• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP TERHADAP

PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS (Rattus norvegicus)

EFFECT OF SUBCHRONIC ADMINISTRATION OF ANTI TUBERCULOSIS FIXED DOSE COMBINATION ON RENAL HISTOPATHOLOGY CHANGE IN RATS (Rattus norvegicus)

HERIYANTI N111 14 087

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI

GINJAL TIKUS (Rattus norvegicus)

EFFECT OF SUBCHRONIC ADMINISTRATION OF ANTI TUBERCULOSIS FIXED DOSE COMBINATION ON RENAL HISTOPATHOLOGY CHANGE

IN RATS (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

HERIYANTI N111 14 087

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil 'alamin, tiada kata yang lebih patut diucapkan oleh seorang hamba yang beriman selain ucapan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa ta'ala, Tuhan Yang Maha Mengetahui, pemilik segala ilmu, karena atas petunjuk-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan.

Sungguh banyak kendala yang penulis hadapi dalam rangka penyusunan skripsi ini, namun berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak, akhirnya penulis dapat melewati kendala-kendala tersebut. Oleh karena itu.

Penulis dengan tulus menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

1. Bapak Dekan, Wakil Dekan, dan bapak/ibu dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, terima kasih atas ilmu, tenaga, dan setiap nasehat serta pengalaman yang telah diberikan selama penulis menjalani perkuliahan.

2. Ibu Yulia Yusrini Djabir, MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt. selaku pembimbing utama dan Bapak Usmar, S.Si, M.Si., Apt. selaku pembimbing pertama skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan ilmunya dalam memberikan pengarahan kepada penulis mulai dari awal rencana penulisan skripsi sampai selesai.

3. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt., ibu Sumarheni, S.Si., M.Sc., Apt.

dan bapak Muhammad Nur Amir, S.Si., M.Si., Apt. selaku tim penguji

(7)

vii

ujian skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan banyak masukan yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Aisyah Fatmawaty, M.Si., Apt. selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya sejak penulis menjejakkan kaki di Fakultas Farmasi.

5. Seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin atas segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh studi hingga menye- lesaikan penelitian ini.

Terkhusus lagi kepada teman-teman penulis Irene Sonya Rupang, Fatwa Al-Fia, Nurul Husna Najib, Syarifah Nurhikmah, Sri Muniarti, Tita Fatmawati, Nur ainiah, Najiyah Safitri, Ade Nurul Amalia, Desya Faradila Ismi, Azka Asfarinda, dan kepada teman-teman Hios14min (Farmasi Unhas angkatan 2014) yang telah memberikan semangat, dukungan, doa, moril, dan dorongan kepada penulis dalam penyusunan skripsi.

Akhirnya, semua ini tiada artinya tanpa dukungan dari kedua orang tua tercinta ayahanda Arwiyanto dan ibunda Gasriwati yang selalu menjadi tempat sandaran dan menjadi motivator terbesar dalam hidup penulis.

Kepada pihak yang tidak sempat disebut namanya, semoga Allah Subhanahu wa ta'ala senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Makassar, 9 Mei 2018

Heriyanti

(8)

viii

ABSTRAK

HERIYANTI. Efek Pemberian Dosis Subkronik Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Terhadap Perubahan Histopatologi Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) (dibimbing oleh Yulia Yusrini Djabir dan Usmar).

Telah dilakukan penelitian mengenai efek pemberian subkronik obat antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) terhadap perubahan histopatologi ginjal tikus (Rattus norvegicus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian subkronik OAT-KDT terhadap perubahan histopatologi ginjal tikus. Sebanyak 15 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok:

kelompok I (n=3) kontrol sehat, kelompok II (n=6) diberikan suspensi natrium CMC 1%, dan kelompok III (n=6) diberi suspensi OAT-KDT 8,9%. Perlakuan dilakukan selama 30 hari secara peroral. Pada hari ke-30 ginjal tikus diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi dan diamati di bawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian OAT-KDT 8,9%

secara peroral pada tikus putih selama 30 hari menunjukkan perubahan kondisi struktur ginjal yang paling intensif dibandingkan dengan kontrol sehat dan kontrol negatif (natrium CMC 1%). Tampak adanya vakuolisasi pada tubulus, akumulasi sel radang, edema pada glomerulus, dan nekrosis pada tubulus.

Kata kunci : Antituberkulosis, Fixed Dose Combination, Histopatologi ginjal

(9)

ix

ABSTRACT

HERIYANTI. Effect of Subchronic Administration of Anti Tuberculosis Fixed Dose Combination in Renal Histopathology Change In Rats (Rattus norvegicus) (supervised by Yulia Yusrini Djabir and Usmar).

The subchronic effect of administration antituberculosis fixed dose combination (AT-FDC) on renal histopathology change in rats (Rattus norve- gicus) has been studied.The aim of this study was to determine the efffect of subchronic (30 days) dose of AT-FDC therapy in renal rats histopathology.

A total of 15 rats were divided into 3 groups: group I (n=3) healthy control, Group II (n=6) were given a 1% sodium CMC suspension, and group III (n=6) AT-FDC 8,9% for 30 days. On the 30th day, renal were harvested then made into histopathologic preparations and observed under a microscope. The result showed that an oral administration AT-FDC 8,9% for 30 days led changes in the condition of the affected renal structure compared with healthy control and negative control (sodium CMC 1%). Visible vacuolization of the tubules, accumulation of inflammation, edema of the glomerulus, and necrosis of the tubules.

Keywords: Antituberculosis, Fixed Dose Combination (FDC), Renal Histo- pathology

(10)

x DAFTAR ISI

halaman

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR . xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Rumusan Masalah 3

I.3 Tujuan Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

II.1 Tuberkulosis 4

II.1.1 Pengertian 4

II.1.2 Etiologi 4

II.1.3 Patofisiologi 4

II.1.4 Penanganan Tuberkulosis 5

II.1.4.1 Rifampisin 7

II.1.4.2 Isoniazid 8

(11)

xi

halaman

II.1.4.3 Pirazinamid 9

II.1.4.5 Etambutol 10

II.2 Ginjal 10

II.2.1 Anatomi 10

II.2.2 Fisiologi 13

II.3 Histopatologi 14

II.3.1 Pengertian 14

II.3.2 Histologi Ginjal 15

II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17

BAB III METODE PENELITIAN 18

III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 18

III.2 Metode Kerja 18

III.2.1 Penyiapan Hewan Coba 18

III.2.2 Penyiapan Sediaan Uji dan Dosis Pemerian 19

III.2.2.1 Pembuatan Suspensi Natrium CMC 1% 19

III.2.2.2 Perhitungan dan Konversi Dosis OAT-KDT Untuk Tikus 19

III.2.2.3 Pembuatan Suspensi OAT 8,9% 21

III.3 Prosedur Percobaan 21

III.3.1 Penanganan Spesimen 22

III.3.2 Pembuatan Preparat Histopatologi 22

III.3.3 Pengamatan Preparat Histopatologi 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26

