• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLEH FEBIYANTI SEDJIE P3600215048 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "OLEH FEBIYANTI SEDJIE P3600215048 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 TESIS"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PENYELENGGARAAN SUMBANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1961 TENTANG PENGUMPULAN UANG ATAU BARANG

GOVERNMENT CONTROLLING IN THE DONATION MANAGEMENT ACCORDDING TO THE LAW NUMBER 9 OF 1961

ON MONEY OR THING COLLECTION

OLEH

FEBIYANTI SEDJIE P3600215048

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PENYELENGGARAAN SUMBANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1961 TENTANG PENGUMPULAN UANG ATAU BARANG

GOVERNMENT CONTROLLING IN THE DONATION MANAGEMENT ACCORDDING TO THE LAW NUMBER 9 OF 1961

ON MONEY OR THING COLLECTION

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Magister Kenotariatan

disusun dan diajukan oleh

FEBIYANTI SEDJIE P3600215048

kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASAR

2018

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan penyertaannya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dikemukakan dalam tesis ini masih jauh dari kesempurnaan yang merupakan sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan serta berbagai kesulitan yang penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini.

Keberhasilan penulis menyusun tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu penulis memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar memberikan rahmatNya kepada pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga percaya bahwa tesis ini dapat selesai bukan hanya dengan kekuatan pikiran penulis semata akan tetapi karena bantuan dari berbagai pihak juga, baik selama proses perkuliahan bahkan sampai proses pengerjaan tesis ini di Program Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. Namun demikian, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca tulisan ini demi sempurnanya tesis ini.

Terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta, anak penulis, kedua orang tua dan mertua saya, serta saudara-saudara saya atas doa yang tidak pernah putus dan dukungan serta segala kebaikan mereka yang

(6)

sampai kapan pun takkan pernah bisa terbalaskan atas kasih sayang yang tiada henti dalam penyelesaian tesis ini. Selanjutnya saya ingin menyampaikan juga rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas Hasanuddin.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, SH., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Pengembangan

4. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

5. Ibu Dr. Wiwie Heryani, SH., MH. dan Bapak Dr. Hasbir Paserangi, SH., MH., selaku penasehat dalam penulisan tesis ini yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan bantuan dalam materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Ratnawati, SH., MH. Bapak Dr. Muh. Hasrul, SH., MH. dan Bapak Dr. Romi Librayanto, SH., MH. selaku penguji penulis yang telah memberikan banyak masukan-masukan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang dengan tulus ikhlas memberikan ilmu

(7)

pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama perkuliahan berlangsung sehingga memberikan banyak manfaat bagi penulis untuk saat ini maupun di masa mendatang.

8. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

9. dr. Hengki Iskandar Leman, yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Teman-teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin khususnya Angkatan 2015 (KOMPARISI), terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.

11. Sahabat-sahabat di Magister Kenotariatan Sthefani Juliana Phoan, Dewi Purnamasari, Zilva Sechan, Husnul Khatimah, Herlina Lie, Yusida Wahyu, Vidya Meysal, Tari Yula, Arini Prisillah, Arini Pratiwi, Nelly Muchlis, Wadjedah, Nurul, Andi Dila, Ifanny, Chinneke Wisang, Priska Tungadi, Inggrid Juanita, Arwin Septiadi, Hidayatullah, dan masih banyak lagi sahabat yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan.

Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda. Dan penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat.

(8)

ABSTRAK

FEBIYANTI SEDJIE. Pengawasan Pemerintah Terhadap Penyelenggaraan Sumbangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang. (Dibimbing oleh Wiwie Heryani dan Hasbir Paserangi).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami : (1) efektivitas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang bagi penyelenggaraan sumbangan saat ini; (2) penerapan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang memenuhi asas proses pembentukan peraturan perundang- undangan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan.

Penelitian ini dilaksanakan di Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Sosial Kota Makassar dan di Lions Club. Data yang diperoleh dikualifikasikan sebagai data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden yang terkait. Adapun data sekunder melalui studi dokumen dan literatur. Data kemudian dianalisis dengan analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterapkan pada penyelenggaraan sumbangan yang terjadi saat ini tidak efektif dan tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini serta tidak menjadi rujukan peraturan daerah yang terkait dengan penyelenggaraan sumbangan (2) Teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, substansi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tidak sesuai dengan asas-asas proses pembentukan dan muatan materi peraturan perundang-undangan seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kata Kunci : Undang-undang, Sumbangan, Pengumpulan Uang atau Barang, Penyelenggaraan Sumbangan.

(9)

ABSTRACT

FEBIYANTI SEDJIE. The Control of Government to donation management according to the Law Number 9 Year 1961 Concerning Money or thing collection. (supervised by Wiwie Heryani and Hasbir Paserangi).

The research aim (1) to know and understand the effectiveness of the donation management according to the Law Number Year 1961 Concerning Money or Thing Collection nowadays.; (2) to know and understand the implementation of the Law Number Year 1961 Concerning Money or Thing Collection whether is accordance to the principles process of the regulation form and the contents of the principles of the regulation.

The research was done at the City Office for Social Affairs and the Makassar’s branch of Lions Club. The finding data qualified as primary and secondary data. The primary data was taken from the key respondents’

interviews. The secondary data was taken from the document and literature review. The findings were analyzed with the qualitative analysis method.

The results research show that (1) the implementation of the Law Number 9 Year 1961 on money or thing collection is not effective and does not suitable to current the situation and societal condition. It also is not being referred by the local regulations on the donation management; (2) Technical formulation and substantial material of the Law Number 9 Year 1961 on money or thing collection is not fit to the development process principles and substantial materials of the law as stipulated in the Law Number 12 Year 2011 on Regulation Form. .

Keywords : Law, Donation, Money or Things Collection, Donation Management.

