kultur Thallasiosira sp. Skala Laboratorium ... 20 Tabel 3.4 Dosis Pupuk untuk Kultur Thallasiosira sp. Skala Outdoor ... 21 Tabel 3.5 Parameter Kualitas Air yang Diukur ... 25 Tabel 4.1. Standart Dosis Pemberian Thalassiosira sp. pada Setiap Stadia .... 35 Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Kualitas Air pada Kultur Thallasiosira sp... 35
xi
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 2.1 Morfologi Udang Vaname ... 5 Gambar 2.2 Gambar Thallasiosira sp. ... 10 Gambar 2.3 Grafik pertumbuhan plankton ... 13 Gambar 4.1 Grafik Pertambahan Populasi Thalassiosira sp. pada Wadah Toples (TP1)... 28 Gambar 4.2 Grafik Pertumbuhan Populasi Thalassiosira sp. pada Wadah Plastik (P1) ... 29 Gambar 4.3 Grafik Populasi Thalassiosira sp. pada Wadah Beton 5 Ton
(Intermediet) ... 30 Gambar 4.4 Grafik Ppulasi Thalassiosira sp. pada Wadah Beton 10 Ton (Massal) ... 31 Gambar 4.5 Grafik SR Larva Udang Vaname ... 34
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Alat dan Bahan ... 43
Lampiran 2. Kegiatan ... 45
Lampiran 3. Wadah Kultur ... 48
Lampiran 4. Gambar Thallasiossira sp. ... 49
Lampiran 5. Tabel Pemantauan Jumlah Populasi Thallasiossira sp. pada Kultur Skala Indoor dan Outdoor ... 50
I.
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Usaha meningkatkan pembangunan sub sektor perikanan khususnya dalam usaha pembenihan sangat penting diperhatikan demi kelangsungan benih yang dihasilkan. Salah satu usaha pembenihan yang cukup menjanjikan yaitu usaha pembenihan udang. Usaha pembenihan udang di dunia, dewasa ini semakin berkembang, salah satu jenis udang yang banyak dikembangkan yaitu udang vaname (Litopenaeus vannamei). udang vaname memiliki potensi dan prospek bagi dunia usaha perikanan sangat besar sehingga dapat memberikan akses komoditas udang di pasar internasional. Pemerintah mencanangkan budidaya udang vaname sebagai salah satu komoditas unggulan revitalisasi perikanan. Untuk mencapai target produksi udang sebesar 540.000 ton, diperlukan induk sedikitnya 900.000 ekor dan benur udang 52,31 milyar ekor (Ditjen Perikanan Budi Daya, 2014).
Semenjak budidaya udang vaname mendapat legalitas dari pemerintah, kebutuhan induk vaname dalam negeri pun mengalami peningkatan. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan benur yang terus menerus meningkat. Benur yang diharapkan di pasar adalah benur yang berkualitas sehingga dapat menghasilkan udang yang berkualitas juga. Dalam memproduksi benur yang berkualitas diperlukan menajemen dan pengelolaan induk yang baik dari segi genetik, nutrisi, maupun lingkungan hidupnya. Melalui kegiatan pembenihan yang baik dan sesuai dengan kaidah yang ditetapkan, diharapkan dapat menghasilkan benur yang baik sesuai dengan permintaan pasar.
2
Pakan alami merupakan kunci utama dalam pembenihan, baik ikan maupun udang. Pakan alami merupakan pakan terbaik, terutama untuk stadia larva, karena pakan alami memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap dan mudah untuk dicerna oleh larva yang belum memiliki alat pencernaan yang sempurna. Pakan alami digolongkan menjadi dua golongan, yaitu plankton hewani (zooplankton) dan plankton nabati (fitoplankton). Kedua jenis pakan alami tersebut sangat memegang peranan penting sebagai dasar pemenuhan gizi pada saat awal-awal kehidupan larva udang, ikan, kekerangan dan berbagai jenis komoditi perikanan lainnya.
Fitoplankton merupakan sumber produsen pertama pada jaringan rantai makanan, dari sinilah awal mula sumber energi utama yang terus digali dan dikembangkan dari berbagai macam jenis pakan alami.
Salah satu jenis fitoplankton yang digunakan sebagai pakan alami larva udang vaname yaitu jenis diatom. Diatom adalah mikroalga uniseluler fotosintetik yang memiliki dinding khas terbuat dari silica. Pola, ukuran, dan ornamentasi dinding sel yang khas menjadi ciri taksonomi jenis-jenis diatom. Ada beberapa zooplankton jenis diatom yang memiliki flagella seperti Thallasiosira sp. dan Chaetoceros sp, organisme ini biasa digunakan sebagai pakan dalam budidaya (Armanda, 2013).
I.2 Tujuan Dan Manfaat
Tujuan pembuatan tugas akhir ini adalah untuk memperkuat penguasaan teknik pemeliharaan dan pengelolaan pakan alami di PT. Matahari Sakti Situbondo, Jawa Timur.