(12)

xii

halaman

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 31

V.1 Kesimpulan 31

V.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Dosis paduan OAT-KDT 6

2. Konversi ekuivalen dosis manusia ke dosis hewan

berdasarkan luar permukaan tubuh 20

3. Pengaturan waktu pada tahap processing dan embedding 23

4. Tahap pewarnaan Mayer’s Hematoksilin-eosin 24

5. Parameter histopatologi tingkat kerusakan ginjal 24 6. Perolehan skor masing-masing pada kelompok perlakuan 26

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Anatomi ginjal 11

2. Nefron 12

3. Penampakan histologi ginjal 16

4. Perbedaan bentuk dan ukuran tubulus proksimal dan 16 tubulus distal

5. Profil pengamatan jaringan ginjal tikus pada kelompok I 27 (kontrol sehat)

6. Profil pengamtaan jaringan ginjal tikus pada kelompok II 27 (Natrium CMC 1%)

7. Profil pengamtaan jaringan ginjal tikus pada III (OAT-KDT 8,9%) 30

8. Kondisi tikus di dalam kandang 37

9. Penimbangan tikus 37

10. Proses pemberian 37

11. Pengambilan organ ginjal 37

12. Organ ginjal tikus 37

13. Embedding centre 38

14. Mikrotom 38

15. Floating bath 38

16. Preparat histopatologi 38

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Skema kerja Umum 35

2. Skema kerja Pembuatan Histopatologi 36

3. Dokumentasi Penelitian 37

4. Rekomendasi Persetujuan Komisi Etik 39

(16)

xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

AT = Anti Tuberculosis ATP = Adenosin Trifosfat BB = Bobot Badan

DOTS = Directly Observed Treatment Short-course HE = Hematoksilin eosin

INH = Isonikotinil Hidrazid KDT = Kombinasi Dosis Tetap NTA = Nekrosis Tubular Akut TB = Tuberkulosis

OAT = Obat Anti Tuberkuloisis

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB merupakan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis yang utamanya menye- rang organ paru-paru (85%) (De Souza, 2013; Dorland, 2011). Tuberkulosis merupakan penyebab kematian akibat infeksi yang utama di dunia (Harvey dan Champe, 2009). Data laporan tahunan WHO (2017) menyebutkan bahwa, pada tahun 2015 ditemukan sekitar 10,4 juta kasus TB baru di dunia yang diantaranya terdiri dari 5,9 juta penderita laki-laki dan 3,5 juta perempuan, 10% dari jumlah penderita merupakan anak-anak (World Health Organization, 2017). Indonesia merupakan negara yang menduduki pering- kat kedua jumlah penderita TB terbanyak di Asia setelah India (World Health Organization, 2017).

Dalam rangka memenuhi target terapi bagi para penderita TB, saat ini telah tersedia dua jenis obat antituberkulosis (OAT), yaitu OAT dalam bentuk paket kombinasi dan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) (Aditama dkk, 2011).

Penggunaan OAT-KDT yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis OAT (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol) dalam satu tablet lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan (De Souza, 2013; Aditama dkk,2011).

Penggunaan OAT-KDT dapat mengurangi kesalahan dalam peresepan dan

(18)

2

lebih meningkatkan kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan (Aditama dkk, 2011).

Meskipun jarang terjadi, diketahui bahwa rifampisin dapat mengakibat- kan gangguan ginjal pada penderita TB dan tetap menjadi permasalahan yang serius (Beebe dkk, 2015). Gangguan ginjal yang diakibatkan oleh penggunaan rifampisin dapat berupa nekrosis tubular akut maupun nefritis interstisial akut yang yang dapat mengakibatkan gagal ginjal akut (Harvey dan Champe, 2009; Muthukumar dkk, 2002; Min dkk, 2013). Hal tersebut didukung oleh hasil pengamatan histopatologi yang menunjukkan bahwa pemberian tunggal rifampisin dengan dosis 100 mg/100 gBB sudah cukup untuk menginduksi kerusakan ginjal pada tikus jantan (Amaliana dkk, 2014).

Selain itu, kombinasi isoniazid dan rifampisin dapat mengakibatkan kerusa- kan ginjal dan gangguan pada fungsi glomerulus yang dapat dilihat dari peningkatan kadar serum urea dan kreatinin (Mahmoud dkk, 2015).

Penggunaan etambutol juga dapat berpotensi sebagai penginduksi terjadinya nefritis interstisial akut (Garcia-Martin dkk, 1991). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakuakan pemeriksaan lebih lanjut mengenai resiko kerusakan ginjal oleh penggunaan OAT-KDT4.

Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk melihat kondisi ginjal yaitu pemeriksaan histopatologi. Histopatologi merupakan disiplin ilmu yang memberikan informasi diagnostik secara visual tentang kondisi struktur jaringan yang berkaitan dengan proses patologi suatu penyakit (Orchard dan Nasution, 2011).

(19)

3

I.2 Rumusan Masalah

Bagaimana efek pemberian OAT-KDT dosis terapi secara subkronik (30 hari) memberikan efek terhadap histopatologi ginjal tikus (Rattus norve- gicus) ?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian OAT- KDT dosis terapi secara subkronik (30 hari) terhadap perubahan histopato- logi ginjal tikus.

(20)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis II.1.1 Pengertian

Secara etimologi, tuberkulosis berasal dari bahasa latin “tuber” (kata kerja “tumesco”) yang artinya segala jenis pembengkakan atau tonjolan kecil yang ditimbulkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar tuberkulosis terjadi pada paru-paru (85%), meskipun tidak jarang terjadi pada organ lainnya (De Souza, 2013; Dorland, 2011). Diperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi dan 2,5 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini (Mandal dkk, 2008).

II.1.2 Etiologi

Mycobacterium tuberculsis merupakan jenis bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 mm dan tebal 0,3 – 0,6 mm. Sebagian besar komponen M. tuberculosis berupa lipid sehingga bakteri tersebut mampu tahan terhadap asam serta zak kimia dan faktor fisik. Mikroorganis- me ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kasus TB terjadi pada organ paru-paru yang memiliki kandungan oksigen yang tertinggi dibandingkan organ lainnya (Somantri, 2007).

II.1.3 Patofisiologi

Infeksi diawali oleh seseorang menghirup basil M. tuberculosis yang menyebar melalui jalan napas menuju alveoli, berkembang biak, dan terlihat

(21)

5

seperti bertumpuk. Organ tubuh lain dapat ikut terinfeksi apabila bakteri ini ikut bersama aliran darah. Sistem kekebalan akan memberikan respon inflamasi, neutrofil dan makrofag akan melakukan fagositosis sementara limfosit spesifik-tuberkulosis akan melisiskan basil sehingga mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli. Infeksi timbul dalam waktu 2 – 10 minggu setelah paparan bakteri. Interaksi antar M. tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh akan membentuk massa jaringan (granuloma) yang terdiri dari gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag. Granulo- ma akan berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa (tuberkel). Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang tampak seperti keju (necrotizing caseosa) yang akhirnya membentuk jaringan kolagen dan bakteri menjadi nonaktif (Somantri, 2007).

Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun menurun maka infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali akan menjadi aktif dan memperparah kondisi penyakit (Somantri, 2007).

II.1.4 Penanganan Tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan men- cegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan TB terbagi menjadi dua tahapan yaitu, tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif (2 bulan) penderita akan mengkonsumsi OAT setiap hari dan diawasi secara langsung untuk mencegah resistensi obat. Pada tahap ini jika pengobatan dilakukan secara tepat, hanya dalam

(22)

6

kurun waktu 2 minggu penderita bisa menjadi tidak menular. Tahap lanjutan (4 bulan) dilakukan untuk mencegah kekambuhan, penderita akan meng- konsumsi jenis OAT yang lebih sedikit dibandingkan pada tahap awal atau tahap intensif (Aditama dkk, 2011).