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Orisinalitas Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Pengertian Pengumpulan Uang Atau Barang ... 15

1. Pengertian Barang atau Benda ... 17

2. Pengertian Uang ... 18

3. Pengertian Jasa ... 18

B. Pengumpul (Subjek Hukum) ... 18

1. Orang-Perseorangan ... 19

2. Korporasi... 19

3. Yayasan ... 20

4. Organisasi Kemasyarakatan ... 21

5. Pelaku Usaha... 21

6. Lembaga Usaha... 22

7. Lembaga Internasional... 22

(11)

x

C. Kelompok Rentan Penerima Manfaat ... 22

1. Konsumen... 23

2. Korban ... 23

3. Pengungsi ... 23

4. Fakir Miskin ... 24

D. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan Di Indonesia ... 24

E. Transparansi, Akuntabilitas dan Pengendalian Dalam Penyelenggaraan Sumbangan... 28

1. Transparansi ... 28

2. Akuntabilitas... 30

3. Pengendalian ... 32

F. Landasan Teori ... 33

1. Kajian Tentang Teori Ketatanegaraan... 33

2. Kajian Tentang Teori Perundang-undangan... 45

3. Kajian Tentang Teori Validitas dan Efektivitas Hukum ... 48

G. Bagan Kerangka Berpikir ... 58

H. Definisi Operasional ... 59

BAB III METODE PENELITIAN ... 62

A. Lokasi Penelitian ... 62

B. Tipe Penelitian ... 62

C. Data Atau Bahan Hukum ... 64

D. Pengumpulan Data Atau Bahan Hukum ... 65

E. Analisis Data ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Efektivitas Pengawasan Pemerintah Terhadap Penyelenggaraan Sumbangan... 67

(12)

xi

1. Peraturan Turunan ... 67

2. Kelembagaan ... 71

3. Pelaksanaan ... 73

B. Pemenuhan Asas Proses Pembentukan dan Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan ... 84

1. Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 84

2. Materi Muatan Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 90

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran... 91

Daftar Pustaka ... 101

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut paham Negara Kesejahteraan, hal ini dapat dilihat dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 bahwa pada alinea keempat terdapat kalimat yang menyatakan bahwa

“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah:1

1. Kebahagiaan dalam negara;

2. Kemajuan Kesejahteraan umum; dan 3. Kecerdasan kehidupan negara.

Hal ini menyiratkan salah satu cita-cita negara Indonesia yaitu mewujudkan kondisi terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia dengan terpenuhinya kebutuhan pemenuhan kebutuhan material, spiritual, dan sosial agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri. Terwujudnya cita-cita kesejahteraan sosial tidak hanya

1Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 78

(14)

merupakan tanggung jawab Pemerintah melainkan juga seluruh lapisan masyarakat, sehingga perlu keterlibatan dan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Maka dalam konteks ini negara harus mengupayakan suatu jaminan, dan perlindungan terhadap masyarakat. Hal ini dilakukan melalui penyelenggaraan pengumpulan sumbangan sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial merupakan suatu bagian kegiatan yang dilaksanakan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Terwujudnya cita-cita kesejahteraan sosial tidak hanya merupakan tanggung jawab Pemerintah melainkan juga seluruh lapisan masyarakat.

Untuk itu maka diperlukan keterlibatan secara konkrit pada kebutuhan umum akan jaminan masyarakat dan partisipasi seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bentuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat selama ini diwujudkan dalam pemberian sumbangan baik uang maupun barang. Kegiatan ini dilakukan oleh penyelenggara pengumpulan sumbangan untuk menunjang kegiatan di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, bencana alam, olahraga, agama/kerohanian, kebudayaan, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Secara umum landasan hukum yang mengatur penyelenggaraan sumbangan sampai saat ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 214 Tambahan Lembaran Negara Republik

(15)

Indonesia Nomor 2273 (selanjutnya disingkat UU PUB) dan perangkat peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Lembaran Negara Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3175, yang secara umum mengatur tentang tata cara dalam penyelenggaraan sumbangan.

Pengertian Pengumpulan Uang atau Barang menurut Pasal 1 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 19612 adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental atau agama atau kerohanian, kejasmanian, pendidikan, dan kebudayaan.

Pengumpulan uang atau barang pada hakekatnya merupakan bentuk penggalian atau biasa juga disebut penghimpunan sumbangan baik berupa uang atau barang yang diselenggarakan oleh, dari, dan untuk masyarakat dengan berlandaskan semangat kegotongroyongan.

Penyelenggaraan sumbangan ini pada dasarnya bertujuan untuk menampung kehendak baik dari masyarakat yang secara gotong royong ingin menyumbangkan sesuatu dalam kegiatan sosial yang berguna bagi pembangunan masyarakat adil dan makmur. Hal tersebut hendak diwujudkan dalam dan meningkatkan taraf kesejahteraan sosial, baik dalam kehidupan orang-perorangan maupun dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat.3

2Pasal 1 UU PUB.

3Penjelasan Umum UU PUB

(16)

Selain ditetapkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang, undang-undang tersebut diperkuat dengan peraturan setingkat menteri lainnya juga ditetapkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan untuk Korban Bencana.

Selain itu ada juga peraturan daerah di kota Makassar yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar.

Dalam benak masyarakat Indonesia, menyumbang identik dengan memberikan bantuan dalam bentuk uang. Ketika mendengar kata

“sumbangan” yang ada dalam pikiran sebagian besar masyarakat adalah memberikan sejumlah uang untuk kegiatan sosial atau membantu mereka yang membutuhkan uang atau pertolongan. Dari persepsi tersebut, muncullah praktik pemberian sumbangan yang terjadi di masyarakat baik yang dilakukan secara tradisional maupun professional.

Bagi masyarakat Indonesia, kata “filantropi” bisa saja tergolong istilah baru yang belum banyak dipahami dan digunakan. Sebenarnya kegiatan filantropi sendiri adalah kegiatan kedermawanan seperti menyumbang, memberi, berderma, bersedekah. Kegiatan ini sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. di Indonesia, kegiatan filantropi dengan beragam nama dan bentuk, seperti “jimpitan’,

“sinoman’, “parelek’, “buah bungaran”, “ngayah”, ‘julo-julo” dan sebagainya.