3
Manfaat dari tugas akhir ini adalah sebagai bahan informasi untuk memperluas wawasan dan kompetensi keahlian dalam berkarya di masyarakat kelak khususnya pada bidang teknik pengelolaan pakan alami pada pembenihan udang vaname.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Udang Vaname
2.1.1 Klasifikasi
Udang vaname (L. vannamei ) termasuk genus Penaeus hidup di perairan Amerika dan merupakan salah satu udang putih yang cukup komersial. Klasifikasi udang vaname menurut Bonne (1931), yaitu:
Filum : Artrhopoda Kelas : Crustacea Subkelas : Melacostraca Ordo : Decapoda Familia : Panaeidae Genus : Panaeaus Subgenus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei, Bonne 2.1.2 Morfologi
Udang vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh digunakan untuk makan, bergerak, membenamkan diri ke dalam lumpur, menopang insang, dan organ sensor. Morfologi tubuh udang vaname dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1
5
Gambar 2.1. Morfologi udang vaname (Abdullah, 2017)
Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied untuk makan dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Endopodit kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugkan oleh coxa. Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis, 6 ischium, merus, carpus, dan cropus. Genus penaeus ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum serta hilangnya bulu cambuk (setae) pada tubuhnya. Secara khusus udang ini memiliki dua gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.2 Makanan Dan Kebiasaan Makan
Udang merupakan hewan omnivora penghuni dasar termasuk pemakan organisme dasar yang makan alaminya berupa plankton, cacing, siput, kerang, ikan,
6
moluska, biji-bijian serta tumbuh-tumbuhan. Udang vaname mencari dan mengindentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-blu halus (setae) yang berpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antenna, dan maxilliped. Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Selanjtnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan osephagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di dalam mulut ( Utomo, 2018).
Udang vaname juga pemakan hewan kecil di dasar atau bentik. Chlorophyta dan Baciolaryphyta (diatom) menjadi makanan paling dominan dari udang. Namun yang perlu diwaspadai adalah saat keadaan udang cukup lapar mereka bisa jadi kanibal pada sesamanya, bahkan udang dewasa yang sedang proses ganti kulit juga dimakannya. Makan untuk menghindari sifat kanibalisme ini, pada tempat budidaya udang selalu diberi makanan supaya sifat kanibalisme ini dapat dikendalikan.
Beberapa pendapat yang menyatakan bahwa udang dewass termasuk ke dalam kelompok omnivore merupakan suatu hal yang benar adanya. Melihat faktanya bahwa hewan ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dihabitatnya.
Udang bisa menyesuaikan diri untuk kelangsungan hidpunya dengan cara memakan baik hewan maupun tumbuhan yang ada disekitarnya.
2.3 Habitat Dan Siklus Hidup
Briggs et al., (2004) menyatakan bahwa udang vaname hidup di habitat laut tropis dimana suhu air biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun. Udang vaname
7
dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva udang vannamei akan bermigrasi ke pantai sampai pada stadia juvenil. Udang vannamei merupakan bagian dari organisme laut. Beberapa udang laut menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau.
Siklus hidup udang vannamei sebelum ditebar di tambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistem pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benur mengalami 3 kali moulting. Pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan yang berupa artemia.
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya, udang bersifat bentik dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir.
Lebih lanjut djelaskan bahwa induk udang putih ditemukan di perairan lepas pantai dengan ke dalaman berkisar antara 70-72 m. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous atau hidup didua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka.
Larva dan yuwana udang putih setelah menetas akan bermigrasi ke daerah pesisir pantai atau daerah mangrove yang biasa disebut daerah estuari (nursery ground), dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban
8
dan Sweeney, 1991). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lain, dimana mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan kembali ke laut (Elovoora, 2001).
2.4 Plankton
Plankton adalah makhluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus. Istilah
“plankton” yang berasal dari bahasa Yunani “planktos” yang berarti menghanyut atau mengembara (Romimohtarto dan Juan, 2005).
Pakan alami umumnya diberikan kepada organisme budidaya yang masih stadia larva karena ukuran pakan alami cocok dengan bukaan mulut larva sedangkan pakan buatan umumnya diberikan kepada organisme budidaya yang sudah berukuran bessar. Pakan alami memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pakan buatan yaitu nilai gizinya sangat lengkap dan sesuai dengan tubuh ikan, tidak menyebabkan penurunan kualitas air pada wadah budidaya, meningkatkan daya tahan tubuh benih terhadap penyakit dan perubahan kualitas air, mudah ditangkap karena pergerakan pakan alami tidak begitu aktif dan berukuran kecil sesuai dengan ukuran mulut larva (Furqooninspired 2012).