WHO telah merekomendasikan Directly Observed Treatment Short- course (DOTS) sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995.

DOTS merupakan strategi penanganan Untuk menjamin kepatuhan penderita TB dalam menelan obat yang dilakukan dengan pengawasan langsung (Harvey dan Champe, 2009; Aditama dkk, 2011). Untuk membantu strategi DOTS tersebut, saat ini telah tersedia OAT dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) yang merupakan kombinasi 2 atau 4 jenis OAT yaitu, rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z) dan etambutol (E) yang dikemas dalam satu tablet dan merupakan lini pertama pada pengobatan tuberkulosis (World Health Organization, 2017; Aditama dkk, 2011).

Tabel 1. Dosis paduan OAT-KDT

Berat Badan Tahap Intensif

Tiap hari selama 56 hari (RHZE)

Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16

minggu (RH)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 Tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 Tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 Tablet 2KDT

>71 5 tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT

Sumber : Aditama, T.Y., Subuh, M., Mustikawati, D.E., Asik, S., Basri, C. dan Kamso, S.

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI. 2011

Beberapa keuntungan dari penggunaan OAT-KDT yaitu, efektifitas pengobatan lebih terjamin dan mengurangi resiko efek samping karena dosis

(23)

7

obat disesuaikan dengan berat badan dapat dilihat pada tabel 1, mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep, dan meningkatkan kepatuhan penderia dalam mengkonsumsi obat karena jumlah tablet jauh lebih sedikit dibandingkan OAT paket kombinasi (Aditama dkk, 2011).

II.1.4.1 Rifampisin

Rifampisin merupakan salah satu kompenen lini pertama pada peng- obatan TB yang bersifat bakterisid. Aktivitas antimikroba rifampisin lebih luas jika dibandingkan dengan isoniazid yang juga merupakan lini pertama pada pengobatan TB. Rifampisin akan menekan inisiasi pembentukan rantai sintesis RNA pada bakteri dengan mengikat RNA polimerase, sehingga menghalangi transkripsi RNA. Rifampisin efektif dalam melawan berbagai mikroorganisme baik gram positif maupun gram negatif dan biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat lainnya. Absorbsi rifampisin sangat baik jika diberikan dalam bentuk oral, terdistribusi pada seluruh cairan tubuh dan organ, termetabolisme di hati dan dapat menginduksi kerja dari enzim sitokrom P450 sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan bersama obat-obatan yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450. Waktu paruh rifampisin adalah 2-5 jam, dan 80% berikatan dengan protein plasma (Sweetman, 2009). Sebanyak 60% diekskresi bersama feses dan 30%

bersama urin. Efek samping yang paling sering terjadi ketika penggunaan obat ini yaitu, mual, muntah, ruam pada permukaan kulit, dan kadang- kadang dapat mengakibatkan anemia akut dan gagal ginjal akut. Obat ini

(24)

8

harus diberikan secara hati-hati pada penderita alkoholik, usia tua, dan memiliki riwayat penyakit hati. Penggunaan rifampisin dapat mengakibatkan urin, feses, dan hasil sekresi lainnya menjadi berwarna merah hingga jingga (Harvey dan Champe, 2009; BPOM, 2014).

Beberapa studi menemukan bahwa penggunaan rifampisin dapat mengakibatkan nefritis interstisial akut dan nekrosis tubular akut pada ginjal dan jika digunakan secara berkelanjutan dapat mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut (Harvey dan Champe, 2009; Min dkk, 2013; Muthukumar dkk, 2002). Studi lain menemukana bahwa penggunaan rifampisin dengan dosis 100 mg/100 gBB dapat digunakan sebagai penginduksi kerusakan ginjal pada tikus jantan (Rattus norvegicus) yang dapat dilihat dari penampakan histopatologi ginjal tikus tersebut (Amaliana dkk, 2014).

II.1.4.2 Isoniazid

Isonikotinil Hidrazid (INH) merupakan OAT yang paling umum digunakan sejak ditemukan adanya aktivitas klinis pada tahun 1952. INH merupakan OAT yang paling kuat tetapi tidak pernah diberikan sebagai agen tunggal dalam pengobatan TB. Mekanisme kerja utama INH pada penderita TB yaitu dengan menghambat sintesis asam mikolat yang merupakan salah satu komponen punyusun dinding sel pada M. tuberculosis., isoniazid akan bersifat bakteriostatik, akan tetapi untuk mikroorganisme yang membelah secara cepat, isoniazid akan bersifat bakterisid. INH dapat terabsorbsi dengan mudah jika diberikan secara peroral dengan waktu paruh 1-6 jam dan terganggu jika diberikan bersama dengan makananan khusunya

(25)

9

karbohidrat atau dengan antasida yang mengandung alumunium. INH mengalami N-asetilasi dan hidrolisis sehingga menghasilkan produk-produk inaktif. Sebagian besar dieksresikan melalui filtrasi glomerulus sehingga penurunan fungsi ginjal yang berat dapat mengakibatkan terakumulasinya obat didalam tubuh (Harvey dan Champe, 2009).

Studi menemukan bahwa kombinasi antara isoniazid dan rifampisin dapat mengakibatkan peradangan, atrofi pada glomerulus, dan displastik pada sel tubulus ginjal pada pengamatan histopatologi ginjal tikus yang diberikan rifampisin dan INH (masing-masing 50 mg/kgBB) secara peroral selama 45 hari. Selain itu, kerusakan ginjal dan gangguan pada fungsi glomerulus juga dapat dilihat dari peningkatan kadar serum urea, kreatinin dan asam urat (Mahmoud dkk, 2015).

II.1.4.3 Pirazinamid

Pirazinamid merupakan agen antituberkulosis yang bersifat bakterisid terhadap mikroorganisme yang membelah secara aktif dan dikombinasi bersama rifampisin, INH, dan etambutol. Pirazinamid merupakan turunan nikotinamid yang bekerja dengan cara menembus basil tuberkulosis secara pasif melalui sistem transportasi Adenosin trifosfat (ATP), akan tetapi mekanisme target kerja secara spesifik dari pirazinamid dalam membunuh M. tuberculosis belum dapat dijelaskan secara pasti (Harvey dan Champe, 2009; Scholar dan Pratt, 2000). Obat ini harus terlebih dahulu dihidrolisis secara enzimatik menjadi bentuk aktif berupa asam pirazinoat dengan waktu paruh 9-10 jam (Harvey dan Champe, 2009; Sweetman, 2009). Nyeri sendi

(26)

10

merupakan efek samping yang umum terjadi ketika mengkonsumsi pirazinamid (BPOM, 2014; Sweetman,2009).