(17)

Tujuan dan maknanya sama: berbagi sumber daya yang dimiliki (uang, barang, tenaga, pikiran, dan sebagainya) untuk membantu memenuhi kebutuhan dan mengatasi persoalan yang dihadapi orang lain.4

Kegiatan kedermawanan mulai berkembang dengan pesat pada awal tahun 1990-an. Perkembangan itu terjadi manakala Indonesia mengalami krisis ekonomi dan pada saat yang sama bencana alam dalam bentuk gempa bumi, kebakaran hutan, tanah longsor, dan tsunami, terjadi secara beruntun di beberapa wilayah di tanah air. Krisis ekonomi dan bencana di mana-mana ini telah mendorong kepedulian dan solidaritas masyarakat untuk membantu sesamanya.

Kegiatan filantropi atau kegiatan kedermawanan juga merupakan bagian dari ajaran dan kegiatan keagamaan di Indonesia. Sebagian dari kegiatan kedermawanan keagamaan ini bersifat wajib (obligatory) dan sebagian lainnya bersifat pemberian secara sukarela yang dan dianjurkan dalam rangka tolong- menolong, kerjasama, muamalah, hubungan antarmanusia. Kegiatan kedermawanan ditemui dalam ajaran Islam dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Hal serupa juga ditemukan dalam ajaran Kristen, Katolik maupun Protestan, dalam bentuk Kolekte, Persepuluhan, Dana Puasa

4Hamid Abidin, Nor Hikmah, Ninik Annisah, dan Maifil Eka Putra, 2013, Membangun Akuntabilitas Filantropi Media Massa, Jakarta: Piramedia, hlm. 16.

(18)

Pembangunan. Sedangkan dalam ajaran agama Hindu dan Budha dikenal dan dipraktikkan Dana Punia dan Dharma.5

Bentuk usaha penyelenggaraan sumbangan dapat diselenggarakan dengan berbagai cara seperti mengadakan pertunjukan, bazaar, lelang, penjualan kupon-kupon sumbangan, penempatan kotak-kotak sumbangan di tempat-tempat umum dan sejenisnya. Sebelum melakukan kegiatan kedermawanan ini, penyelenggaraannya harus dilaksanakan berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang. Adapun yang bisa mengajukan ini bukanlah perorangan, melainkan diajukan oleh organisasi dengan cara membuat surat permohonan izin.6

Surat permohonan izin penyelenggaraan sumbangan diajukan oleh organisasi pemohon kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati terkait dengan luas cakupan penyelenggaraan sumbangan itu akan dilakukan. Jika secara nasional maka izinnya kepada menteri dan izin dari gubernur di tingkat provinsi begitu seterusnya. Semakin kecil cakupan wilayah penggalangan dana maka izin kepada yang berwenang semakin ke bawah.

Organisasi nirlaba atau organisasi non-profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian

5Hamid Abidin, Nor Hikmah, Ninik Annisah, dan Maifil Eka Putra, 2013, loc. cit. hlm.

18

6https://www.brilio.net/serius/agar-tak-diselewengkan-ini-5-aturan-galang-dana-yang- wajib-diketahui-1705038.html, diakses 5 Juni 2018, pukul 14.00 WITA

(19)

terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba. Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah, derma publik, rumah sakit atau klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundang-undangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi professional, institusi, dan beberapa program bantuan dari pemerintah.7

Jika organisasi sudah mendapat izin pengumpulan sumbangan, maka mereka akan menerima izin berbentuk Surat Keputusan dan untuk jangka waktu selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan apabila dianggap perlu izin dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Hal ini tercantum dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

Pengumpulan dana sumbangan boleh tidak berizin asalkan pengumpulan dana tersebut merupakan kegiatan yang diwajibkan oleh Hukum Agama, Hukum Adat, Adat Kebiasaan, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas dan kecil sehingga tidak memerlukan izin penyelenggaraan.

Pengumpulan dana sumbangan sebagaimana dimaksud ialah pengumpulan dana untuk melaksanakan kewajiban Hukum Agama, untuk amal peribadatan yang dilakukan khusus di tempat-tempat ibadat, untuk menjalankan Hukum Adat atau Adat Kebiasaan atau yang terakhir ialah pengumpulan dana yang

7https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_nirlaba, diakses tanggal 5 Juni 2018, pukul 15.15 WITA

(20)

dilakukan dalam lingkungan suatu organisasi terhadap anggota-anggotanya sendiri.8

Penyelenggaraan sumbangan di masyarakat terus mengalami kemajuan yang pesat dan terus berinovasi sehingga cara-cara penggalangan dana terus dikembangkan. Penggalangan dana melalui internet menjadi salah satu dari strategi penyelenggaraan sumbangan oleh organisasi nirlaba. Dilihat dari sisi komunikasi, keuntungan dari penggalangan dana melalui internet adalah dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun dan oleh siapapun dari seluruh penjuru dunia sehingga lebih banyak lagi kemungkinan untuk mendapatkan dana bagi kegiatan organisasi nirlaba tersebut. Selain itu, penyelenggaraan sumbangan juga terjadi di beberapa korporasi, salah satu contohnya yaitu Alfamart dan Indomaret melalui donasi uang kembalian pelanggan.

Besarnya potensi menyumbang dari masyarakat merupakan peluang bagi pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan dan keadaan sosial ekonomi bangsa dari kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi. Mengingat bidang ini sangat terkait dengan tingkat kepercayaan masyarakat, maka pengelolaan dana publik sangat memerlukan transparansi dan akuntabilitas agar pemanfaatannya bisa tepat sasaran dan tepat guna.9Adanya kewajiban organisasi nirlaba atau lembaga penyelenggara pengumpulan sumbangan

8Pasal 2 ayat (2) UU PUB

9https://ylki.or.id/2018/02/praktek-penggalangan-dana-publik-kajian-terhadap-

penerapan-prinsip-transparansi-dan-akuntabilitas/, diakses tanggal 5 Juni 2018, pukul 18.50 WITA

(21)

mengenai transparansi dan akuntabilitas ternyata belum diatur dalam UU PUB maupun PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, menilai bahwa sudah saatnya UU PUB untuk direvisi. Pasalnya, UU PUB tersebut sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian seperti terkait transparansi dan akuntabilitas, masa berlaku pemberian izin, dan teknologi.

Bahkan menurut beliau, penggalangan dana publik saat ini sudah dilakukan melalui media massa dan media sosial, yang belum diatur oleh UU PUB.