Ada berbagai jenis plankton yang digunakan dalam usaha pembenihan udang, salah satunya adalah plankton coklat. Plankton coklat adalah jenis plankton yang hanya memiliki klorofil terbatas sehingga mereka berwarna coklat dan apabila jenis ini mendominasi di perairan akan menimbulkan warna coklat pada perairan, contohnya Chaetoseros dan Skeletonema. Kedua jenis plankton ini hanya memiliki
9
chlorophyl a dan c serta beberapa carotenoid seperti fucoxanthin sehingga membuat mereka berwarna kecoklatan (Furqoninspired 2012).
2.5 Thallasiosira sp.
2.5.1 Biologi Thallasiosira sp.
Thalassiosira sp. adalah salah satu spesies diatom. Thalassiosira sp. seperti
halnya diatom lain merupakan algae yang bersifat uniseluler, eukaryotic, dan fotosintetis yang ditemukan diseluruh perairan laut dan tawar di dunia dan bertanggung jawab terhadap 20% produktivitas primer global. Mereka merupakan dasar pembentuk yang mendukung perikanan pantai skala besar. Fotosintesis oleh diatom laut seperti halnya Thalassiosira sp. menghasilkan 40% dari 45 – 50 milyar metrik ton karbon organik yang diproduksi didalam laut setiap tahunnya. Morfologi diatom digambarkan mempunyai bentuk ornamen seperti silika pada dinding selnya. Kalium dan silika merupakan nutrien yang banyak dimanfaatkan oleh diatom sebagai salah satu sumber elemen untuk membentuk komposisi frustala pada lapisan selnya pada proses asimilasi. Thalasiosira sp. memiliki bagian tubuh yang bernama fultoportulae yang dapat mensekresikan β kitin yang berguna agar Thalassiosira tidak tenggelam dan selnya selalu mengapung di perairan. Ciri-ciri dari Thalassiosira sp. adalah permukaan katup datar, terdapat fultoportulae di dekat pusat katup, memiliki dua katup yang dibatasi oleh duri-duri dan pada bagian tepi dilapisi oleh mantel (Anonim 2003, dalam Pratama, 2012).
10
Berikut adalah klasifikasi dari Thalassiosira sp. yang diklasifikasikan oleh International Taxonomi Standar Report (2008) dalam Panjaitan (2012) :
Divisi : Eukaryota
Phylum : Bacillariopita
Kelas : Bacillariophyceae
Sub kelas : Coscinodiscophyceae
Ordo : Thalassiosirales
Subordo : Thalassiosiraceae
Genus : Thalassiosira
Species : Thalassiosira weissflogii.
A B
Gambar 2.2. Morfologi Thallasiosira sp. (Tipswarta.blogspot.com) Pembesaran
11
2.5.2 Habitat Thallasiosira sp.
Menurut Smayda (1958) dalam Pratama (2012), Thalassiosira sp. dapat ditemukan di banyak tempat yaitu perairan laut mulai dari belahan bumi utara Antartika sampai belahan bumi selatan Cape Town, oleh karena itu banyak sekali spesies Thalassiosira yang sudah dikenal hingga saat ini, spesies-spesies tersebut antara lain adalah T. pseudonana, T. weissflogii, T. antarctica Comber, dan T.
hyalina. Rentang suhu hidup Thalassiosira sp dari 8,4OC – 17,2OC. Spesies lain dari Thalassiosira sp. ditemukan mampu hidup pada suhu yang lebih rendah, yaitu 1,77OC – 3,49OC. Rentan salinitas untuk Thalassiosira adalah 28 – 32 ppt . Salah satu spesies dari Thalassiosira, yaitu T.hyalina merupakan spesies yang di sebagian besar arus kutub dan distribusinya sejajar dengan arah aliran arus tersebut. Hal ini seperti yang terjadi pada arus Greenland Timur, yang berhubungan dan menyambung dengan laut Labrador. Pada beberapa daerah pantai di iklim dingin, sebagai contoh Skeletonema costatum tumbuh pada akhir musim dingin atau bahkan awal musim semi, tumbuhnya S. costatum ini menggantikan atau disuksesi oleh Thalassiosira sp. dan pada gilirannya nanti akan digantikan oleh Chaetocheros spp. dan begitu seterusnya.
2.5.3 Budidaya Thallasiosira sp.
Menurut Clark (2002) dalam Pratama (2012) budidaya Thalassiosira sp dilakukan dalam tiga tahap, yaitu laboratorium, semi massal, dan lapangan. Tahap laboratorium dikenal dengan skala kecil dan tahap lapangan (outdor) dikenal dengan skala massal. Pada skala laboratorium dilakukan kultur murni fitoplankton yang bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kelestarian alga. Budidaya skala
12
laboratorium ini pada umumnya dilakukan dalam ruangan tertutup dan kondisi lingkungan terkontrol pada setiap wadah budidayanya. Thalassiosira sp. dapat dikultur dalam skala laboratorium yaitu dengan menggunakan media air laut yang mengandung makronutrium di dalamnya yang meliputi 100 µM nitrat, 383 µM silikat dan 36 µM fosfat. Metode kultur selanjutnya yaitu kultur skala intermediate dan kultur skala massal. Kultur skala intermdiate dan kultur skala massal dilakukan di ruangan yang terbuka dan diberi atap yang tembus dengan cahaya matahari sehingga proses fotosintesis berjalan.