II.1.4.4 Etambutol

Etambutol bersifat bakteriostatik dan spesifik untuk sebagian besar galur M. tuberculosis dan M. Kansii. Etambutol bekerja dengan cara meng- hambat arabynosyl transferase, enzim yang berperan penting dalam sintesis dinding sel arabinogalaktan mikobakterium. Etambutol dapat digunakan dalam kombinasi dengan pirazinamid, isoniazid, dan rifampisin untuk pengobatan pada penyakit TB. Ketika diabsorbsi pada pemberian oral, etam- butol didistribusikan secara baik menuju ke seluruh tubuh dengan waktu paruh 3-4 jam dan dieksresikan melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus (Sweetman, 2009). Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa penurunan ketajaman pengelihatan dan kehilangan kemampuan untuk membedakan warna merah dan hijau namun akan memulih setelah penggunaan obat dihentikan (Harvey dan Champe, 2009).

II.2 Ginjal II.2.1 Anatomi

Ginjal manusia berjumlah dua buah yang terletak di pinggang, sedikit di bawah tulang rusuk belakang dengan panjang sekitar 12 cm, lebar 6 cm, dan tebal 2,5 cm (Wibowo, 2008; Mescher, 2016). Posisi ginjal kanan lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena adanya tekanan ke bawah oleh hepar.

Setiap ginjal dikelilingi dengan lemak perinefrik yang dapat melindungi ginjal

(27)

11

dari trauma, organ sekitar membantu mempertahankan posisi ginjal (Wibowo, 2008; Mescher, 2016).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Mescher, 2013).

Jika ginjal dibelah membujur, maka akan tampak terlihat korteks dan medula. Bagian tengah ginjal terdapat medula yang terdiri dari 8 – 15 piramid. Sebagian besar nefron (unit fungsional ginjal) terdapat pada korteks.

Struktur nefron yang berkaitan dengan proses pembentukan urin adalah korpus, tubulus renal, dan tubulus koligentes. Korpus ginjal terdiri atas glomerulus dan kapsula bowman. Tubulus renal terdiri atas tubulus kontortus proksimal, lekung henle, dan tubulus kontortus distal. Ginjal mendapat suplai darah arteri dari aorta abdominal. Arteri renalis bercabang kemudian mem-

Ureter Vena Pelvis Calyx mayor Calyx minor

Arteri Korteks

Medula Kolom

Piramid a

Kapsul Papila Lobus

(28)

12

bentuk arteri lobaris yang memberi suplai darah pada setiap piramid. Arteri lobaris tersebut kembali bercabang agar darah dapat bergerak dengan efisien melalui setiap nefron (Mescher, 2016; Baradero dkk, 2008).

Gambar 2. Nefron ()

Gambar 2. Nefron (Mescher, 2013).

Tubulus proksimal Tubulus distal Makula

densa

Korteks

Medula Kapsula

Bowman Glomerulus

Penghubung antar tubulus

Lekung henle

(29)

13

II.2.2 Fisiologi

Ginjal merupakan salah satu organ eksresi yang terpenting di dalam tubuh, fungsi kerja ginjal sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Beberapa fungsi ginjal, yaitu mengatur volume dan osmolaritas cairan tubuh, mengatur keseimbangan elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa, mengekskresi sisa metabolik dan mensekresi hormon (Baradero dkk, 2008).

Ginjal mempertahankan keseimbangan fisiologis dan cairan tubuh dengan cara mengatur kompoisisi cairan dan pelarut dalam darah melalui proses filtrasi (kapsula bowman), reabsorbsi (tubulus), dan sekresi (duktus koligentes). Mekanisme lainnya yaitu peranan hormon antidiuretik (ADH) yang dihasilkan oleh hipotalamus, disimpan dan dikeluarkan oleh kelenjar hipofis sebagai respons terhadap perubahan dalam osmolaritas plasma.

Osmolaritas adalah konsentrasi ion dalam suatu larutan (darah). ADH akan mempegaruhi nefron bagian distal untuk memperlancar permeabilitas air sehingga lebih banyak air yang direabsorbsi dan dikembalikan ke dalam sirkulasi darah ketika asupan air berkurang di dalam tubuh (Mescher, 2016; Baradero dkk, 2008).

Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula bowman akan direabsorbsi dalam tubulus proksimal. Hormon aldosteron dan ADH merupa- kan hormon yang mengatur reabsorbsi pada tubulus distal. Elektrolit ber- gerak menyeberangi membran tubula melalui mekanisme aktif dan pasif.

Gerakan pasif akan terjadi apabila terdapat perbedaan konsentrasi molekul.

Molekul akan bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke area yang

(30)

14

berkonsentrasi rendah. Lain halnya dengan gerakan aktif yang memerlukan energi untuk dapat membuat molekul bergerak tanpa dipengaruhi tingkat konsentrasi molekul untuk menjamin fungsi normal sel (Mescher, 2016; Baradero dkk, 2008).

Dibutuhkan pH 7,35 untuk darah vena dan pH 7,45 utuk darah arteri agar sel dapat berfungsi normal. Kesimbangan tersebut dapat dicapai dengan cara mempertahankan rasio bikarbonat darah dan karbondioksida pada 20:1. Paru-paru akan berusaha untuk menyesuaikan jumlah karbon dioksida dalam darah sementara ginjal akan menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion hidrogen sebagai respons terhadap peningkatan maupun penurunan pH darah (Mescher, 2016; Baradero dkk, 2008).

Ginjal merupakan organ utama yang berfungsi membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Semua zat yang masuk kedalam tubuh dan ikut bersama aliran darah akan melalui beberapa proses didalam ginjal untuk dilakukan penyaringan maupun pengaturan keseim- bangan seperti elektrolit dan osmolaritas tubuh. Begitu pula jika terdapat tok- sin maupun zat-zat asing lainnya didalam tubuh, secara sederhana ginjal normal akan mengeksresikan zat tersebut bersama urin. Salah satu fungsi ginjal yaitu memproduksi enzim faktor eritropoietin yang akan mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan di hepar. Hormon Eritropoietin berfungsi untuk menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah (Mescher, 2016).

(31)

15

II.3 Histopatologi II.3.1 Pengertian

Histopatologi merupakan disiplin ilmu yang memberikan informasi diagnostik terhadap perubahan struktur jaringan yang berkaitan dengan suatu penyakit. Sebagian besar pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan pada struktur suatu jaringan di dalam tubuh yang diakibatkan Infeksi, inflamasi, maupun penyakit kanker (payudara, serviks, atau kolorektal). Selain itu, pemeriksaan histopatologi juga dapat dilakukan untuk membantu mengetahui penyebab kematian dan merupakan bagian dari pemeriksaan post-mortem (Orchard dan Nasution, 2011).

Pada beberapaa kondisi, perubahan struktur jaringan dapat teridentifi- kasi meskipun belum terlihat adanya tanda maupun gejala yang jelas dari penyakit tersebut. Mikroskop cahaya merupakan peralatan utama yang digunakan pada pemeriksaan histopatologi (Orchard dan Nasution, 2011).

Pewarna yang sering digunakan dalam pewarnaan histopatologi yaitu, pewarna hematoxylin-pikrofusin, hematoxylin-eosin, dan Masson Gold-ner- trichrome (Kuehnel, 2003).

II.3.2 Histologi Ginjal

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Gambar 1 merupakan penampakan histologi ginjal yang diwarnai dengan pewarna hematoksilin-eosin (Mescher, 2013). Pada gambar tersebut terlihat beberapa bagian dari nefron, diantaranya kapsula bowman,

(32)

16

ruang bowman, glomerulus, tubulus proksimal, makula densa, dan tubulus distal. Gambar 2 merupakan gambar yang memperlihatkan perbedaan penampakan histologi pada bagian tubulus proksimal dan tubulus distal (Kuehnel, 2003).

Gambar 3. Penampakan histologi ginjal, keterangan : Kapsula Bowman (KB), Ruang Bowman (RB), Glomerulus (G), Tubulus Proksimal (TP), Makula Densa (MD), dan Tubulus Distal (TD). Pewarna Hematoksilin-Eosin. Perbesaran 300X (Mescher, 2013).

Gambar 4. Perbedaan bentuk dan ukuran tubulus proksimal (1) dan tubulus distal (2).

Pewarna: azan. Perbesaran 800X (Kuehnel, 2003).

RB KB

TD TP

G

MD

1 1

2

(33)

17

II.4 Tikus putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat yang paling sering digunakan sebagai hewan coba karena merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia (Baker dkk, 2013). Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, dan mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak (Wolfenshon dan Lloyd, 2013).

Klasifikasi tikus putih (Baker dkk, 2013):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Berat badan tikus jantan dewasa berkisar 450 – 520 g dengan jangka hidup 3 – 4 tahun (Wolfenshon dan Lloyd, 2013). Menurut Nair dan Jacob (2016), hewan yang berukuran lebih besar memiliki tingkat metabolisme yang lebih rendah atau sebaliknya, semakin kecil ukuran hewan coba yang digunakan maka semakin tinggi atau cepat meabolisme hewan tersebut.

(34)

18 BAB III

METODE PENELITIAN

II.1 Penyiapan Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, embedding cass- ete, embedding center (Sakura®), floating bath (Barnstead®), gelas beaker (Pyrex®), gelas ukur (Pyrex®), gunting, jarum pentul, kamera (Nikon®), kanula, pengaduk elektrik, spoit, tissue processor (Thermo Scientific®), mikroskop cahaya, mikrotom (Sakura®), papan bedah, object glass dan tim- bangan digital (Ohaus®).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, aquadest, OAT (Rifastar® KDT4), Buffer Netral Formalin (BNF) 10%, eter, Natrium Carboxymethyle Celullose (Natrium CMC), paraffin, hematoxylin eosin (HE), serbuk gelatin, toluen, xylol, etanol 70% dan reagensia alkohol 100% v/v (campuran etanol absolut 90% v/v, metanol 5% v/v dan isopropanol 5% v/v).

II.2 Metode Kerja

II.2.1 Penyiapan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih jantan (Rattus norve- gicus) sebanyak 15 ekor dengan bobot 100 – 200 g dalam kondisi sehat.

Sebelum dilakukan perlakuan, hewan coba diadaptasikan selama 14 hari.

Hewan coba diberikan pakan dan air secukupnya setiap hari.

(35)

19

II.2.2 Penyiapan Sediaan Uji dan Dosis Pemberian II.2.2.1 Pembuatan Suspensi Natrium CMC 1%

Natrium CMC sebanyak 1 gram didispersikan dengan menambahkan aquadest 50 mL yang bersuhu 70˚C kemudian diaduk menggunakan pengaduk elektrik hingga terdispersi sempurna dan dicukupkan hingga mencapai volume 100 mL.

II.2.2.2 Perhitungan dan Konversi Dosis OAT-KDT Untuk Tikus

OAT-KDT yang digunakan pada manusia adalah sediaan tablet dengan komposisi sebagai berikut :

- Rifampisin 150 mg - Isoniazid 75 mg - Pirazinamid 400 mg - Etambutol 275 mg

Dosis yang digunakan adalah 4 tablet untuk berat badan 60 kg.

Untuk konversi dosis ke tikus, dilakukan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :

Artinya untuk dosis sekali, manusia dengan bobot 60 kg akan mengkonsumsi tablet yang setara dengan 1.080 mg/tablet × 4 tablet/60 kgBB = 4.320 mg/

60 kgBB = 72 mg/kgBB.

Bobot rata−rata (tablet OAT−KDT) = Bobot total 20 tablet 20

Bobot rata−rata (tablet OAT−KDT) = 21600 mg

20 = 1080 mg

(36)

20

Tabel 2. Konversi ekuivalen dosis manusia ke dosis hewan berdasarkan luas permu- kaan tubuh

Spesies

Bobot Badan (kg)

Rentang Bobot Badan(kg)

Luas Permukaan Tubuh (m2)

Faktor Km

Faktor Konversi Manusia

Dewasa 60 1,6 37 1,00

Anak 20 0,8 25 1,48

Babon 12 7 – 13 0,6 20 1,85

Anjing 10 5 – 17 0,6 20 1,85

Monyet 3 1,4 – 4,9 0,24 12 3,08

Kelinci 1,8 0,9 – 3,0 0,15 12 3,08

Marmut 0,4 0,208 – 0,700 0,05 8 4,63

Tikus 0,15 0,080 – 0,270 0,025 6 6,17

Hamster 0,08 0,047 – 0,157 0,02 5 7,40

Mencit 0,02 0,011 – 0,034 0,007 3 12,33

Sumber : Shin, J.W., Seol, I.C., Son, C.G. Interpretation of Animal Dose and Human Equivalent Dose for Drug Development. The Journal of Korean Oriental Medicine. 2010.

Konversi dosis manusia ke tikus :

Dimana :

Faktor konversi dosis manusia ke tikus : 6,17 (lihat tabel 2) Maka, konversi dosis manusia ke tikus adalah sebagai berikut :

Konversi Dosis = 72mg/kg×6,17= 444,24 mg/kg

Sehingga untuk tikus dengan bobot 200 g diberikan tablet sejumlah : Konversi dosis = Dosis manusia (mg/kg) x Faktor Konversi

Bobot tablet yang diberikan = 89 mg tablet/200 gBB tikus Bobot tablet yang diberikan =444,24 mg

1000 mg × 200 g

(37)

21

Jadi dalam 89 mg bobot tablet yang ditimbang, mengandung : - Rifampisin 12,36 mg

- Isoniazid 6,17 mg - Pirazinamid 32,96 mg - Etambutol 22,66 mg

II.2.2.3 Pembuatan Suspensi OAT 8,9%

Sebanyak 8,9 g tablet disuspensikan dalam 100 mL Natrium CMC sehingga diperoleh suspensi OAT 8,9% yang mengandung 89 mg tablet OAT dalam 1 mL suspensi. Untuk tikus dengan bobot m g bobot badan, Volume (V) suspensi yang diberikan adalah sebagai berikut :

II.3 Prosedur Percobaan

Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Laboratorium Biofarmasi Fa- kultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Sebanyak 15 ekor tikus jantan putih dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

1) Kelompok I (n=3) sebagai kontrol sehat, tidak ada perlakuan khusus.

2) Kelompok II (n=6) diberikan suspensi Natrium CMC 1% sebagai pembawa, diberikan sehari sekali, volume pemberian disesuaikan dengan bobot badan tikus.

3) Kelompok III (n=6) diberikan suspensi OAT-KDT 8,9%, diberikan sehari sekali, volume pemberian disesuaikan dengan bobot badan tikus.

V = m gBB

200 gBB×1 mL

(38)

22

Perlakuan dilakukan selama 30 hari berturut-turut. Pengambilan organ ginjal dilakukan pada hari ke-30.

II.3.1 Penanganan Spesimen

Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi dimasukkan dalam pot sampel yang berisi larutan BNF 10% dan disimpan terlebih dahulu selama 48 jam sebelum dilakukan pemotongan untuk dilanjutkan ke pengujian histopatologi (Wahyuni dkk, 2012).

II.3.2 Pembuatan Preparat Histopatologi (Amaliana dkk, 2014)

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Balai Besar Veteriner Maros.

1) Spesimen difiksasi dengan BNF 10% dengan volume 10 kali volume sampel. Waktu yang diperlukan untuk terfiksasi sempurna adalah 48 jam.

2) Spesimen dipotong dengan ketebalan 0,5 – 1 cm. Sisa spesimen disim- pan dalam botol bertutup rapat yang berisi BNF 10%.

3) Spesimen hasil pemotongan dimasukkan ke dalam embedding cassete kemudian di proses pada tissue processor dengan pengaturan waktu yang tercantum pada tabel 3. Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah ter- sedia pada alat embedding center. Spesimen dikeluarkan dari keranjang kemudian diletakkan di atas cetakan lalu diisi dengan paraffin. Setelah paraffin mengeras, blok dipisahkan dari cetakan dan siap untuk dilaku- kan pemotongan dengan menggunakan pisau mikrotom.

(39)

23

Tabel 3. Pengaturan waktu pada tahap processing dan embedding

Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. 2012.

4) Blok jaringan diletakkan pada mikrotom kemudian dipotong mengguna- kan pisau mikrotom dengan ketebalan 4 – 5 µm. Hasil potongan terbaik kemudian direntangkan pada permukaan larutan gelatin (5 g gelatin di- larutkan dalam 100 cc aquades) pada floating bath yang bersuhu 400C.

Hasil pemotongan diambil menggunakan object glass kemudian ditem- patkan diatas pelat pemanas minimal 2 jam.

5) Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan pewarna Mayer’s Hema- toxylin-Eosin. Tahapan pewarnaan beserta lama pengerjaan dapat dilihat pada tabel 4. Xylen diteteskan 1-2 tetes pada tiap object glass, kemudian tutup dengan deck glass. Preparat yang telah tertutup didiamkan sampai mengering sempurna.

No. Proses Reagensia Waktu (jam)

1. Fiksasi Buffer netral formalin 10% 2

2. Fiksasi Buffer netral formalin 10% 2

3. Dehidrasi Alkohol 70% 1

4. Dehidrasi Alkohol 90% 1

5. Dehidrasi Alkohol 100% 1

6. Dehidrasi Alkohol 100% 2

7. Dehidrasi Alkohol 100% 2

8. Clearing Toluen 1

9. Clearing Toluen 1.5

10. Clearing Toluen 1,5

11. Impregnasi Paraffin 2

12. Impregnasi Paraffin 3

Total waktu 20 jam

(40)

24

Tabel 4. Tahap pewarnaan mayers hematoxylin eosin

No. Reagensia Waktu

1. Xylol I 2 menit

2. Xylol II 2 menit

3. Alkohol 100% I 1 menit

4. Alkohol 100% II 1 menit

5. Alkohol 95% I 1 menit

6. Alkohol 95% II 1 menit

7. Mayer’s Hematoksilin 15 menit

8. Rendam dalam Tap Water 20 menit

9. Masukkan dalam Eosin 15 detik -2 menit

10. Alkohol 95 % III 2 menit

11. Alkohol 95 % IV 2 menit

12. Alkohol 100% III 2 menit

13. Alkohol 100% IV 2 menit

14. Akohol 100%V 2 menit

15. Xylol III 2 menit

16. Xylol IV 2 menit

17. Xylol V 2 menit

Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. 2012.

II.3.3 Pengamatan Preparat Histopalogi

Pembacaan preparat histopatologi dilakukan di Klinik Hewan Pendidi- kan Universutas Hasanuddin, Makassar.

Tabel 5. Parameter Histopatologi Tingkat Kerusakan Ginjal

Skor Glomerulus Tubulus

1 Normal Normal

2 Edema Degenerasi parenkim

3 Nekrosis dan radang di sekitar

glomerulus Degenerasi hidrofik

4 Atrofi dan ada protein di ruang bowman

Vakuolisasi sel tubulus , nekrosis, dan ada protein dalam lumen tubulus

Sumber : Nurlina, Estuningsih, S., Sugito, Masyitha, D. Stabilitas Mikrob Usus, Histologi Hati dan Ginjal Mencit Setelah Pemberian Ekstrak Pliek u Bumbu Masak Tradisional Aceh. 2014

(41)

25

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100X dan 400X untuk melihat perubahan morfologis jaringan dari spesimen yang diperiksa. Pemberian skor pada masing-masing tingkat kerusakan dapat dilihat pada tabel 5.

(42)

26 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian subkronik OAT-KDT4 terhadap histopatologi ginjal tikus (Rattus norvegicus). Setelah dilakukan perlakuan selama 30 hari, pada hari ke-30 dilakukan pembedahan untuk mengambil organ ginjal tikus. Ginjal tersebut kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi, diamati di bawah mikroskop, dan diberikan skor sesuai tingkat kerusakan yang terlihat pada masing-masing kelompok perlakuan. Perolehan skor pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dlihat pada tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa skor kerusakan tertinggi terlihat pada kelompok perlakuan III (OAT-KDT 8,9%).

Tabel 6. Perolehan skor pada masing-masing kelompok perlakuan

No. Perlakuan Pengamatan

Keterangan Glomerulus Tubulus

1. Kelompok I (Kontrol Sehat)

Terdapat hemoragi dan kongesti.

N 1 1 1

N 2 1 1

N 3 1 1

2. Kelompok II (Natrium CMC 1%)

Terdapat hemoragi, kongesti, degenerasi pada tubulus, dan udema pada glomerulus

N 1 2 4

N 2 2 4

N 3 2 3

N 4 2 3

N 5 2 3

N 6 2 3

3. Kelompok III (OAT-KDT 8.9%)

N 1 3 4

Terdapat hemoragi, kongesti, vakuolisasi dan nekrosa pada tubulus, adanya protein dalam lumen, dan akumulasi sel radang pada glomerulus

N 2 3 4

N 3 3 4

N 4 3 4

N 5 3 4

N 6 3 4

Keterangan : N = replikasi hewan coba

(43)

27

Gambar 5. Profil pengamatan jaringan ginjal tikus pada kelompok kontrol sehat. Tidak nampak adanya perubahan signifikan.Tampak glomerulus (a), hemoragi (panah jingga) dan kongesti (panah hitam). Perbesaran A: 100X dan B: 400X. Pewarnaan HE.

Gambar 3 merupakan profil pengamatan jaringan ginjal yang mewakili kelompok I (kontrol sehat). Hasil pengamatan menunjukkan adanya hemoragi dan kongesti pada struktur jaringan ginjal hewan coba, namun masih dianggap normal karena hemoragi dan kongesti juga terlihat pada kedua kelompok lainnya. Hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh penggunaan dietil eter ketika melakukan eutanasia pada tikus (Superfund Health Risk Technical Support Center, 2009).

Gambar 6.Profil pengamatan jaringan ginjal tikus yang diberi perlakuan natrium CMC 1%.

Tampak glomerulus (a), tubulus (b), vakuolisasi di tubulus (panah kuning) dan edema di glomerulus (panah merah). Perbesaran: A: 100X dan B: 400X. Pewarnaan HE.

A

a

a

a a

b

B b

b

B A

a

a

a

(44)

28

Profil pengamatan jaringan ginjal yang mewakili kelompok II pemberi- an natrium CMC 1% dapat dilihat pada gambar 4. Pemberian natrium CMC seharusnya tidak mempengaruhi kondisi struktur ginjal karena merupakan kontrol negatif, namun hasil pengamatan menunjukkan adanya vakuolisasi pada tubulus dan edema pada glomerulus. Vakuolisasi pada tubulus ditandai dengan hilangnya struktur normal sel sedangkan edema pada glomerulus ditandai dengan adanya rongga pada area luar glomerulus. Kemungkinan perubahan kondisi struktur ginjal yang terjadi pada kelompok perlakuan II diakibatkan oleh tidak adanya penggantian cairan setelah pengambilan darah. Hal tersebut merupakan salah satu limitasi dari penelitian ini karena pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan setelah pengambilan darah pada tikus sebanyak 2 mL setiap minggu untuk pemeriksaan biokimia yaitu pemeriksaan kadar serum kreatinin (Ardin, 2018). Total volume darah pada tikus dewasa adalah 12,8 mL/200 gBB (McGuill dkk, 1989). Apabila volume pengambilan darah melebihi 10% bobot badan tikus maka diperlukan larutan ringer laktat sebagai cairan pengganti (Parasuraman dkk, 2010).

Jika dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya, perubahan kondisi struktur jaringan terparah terlihat pada kelompok perlakuan III (OAT- KDT 8,9%) yang dapat dilihat pada gambar 5. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa intensitas vakuolisasi tubulus yang terlihat lebih tinggi dibandingkan denga kelompok II yaitu pemberian natrium CMC 1%.

Vakuolisasi merupakan tanda permulaan kerusakan sel yang diakibatkan oleh zat toksik maupun kurangnya oksigen pada sel yang dapat

(45)

29

mengganggu proses metabolisme (Adleend, 2015). Hal tersebut sesuai dengan mekanisme nefrotoksisitas rifampisin. Sebanyak 80 % rifampisin yang masuk kedalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma sehingga menimbulkan reaksi pembentukan kompleks imun antara antibodi dan antigen. Pembentukan kompleks tersebut berlangsung secara terus menerus sehingga menimbulkan penumpukan kompleks imun. Penumpukan kompleks imun pada pembuluh darah dapat mengakibatkan vasokonstriksi dan jika berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan kondisi iskemik (Muthukumar dkk, 2002). Selain itu, terlihat pula adanya edema pada glomerulus, akumulasi sel radang di sekitar glomerulus, hingga nekrosis pada tubulus.

Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan akibat dari kurangnya suplai darah ke ginjal. Kondisi tersebut dapat diakibatkan oleh akumulasi sel-sel mati dalam tubulus yang menyebabkan iskemia maupun akibat adanya agen nefrotoksin seperti antibiotik (Henningsen dkk, 2014). Walaupun berat ginjal hanya sekitar 0,5% dari total berat badan, tetapi ginjal menerima darah sebesar 20%- 25% dari curah. Tingginya aliran darah yang menuju ginjal inilah yang menyebabkan berbagai macam obat dan bahan kimia dalam sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang besar. Zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan (Hodgson, 2010).

Keempat komposisi dari OAT-KDT sebagian besar dieksresikan melalui ginjal, Sehingga kemungkinan sisa metabolit keempat komposisi OAT-KDT tersebut terakumulasi pada ginjal dan mengakibatkan gangguan fungsi

(46)

30

hingga kerusakan pada ginjal ketika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama.

Gambar 7. Profil pengamatan jaringan ginjal tikus setelah diberi OAT-KDT 8,9%.

Pengamatan pada 5 area pandang mikroskop (A,B,C,D, dan E). Tampak glomerulus (a), tubulus (b), vakuolisasi di tubulus (panah kuning), nekrosis tubulus dengan adanya protein dalam lumen (panah biru), akumulasi radang sekitar glomerulus (panah hijau), edema pada glomerulus (panah merah). Perbesaran: 400x. Pewarnaan HE.

A

C

E

a

a

b

b

b

D

b a

B

(47)

31 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pembe- rian OAT-KDT 8,9% secara peroral pada tikus putih (Rattus novergicus) se- lama 30 hari menunjukkan perubahan kondisi struktur ginjal yang yang paling intensif dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat dan kontrol negatif (natrium CMC 1%). Tampak adanya vakuolisasi pada tubulus, akumulasi radang, edema pada glomerulus, dan nekrosis pada tubulus.

V.2 Saran

Perlu adanya monitoring fungsi ginjal pada penderita TB yang mengkonsumsi OAT-KDT ini dan sebaiknya dilakukan studi atau penelitian lebih lanjut untuk menemukan terapi pendamping agar dapat mengurangi efek samping dari penggunaan OAT-KDT ini.

(48)

32

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., Subuh, M., Mustikawati, D.E., Asik, S., Basri, C. dan Kamso, S. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Available as PDF File E-Book.

Adleend. 2015. Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegi- cus) Setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik. Skripsi tidak diter- bitkan. Makassar. Fakultas Kedokteran Hewan Unhas.

Amalina, H.A., Muhartono and Fiana, D.N. 2014. The Influence Effect Kid- ney Histopathology of Mangosteen Rind (Garcina mangostana L.) 40% Ethanol Extract on Rifampicin in Male Rat. Medical Journal Of Lampung University, 3(2): 91-99.

Ardin, A. 2018. Efek Pemberian Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combina- tion Terhadap Peningkatan Kadar Kreatinin Tikus Putih (Rattus norvegicus). Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Farmasi Unhas.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Pusat Informasi Obat Nasional Indonesia. (http://pionas.pom.go.id, diakses 21 Januari 2018).

Baker, H.J., Lindsey, R., and Wesibroth, S.H. 2013. The Laboratory Rat.

CRC Press. Available as PDF File E-Book.

Baradero, M., Dayrit, M.W., dan Siswadi, Y. 2008. Klien Dengan Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC. Available as PDF File E-Book.

Beebe, A., Seaworth, B. and Patil, N. 2015. Rifampicin-Induced Nephro- toxicity in a Tuberculosis Patient. Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases, 1: 13-15.

De Souza, M.V.N. 2013. Tuberculosis Treatment: The Search For New Drugs. Bentham Science Publishers: Rio de Janeiro. Available as PDF File E-Book.

Dorland, W.A.N. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Ed. 28. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Garcia-Martin, F., Mamposo, F., de Arriba, G., Hatter, F.M., Martin-Escobar, E. and Saiz, F. 1991. Acute Interstitial Nephritis Induced by Ethambutol. Nephron, 59: 679-680.

(49)

33

Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar, Ed. 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Henningsen, C., Kunts, K., and Youngs, D. 2014. Clinical Guide to Sono- graphy 2nded. Elsevier. Available as PDF File E-Book.

Hodgson, E. 2010.A Textbook Of Modern Toxicology 4th ed. New Jersey:

Wiley. Available as PDF File E-Book.

Kuehnel, W. 2003. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. Thieme. Available as PDF File E-Book.