Padahal lembaga tersebut menggalang dana publik dengan jumlah yang cukup besar, sehingga wajib melaporkan dana kepada Kementerian Sosial atau kepada pihak yang mengeluarkan izin, dan juga harus melaporkan penggunaan dana kepada para donator.10

Hukum sudah seharusnya memiliki radius jarak pandang 10 (sepuluh) tahun sampai 25 (dua puluh lima) tahun kedepan, dan dapat memprediksi dampak dari regulasi di masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu. Untuk tujuan itu maka para pengambil keputusan di Negara ini terutama pembentuk undang-undang haruslah dipelopori oleh kaum pemikir hukum dan dibantu oleh para ahli non-hukum lainnya. Hukum yang dibangun dan dibentuk harus memiliki landasan pertentangan pemahaman filsafat Barat

10http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt575fe7f9e227b/pernah-donasi-di- minimarket-ternyata--ada-masalah, diakses tanggal 5 Juni 2018, pukul 18.50 WITA

(22)

dan Timur, maka pengetahuan tentang filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara RI harus mendominasi dunia pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan hukum.11

Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana publik sangat erat kaitannya dengan keterbukaan akses informasi dan pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh penyelenggara. Akan tetapi, dalam prakteknya penerapan kedua prinsip tersebut tidak menjadi kewajiban bagi seluruh penyelenggara dan masih banyak penyelenggara yang tidak melakukan penyelenggaraan penggalangan dana publik secara profesional, transparan dan akuntabel. Hal ini tercantum dalam Pasal 14 huruf Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846 (selanjutnya disingkat UU KIP) bahwa informasi publik yang wajib disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara dalam undang-undang ini adalah pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran.

11Romli Atmasasmita, 2016, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori dan Praktik di Era Globalisasi, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm. 6

(23)

Pada kenyataannya, pada bulan Mei tahun 201712, seseorang bernama Budi Utomo alias Cak Budi dipanggil oleh pihak Kementerian Sosial dan diminta untuk mengklarifikasi. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas penyelenggaraan pengumpulan dana masyarakat baik bagi penyelenggara maupun perlindungan kepada donator. Budi Utomo sempat membuat heboh karena menggunakan uang donasi untuk membeli ponsel iPhone 7 (tujuh) dan mobil Fortuner. Setelah mengakui tindakannya itu dan meminta maaf, Cak Budi menjualnya dan menyumbangkan seluruh uang donasi ke lembaga Aksi Cepat Tanggap. Cak Budi beralasan bahwa mobil Toyota Fortuner sebagai alat angkut dan pembelian iPhone 7 (tujuh) adalah untuk menunjang kegiatan-kegiatan sosial.

Kasus serupa juga terjadi di Kota Makassar, dimana ada sejumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dan organisasi sosial berupa Lions Club dimana pelaksanaan penyelenggaraan sumbangan dilakukan tidak sesuai dengan UU PUB, selanjutnya akan diuraikan pada hasil pembahasan dan penelitian.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan tesis dengan judul, Pengawasan Pemerintah

12http://www.mediaindonesia.com/news/read/103504/kemensos-serahkan-kasus-cak- budi-ke-kepolisian/2017-05-05, 4 januari 2018

(24)

Terhadap Penyelenggaraan Sumbangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang Atau Barang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah UU PUB masih efektif bagi penyelenggaraan sumbangan saat ini?

2. Apakah UU PUB telah memenuhi asas proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan memenuhi asas materi muatan peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan Penelitan

Adapun tujuan penelitian yang hendak penulis capai dalam tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui mana kendala atau hambatan apa saja yang terjadi dalam perizinan penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang di Indonesia;

2. Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam menghadapi penyelenggaraan pengumpulan sumbangan.

(25)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dalam tesis ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep, metode atau teori dalam studi ilmu hukum, khususnya yang menyangkut pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang biasa juga disebut dengan pengumpulan sumbangan.

2. Manfaat Praktis

Penulis berharap karya tulis ilmiah yang berbentuk tesis ini dapat memberi manfaat bagi kalangan akademis dan masyarakat pada khususnya yang membutuhkan informasi. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan pertimbangan bagi pemerintah khususnya Kementerian Sosial dan pihak-pihak yang terkait penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang.

E. Orisinalitas Penelitian

Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Pengawasan Pemerintah Terhadap Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Dintijau dari Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang Atau Barang” yang diangkat sebagai judul tesis ini telah diperiksa melalui penelusuran

(26)

kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun penelusuran di internet. Tema di atas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan referensi, buku-buku, dan pihak-pihak lain dan judul tersebut dan setelah ditelusuri belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin maupun di universitas lainnya. Data yang digunakan guna melengkapi penulisan tesis ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Dengan demikian keaslian tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pengumpulan Uang atau Barang

Pengumpulan uang diatur dalam UU PUB, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dalam Pasal 1 UU PUB13, bahwa yang diartikan dengan pengumpulan uang atau barang ini adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental / agama / kerohanian, kejasmanian, dan bidang kebudayaan.

Pasal 4 ayat (1) UU PUB14, bahwa pejabat yang berwenang memberikan izin pengumpulan uang atau barang ialah:

a. Menteri Kesejahteraan Sosial, setelah mendengar pendapat panitia pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan dalam seluruh wilayah Negara atau melampaui daerah Tingkat I atau untuk menyelenggarakan atau membantu suatu usaha sosial di luar negeri;

b. Gubernur, Kepala Daerah Tingkat I, setelah mendengar pendapat panitia pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya

13Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

14Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

(28)

5 (lima) orang anggota apabila pengumpulan itu diselenggarakan di dalam seluruh wilayahnya atau melampaui suatu Daerah Tingkat II dalam wilayahnya, Daerah Tingkat I yang bersangkutan;

c. Bupati / Walikota, Kepala Daerah Tingkat II setelah mendengar pendapat panitia pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang- kurangnya 5 (lima) orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan dalam wilayah daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU PUB15menyebutkan bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.