2.5.4 Kandungan Gizi Thallasiosira sp.
Menurut Gisella et.al (2012) Thalassiosira sp mempunyai kandungan protein sekitar 44,5%, kandungan karbohidrat 26,1% dan kandungan lemak sekitar 11,8% dari berat keringnya. Jenis fitoplankton ini adalah salah satu jenis pakan alami yang direkomendasikan untuk diberikan sebagai pakan alami karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain adalah nilai nutrisi yang dikandungnya memenuhi syarat bagi pertumbuhan larva udang vaname dan jenis crustacea lainnya.
2.5.5 Fase Pertumbuhan
Thalassiosira sp. sebagai salah satu jenis plankton memiliki fase
pertumbuhan. Fase pertumbuhan ini pada saat budidaya secara visual ditandai dengan adanya perubahan warna air dari awalnya bening menjadi berwarna coklat mudah dan kemudian menjadi coklat dan seterusnya, perubahan ini disertai dengan menurunnya transparansi. Kejadian tersebut merupakan indikasi dari meningkatnya ukuran sel dan bertambah banyaknya jumlah sel yang secara langsung akan
13
berpengaruh terhadap keadatan plankton. Menurut Kawaroe (2010) pola pertumbuhan mikroalga pada sistem kultivan terbagi menjadi 5 tahap dan dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Grafik pertumbuhan plankton Fase pertumbuhan plankton adalah sebagai berikut :
a. Fase lag
Pada fase lag belum mengalami perubahan. Pada fase ini pertumbuhan fitoplankton dikaitkan dengan adaptasi fisiologis metabolisme sel pertumbuhan fitoplankton, seperti peningkatan kadar enzim dan metabolit yang terlibat dalam pembelahan sel dan fiksasi karbon.
14
b. Fase logaritmik atau eksponensial
Pada fase eksponensial sel fitoplankton telah mengalami pembelahan sel dengan laju pertumbuhannya tetap. Pertumbuhan fitoplankton dapat maksimal tergantung pada spesies alga, intensitas cahaya dan temperatur.
c. Fase Stasioner
Pada fase ketiga faktor pembatas dan tingkat pertumbuhan seimbang. Laju kematian fitoplankton relatif sama dengan laju pertumbuhannya sehingga kepadatan fitoplankton pada fase ini relatif konstan.
d. Fase Kematian/Deklinasi
Pada fase kematian, kualitas air memburuk dan nutrient habis hingga ke level tidak sanggup menyokong kehidupan fitoplankton. Kepadatan sel menurun dengan cepat karena laju kematian fitoplankton lebih tinggi dari pada laju pertumbuhannya hingga kultur berakhir.
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Laporan Tugas Akhir ini disusun berdasarkan kegiatan PKPM yang dilaksanakan selama tiga bulan pada bulan Januari sampai April 2020 di PT.
Matahari Sakti, Situbondo, Jawa Timur.
3.2 Alat dan Bahan
Semua alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan kultur pakan alami Thallasiosira sp. dicacat secara terperinci, meliputi nama alat, spesifikasi dan fungsinya. Daftar alat dan bahan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan 3.2 di bawah.
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam kultur pakan alami thallasiosira sp.
terdapat pada tabel 3.1, antara lain :
Tabel 3.1. Alat yang digunakan pada kultur pakan alami thallasiosira sp..
Nama alat Spesifikasi Fungsi/kegunaan Cawan petri Diameter 0,5 m Wadah kultur skala laboratorium Testub agar Vol. 20 ml Wadah kultur skala laboratorium Testub Vol. 20 ml Wadah kultur skala laboratorium Erlenmeyer Vol. 200 ml Wadah kultur skala laboratorium Toples Vol. 2 L Wadah kultur skala laboratorium Plastik Vol. 10 L Wadah kultur skala laboratorium Bak beton Vol. 5 ton Wadah kultur skala intermediate Bak beton Vol. 10 ton Wadah kultur skala massal
Pipa Ɵ 2,5” Wadah penyaluran air dan pakan
Bulb Karet Alat penghisap
16
Nama alat Spesifikasi Fungsi/kegunaan
Kapas steril - Untuk menutup lubang pada plastik kultur
Karet gelang - Untuk mengikat plastik kultur
Gantungan wadah Besi Tempat menggantung plastik kultur Perangkat aerasi Greean marine ¼ inci Suplay oksigen
Timbangan elektrik 0,01 – 820 gr Untuk menimbang pupuk
Pompa celup Sentrifugal Hayward 1,5” Penyedot pakan alami yang akan di transfer
Termometer Skala 0-100 Untuk mengukur suhu ruangan Filter bag 1 µm Untuk menyaring air kultur murni
Galon 19 L Tempat air steril
Corong Plastik Alat bantu untuk kultur
Teko 2 L Alat bantu kultur
Gelas ukur 100 ml Wadah untuk mengukur pupuk
Pipet ukur 10 ml Memipet larutan pupuk
Pipet tetes 3 ml Memipet sampel thalassiosira yang akan di cek kepadatannya
Rak test tube Kayu Tempat meletakkan testube
Laminary air flow Kayu Tempat kerja saat mengkultur
Mikro tip 20 - 200µ Untuk mengambil bibit
Blue tip 1 ml Untuk mengambil sampel
Bunsen - Untuk sterilisasi
Korek api - Untuk menyalakan api bunsen
Labu semprot 250 ml Wadah untuk aquades
Spray 500 ml Wadah untuk alkohol
Lampu 36 watt Untuk menyuplai cahaya
Alumunium foil 8 cm x 10 cm Penutup erlenmeyer
AC Gree Menurunkan dan menstabilkan suhu
laboratorium
Haemocytometer Kaca Untuk menghitung algae
Microskop Pembesaran 10 X Untuk mengamati algae
Cover glass Kaca Untuk menutup haemocytometer
Autoclave - Untuk sterilisasi alat dan bahan
Boks Sterofoam Tempat penyimpanan alat
Ember 20 L Tempat menampung air untuk kultur
toples
Rak plastik - Tempat menyusun peralatan
Rak kayu - Tempat menyusun peralatan kultur
Pompa air laut Aquarium SP 5200 resun Untuk memompa air dari laut Scouring pad 10 cm x 15 cm Untuk menggosok bak Hand refraktometer 0-100 ppt Untuk mengukur salinitas Sumber : data primer di PT. Matahari Sakti, 2020,.
17
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam kultur pakan alami thallasiosira sp. dapat dilihat pada Tabel 3.2, antara lain :
Tabel 3.2. Bahan yang digunakan pada kultur pakan alami thallasiosira sp.
Nama bahan Spesifikasi Fungsi/kegunaan
Air laut 22-32 ppt Media kultur
Aquades Seperlunya Untuk sterilisasi
Alkohol 70% Untuk sterilisasi
Air tawar Salinitas 0 ppt Untuk menambahkan air lau yang salinitasnya >28 ppt dan untuk membilas peralatan
Bibit algae Thalassiosira sp. Bibit untuk kultur
EPIZYM-AGP 1 ml/10 L Pupuk untuk kultur skala indoor dan outdoor
NP 0,5 ml/L Pupuk untuk kultur skala indoor
EDTA 0,5 ml/L Pupuk untuk skala indoor dan
outdoor
Silikat 15 ppm Pupuk untuk kultur skala indoor dan outdoor
NaNO3 40 ppm Pupuk untuk kultur skala indoor
dan outdoor
DSP 10 ppm Pupuk untuk kultur skala indoor
dan outdoor
KNO3 15 ppm Pupuk untuk kultur skala indoor
dan outdoor
FeCl 3 ppm Pupuk untuk kultur skala indoor
dan outdoor
Vitamin 5 ppm Pupuk untuk kultur skala indoor dan outdoor
Chlorin 50 ppm Untuk menetralkan air media
Thiosulfat 4 ppm Untuk menetralkan air media
Chlprin test 0,5 ml/5 ml Untuk mengecek netral tidaknnya air kultur
Deterjen Secukupnya Mencuci peralatan dan wadah kultur
Sumber : data primer di PT. Matahari Sakti, 2020,.
18
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir adalah metode observasi dan partisipatif aktif untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil pemantauan/pengukuran/perhitungan pada saat ikut terlibat langsung pada saat kegiatan sedang berlangsung, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan data literatur berupa laporan tahunan, buku-buku penunjang dan hasil wawancara dengan pembimbing lapangan.
3.4 Metode Pelaksanaan
3.4.1 Persiapan Wadah Kultur
Persiapan wadah dan peralatan meliputi pencucian peralatan, pengeringan, dan serilisasi menggunakan autoclave. Wadah kultur dan peralatan skala laboratorium seperti cawan petri, testube agar, testube, erlenmeyer, toples, dan corong dicuci dengan menggunakan sabun cair lalu dibilas dengan air mengalir sampai bersih kemudian dikeringkan. Berbeda dengan perangkat aerasi yang direndam dengan menggunakan air tawar yang di beri larutan porsteks ± 5 jam selanjutnya digosok kemudian di bilas dengan air tawar mengalir sampai bersih dan dikeringkan. Glassware ( cawan petri, testub agar, testube, erlenmeyer, gelas ukur), corong dan selang aerasi yang sudah kering dibungkus dengan plastik yang tahan panas diikat kemudian dimasukkan ke dalam autoclave untuk disterilkan pada suhu 121℃ selama ± 30 menit.
19
Persiapan wadah kultur skala intermediate dan skala massal dilakukan dengan cara bak disemprot dengan air laut untuk membersihkan kotoran yang menempel pada dinding dan lantai dasar bak. Bak yang telah disemprot dengan air laut kemudian digosok dengan scouring pad yang telah di celupkan ke dalam larutan detergen dan sanocer hingga kotoran yang menempel pada dinding dan lantai dasar bak hilang. Selanjutnya bak tersebut dibilas dengan menyemprotkan kembali air laut ke dalam bak hingga sisa-sisa detergen hilang. Setelah proses tersebut selesai, maka bak dikeringkan selama 1 malam untuk dipakai keesokan harinya.
3.4.2 Persiapan Air
Air yang digunakan untuk kultur Thalassiosira sp. berasal dari laut. Air laut dipompa dengan menggunakan pompa merk EBARA dengan kekuatan 10 Hp (Hourse Power). Air yang telah dipompa dari laut kemudian masuk ke bak mixing kaporit lalu selanjutnya ke bak oksidasi setelah dari bak oksidasi air tersebut kemudian dialirkan ke bak sand filter dengan gaya gravitasi dan disaring dengan menggunakan cartridge (ukuran 10, 0,5 dan 0,1 µm) sebelum didigunakan untuk kultur skala laboratorium. Air yang digunakan untuk kultur murni salinitasnya harus 28 ppt sedangkan untuk kultur 2 liter dan 10 liter menggunakan salinitas normal.
Sedangkan air yang digunakan untuk kultur skala intermediate dan skala massal berasal dari bak sand filter yang dialirkan melalui pipa lalu disaring dengan menggunakan cartridge filter dengan ukuran yang sama pada cartridge pada skala laboratorium. Salinitas yang digunakan untuk kultur skala intermediate dan skala massal adalah salinitas normal. Bak-bak yang terisi dengan air kemudian diaerasi
20
selama satu malam dan pada keesokan harinya bak tersebut dapat digunakan untuk kegiatan kultur.
3.4.3 Persiapan Pupuk
Langkah yang dilakukan dalam persiapan pupuk skala indoor yaitu pupuk NP terdiri dari NaNO3 sebanyak 75 gram dan NaH2PO4 sebanyak 5 gram, untuk pupuk EDTA terdiri dari EDTA sebanyak 4,35 gram dan FeCl sebanyak 3,15 gram, untuk silikat sebanyak 30 ml, kemudian untuk vitamin terdiri dari B12 sebanyak 0,1 gram, Tianin sebanyak 0,1 gram, dan biotin sebanyak 0,1 gram kemudian masing – masing pupuk dilarutkan dengan aquades sebanyak 1 liter dalam botol yang berbeda. Selanjutkan botol ditutup lalu menghomogenkan pupuk setelah itu pupuk disterilkan didalam autoclave pada suhu 121℃ selama ± 30 menit.
Kemudian pupuk didinginkan lalu disimpan pada tempat yang steril dan pupuk siap digunakan. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan untuk kultur skala indor dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Dosis pupuk untuk kultur Thalassiosira sp pada skala laboratorium Jenis pupuk Dosis pupuk setiap wadah (ml)
2 liter 10 liter
NP 1 5
EDTA 1 5
Silikat 1 5
Vitamin 1 5
AGP - 1
Sumber : PT. Matahari Sakti Situbondo 2020
Untuk kultur outdoor, persiapan pupuk dilakukan dengan cara pupuk NaNO3, DSP, KNO3, EDTA, silikat dan thiosulfate ditimbang sesuai dengan dosis yang telah ditentukan lalu dimasukkan ke dalam ember dan ditambahkan air kemudian diaduk sampai semua pupuk larut. Sedangkan FeCl dan vitamin
21
ditambahkan langsung ke dalam bak. Adapun jenis dan dosis pupuk yang digunakan untuk kultur skala indoor disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Dosis pupuk untuk kultur Thalassiosira sp. pada skala outdor
Jenis pupuk
Dosis pupuk pada setiap adah ( gram)
5 ton 10 ton
NaNO3 200 400
DSP 50 100
KNO3 75 150
FeCl 15 30
EDTA 25 50
Silikat 75 150
Vitamin 25 50
Thiosulfat 20 40
Sumber : PT. Matahari Sakti Situbondo 2020
3.4.4 Pemeliharaan
Kultur Thalassiosira sp. Skala Laboratorium
Pada kultur Thalassiosira sp. di PT. Matahari Sakti Situbondo untuk kultur skala laboratorium dilakukan secara bertingkat pada skala 10 ml, 20 ml, 200 ml, 2 liter, dan 10 liter.
a. Kultur Skala 10 ml
Pada testub agar kultur 10 ml, air media yang digunakan telah di sterilkan dengan autoclave dan testub diisi air media sebanyak 9 ml. Kegiatan kultur dilakukan di dalam laminari air flow yang telah di sterilkan dengan cara menyemprotkan alkohol. Setelah itu nyalakan bunsen lalu panaskan jarum ose setalah panas ambil sampel dari media agar sebanyak 3-4 jarum ose lalu tutup botol dan homogenkan. Testube agar yang berisi bibit kemudian di simpan di rak kultur,
22
bibit yang ada di testube agar dipelihara selama satu minggu sebelum di panen.
Media kultur skala 10 ml dapat diliha pada lampiran 3.
b. Kultur Skala 20 ml
Pada kultur skala 20 ml, dilakukan di laminari air flow yang telah disterilkan dengan menggunakan alkohol. Sebelum melakukan kultur nyalakan bunsen lalu ambil testube yang berisi air steril dekatkan mulut testube ke bunsen kemudian ambil bibit sebanyak 2 ml dari botol testube agar. Setelah itu tutup testub kemudian homogenkan bibit dan air yang ada di testub lalu simpan testub di rak kultur. Jangka waktu pemeliharaan algae selama 1 minggu untuk bisa di panen.
Media kultur skala 20 ml dapat dilihat pada lampiran 3.
c. Kultur Skala 200 ml
Kultur skala 200 ml dikerjakan di dalam laminari air flow. Sebelum melakukan kultur, laminari air flow dan tangan terlebih dahulu disemprot dengan alkohol kemudian bunsen dinyalakan. Erlenmeyer yang telah di autoclave diisi dengan air media yang telah disterilkan di autoclave sebanyak 180 ml. Selanjutnya bibit dituang ke dalam erlenmeyer sebanyak 20 ml ( 1 botol testube). Erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil lalu mulut erlenmeyer dipanaskan di atas api bunsen kemudian media erlenmeyer disimpan di rak kultur. Algae dipelihara selama 2 hari pada suhu 25℃ dan di homogenkan setiap 2 kali/ hari yaitu pada pagi dan sore hari. Kultur skala 200 ml menggunakan media Erlenmeyer dapat dilihat Lampiran 3.
d. Kultur Skala 2 liter
Kultur skala 2 liter menggunakan wadah toples dan dikultur setelah bibit selesai dikultur di erlenmeyer. Kultur skala 2 liter dilakukan dengan cara
23
mensterilkan tempat kerja dengan alkohol lalu memasang perangkat aerasi dan mengisi toples dengan air laut yang telah di treatment dengan menggunakan chlorin cair sebanyak 0,3 ml/toples, setelah pemberian chlorin cair air didiamkan selama 24 jam.
Keesokan harinya aerasi dinyalakan dan ditambahkan thiosulfat sebanyak 1 ml/toples diamkan selama ± 15 menit setelah itu cek netral dengan menggunakan chlorin tes. Apabila air telah netral, maka dilakukan pemberian pupuk dengan cara memipet pupuk NP, EDTA, silikat, dan vitamin masing – masing sebanyak 1 ml/toples. Setelah pemberian pupuk selanjutnya dilakukan penambahan bibit dari kultur skala 200 ml, untuk satu toples ditambahkan bibit sebanyak 200 ml dan tutup toples pada saat selesai penambahan bibit. Pada rak kultur dilengkapi dengan lampu sebanyak 3 susun dan pipa aerasi. Kultur media toples dipelihara selama 2 hari pada suhu ruangan yang disesuaikan dengan suhu AC di ruangan kultur (25℃). Kultur skala 2 liter menggunakan toples dapat dilihat pada lampiran 3.
e. Kultur Skala 10 liter
Pada kultur skala 10 liter menggunakan wadah plastik dan dikultur setelah bibit selesai dikultur di toples. Kultur skala 10 liter dilakukan dengan cara mensterilkan tempat kerja dengan alkohol lalu menyiapkan plastik yang akan digunakan untuk kultur. Isi plastik dengan air laut bersih sebanyak 10 liter yang telah disaring lewat cartridge menggunakan selang. Setelah dilakukan pengisian air pada plastik, lalu pasang perangkat aerasi dan tambahkan chlorin cair sebanyak 3 ml/plastik lalu diamkan selama 24 jam.
Keesokan harinya nyalakan aerasi dan tambahkan thiosulfate sebanyak 1,5 ml/plastik lalu diamkan ± 15 menit setelah itu cek netral menggunakan clorin test/
24
autotest, apabila air media sudah netral, maka dilakukan pemberian pupuk dengan cara mengambil pupuk NP, EDTA, silikat dan vitamin masing – masing sebanyak 5 ml/plastik sedangkan untuk pupuk AGP sebanyak 1 ml/plastik. Untuk penambahan bibit dilakukan setelah selesai pemberian pupuk. Bibit diambil dari kultur toples sebanyak 400 ml/plastik kemudian plastik yang telah berisi bibit di tutup dengan menggunakan kapas steril. Pada rak kultur dipasangi lampu sebanyak 3 susun dan pipa aerasi. Pada kultur di plastik algae dipelihara selama 2 hari pada suhu yang disesuaikan dengan suhu AC yang ada di ruangan sekitar 25℃. Kultur skala 10 liter menggunakan plastik dapat dilihat pada lampiran 3.
Kultur Algae Thalassiosira sp. Skala Outdoor a. Kultur Skala Intermediet Volume 5 ton
Pada kultur skala intermediate bak beton yang digunakan untuk kultur diisi dengan air laut sebanyak 5 ton (5000 liter). Setelah itu dilakukan pemberian chlorin sebanyak 250 ml lalu diamkan selama 24 jam. Keesokan harinya dinyalakan aerasi dan ditambahkan thiosulfate sebanyak 4 gram/ton lalu diamkan selama 15 menit kemudian cek netral dengan menggunakan chlorin test. Jika sudah netral lakukan penebaran pupuk NaNO3 200 gram, DSP 50 gram, KNO3 75 gram, FeCl 15 gram, EDTA 25 gram, silikat 75 gram, dan vitamin 25 ml. Selanjutnya bibit dari plastik dimasukkan ke dalam bak sebanyak 200 liter dan dipelihara selama 24 jam setelah itu dikultur di pada bak skala 10 ton. Kultur skala intermediate bak beton dapat dilihat pada lampiran 3.
25
b. Kultur Skala Massal Volume 10 ton
Kultur skala massal dilakukan dengan cara mengisi bak beton dengan air yang dialirkan langsung dari bak sand filter dan di saring menggunakan cartridge sebanyak 8 ton. Setelah dilakukan pengisian air, maka selanjutnya penambahan chlorin cair sebanyak 50 ml/ton lalu diamkan selama 24 jam. Keesokan harinya tambahkan thiosulfate sebanyak 40 gram kemudian diamkan selama 15 menit lalu cek netral dengan menggunakan chlorin test. Setelah air netral, timbang pupuk NaNO3 400 gram, DSP 100 gram, KNO3 150 gram, FeCl 30 gram, EDTA 50 gram, silikat 150 gram, dan vitamin 50 ml larutkan masing- masing di ember lalu tebar di bak beton. Selanjutnya tebar bibit dengan cara ditransfer dari bak intermediate ke bak massal sebanyak 2 ton. Kultur skala massal dipelihara selama 2-3 hari sebelum diberikan pada larva. Kultur skala massal dapat dilihat pada Lampiran 3.
3.4.5 Pengukuran Kualitas Air
Parameter kualitas air yang dipantau pada kultur Thalassiosira sp. dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 parameter kualitas air yang diukur
Parameter Alat dan spesifikasi Cara pengukuran
Suhu Thermometer Insitu
Salinitas Hand refraktometer Insitu
pH pH tester Exitu
3.4.6 Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah algae mencapai puncak populasi yaitu pada hari ke 3 dan cara menyambung pipa transfer dengan selang dan pompa lalu membuka kran pada ujung pipa dan pompa dinyalakan.
26
3.5 Parameter Yang Diamati Dan Analisis Data 3.5.1 Parameter Yang Diamati
Parameter yang diamati yaitu:
1. Pertambahan populasi dan kualitas air Thalassiosira sp. pada kultur skala indoor dan kultur skala outdoor
2. Kelangsungan Hidup (SR) larva udang vaname 3.5.2 Metode Analisi Data
Kepadatan Thalassiosira sp.
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) rumus yang digunakan untuk menghitung kepadatan alga yaitu:
Kepadatan Thalassiosira sp. = Jumlah sel × 10.000 sel/ml……….(3.1) Berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) PT. Matahari Sakti Situbondo, rumus yang digunakan untuk menghitung kepadataan algae yaitu sebagai berikut :
kepadatan 𝑇ℎ𝑎𝑙𝑎𝑠𝑠𝑖𝑜𝑠𝑖𝑟𝑎 sp. = ∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑝𝑎𝑑𝑎 3 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘
∑ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 x10.000 sel/ml…..….(3.2) Tingkat Kelangsungan Hidup Post Larva (Sulvival Rate)
Kelangsungan hidup (Sulvival Rate/SR) adalah nilai dalam persen dari jumlah udang yang mampu hidup hingga masa panen (Lestari, 2018). Persamaan yang digunakan mengukur kelangsungan hidup menurut Budarti (2008) dalam Lestari (2018) yaitu:
SR = 𝑁𝑡
𝑁𝑜𝑋100%...(3.3) Keterangan :
SR : Kelulusan hidup (%)
Nt : Jumlah udang pada akhir pemeliharaan (ekor) No : Jumlah udang pada awal pemeliharaan (ekor)
27
Standart pemberian algae pada larva udang vaname
Berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) PT. Matahari Sakti Situbondo, rumus yang digunakan untuk menghitung dosis pemberian algae untuk larva udang vaname, yaitu sebagai berikut :
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑎𝑙𝑔𝑎𝑒 = standart pemberian algae−sisa algae
kepadatan algae massal−standart pemberian𝑥 𝑣𝑜𝑙(𝑡𝑜𝑛)….(3.4) Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik selanjutnya dianalisa secara deskriptif.