Mahmoud, A.M., Morsy, B.M., Abdel-Hady, D.S. and Samy, R.M. 2015.

Prunus armeniaca Leaves Extract Protects against Isoniazid and Rifampicin Induced Nephrotoxicity through Modulation of Oxidative stress and Inflamation. International Journal of Food and Nutritional Science, 2(4): 1-6.

Mandal, B.K., Wilkins, E.G.K., Dunbar, E.M., dan Mayon-White, R.T. 2008.

Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga. Available as PDF File E-Book.

McGuill, M.W. and Rowan, A.N. 1989. Biological E_ects of Blood Loss:

Implications for Sampling Volumes and Techniques. ILAR Journal, 31 (4): 5–20.

Mescher, A.L. 2013. Junqueira’s Basic Histology 13th Ed. United States:

McGraw-Hill Education. Available as PDF File E-Book

Mescher, L.A. 2016. Basic Histology. United States: McGraw-Hill Education.

Available as PDF File E-Book.

Min, H.K., Kim, E.O., Lee, S.J., Chang, Y.K., Suh, K.S., Yang, C.W., Kim, S.Y. and Hwang, H.S. 2013. Rifampin-Associated Tubulointersititial Nephritis and Fanconi Syndrome Presenting as Hypokalemic Paralysis. BMC Nephrology, 14(13): 1-5.

Muthukumar, T., Jayakumar, M., Fernando, E.M. and Muthusethupathi, M.A.

2002. Acute Renal Failure Due to Rifampicin: A Study of 25 Patients.

American Journal of Kidney Diseases, 40(4): 690-696.

Nair, A.B. and Jacob, S. 2016. A Simple Guide for Dose Conversion Between Animals and Human. Journal of Basic Clin Pharm, 7(2): 27-31.

(50)

34

Nurlina, Estuningsih, S., Sugito dan Masyitha, D. 2014. Stabilitas Mikrob Usus, Histologi Hati dan Ginjal Mencit Setelah Pemberian Ekstrak Pliek u Bumbu Masak Tradisional Aceh. Jurnal Veteriner, 15(3):

370-379.

Orchard, G. and Nation, B. 2011. Histopathology. Institute of Biomedical Science: London. Available as PDF File E-Book.

Parasuraman, S., Raveendran, R., and Kesavan, R. 2010. Blood Sample Collection in Small Laboratory Animals. J Pharmacol Pharmacother, 1(2): 87–93.

Scholar, E.M., and Pratt, W.B. 2000.The Antimicrobial Drugs. New York:

Oxford Unversity Press. Available as PDF File E-Book.

Shin, J.W., Seol, I.C. and Son, C.G. 2010. Interpretation of Animal Dose and Human Equivalent Dose for Drug Development. The Journal of Korean Oriental Medicine, 31(3): 1-7.

Somantri, S. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Available as PDF File E-Book.

Superfund Health Risk Technical Support Center. 2009. Provisional Peer Reviewed Toxicity Values for Ethyl ether (Diethyl ether). U.S.

Environmental Protection Agency Cincinnati. Available as PDF File E- Book.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition. UK: Pharmaceutical Press. Available as PDF File E-Book.

Wahyuni, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri dan Yunus, M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros.

Ed. 2. Hal 1-21.

Wibowo, D.S. 2008. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo. Available as PDF File E-Book.

Wolfenshon, S., And Lloyd, M. 2013. Handbook of Laboratory Animal and welfare 4th ed. West Sussex: Wiley-Blackwell. Available as PDF File E-Book.

World Health Organization. 2017. Annual Report: Bending The Curve Ending TB. Regional Office Of South-East Asia. (http://apps.who.

int/iris/handle/10665/254762, diakses 17 Oktober 2017).

(51)

35 LAMPIRAN I SKEMA KERJA UMUM

Tikus Jantan Putih (n=15)

Adaptasi 14 hari

Kelompok 1 Kontrol Sehat

(n=3)

Kelompok 2 NaCMC 1% (p.o)

(n=6)

Kelompok 3 Suspensi OAT-KDT

8,9% (p.o) (n=6)

Pengambilan Organ Ginjal Tikus

Pembuatan Preparat Histopatologi

Pengamatan Preparat Histopatologi [Perlakuan selama 30 hari]

Pembahasan

Kesimpulan

(52)

36 LAMPIRAN II

SKEMA KERJA PEMBUATAN PREPARAT HISTOPATOLOGI

Fiksasi Spesimen

Pemotongan Awal

Processing dan Embedding

Pemotongan kedua

− Spesimen difiksasi dalam larutan BNF 10%

− Volume minimal 10 kali volume sampel.

− Dipotong spesimen dengan ketebalan 0,5⎯1 cm

− Disimpan sisa spesimendalam larutan BNF 10%

− Dimasukkan spesimen hasil pemotongan ke dalam embedding casette

− Diproses pada tissue processor selama 20 jam

− Dipindahkan ke embedding center kemudian diblok menggunakan paraffin

− Dipotong blok jaringan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4⎯5 µm

− Direntangkan di permukaan larutan gelatin pada floating bath bersuhu 40ᴼC

− Diambil hasil pemotongan menggunakan object glass

− Ditempatkan di atas pelat pemanas

Pewarnaan

Preparat Histopatologi

− Dilakukan pewarnaaan menggunakan pewarna Mayer’s Haematoxylin

− Diteteskan 1⎯2 tetes xylen, ditutup mengguna- kan deck glass

(53)

37

LAMPIRAN III

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 12. Organ ginjal tikus Gambar 8. Kondisi tikus di dalam kandang

Gambar 10. Proses pemberian Gambar 9. Penimbangan tikus

Gambar 11. Pengambilan organ ginjal

(54)

38

Gambar 16. Preparat Histopatologi

Gambar 15. Floating bath

Gambar 14. Mikrotom Gambar 13. Embedding centre

(55)

39

LAMPIRAN IV

REKOMENDASI PERSETUJUAN KOMISI ETIK

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Carolus et al (2013) yang menyatakan tidak ada hubungan antara berat badan lahir dalam bentuk

Dalam hal ini, peneliti berusaha menggulang kembali garis besar hasil wawancara berdasarkan catatan yang dilakukan peneliti agar informasi yang diperoleh dapat digunakan

Berdasarkan dua contoh tersebut terlihat bahwa makna idiom tidak bisa ditelusuri pada makna kata-kata yang membentuknya. Oleh karena itu, menurut penulis penelitian ini perlu

Merujuk kepada kes Perang Arab-Israel 1967, sebuah peperangan yang berlaku setelah tamat Perang Dunia Kedua dan semasa memuncaknya Perang Dingin, akan ditinjau

Sedangkan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti adalah hubungan antara karakteritik Ibu menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif di Desa Tinggarjaya

Kami menggunakan asam sitrat sebagai sumber karbon karena asam sitrat memiliki distribusi berat molekul yang seragam dan bersifat reaktif terhadap sumber boron dan sumber

Telah ditegakan diagnosis pada Ny. S berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien yaitu neurodermatitis sirkumskripta dan hipertensi grade I terkontrol.

Menyadari bahwa koperasi sebagai badan usaha yang masih relatif lemah dibandingkan dengan usaha swasta dan negara, maka perlu dilakukan upaya-upaya meningkatkan kemampuannya