Kemudian dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, menyebutkan:

1. Pemegang izin / penyelenggara pengumpulan sumbangan, wajib mempertanggung jawabkan usahanya serta penggunaannya kepada pemberi izin;

2. Pejabat pemberi izin berkewajiban membuat laporan berkala kepada Menteri secara hierarkis;

3. Tata cara pelaksanaan sebagai dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh menteri.

15Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang

(29)

Tata cara pelaksanaan diatur dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Oleh Masyarakat, yang dimaksud dengan usaha pengumpulan sumbangan adalah semua upaya, program dan kegiatan dalam rangka pengumpulan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

1. Pengertian Barang atau Benda

Hukum benda16 itu mengatur pengertian dari benda, kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan. Hukum benda adalah hukum yang mengatur hubungan subjek hukum dengan benda, yang menimbulkan hal kebendaan. Hukum benda merupakan bagian dari hukum harta kekayaan.

Diatur dalam Buku II KUH Perdata Pasal 499 sampai Pasal 1232, meliputi pengertian benda dan macam-macam benda serta pengertian hak kebendaan dan macam-macam hak kebendaan. Benda atau “Zaak”17ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Pengertian “Benda” yang dimakasud dalam KUH Perdata adalah benda-benda berwujud seperti kendaraan

16Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2008, Hukum Perdata : Hukum Benda, Yogyakarta : Liberty, hlm. 12

17Pasal 499 KUH Perdata

(30)

bermotor, tanah, dan lain-lain. sedangkan benda tak berwujud seperti hak cipta, paten. Benda meliputi Benda Berwujud (Barang) maupun Tidak Berwujud (Hak), sedangkan Barang hanya meliputi benda berwujud saja. Jadi pengertian “Benda” lebih luas dari pada “Barang”.

2. Pengertian Uang

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

3. Pengertian Jasa

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa yang dimaksud dengan jasa18 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

18Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(31)

B. Pengumpul (Subyek Hukum) 1. Orang Perseorangan

a. Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum;

b. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi;

c. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

2. Korporasi

a. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum;

b. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

(32)

3. Yayasan

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, disebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 5 disebutkan Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.

Adapun terkait kegiatan Yayasan diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.

Dalam menjalankan tugasnya Yayasan diaudit oleh akuntan publik. Yang dimaksud dengan Akuntan Publik disebutkan dalam Pasal 1 angka 4, bahwa yang disebut dengan Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin untuk menjalankan pekerjaan sebagai akuntan publik.

(33)

4. Organisasi Kemasyarakatan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyebutkan bahwa Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat bertujuan untuk:

a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;

b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;

c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat;

e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;

f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;

g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan

h. mewujudkan tujuan negara.

5. Pelaku Usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

(34)

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

6. Lembaga Usaha

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Lembaga Internasional

Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing non-pemerintah dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(35)

C. Kelompok Rentan Penerima Manfaat 1. Konsumen

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Yang dapat dikualifikasi sebagai konsumen19sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum orang, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan.

2. Korban

Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.

3. Pengungsi

Menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau

19Ahmadi Miru dan Sutarman Yolo, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:

Rajawali Pers, hlm. 5.

(36)

dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.

4. Fakir Miskin

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan bahwa fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.

D. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan Di Indonesia

Prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan bantuan kemanusiaan di Indonesia menurut Hamid Abidin, antara lain:20

a) Independensi

Organisasi adalah otonom dan bebas dari pengaruh dan kepentingan- kepentingan pemerintah, partai politik, lembaga penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun yang dapat menghilangkan independensi organisasi dalam bertindak bagi kepentingan umum. Indikatornya:

i) Adanya kebijakan mengenai pelarangan rangkap jabatan sebagai pengambil keputusan dan/atau kepentingan sejenis antara organisasi pengelola bantuan kemanusiaan dengan jajaran pemerintahan, perusahaan swasta, pengurus dan anggota partai politik, ataupun organisasi lain yang berafiliasi dengan kepentingan politik praktis;

20Tim Penyusun Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan, 2013, Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Pengelolaan Bantuan Kemanusiaan di Indonesia, Jakarta:

Piramedia, hlm. 6-18.

(37)

ii) Program dan aktivitas organisasi bersifat independen dan bebas.

b) Komitmen Organisasi

Organisasi memiliki perangkat kebijakan yang jelas dan tegas terkait kualitas dan akuntabilitas untuk dapat diterapkan dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan. Indikatornya:

i) Adanya dokumen tertulis dan resmi mengenai visi dan misi organisasi;

ii) Adanya program kerja dalam respon kemanusiaan, serta program strategis dari kegiatan atau proyek;

iii) Adanya prosedur atau mekanisme (SOP) di dalam lembaga dalam pelaksanaan kegiatan;

iv) Adanya kebijakan tentang perlindungan terhadap staf dan penerima manfaat.

c) Kompetensi

Organisasi memiliki dan mengembangkan kapasitas yang relevan dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan sesuai standar bantuan kemanusiaan. Indikatornya:

i) Tersedianya tenaga kerja yang cukup;

ii) Adanya pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam staf yang melaksanakan program;

iii) Adanya standar manajemen, kemampuan mengelola bantuan, personal dan distribusinya (sumber daya manusia, sistem, dan daya dukung operasional; logistik, administrasi, dan keuangan);

iv) Memiliki prosedur keamanan dan penyelamatan bagi para staf dan relawan di lapangan.

d) Non Diskriminasi

Organisasi pengelola bantuan selalu menerapkan asas tidak membedakan orang menurut jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik. Indikatornya:

i) Informasi yang jelas tentang prosedur pemilihan target penerima manfaat;

ii) Informasi yang jelas tentang prosedur rekrutmen staf dan relawan;

iii) Adanya keterwakilan dari semua golongan penerima manfaat dalam keterlibatan kegiatan/ proyek;

iv) Adanya prasarana yang mendukung keterlibatan semua kelompok dan golongan.

e) Partisipasi

Organisasi melibatkan pemangku kepentingan terkait dan penerima manfaat dalam semua tahapan pengelolaan bantuan. Indikatornya:

(38)

i) Adanya keterlibatan laki-laki, perempuan, dan anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan (identifikasi kebutuhan);

ii) Terlibatnya penerima manfaat (laki-laki, perempuan, dan anak) dalam pemenuhan kebutuhan;

iii) Aktif dalam berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain.

f) Transparansi

Organisasi menyediakan informasi yang jelas dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan pengelolaan bantuan kemanusiaan. Indikatornya:

i) Adanya informasi yang mudah dipahami dan mudah diakses (dana, rentang waktu, cara pelaksanaan, bentuk bantuan/program). Contoh:

bahwa pembangunan hunian sementara juga akan mempertimbangkan lingkungan sekitar;

ii) Adanya publikasi dan media mengenai proses kegiatan dan detail keuangan (termasuk jumlah donasi dan nama pemberi donasi) yang dapat diakses oleh umum, dan khususnya masyarakat penerima bantuan dan pemangku kepentingan yang lain;

iii) Adanya laporan berkala mengenai pendayagunaan sumber daya dalam perkembangan proyek yang dapat diakses oleh umum dan khususnya masyarakat penerima bantuan dan pemangku kepentingan yang lain.

g) Koordinasi

Organisasi berkomunikasi dengan pemangku kepentingan dan organisasi pengelola bantuan kemanusiaan lainnya melalui wadah koordinasi yang ada dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan.

Indikatornya:

i) Berkoordinasi dengan pemerintah setempat atau otoritas lokal (dinas dan departemen terkait);

ii) Terlibat dalam koordinasi rutin atau melakukan sharing informasi kepada pemangku kepentingan terkait lainnya;

iii) Mengisi kesenjangan dalam melakukan respon.

h) Pembelajaran dan Perbaikan

Setiap pengalaman yang pernah dialami dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan menjadi bahan pembelajaran untuk perbaikan.

Indikatornya:

i) Adanya laporan lapangan secara terstruktur dan terjadwal (tidak hanya hal baik saja, tetapi juga mengungkapkan kendala di lapangan);

(39)

ii) Adanya mekanisme perencanaan dan evaluasi berkala pengelolaan bantuan melalui briefing dan review berkala;

iii) Adanya kegiatan peningkatan kapasitas pengelolaan bantuan.

i) Kemitraan

Kerjasama pengelolaan bantuan kemanusiaan dilakukan dengan asas kesetaraan. Indikatornya:

i) Adanya kesepakatan tertulis antara pemberi bantuan dan mitra pelaksana dengan memperhatikan asas kesetaraan;

ii) Adanya pelibatan aktif semua pihak dalam pengambilan keputusan.

iii) Memberikan ruang kesempatan dan waktu bagi penerima manfaat dalam pelaksanaan program;

j) Non-Proselitis

Organisasi tidak melakukan upaya penyebarluasan agama, keyakinan, paham, dan ideologi politik melalui distribusi bantuan kemanusiaan.

Indikatornya:

i) Adanya pakta perjanjian internal bagi setiap individu atau personil yang terlibat dalam kegiatan program;

ii) Adanya pelibatan aktif semua pihak dalam pengambilan keputusan k) Mekanisme Umpan Balik

Organisasi memiliki mekanisme untuk menerima saran, kritik dan tanggapan dari pemangku kepentingan untuk peningkatan dan perbaikan pengelolaan bantuan. Indikatornya:

i) Adanya mekanisme untuk menyampaikan pertanyaan, saran, dan tanggapan bagi penerima manfaat;

ii) Penyampaian laporan lapangan secara terstruktur dan terjadwal (tidak hanya hal baik saja, tetapi juga mengungkapkan kendala di lapangan);

iii) Adanya tindak lanjut terkait dengan pelaporan, pertanyaan dan tanggapan.

l) Kemandirian

Organisasi mampu melakukan upaya-upaya mobilisasi sumber daya dan distribusi bantuan kemanusiaan yang tidak menimbulkan ketergantungan. Indikatornya:

i) Adanya sumber daya (materi dan non-materi) yang jelas dan berkelanjutan;

ii) Adanya pelibatan kapasitas (sumber daya materi dan non-materi) lokal dalam pelaksanaan program;

iii) Adanya pelibatan aktif semua pemangku kepentingan dalam penentuan program.

(40)

m) Keberpihakan terhadap kelompok rentan

Organisasi memiliki keberpihakan yang jelas kepada kelompok rentan (ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak, lansia, difabel/ penyandang cacat, pengidap HIV AIDS, minoritas seks) di setiap tahapan dan dampak pengelolaan bantuan kemanusiaan. Indikatornya:

i) Adanya kebijakan dan program yang berorientasi kepada kelompok rentan (ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak, lansia, difabel/

penyandang cacat, pengidap HIV AIDS, minoritas seks);

ii) Penerima manfaat langsung dari program dan organisasi adalah sebagian besar merupakan kelompok rentan;

iii) Adanya kebijakan tentang perlindungan terhadap penerima manfaat.

E. Transparansi, Akuntabilitas dan Pengendalian Dalam Penyelenggaraan Sumbangan

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, mengakibatkan ada beberapa hal baru yang belum terakomodir agar tercapainya suatu tata kelola yang baik yang dapat mengantisipasi terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang yaitu mengenai Transparansi, Akuntabilitas dan Pengendalian.

1. Transparansi

Dalam penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang diperlukan adanya transparansi sebagai upaya untuk tercapainya suatu tata kelola yang baik, ada beberapa pengertian mengenai transparansi.

(41)

Menurut Agus Dwiyanto21, konsep transparansi pada pelayanan publik menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat yang membutuhkan. Untuk mengetahui apakah suatu pelayanan publik sudah transparansi atau tidak22, ada 3 indikator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi pelayanan publik:

1. Mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Penilaian terhadap tingkat keterbukaan di sini meliputi seluruh proses pelayanan publik, termasuk di dalamnya adalah persyaratan, biaya dan waktu yang dibutuhkan serta mekanisme atau prosedur pelayanan yang harus dipenuhi;

2. Indikator kedua dari transparansi menunjuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan masyarakat yang lain;

3. Indikator ketiga dari transparansi pelayanan adalah kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik. Semakin mudah masyarakat memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik maka semakin tinggi transparansi.

Menurut Mohamad Mahsun23, transparansi berarti bahwa individu, kelompok, atau organisasi dalam hubungan akuntabilitas diarahkan tanpa adanya kebohongan atau motivasi tersembunyi, dan bahwa seluruh informasi lengkap dan tidak memiliki tujuan menghilangkan data yang berhubungan dengan masalah tertentu.

21Agus Dwiyanto, 2014, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 236

22Agus Dwiyanto, 2014, loc. cit. hlm. 240

23Mohamad Mahsun, 2016, Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, hlm. 92

(42)

Dari penjelasan-penjelasan pengertian transparansi tersebut, dapat diartikan bahwa transparansi merupakan kunci untuk dapat tercapainya akuntabilitas dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang, dan dapat juga diartikan bahwa akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana yang transparan, namun kenyataannya pada saat ini dalam setiap penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang pada umumnya masih belum dilakukan dengan transparan.

2. Akuntabilitas

Dapat dikatakan akuntabilitas diperlukan pada hampir setiap aktivitas oleh masyarakat modern pada saat ini, termasuk pada penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang. Dengan akuntabilitas dapat diukur dan dinilai mengenai pertanggungjawaban dari setiap aktivitas, berikut ini beberapa pengertian mengenai akuntabilitas.

Menurut Agus Dwiyanto24, akuntabilitas adalah suatu derajat yang menunjukkan tanggung jawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah. Dalam hal ini ada dua bentuk akuntabilitas, yakni:

a. Akuntabilias eksplisit (atau secara konseptual dapat disebut answerability) adalah pertanggungjawaban seorang pejabat atau pegawai pemerintah manakala dia diharuskan untuk menjawab atau menanggung konsekuensi dari cara-cara yang mereka gunakan dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan.

24Agus Dwiyanto, Op. cit., hal 98.

(43)

b. Akuntabilitas implisit berarti bahwa setiap pejabat atau pegawai pemerintah secara implisit bertanggung jawab atas kebijakan, tindakan atau proses pelayanan publik yang dilaksanakan.

Menurut Mohamad Mahsun25, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.

Dengan mengacu kepada pengertian-pengertian akuntabilias tersebut, pada penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang, menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada yang memberi izin dan publik merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan. Agar pertanggungjawaban yang telah dibuat memiliki kredibilitas perlu dilakukan audit oleh lembaga yang independen.

Bentuk atau format laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang perlu ditetapkan agar memudahkan di dalam melakukan pengendalian. Muatan atau substansi dari laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang, minimal harus memuat atau mencantumkan :26

a. Nomor dan tanggal ijin;

25Mohamad Mahsun, Op. Cit. hlm. 83

26Usulan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Sumbangan, hlm. 21.

(44)

b. Batas waktu pelaksanaan/penyelenggaraan;

c. Tempat pelaksanaan/penyelenggaraan;

d. Jumlah SDM yang melaksanakan/menyelenggarakan;

e. Jenis pengumpulan sumbangan;

f. Daftar rincian penerimaan sumbangan (dengan format yang telah ditetapkan), dilengkapi dengan dokumen pendukung diantaranya yaitu rekening koran;

g. Daftar rincian penyaluran/pendistribusian sumbangan (dengan format yang telah ditetapkan), dilengkapi dengan dokumen pendukung yaitu tanda terima dari penerima sumbangan;

h. Saldo sumbangan ada atau tidak ada harus dicantumkan;

i. Jika terdapat saldo sumbangan, harus dibuat penjelasan atas saldo tersebut;

j. Hasil audit jika telah diaudit.

3. Pengendalian

Untuk dapat terlaksananya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang perlu adanya suatu pengendalian. Fungsi pengendalian dapat dilakukan oleh masyarakat dan lembaga atau instansi yang ditunjuk. Terdapat beberapa pengertian pengendalian.

Dengan memahami pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen akan memberikan kejelasan bahwa pengawasan diperlukan, terutama untuk menjawab pertanyaan apakah kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan dalam organisasi sudah sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Sesuai dengan pengertian pengendalian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, jika dikaitkan dengan pelaksanaan pengumpulan sumbangan uang atau barang, diperlukan adanya bentuk sistem pengawasan untuk

(45)

menjamin terlaksananya transparansi dan akuntabilitas. Adapun bentuk sistem pengawasan sebagai wujud dari pengendalian diantaranya yaitu:

a. Adanya media, baik cetak maupun elektronik yang dikelola oleh lembaga independen, secara khusus untuk menyampaikan penganduan atau keluhan atas penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang;

b. Dilakukan audit oleh lembaga independen, untuk mengukur dan mengetahui kualitas pertanggungjawaban yang telah dibuat;

c. Dilaksanakannya reward and punishment atas penyelenggaraan pengumpulan sumbangan uang atau barang, untuk efektifitas pengendalian;

F. Landasan Teori

1. Kajian Tentang Teori Ketatanegaraan

Unsur-unsur yang harus dimiliki suatu masyarakat politik supaya dianggap sebagi negara, menurut pendapat Oppenheim Lauterpacht adalah sebagai berikut:27

a. Harus ada rakyat;

b. Harus ada wilayah;

c. Harus ada pemerintah yang berdaulat.

27I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Bandung: Refika Aditama, hlm. 7

(46)

Negara merupakan kekuasaan yang terorganisir yang mengatur masyarakat hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu demi kesejahteraan bersama.28 Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa tampak sekali hubungan masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang- perseorangan, merupakan bagian dari negara dan negara memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakatnya agar dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan dari masyarakat dan negara.

Keinginan untuk hidup bersama telah menjadi pembawaan manusia, yang merupakan keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. dalam kehidupan bersama itulah manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. masyarakat sering kali harus ada kerja sama antara satu sama lain, tolong-menolong, bantu-membantu, untuk memperoleh keperluan hidupnya sehingga kepentingan itu akan lebih mudah tercapai.29

Akan tetapi, seringkali kepentingan-kepentingan itu berlainan bahkan ada juga yang bertentanganm sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang menganggu keserasian hidup bersama. Bisa saja orang atau atau golongan yang lebih kuat akan menindas orang atau golongan yang lemah untuk menekan kehendaknya.

28I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op. cit. hlm. 45

29C.S.T. Kansil, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.

47

(47)

Agar masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan aman, tenteram dan damai tanpa gangguan30, maka diperlukan suatu tata yang berwujud aturan yang menjadi pedoman segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup. Dengan adanya pedoman tersebut maka kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin.31

Negara yang merupakan organisasi masyarakat yang berkekuasaan mempunyai kewajiban untuk mengatur agar keamanan terjamin dan ada perlindungan atas kepentingan tiap orang, guna tercapainya kebahagiaan yang merata dalam masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana bentuk penguasaan negara itu dapat menjamin terselenggaranya kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa hak penguasaan negara memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Penguasaan oleh negara tersebut pada garis besarnya berarti kewenangan untuk:32

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharannya;

2. Menentukan dan mengatur hak-hak; dan

30Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, hlm. 181

31C.S.T. Kansil, op. cit. hlm. 49

32Aminuddin Ilmar, 2012, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Jakarta:

Kencana, hlm.59

(48)

3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum berkenaan dengan penyelenggaraan negara.

Menurut Charles Baron de Secondat Montesquieu, yang dikenal dengan nama Montesquieu, membagi fungsi negara menjadi tiga bagian, yaitu:33

1. Fungsi Legislatif; yaitu fungsi membentuk atau membuat undang- undang;

2. Fungsi Eksekutif; yaitu fungsi menjalankan atau melaksanakan undang-undang;

3. Fungsi Yudikatif; yaitu fungsi untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati dan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang- undang.

Pemerintah merupakan suatu gejala yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yaitu hubungan antara manusia dengan setiap kelompok termasuk dalam keluarga. Pemerintah memegang pertanggungjawaban atas kepentingan rakyat. Dan juga pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan sipil.

Tugas pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, dimana tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan memberikan kepuasan kepada

33Romi Librayanto, 2013, Ilmu Negara Suatu Pengantar, Makassar: Arus Timur, hlm.

134

(49)

publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.

Untuk menjamin agar semua urusan pemerintahan dapat berjalan sesuai menurut rencana, maka pejabat pemerintahan tersebut harus memiliki kemampuan untuk memandu, menuntut, membimbing, memotivasi, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi yang baik, sumber pengawasan yang baik, serta membawa pengikutnya kepada sasaran yang hendak dituju sesuai ketentuan, waktu dan perencanaan.34

Pemerintah Indonesia mulai memandang pentingnya peran kerelawanan dalam pembangunan bangsa. Untuk itu, maka penyelenggaraan pemerintah daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan

34Kartini Kartono, 2016, Pimpinan dan Kepemimpinan, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 81

(50)

pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

Urusan pemerintahan konkuren dimana menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, urusan pemerintahan konkuren terdiri dari urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, filantropi atau kegiatan sosial masuk dalam klasifikasi urusan pemerintahan konkuren. Dalam Pasal 12 undang-undang tersebut, urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial.

Oleh sebab itu untuk meningkatkan perlindungan hukum secara lebih baik bagi warga masyarakat, maka perlu ditegaskan bahwa asas-asas pemerintahan yang baik harus dituangkan secara resmi di dalam peraturan perundang-undangan sebagai asas-asas umum pemerintahan. Adapun asas- asas umum pemerintahan yang baik dapat dikategorikan dalam 13 (tiga belas) asas yaitu:

(51)

a. Asas kepastian hukum;

b. Asas keseimbangan hukum;

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan;

d. Asas bertindak cermat;

e. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan;

f. Asas permainan yang layak;

g. Asas keadilan atau kewajaran;

h. Asas menanggapi penghargaan yang wajar;

i. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal;

j. Asas perlindungan atas pandangan cara hidup pribadi;

k. Asas kebijaksanaan;

l. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.

a. Asas Kepastian Hukum;

Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara

b. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini menghendaki proporsi yang wajar dalam penjatuhan hukum terhadap pegawai yang melakukan kesalahan. Artinya, hukuman yang dijatuhkan tidak boleh berlebihan sehingga tidak seimbangan dengan kesalahan yang dilakukan pegawai yang bersangkutan.

c. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan

(52)

Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus atau fakta yang sama alat administrasi negara dapat mengambil tindakan yang sama.

d. Asas Bertindak Cermat

Asas ini menghendaki agar administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati supaya tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.

e. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan

Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan, pejabat pemerintah dapat bersandar pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar, adil, dan jelas.

f. Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan

Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat administrasi negara tidak menggunakan kewenangan atas kekuasaan di luar maksud pemberian kewenangan atau kekuasaan tersebut.

g. Asas Permainan yang Layak

Asas ini menghendaki agar pejabat pemerintah dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil, sehingga dapat pula memberikan kesempatan yang luas untuk menuntut keadilan dan kebenaran.

h. Asas Keadilan atau Kewajaran

Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakan, pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku tidak layak.

i. Asas Memanggapi Penghargaan yang Wajar

(53)

Asas ini menghendaki agar tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan yang wajar bagi yang berkepentingan.

j. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal

Asas ini menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan, maka akibat dari keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga yang bersangkutan harus diberikan ganti rugi atau rehabilitasi.

k. Asas Perlindungan atas Pandangan (cara) Hidup

Asas ini menghendaki agar setiap pegawai negeri diberi kebebasan atau hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan (cara) hidup yang dianutnya.

l. Asas Kebijaksanaan

Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya pemerintah diberi kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi.

m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum

Asas ini menghendaki agar dalam menyelenggarakan tugasnya pemerintah selalu mengutamakan kepentingan umum.

Menurut Sondang P. Siagian, pengawasan merupakan proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu tesis ini akan membahas tentang mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai pemimpin badan usaha swasta menurut UUJN, bagaimana upaya MPN

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan kejadian yang diamati, yaitu menggali mengenai kekuatan hukum atas

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah Kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal

37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan prosedur dan tata cara dalam melakukan renvoi terhadap perbedaan atau selisih dari jumlah hutang debitor pailit yang

Kendala yang dialami PPAT dalam melaksanakan perannya turut mengawasi pemungutan BPHTB atas transaksi jual beli hak atas tanah dan bangunan di Kabupaten Samosir antara

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan

sehingga membuat warna tersendiri dalam tesis pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap semoga semua bantuan

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan