• Tidak ada hasil yang ditemukan

2018 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR LISNAWATY DJAMALUDDIN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2018 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR LISNAWATY DJAMALUDDIN TESIS"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

TAMBAHAN TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK KURUS USIA 6-18 BULAN DI KOTA MAKASSAR

THE EFFECT OF SUPPLEMENTARY FEEDING BISCUIT MODIFICATION TO THE GROWTH AMONG WASTING qqCHILDREN AGE 6-18 MONTHS IN MAKASSAR CITY

LISNAWATY DJAMALUDDIN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Master

Program Studi

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disusun dan Diajukan Oleh

LISNAWATY DJAMALUDDIN

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Lisnawaty Djamaluddin

NIM : P1803216016

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar- benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi perbuatan tersebut.

Makassar, Agustus 2018 Yang Menyatakan

Lisnawaty Djamaluddin

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan kuasa dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Modifikasi Pemberian Biskuit Makanan Tambahan Terhadap Pertumbuhan Anak Kurus Usia 6-18 Bulan di Kota Makassar”.

Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Penyusunan tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan penuh rasa hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nurhaedar Jafar, Apt., M.Kes selaku Pembimbing I dan Ibu Prof.

Dr. A. Ummu Salmah, SKM., M.Sc. selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan memberikan dorongan kepada penulis sejak proses awal hingga akhir penyusunan tesis ini. Ucapan yang sama juga kepada Ibu Rahayu Indriasari, SKM., MPHCN, Ph.D selaku Penguji I, Bapak Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS selaku Penguji II, dan Ibu Dr. Fridawaty Rivai, SKM., M.Kes selaku Penguji III yang secara aktif telah memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini. Tak lupa pula penulis sampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Djunaidi M. Dachlan, MS selaku Penanggung Jawab atas proyek penelitian ini yang bekerja sama dengan SEAMEO-RECFON UI.

(6)

Secara khusus penulis ucapkan syukran wajazakumullahu khairan katsiran kepada suami tercinta Taufik Muchtar, begitu pula orang tua tersayang Ayahanda H. Djamaluddin dan Ibunda Hj. Nurhayati serta Ibu Mertua Hj. Halimah Rahman atas segala pengorbanan, kasih sayang, doa dan dukungan yang tiada henti kepada penulis. Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada anak-anak tercinta Yasmin, Fathi, dan Taqiyah yang telah memberikan semangat dan menjadi penghibur di saat lelah. Dengan selesainya tesis ini, penulis juga mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat dan Ketua Jurusan Gizi beserta seluruh staf pengelola yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti pendidikan di Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

3. Seluruh dosen dan staf pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang telah membeikan bekal ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dan PPSDM Kemenkes RI yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana.

(7)

5. Tim MP-ASI yang selalu menemani dalam suka duka penelitian ini, yang selalu menemani dalam 1 tahun terakhir. Semoga kalian semua diberi kemudahan dan kelancaran dalam tugas akhir ini.

6. Teman-teman seperjuangan mahasiswa S2 Gizi Unhas Angkatan 2016 yang sudah menjadi keluarga selama menempuh pendidikan ini dan telah banyak membantu memberikan motivasi, bimbingan serta semangat yang sangat luar biasa.

Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga sumbangsih yang diberikan akan memperoleh balasan dari Allah SWT.

Aamiin..

Makassar, Agustus 2018

Lisnawaty Djamaluddin

(8)
(9)
(10)

SURAT PERNYATAAN ... iv

PRAKATA ... v

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Tinjauan Umum Tentang Makanan Tambahan ... 13

B. Tinjauan Umum Kecukupan Gizi Anak Usia 6-23 Bulan ... 20

C. Tinjauan Umum Tentang Pertumbuhan... 24

D. Tinjauan Tentang Edukasi Pemberian Makan Bayi dan Anak ... 43

D. Tabel Sintesa... 50

E. Kerangka Teori ... 58

F. Kerangka Konsep ... 59

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 60

H. Hipotesis Penelitian ... 63

BAB III METODE PENELITIAN ... 64

A. Desain Penelitian ... 64

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 65

D. Penentuan Besar Sampel ... 66

E. Cara Pengambilan Sampel ... 68

F. Prosedur Pengumpulan Data ... 68

G. Alur Penelitian ... 69

H. Cara Kerja Penelitian ... 72

I. Analisis Data... 84

(11)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 86

A. Hasil ... 86

B. Pembahasan ... 110

C. Keterbatasan Penelitian ... 125

BAB V PENUTUP ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130

LAMPIRAN ... 138

(12)

Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi Anak 0-3 Tahun ...21

Tabel 3. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi ...37

Tabel 4. Interpretasi Grafik Pertumbuhan WHO ...80

Tabel 5. Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik ...87

Tabel 6. Distribusi Responden berdasarkan Sanitasi, Layanan Kesehatan, dan Praktik Pemberian Makan Bayi dan Anak...89

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-rata Skor Pengetahuan PMBA Sebelum dan Setelah Intervensi ...91

Tabel 8. Distribusi Responden berdasarkan Persepsi di Awal dan Akhir Pemberian Biskuit Makanan Tambahan ...92

Tabel 9. Distribusi Responden berdasarkan Persepsi terhadap Rasa, Bentuk, dan Kemasan Biskuit Makanan Tambahan ...93

Tabel 10. Distribusi Responden berdasarkan Penyakit Infeksi Sebelum dan Setelah Pemberian Biskuit ... 94

Tabel 11. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Penyakit Infeksi yang Diderita ...95

Tabel 12. Distribusi Responden berdasarkan Rata-rata Asupan Zat Gizi Sebelum dan Setelah Intervensi... 101

Tabel 13. Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Kepatuhan Konsumsi Biskuit Makanan Tambahan Selama 90 Hari ... 103

(13)

Tabel 14. Analisis Tingkat Kepatuhan Responden pada Awal dan Akhir Pemberian... 104 Tabel 15. Distribusi Responden berdasarkan Rata-rata Berat Badan,

Panjang Badan, dan Z-Score Status Gizi (BB/PB) ... 105 Tabel 16. Distribusi Responden berdasarkan Tren Pertumbuhan ... 108 Tabel 17. Distribusi Responden berdasarkan Pertumbuhan dengan Status

Gizi (BB/PB) Bulan Ketiga Pemberian Biskuit Makanan

Tambahan ... 109

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Biskuit “MP-ASI” ...18

Gambar 2. Model Interelasi Tumbuh Kembang Anak ...31

Gambar 3. Diagram Kerangka Konseptual Proses Tumbuh Kembang ....33

Gambar 4. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pertumbuhan pada Anak...34

Gambar 5. Asumsi Determinan Perilaku Manusia. ...46

Gambar 6. Pengaruh Individu dan Sosial/Komunitas pada Pilihan Makanan ...49

Gambar 7. Kerangka Teori Modifikasi ...58

Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian ...59

Gambar 9. Alur Penelitian ...71

Gambar 10. Timbangan SECA 876 ...76

Gambar 11. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan PMBA Pengasuh Sebelum dan Setelah Intervensi...90

Gambar 12. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kecukupan Asupan Energi Sebelum dan Setelah Intervensi ...96

Gambar 13. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kecukupan Asupan Protein Sebelum dan Setelah Intervensi ...97

Gambar 14. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kecukupan Asupan Vitamin A Sebelum dan Setelah Intervensi ...98

Gambar 15. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kecukupan Asupan Zat Besi Sebelum dan Setelah Intervensi...99

(15)

Gambar 16. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kecukupan Asupan Zink Sebelum dan Setelah Intervensi ... 100 Gambar 17. Tren Kategori Patuh Konsumsi Biskuit Makanan Tambahan

pada Kedua Kelompok ... 104 Gambar 18. Persentase Perubahan Status Gizi Responden Selama

Pemberian Biskuit Makanan Tambahan pada Kelompok

Intervensi ... 107 Gambar 19. Persentase Perubahan Status Gizi Responden Selama

Pemberian Biskuit Makanan Tambahan pada Kelompok

Kontrol ... 107

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Lampiran 2 Output SPSS

Lampiran 3 Surat-surat Penelitian Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian Lampiran 5 Riwayat Hidup

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam siklus kehidupan, usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi. Status gizi pada anak juga merupakan penentu kualitas sumber daya manusia. Periode seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) pada anak merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak bisa dikoreksi (Kemenko Kesra, 2012). Anak-anak yang terhambat pertumbuhannya sebelum berusia 2 tahun memiliki hasil yang lebih buruk dalam emosi dan perilakunya pada masa remaja akhir, hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya akan berpengaruh pada pengembangan potensi bangsa. Perbaikan gizi setelah usia 2 tahun biasanya tidak mengarah pada pemulihan potensi yang hilang.

Data dari lima negara yang diteliti menunjukkan bahwa kenaikan berat badan selama dua tahun pertama kehidupan namun tidak setelahnya, meningkatkan kemampuan di sekolah di masa kanak-kanak nantinya (UNICEF 2013). Berdasar pada hal tersebut maka upaya perbaikan gizi difokuskan sebelum 1000 HPK berakhir.

(18)

Kurus (wasting) pada anak-anak adalah sebuah tanda dari kekurangan gizi akut, biasanya sebagai konsekuensi dari ketidakcukupan asupan makanan atau tingginya kejadian penyakit infeksi khususnya diare. Wasting pada gilirannya mengganggu fungsi dari sistem imun dan dapat menyebabkan keparahan dan durasi serta kerentanan terhadap penyakit menular dan peningkatan risiko kematian (WHO 2010).

Secara global pada tahun 2016 terdapat 52 juta anak balita yang kurus.

Prevalensi tertinggi untuk balita kurus (15,3%) dengan jumlah anak kurus sebanyak 27 juta ditemukan di Wilayah Asia Tenggara WHO (WHO 2017).

Berdasarkan Global Nutrition Report (2016), posisi Indonesia untuk masalah balita kurus berada di peringkat 116 dari 130 negara dengan prevalensi sebanyak 13,5% (International Food Policy Research Institute 2016).

Secara nasional, berdasarkan hasil Riskesdas prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus di Indonesia menurun dari 13,6% pada tahun 2007 menjadi 12,1% pada tahun 2013 (Kemenkes 2013b). Sedangkan hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2015-2017 yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan RI memperlihatkan masalah status gizi kurus pada kelompok baduta selalu lebih tinggi dibandingkan pada kelompok balita (Kemenkes 2018). Dari tahun 2015-2017, prevalensi baduta kurus (wasting) tidak mengalami perubahan yang begitu bermakna di mana pada tahun 2015 jumlah baduta kurus sebanyak 12,8% (Kemenkes 2016), meskipun

(19)

sedikit mengalami penurunan di 2016 sebanyak 12,6% (Kemenkes 2017a), namun kembali ke 12,8% di tahun 2017 (Kemenkes 2018).

Di Provinsi Sulawesi Selatan, hasil PSG tahun 2017 menunjukkan persentase baduta yang kurus sebanyak 12,3% sedangkan untuk kategori balita sebanyak 8,7% (Kemenkes 2018). Hal ini berarti juga bahwa pada kelompok baduta di Sulawesi Selatan lebih banyak yang berstatus gizi kurus dibandingkan dengan kelompok balita. Masa transisi dari ASI eksklusif (0-6 bulan) hingga pengenalan makanan pendamping ASI (6-23 bulan) adalah periode yang sangat kritis di mana anak paling rentan terhadap kekurangan gizi (Akombi et al. 2017). Selama 3 tahun terakhir, trend baduta yang mengalami wasting semakin meningkat di Sulawesi Selatan di mana pada tahun 2015 hanya sebesar 10% dan bertambah 2,3%

di tahun 2017. Untuk Kota Makassar berdasarkan hasil PSG tahun 2017, persentase balita (0-59 bulan) kurus sebanyak 9,4%. Bila melihat kecenderungan dari hasil PSG tahun 2015 sampai 2017, persentase balita kurus di Kota Makassar mengalami penurunan sebanyak 8,3% namun masih menjadi masalah gizi dengan kategori akut karena masih di atas 5%

sehingga sesuai patokan WHO masih menjadi perhatian khusus yang perlu diselesaikan dengan pendekatan program kesehatan masyarakat. Sesuai konsep 1000 Hari Pertama Kehidupan, jika anak mengalami masalah status gizi kurus maka peluang perbaikan yang tepat hanya dapat dilakukan dalam 2 tahun pertama. Dengan demikian, kemungkinan anak untuk tetap dapat

(20)

mencapai pertumbuhan optimal dalam rentang usia selanjutnya akan lebih besar.

Masalah status gizi kurus menurut Unicef disebabkan langsung oleh asupan makanan dan kesehatan. Berdasarkan data Survei Diet Total (SDT) tahun 2014 diketahui bahwa lebih dari separuh balita (55,7%) mempunyai asupan energi yang kurang dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan (Litbangkes 2014). Secara nasional tahun 2017, kecukupan konsumsi energi pada balita dengan kategori defisit (kurang dari 70% AKE) yaitu sebanyak 43,2% dan kategori defisit ringan (antara 70-79% AKE) sebanyak 28,5%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak balita di Indonesia yang asupan energinya kurang dari Angka Kecukupan Energi yang dianjurkan. Di Sulawesi Selatan juga terjadi hal seperti itu, di mana hampir sebagian besar balita yang mengalami defisit asupan energi (46,5%) (Kemenkes 2018). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masih tingginya prevalensi balita kurus di Sulawesi Selatan di mana asupan makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang di samping status kesehatan.

Oleh karena masih kurangnya asupan energi pada balita di Indonesia, pemberian makanan tambahan (PMT) dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki status gizi anak. Pemberian makanan tambahan khususnya bagi kelompok rawan merupakan salah satu strategi suplementasi dalam mengatasi masalah gizi. Di Indonesia, balita kurus yang mendapatkan makanan tambahan meningkat dari tahun 2016 (36,8%) hingga 2017

(21)

(59,1%). Sedangkan dari sekian banyak balita di Sulawesi Selatan yang berstatus gizi kurus di tahun 2017, hanya 38,4% yang mendapatkan makanan tambahan (Kemenkes 2018). Untuk Kota Makassar, balita kurus yang mendapatkan PMT mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebesar 69,0% menjadi 72,7% di tahun 2017. Sementara target nasional tahun 2017 yaitu sebanyak 75%, hal ini berarti cakupan pemberian makanan tambahan masih belum sesuai target nasional dan masih ada balita kurus yang belum ditangani secara baik.

Pemberian makanan tambahan secara umum dibedakan atas dua macam yaitu makanan tambahan berbasis bahan makanan lokal dan makanan tambahan pabrikan seperti biksuit. Makanan tambahan berbasis bahan lokal untuk anak di bawah dua tahun seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Tashadella (2017) menghasilkan energi yang masih kurang dari prinsip pemberian PMT di mana energi dan protein yang harus diberikan sebesar 300 kkal energi dan 10 gram protein. Hal ini disebabkan bahan dasar yang digunakan dan adanya kesalahan pada proses pengolahan. Meskipun dalam pembuatannya ditambahkan beberapa bahan makanan yang dapat meningkatkan kandungan gizinya, namun setelah dianalisis hasil kandungan gizinya masih tetap kurang dari prinsip makanan tambahan yang dianjurkan untuk balita. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Hlaing et al. (2018) bahwa pada anak usia 12-23 bulan yang diberikan makanan pendamping dari bahan lokal yang tersedia akan sulit untuk memastikan kecukupan zat gizi berupa Ca, Zn,

(22)

niasin, folat, dan Fe karena bahan lokal yang tersedia tersebut hanya memastikan kecukupan protein, riboflavin, vitamin C, A, dan B12. Hasil analisis ini menyarankan strategi alternatif berupa fortifikasi makanan pendamping untuk memenuhi kekurangan zat gizi lainnya, taburan multi mikronutrien untuk anak, atau fortifikasi makanan pokok dengan beberapa mikronutrien.

Makanan tambahan berbentuk makanan keluarga berbasis pangan lokal lebih bervariasi karena disesuaikan dengan resep-resep lokal yang dianjurkan. Namun metode dan lamanya memasak sangat menentukan ketersediaan zat gizi yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, suplementasi gizi dapat juga diberikan berupa makanan tambahan pabrikan yang lebih praktis dan lebih terjamin komposisi zat gizinya. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita merupakan pemberian suplementasi gizi untuk melengkapi kebutuhan gizi agar mencapai berat badan sesuai usia.

Penelitian yang dilakukan di 31 negara memperlihatkan suplementasi makanan menunjukkan adanya kenaikan berat badan pada keluarga kurang mampu. Demikian halnya anak-anak usia 6-23 bulan yang diberikan makanan tambahan selama 6 bulan menunjukkan kenaikan berat badan, selanjutnya ketika makanan tambahan diberikan bersama edukasi gizi dan intervensi berbasis pangan lokal maka kenaikan berat badan menjadi lebih besar. Anak-anak akan tumbuh lebih baik jika mereka mendapatkan

(23)

makanan tambahan lebih dini pada rentang umur 6-23 bulan yang merupakan masa kritis untuk suplementasi (Kristjansson 2016).

Studi yang dilakukan pada 21 negara (4 di Asia, 12 di Afrika, 4 di Amerika, dan 1 di Eropa) terkait pemberian makanan tambahan menyimpulkan bahwa pemberian makanan tambahan yang buruk memberikan kontribusi pada tren pertumbuhan negatif yang khas diamati pada negara-negara berkembang, oleh karena itu memerlukan perhatian yang terfokus dan intervensi yang disesuaikan sendiri. Keanekaragaman makanan berpotensi meningkatkan pertumbuhan linier (Onyango et al.

2014).

Intervensi gizi yang menggabungkan konseling diet awal dan suplementasi gizi jangka panjang mendorong kejar tumbuh awal pada berat badan dan juga memperbaiki pertumbuhan linier selama fase pemeliharaan pertumbuhan sehingga membantu mempertahankan pertumbuhan proporsional pada anak-anak yang berisiko kekurangan gizi (Huynh et al.

2015).

Pemberian makan saja tidak cukup untuk memperbaiki status gizi anak baduta. Saat pemberian PMT mungkin saja berat badan sasaran mengalami pertambahan, namun setelah program pemberian PMT berakhir maka berat badan sasaran diharapkan tidak mengalami pengurangan. Hal ini sangat terkait dengan edukasi tentang cara pemberian makan pada anak. Program promosi pertumbuhan anak yang berfokus pada peningkatan pengetahuan gizi para pengasuh merupakan hal yang

(24)

mengecewakan untuk dilaporkan terkait bahwa pengetahuan pemberian makan bayi dan anak yang rendah di antara pengasuh mempengaruhi praktik pemberian makan bayi dan anak mereka (Agbozo et al. 2015).

Peneltian terkait evaluasi program pemberian makanan tambahan pada balita gizi kurang juga menilai kegiatan pamantauan secara rutin dari pihak puskesmas, di mana diperoleh hasil dari pemantauan tersebut yaitu adanya kenaikan berat badan sasaran. Tetapi jika PMT tersebut berhenti dan tidak dilakukan lagi maka terjadi penurunan berat badan pada balita yang mempunyai masalah gizi (Wahyuningsih & Devi 2017).

Program PMT biskuit oleh kementerian kesehatan sebagai upaya menanggulangi masalah gizi pada balita telah dilaksanakan hingga ke pelosok negeri. Anak balita yang mendapatkan program PMT biskuit diberikan selama 90 hari dengan ketentuan mengkonsumsi sebanyak 12 keping untuk anak usia 12-59 bulan dan 8 keping untuk anak usia 6-11 bulan. Menurut analisis yang dilakukan oleh SEAMEO-RECFON (Southeast Asian Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition), program PMT biskuit yang selama ini diberikan sebanyak 12 keping untuk anak usia 12-24 bulan dan 8 keping untuk usia 6-11 bulan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi asupan gizi sasaran. Berdasarkan analisis nutrient gap yaitu gap antara angka kecukupan gizi (AKG) dan asupan aktual baduta yang diidentifikasi menggunakan analisa linear programming (LP) dengan Optifood menggunakan data asupan baduta dari studi di Indonesia yaitu Riskesdas tahun 2013, dosis PMT yang diberikan

(25)

diturunkan menjadi hanya 4 keping biskuit untuk anak usia 6-11 bulan dan 4 keping biskuit untuk anak usia 12-23 bulan. Namun hal ini harus disertai dengan edukasi gizi sesuai panganan lokal (Mansyur et al. 2017).

Pengurangan jumlah pemberian biskuit makanan tambahan yaitu menjadi 4 keping untuk anak usia 6-24 bulan ini disebut juga dengan modifikasi pemberian.

Oleh karena berbagai hal tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan terhadap pertumbuhan anak kurus usia 6-18 bulan di Kota Makassar.

Penelitian ini merupakan bagian dari studi yang dilakukan secara multisenter oleh SEAMEO RECFON Fakultas Kedokteran UI pada 7 kabupaten/kota termasuk Kota Makassar yang berjudul “Efektivitas Pemberian Makanan Tambahan dan Edukasi PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak) untuk Perbaikan Status Gizi Anak Kurus Usia 6-23 Bulan di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, diperoleh rumusan masalah mengenai bagaimana pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan terhadap pertumbuhan anak kurus usia 6-18 bulan di Kota Makassar.

(26)

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan terhadap pertumbuhan anak kurus usia 6-18 bulan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui perbedaan berat badan dan panjang badan sebelum dan setelah pemberian pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

b. Mengetahui perbedaan asupan gizi makro dan mikro sebelum dan setelah pemberian pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

c. Mengetahui kepatuhan konsumsi makanan tambahan pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

d. Mengetahui perbedaan pengetahuan tentang pemberian makan bayi dan anak sebelum dan setelah pemberian pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

(27)

e. Mengetahui praktik pemberian makan bayi dan anak pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

f. Mengetahui persepsi tentang makanan tambahan pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

g. Mengetahui riwayat penyakit infeksi responden pada kelompok modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dan pada kelompok pemberian biskuit makanan tambahan program kementerian kesehatan.

h. Mengetahui pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan dibandingkan dengan pemberian biskuit makanan tambahan program Kementerian Kesehatan terhadap pertumbuhan anak baduta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan tentang pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan terhadap pertumbuhan anak kurus. Dengan terevaluasinya pelaksanaan Pemberian Makanan Tambahan Balita, maka pelaksanaannya terkait aspek jumlah PMT yang diberikan, penerimaan ibu-ibu dan anak balita terhadap PMT

(28)

serta edukasi gizi tambahan yang diperlukan akan dapat dioptimalkan.

Harapannya seluruh anak kurus usia 6-18 bulan yang mendapatkan program PMT selanjutnya dapat memanfaatkan PMT yang diberikan dengan baik sehingga tercapai perbaikan pertumbuhan yang optimal.

2. Manfaat Institusi

Institusi perguruan tinggi dapat memanfaatkan informasi mengenai pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan untuk kajian selanjutnya mengenai perbaikan program intervensi malnutrisi pada anak baduta.

3. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan pengalaman, wawasan, serta pengetahuan dalam melakukan penelitian mengenai pengaruh modifikasi pemberian biskuit makanan tambahan terhadap pertumbuhan anak baduta kurus.

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Makanan Tambahan

1. Pengertian Makanan Tambahan

Usia balita termasuk dalam kelompok yang rawan terhadap masalah kekurangan gizi. Untuk mengatasi masalah kekurangan gizi ini diperlukan makanan tambahan untuk memenuhi asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada sasaran harus tepat dan dilakukan secara benar sesuai dengan aturan konsumsi yang dianjurkan, sehingga upaya pemulihan status gizi sasaran menjadi efektif.

Makanan tambahan adalah makanan bergizi sebagai tambahan selain makanan utama bagi kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan gizi.

Makanan tambahan yang diberikan dapat berupa sebagai berikut:

a. Makanan Tambahan Penyuluhan adalah makanan tambahan yang diberikan untuk mencegah terjadinya masalah gizi.

b. Makanan Tambahan Pemulihan adalah makanan tambahan yang diberikan untuk mengatasi terjadinya masalah gizi yang diberikan selama 90 hari makan (Kemenkes 2017b).

Pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) dapat berupa bahan makanan atau makanan lokal dan dapat juga berupa makanan

(30)

pabrikan yang biasanya berbentuk biskuit. Makanan lokal adalah bahan makanan atau makanan yang tersedia dan mudah diperoleh di wilayah setempat dengan harga yang terjangkau. Untuk PMT pemulihan dengan bahan makanan atau makanan lokal diutamakan berupa sumber protein hewani maupun nabati (misalnya telur/ikan/daging/ayam, kacang-kacangan atau penukar) serta sumber vitamin dan mineral yang terutama berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan setempat (Kemenkes 2011). PMT pemulihan hanya sebagai tambahan terhadap makanan yang dikonsumsi oleh balita sasaran sehari-hari, bukan sebagai pengganti makanan utama (Kemenkes 2012).

PMT pabrikan adalah bentuk makanan tambahan yang diproduksi oleh industri atau pabrik dengan spesifikasi kandungan gizi yang telah dibakukan. Sedangkan PMT berbasis pangan lokal adalah bentuk makanan tambahan berbasis pangan lokal atau setempat yang dibuat oleh masyarakat baik individu maupun kelompok (Kemenkes 2012).

Makanan tambahan bagi bayi seharusnya menghasilkan energi setinggi mungkin, sekurang-kurangnya mengandung 360 kkal per 100 gram bahan. Makanan tambahan bagi bayi hendaknya bersifat padat gizi dan mengandung serat kasar serta bahan lain yang sukar dicerna seminimal mungkin, sebab serat kasar yang terlalu banyak jumlahnya akan mengganggu pencernaan (Adriani & Wirjatmadi 2016).

Selain dari bahan makanan atau makanan lokal, adapula makanan tambahan yang berupa makanan pabrikan. Makanan pabrikan adalah

(31)

makanan jadi hasil olahan pabrik, biasanya berbentuk biskuit ataupun bubur instan. Makanan tambahan balita adalah suplementasi gizi berupa makanan tambahan dalam bentuk biskuit dengan formulasi khusus dan difortifikasi dengan vitamin dan mineral yang diberikan kepada bayi dan anak balita usia 6-59 bulan dengan kategori kurus (status gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB dibawah -2 SD). Bagi bayi dan anak berumur 6- 24 bulan, makanan tambahan ini digunakan bersama Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) (Kemenkes 2017b). Makanan tambahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan berupa biskuit memiliki karakteristik produk dengan tulisan “MP-ASI Biskuit” pada permukaan atasnya. Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air matang dalam mangkok bersih sehingga dapat dikonsumsi dengan menggunakan sendok.

Menurut Petunjuk Teknis PMT 2017 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, makanan tambahan yang berupa pemulihan diberikan selama 90 hari makan dan harus dihabiskan. Ketentuan pemberian pada sasaran yaitu usia 6-11 bulan diberikan 8 keping per hari dan usia 12-59 bulan diberikan 12 keping per hari. Biskuit PMT kemasan lama berisi 12 keping biskuit setiap bungkusnya sedangkan kemasan baru yang didistribusikan pada akhir tahun 2017 berisi 4 keping setiap bungkusnya.

MP-ASI pabrikan cenderung lebih efektif digunakan dalam meningkatkan berat badan balita jika dibandingkan dengan MP-ASI lokal,

(32)

meskipun kedua program ini tidak berbeda secara nyata dalam meningkatkan berat badan anak kurang gizi umur 6-24 bulan dari keluarga miskin (Zaidah 2014).

2. Kandungan Zat Gizi Makanan Tambahan Balita

MP-ASI biskuit terbuat dari campuran terigu, margarin, gula, susu, lesitin kedelai, garam bikarbonat, dan diperkaya dengan vitamin dan mineral serta ditambah dengan penyedap rasa dan aroma (flavour).

Makanan Tambahan Balita dikemas dalam satu kemasan primer yang berisi 12 keping biskuit (120 gram). Dalam setiap kemasan mengandung energi 540 kkal, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Informasi Nilai Gizi MP-ASI Biskuit Per 100 Gram

Kandungan Gizi Jumlah

Energi Total 450 kkal

Lemak Total 14 g

Asam Linoleat 2030 mg

Protein 9 g

Karbohidrat Total 71 g

Serat Pangan 5 g

Gula 13 g

Natrium 230 mg

Vitamin A (acetate) 266,51 mcg

Vitamin D 4,71 mcg

Vitamin E 5,62 mg

Vitamin K 12,36 mcg

Vitamin B1 (Thiamin) 0,47 mg

Vitamin B2 (Riboflavin) 0,46 mg

Niasin 4,5 mg

Vitamin B6 (Piridoksin) 0,41 mg

Asam Folat 82,29 mcg

Vitamin B12 0,62 mcg

Besi (Fumarate) 5,36 mg

Zink 2,57 mg

Fosfor 120,85 mg

Selenium 11,26 mcg

Kalsium 207,1 mg

Iodium 66,91 mcg

(33)

3. Karakteristik Produk

Bentuk MP-ASI biskuit berbentuk bundar berdiameter 5 cm - 6 cm, berat 10 gram per keping dan pada permukaan atas biskuit tercantum tulisan

“MP-ASI Biskuit”. Tekstur biskuit ini renyah dan bila dicampur dengan air menjadi lembut, rasanya manis gurih yang disukai anak-anak. Biskuit ini aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah tanggal produksi.

4. Kemasan Makanan Tambahan Biskuit “MP-ASI”

Jenis kemasan primer adalah metalized plastic food grade. Berat bersih tiap kemasan 120 gram atau 12 keping. Setiap kemasan berisi 12 keping biskuit yang disusun dalam tray yang mempunyai 2 ruang dengan ukuran diameter sesuai dengan ukuran biskuit. Tray terbuat dari polyetilen food grade. Setiap 7 kemasan (masing-masing 120 gram) dikemas lagi dalam satu plastik bening kering bertuliskan “Untuk Dikonsumsi 1 Minggu”. Setiap 8 kemasan plastik bening kering berisi 7 kemasan (masing-masing 120 gram) dikemas lagi dalam satu kotak kardus. Pada kotak kardus tercantum keterangan tentang nama produk, tanggal kadaluwarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petunjuk penanganan dan tulisan “MP-ASI mengandung 10 vitamin dan 7 mineral yang dibutuhkan anak” (Ramadhan 2011).

(34)

Gambar 1. Biskuit “MP-ASI”

Dalam pemberian makanan tambahan tentu saja diharapkan hasil dari berubahnya status gizi ke arah yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh (Purwestri et al. 2013) dengan pemberian intervensi makanan siap saji berupa biskuit bagi anak balita kurus, terjadi penambahan berat badan dalam program pelaksanaan terkait dengan kepatuhan yang tinggi. Anak dengan kepatuhan yang tinggi (≥ 80% konsumsi biskuit) memiliki nilai rata- rata kenaikan berat badan setiap hari lebih tinggi 1,33 gram per kg berat badan dibandingkan dengan anak yang kepatuhannya rendah. Makanan tambahan berupa biskuit tersebut dapat menghasilkan kenaikan berat badan pada anak kurus di Pulau Nias.

Kepatuhan konsumsi biskuit juga dipengaruhi oleh pengasuh yang menyatakan suka dan merasakan manfaat gizi dan kesehatan setelah mengonsumsi PMT biskuit sehingga pengasuh dapat memberikan motivasi untuk mengonsumsi. Respons dan motivasi ibu yang baik pada kegiatan PMT biskuit bermanfaat bagi sebagian besar keluarga berpenghasilan rendah yang tidak banyak memiliki ketersediaan dan alternatif pilihan makanan jajanan untuk anak balita di rumahnya (Widodo et al. 2015).

(35)

Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan konsumsi biskuit terkait dengan pendidikan ibu yang rendah, rumah tangga tahan pangan, keragaman pangan rumah tangga tinggi, dan indeks kesejahteraan rumah tangga rendah (Muslihah et al. 2016).

Pemberian makanan tambahan selama 90 hari dapat meningkatkan berat badan balita dengan kenaikan rata-rata sebesar 1,11 kg dari masing- masing berat balita. Hal tersebut menunjukkan bahwa PMT baik bagi balita dengan kategori gizi kurang walaupun dalam kenyataannya belum dapat mengejar berat badan normal sesuai dengan balita seusianya saat ini.

Pengaruh PMT terhadap status gizi dapat dilihat dengan melakukan perhitungan kebutuhan kalori setiap anak dan recall makanan sehari-hari guna mengetahui pengaruh dari PMT ini dan sebagai bahan perencanaan dalam program PMT ke depannya (Edvina 2015).

Aspek lain yang masih perlu dikaji adalah dalam hal sustainabilitas dari kemampuan keluarga dan ibu balita untuk memberikan komposisi makanan yang baik untuk anak ketika pemberian PMT dan yang lebih penting lagi, setelah program PMT diberikan (Fahmida et al. 2015). Dengan banyaknya anak balita kurang gizi dari kelompok sosial ekonomi rendah, dikhawatirkan program PMT ini akan menciptakan bentuk ketergantungan terhadap suatu formulasi makanan tambahan terapetik ketika anak mengalami gizi kurang, seperti yang terjadi pada studi di India mengenai program Ready to Use Therapeutic Food (RUTF) (Unicef 2013).

(36)

Pemberian makanan tambahan dengan atau tanpa konseling gizi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan berat badan dan panjang badan terutama pada populasi yang rawan pangan. Intervensi berupa edukasi juga efektif dalam meningkatkan praktik pemberian makanan tambahan dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan pada populasi yang tahan pangan. Kombinasi penyediaan makanan tambahan yang sesuai dengan edukasi gizi merupakan intervensi utama yang harus ditingkatkan pada negara-negara berkembang (Imdad et al.

2011).

B. Tinjauan Umum Kecukupan Gizi Anak Usia 6-23 Bulan

Konsumsi makanan merupakan faktor utama yang berperan terhadap status gizi seseorang. Metode pengukuran konsumsi pangan untuk individu antara lain metode recall 24 jam, metode estimated food recall, metode penimbangan makanan (food weighing), metode dietary history, dan metode frekuensi makanan (food frequency). Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah banyaknya zat-zat minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi yang adekuat. AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, kondisi khusus (hamil dan menyusui) dan aktivitas fisik (Almatsier 2004).

Berdasarkan data hasil SDT (2014) dan hasil PSG (2017) diketahui bahwa masih banyak balita yang asupan energinya tidak sesuai dengan

(37)

Angka Kecukupan Energi. Anak balita di Indonesia yang mengalami defisit kecukupan energi sebanyak 43,2%, defisit ringan sebanyak 28,5%, dan yang cukup energinya 28,4%. Sedangkan untuk kecukupan protein, balita di Indonesia mengalami defisit sebanyak 31,9%, defisit ringan sebanyak 14,5%, dan cukup sebanyak 53,6%. Untuk kecukupan lemak, balita di Indonesia mengalami defisit sebanyak 48,2%, defisit ringan sebanyak 25,4%, dan cukup sebanyak 26,3%. Kecukupan karbohidrat anak balita, defisit sebanyak 43%, defisit ringan sebanyak 28,4% dan cukup sebanyak 28,6%. Kecukupan untuk zat gizi mikro seperti natrium pada anak balita yaitu defisit sebanyak 53,1%, defisit ringan sebanyak 21,2%, dan cukup sebanyak 25,7% (Kemenkes 2018).

Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi Anak 0-3 Tahun

Kelompok Umur 0-6 Bulan 7-11 Bulan 1-3 Tahun

BB+ (kg) 6 9 13

TB+ (cm) 61 71 91

Energi (kkal) 550 725 1125

Protein (g) 12 18 26

Lemak (g)

Total 34 36 44

n-6 4,4 4,4 7,0

n-3 0,5 0,5 0,7

Karbohidrat (g) 58 82 155

Serat (g) 0 10 16

Air (ml) - 800 1200

Vitamin A (mcg) 375 400 400

Vitamin D (mcg) 5 5 15

Vitamin E (mg) 4 5 6

Vitamin K (mcg) 5 10 15

Vitamin B1 (mg) 0,3 0,4 0,6

Vitamin B2 (mg) 0,3 0,4 0,7

Vitamin B3 (mg) 2 4 6

Vitamin B5 (mg) 1,7 1,8 2,0

Vitamin B6 (mg) 0,1 0,3 0,5

Folat (mcg) 65 80 160

(38)

Kelompok Umur 0-6 Bulan 7-11 Bulan 1-3 Tahun

Vitamin B12 (mcg) 0,4 0,5 0,9

Biotin (mcg) 5 6 8

Kolin (mg) 125 150 200

Vitamin C (mg) 40 50 40

Kalsium (mg) 200 250 650

Fosfor (mg) 100 250 500

Magnesium (mg) 30 55 60

Natrium (mg) 120 200 1000

Kalium (mg) 500 700 3000

Mangan (mg) - 0,6 1,2

Tembaga (mcg) 200 220 340

Kromium (mcg) - 6 11

Besi (mg) - 7 8

Iodium (mcg) 90 120 120

Seng (mg) - 3 4

Selenium (mcg) 5 10 17

Fluor (mg) - 0,4 0,6

Sumber: Lampiran Permenkes RI No. 75 Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia (Kemenkes 2013a)

Penelitian yang dilakukan oleh Hendrayati et al. (2015) mengenai asupan zat gizi pada makanan pendamping ASI anak usia 6-24 bulan di Kabupaten Maros mendapatkan hasil asupan energi dan protein pada umumnya cukup, namun asupan lemak, karbohidrat, vitamin A, zat besi (Fe), dan seng (Zn) pada umumnya kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan pada 48 kabupaten di Indonesia untuk melihat masalah kurang gizi mikro pada anak umur 6-23 bulan, di mana asupan vitamin A, zat besi dan zink berada di bawah AKG yaitu 74,6±1,8 persen, 60,3±2,7 persen dan 41,0±1,1, persen. Hasil penelitiannya ini menggambarkan lebih dari setengah anak yang berpartisipasi sebagai sampel mempunyai asupan di bawah AKG

(39)

Indonesia. Beberapa faktor yang berhubungan dengan risiko rendahnya asupan zat besi, vitamin A dan zink adalah status sosial ekonomi, tempat tinggal, umur, status menyusui dan nafsu makan (Sumedi & Sandjaja 2015).

Bayi dan anak-anak yang masih muda dapat kehilangan berat badan ketika mereka jatuh sakit dan tidak makan dengan baik, namun mereka umumnya mendapatkan kembali berat badan yang hilang itu dalam waktu beberapa minggu setelah mereka sembuh dan nafsu makan mereka kembali (More 2014). Asupan gizi balita berkaitan dengan nafsu makan dan pola makan balita. Nafsu makan yang rendah akan menyebabkan pula rendahnya asupan energi dan juga asupan zat gizi mikro. Nafsu makan pada balita dipengaruhi oleh faktor penyakit yaitu defisiensi zat gizi, psikologis dan fisiologis pada balita. Defisiensi zat gizi mikro yang paling sering dialami oleh balita adalah defisiensi seng dan zat besi. Defisiensi seng berkaitan dengan menurunnya nafsu makan dan mengakibatkan pola makan yang buruk dan mengakibatkan kegagalan pertumbuhan pada balita (Surkan et al. 2014).

Asupan makanan balita kurang disebabkan oleh karena faktor sulit makan yang dialami oleh sebagian besar balita. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan balita dalam mengkonsumsi makanan selingan atau jajan yang berlebihan sehingga balita merasa kenyang sebelum makan makanan utama, selain itu jajanan seperti chiki, permen, teh gelas, dan sebagainya merupakan makanan yang rendah kandungan energi dan dapat menurunkan nafsu makan balita (Hayati 2014).

(40)

Perkembangan nafsu makan pada anak juga diikuti oleh perubahan porsi makan atau frekuensi makan. Penelitian yang dilakukan oleh Yusi Ariska, dkk. (2015) menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang mengalami peningkatan status gizi adalah balita yang nafsu makannya baik, frekuensi makannya lebih dari yang baik tentu akan menyebabkan frekuensi makan anak menjadi semakin sering atau jumlah porsi yang dimakan semakin banyak. Seringnya frekuensi makan dan banyaknya jumlah porsi makan balita tentunya akan membuat berat badan anak semakin bertambah yang akhirnya membuat status gizi anak mengalami peningkatan (Ariska 2015).

C. Tinjauan Umum Tentang Pertumbuhan

1. Pengertian Pertumbuhan

Pertumbuhan anak secara internasional diakui sebagai indikator global terbaik untuk kesegaran fisik pada anak-anak karena praktik pemberian makan yang buruk baik kualitas maupun kuantitas dan infeksi, atau lebih sering merupakan kombinasi keduanya adalah faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan mental pada anak- anak (Semba 2008).

Pertumbuhan adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu. Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik, melainkan juga ukuran dan struktur organ-organ tubuh dan otak. Sebagai contoh hasil dari

(41)

pertumbuhan otak adalah anak mempunyai kapasitas lebih besar untuk belajar, mengingat, dan mempergunakan akalnya. Jadi anak tumbuh baik secara fisik maupun mental. Pertumbuhan fisik dapat dinilai dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan tanda-tanda seks sekunder (Soetjiningsih & Ranuh 2014).

Menurut Depkes RI, pertumbuhan adalah bertambah banyak dan besarnya sel seluruh bagian tubuh yang bersifat kuantitatif dan dapat diukur. Sedangkan menurut Markum, pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu (Marimbi 2010).

Mengukur pertumbuhan adalah salah satu alat kunci dalam memantau perkembangan normal dan digunakan sebagai bagian dari asesmen gizi.

Jika asupan energi dari makanan dan minuman mencukupi, penambahan berat badan akan berada di dalam parameter normal (More 2014). Bukti menunjukkan bahwa kecepatan dari pertumbuhan berbeda setiap tahapan kehidupan karena dipengaruhi oleh kompleksitas dan ukuran dari organ serta rasio otot dengan lemak tubuh (Supariasa et al. 2012).

Proses tumbuh kembang merupakan proses berkesinambungan mulai dari konsepsi sampai berakhirnya masa remaja yang mengikuti pola tertentu yang khas. Dalam proses tersebut setiap anak mengalami proses tumbuh kembang yang sangat dipengaruhi oleh tiga kebutuhan dasar yaitu asah, asih, asuh. Terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut akan berdampak positif terhadap kualitas hidup. Salah satu cara untuk mencapai hasil yang

(42)

berkualitas adalah pemantauan tumbuh kembang secara berkala (Chalid et al. 2014).

2. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Secara umum terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (lingkungan):

a. Faktor Internal (Dalam), yang meliputi:

1) Perbedaan rasa atau bangsa. Bila seseorang dilahirkan sebagai ra orang Eropa maka tidak mungkin ia memiliki faktor herediter ras orang Indonesia atau sebaliknya. Tinggi badan setiap bangsa berlainan, pada umumnya ras kulit putih mempunyai ukuran tungkai yang lebih panjang daripada orang Mongol.

2) Keluarga. Ada kecenderungan keluarga yang tinggi-tinggi dan ada keluarga yang gemuk-gemuk.

3) Umur. Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan, dan masa remaja.

4) Jenisk kelamin. Pada umumnya wanita lebih cepat dewasa dibanding laki-laki. Pada masa pubertas, wanita umumnya tumbuh lebih cepat daripada laki-laki dan kemudian setelah melewati masa pubertas laki-laki akan lebih cepat.

5) Kelainan genetika. Sebagai salah satu contoh achondroplasia (kelainan herediterkongenital) yang menyebabkan darfisme (kerdil), sedangkan sindrom marfan yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badan berlebihan.

(43)

6) Kelainan kromosom. Kelainan ini umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan seperti pada sindrom Down’s dan sindrom Turner’s (Adriani & Wirjatmadi 2016).

b. Faktor Eksternal (Lingkungan)

Faktor eksternal dibagi menjadi dua bagian yaitu prenatal dan pascanatal.

1) Faktor Prenatal

a) Gizi. Tumbuh kembang anak tidaklah dimulai sejak anak lahir tetapi dimulai sejak dalam kandungan. Nutrisi ibu hamil terutama dalam trimester akhir kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan janin.

b) Mekanis. Posisi fetus yang abnormal dapat menyebabkan kelainan kongenital.

c) Toksin/zat kimia. Minopetrin dan obat kontrasepsi dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis.

d) Endokrin. Seperti pada diabetes melitus dapat menyebabkan makrosomia kardiomegali, hyperplasia adrenal.

e) Radiasi. Paparan radium dan sinar roentgen dapat mengakibatkan kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan kongenital mata, dan kelainan jantung.

f) Infeksi. Pada trimester pertama dan kedua adalah infeksi TORCH (toksoplasma, rubella, sitomegalo virus, herpes simpleks), PMS

(44)

(penyakit menular seksual) serta penyakit virus lainnya dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti katarak, bisu tuli, mikrosefali, retardasi mental, dan kelainan jantung kongenital.

g) Kelainan imunologi. Eritroblastosis fetalisi timbul atas dasar perbedaan golongan darah antara janin dan ibu sehingga ibu membentuk antibodi terhadap sel darah merah janin, kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolysis yang selanjutnya mengakibatkan hiperbilirubinemia kemicterus yang akan menyebabkan kerusakan otak janin.

h) Anoksia embrio. Disebut juga kekurangan penyediaan oksigen yang disebabkan oleh gangguan fungsi plasenta sehingga menyebabkan pertumbuhan terganggu.

i) Psikologis ibu. Kehamilan yang tidak diinginkan, perlakuan salah/kekerasan mental pada ibu hamil, dan lain-lain.

j) Faktor persalinan. Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala dan asfiksia dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak.

2) Faktor Pascanatal

a) Gizi. Untuk tumbuh kembang anak diperlukan zat makanan yang adekuat.

b) Penyakit kronis. Tuberculosis, anemia, kelainan jantung bawaan dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan jasmani.

(45)

c) Lingkungan fisik dan kimia. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan sinar radioaktif, zat kimia tertentu (Pb, merkuri, dana rokok) mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan anak.

d) Psikologis. Psikologis dari anak adalah adanya hubungan anak dengan orang tua sekitarnya. Seorang anak yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya atau anak yang selalu merasa tertekan akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

e) Endokrin. Gangguan hormon misalnya pada penyakit hipotiroid akan menyebabkan anak mengalami hambatan pertumbuhan.

Defisiensi hormon pertumbuhan akan menyebabkan anak menjadi kerdil.

f) Sosioekonomi. Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makan, kesehatan lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan akan menghambat pertumbuhan anak.

g) Lingkungan pengasuhan.

h) Stimulasi. Perkembangan memerlukan rangsangan/stimulasi khususnya dalam keluarga.

i) Obat-obatan. Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama akan menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf pusat yang

(46)

menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan (Adriani & Wirjatmadi 2016).

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai tidaknya potensi genetik. Lingkungan yang baik akan memungkinkan tercapainya potensi genetik sedangkan yang tidak baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan biofisikopsikososial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi hingga akhir hayatnya (Soetjiningsih & Ranuh 2014).

Tumbuh kembang anak menurut Unicef dan Jonsson (1992) dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terdiri dari sebab langsung (kecukupan makanan dan keadaan kesehatan), sebab tidak langsung (ketahanan makanan keluarga, asuhan bagi ibu dan anak/pola asuh, dan pemanfaatan layanan kesehatan, sanitasi lingkungan), penyebab dasar (potensi sumber daya yang mempengaruhi penyebab dasar lainnya yaitu struktur ekonomi, struktur politik dan ideology yang dilandasi oleh potensi sumber daya) (Soetjiningsih & Ranuh 2014) seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

(47)

Gambar 2. Model Interelasi Tumbuh Kembang Anak (Unicef dan Jonsson, 1992)

Sofyan Ismael (1991) mengungkapkan tentang kerangka konseptual proses tumbuh kembang anak. Pada model tersebut ekosistem dibagi menjadi:

Keadaan Kesehatan Tumbuh Kembang

Anak Kecukupan

Makanan

Ketahanan Makanan Keluarga

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan &

Sanitasi Lingkungan Asuhan

bagi Ibu

& Anak

Pendidikan Keluarga

Struktur Politik & Ideologi Keberadaan & Kontrol Sumber Daya Keluarga:

Manusia, Ekonomi, dan Keluarga

Pendidikan Keluarga

Potensi Sumber Daya

Manifestasi

Sebab Langsung

Sebab Tak Langsung

Sebab Dasar

(48)

a. Mikrosistem, yaitu yang paling dekat dengan anak adalah ibu (pendidikan ibu, gizi ibu, keluarga berencana/tidak); gizi yang diterima anak terutama ASI; imunisasi; pengobatan sederhana termasuk oralit untuk pertolongan pertama kalau diare.

b. Minisistem, yaitu ayah, saudara, kakek, nenek, atau anggota keluarga lainnya; kondisi rumah: layak huni/tidak, ventilasi, cahaya; suasana rumah.

c. Mesosistem, yaitu lingkungan/tetangga; sarana bermain; pelayanan kesehatan; pendidikan/sekolah.

d. Makrosistem, adalah kebijakan politik/pemerintah terhadap pendidikan dan kesehatan anak; sosial budaya masyarakat; lembaga non pemerintah.

Semua sistem tersebut mengacu pada kedekatan dan kelangsungan pengaruh masing-masing sistem terhadap tumbuh kembang anak. Pada model tersebut juga dijabarkan kebutuhan anak akan ASUH, ASIH, dan ASAH serta pengaruh genetika terhadap tumbuh kembang anak (Soetjiningsih & Ranuh 2014) seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.

Menurut Fasli Jalal dan Soekirman (1990), faktor sosial ekonomi tersebut antara lain pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut diatas akan berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi asupan zat gizi dan infeksi pada anak. Pada akhirnya ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah yang

(49)

mengakibatkan pertumbuhan terganggu (Supariasa et al. 2012) seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Kerangka Konseptual Proses Tumbuh Kembang Anak (Soyfan Ismael, 1991)

Ibu

- Pendidikan - Gizi

- KB

Nutrisi (ASI)

Imunisasi

Pengobatan sederhana (oralit)

Anggota keluarga - Ayah - Saudara

Rumah

Suasana rumah

Lingkungan tetangga

Sarana bermain

Pelayanan kesehatan

Pendidikan sekolah

Kebijakan pemerintah - Depkes - Depdikbud - Depag, dll.

Sosial budaya masyarakat

Lembaga non- pemerintah - Nasional - Internasional

MIKRO MINI MESO MAKRO

KEBUTUHAN DASAR ANAK

ASAH ASIH ASUH LINGKUNGAN

NEONATUS BAYI ANAK REMAJA TUMBUH-KEMBANG

GENETIK/HEREDOKONSTITUSIONAL

(50)

Gambar 4. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pertumbuhan pada Anak (Fasli Jalal dan Soekirman, 1990)

Penelitian yang dilakukan oleh Hanasiah (2016) pada baduta (umur 7- 24 bulan) di Kabupaten Lampung Selatan mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, riwayat penyakit anak, dan pola asuh dengan pertumbuhan anak baduta. Sedangkan yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan baduta adalah faktor riwayat penyakit anak (Hanasiah. dkk.

2016).

Pemantauan pertumbuhan fisik perlu dilakukan untuk menentukan apakah pertumbuhan fisik seorang anak berjalan normal atau tidak, baik

Ketersediaan Zat Gizi pada Tingkat Seluler Status Sosial-Ekonomi

(Pendidikan, Pekerjaan, Teknologi, Budaya, dan lain-lain)

Praktik Pemberian Makanan Bayi

Praktik Kesehatan

Sanitasi Lingkungan Tanah Pendapatan

Sumber Pangan

Masukan

Zat Gizi Infeksi

Pertumbuhan

(51)

dilihat dari segi medis maupun statistik. Anak yang sehat dan diberi lingkungan biofisikopsikososial yang adekuat akan tumbuh secara optimal.

Proses pertumbuhan fisik merupakan proses yang berkesinambungan mulai dari konsepsi sampai dewasa dengan mengikuti pola tertentu dan khas untuk setiap anak. Proses tersebut merupakan proses interaksi yang terus menerus serta rumit antara faktor genetik dan lingkungan. Untuk mengetahui pertumbuhan anak utamanya secara fisik, digunakan parameter-parameter pemantauan pertumbuhan fisik (Soetjiningsih &

Ranuh 2014).

3. Parameter Pemantauan Pertumbuhan Fisik

Tujuan pemantauan pertumbuhan adalah mendeteksi dini adanya gangguan pertumbuhan, memantau status gizi dan meningkatkan gizi anak, menilai dampak kegiatan intervensi medis dan nutrisi, serta deteksi dini yang mendasari gangguan pertumbuhan. Pertumbuhan seorang anak hanya dapat dinilai dengan melihat trend arah ukuran antropometri dalam kurve antropometri (Chalid et al. 2014).

Untuk memantau pertumbuhan fisik anak, sering digunakan ukuran- ukuran antropometri yang dibedakan menjadi 2 kelompok:

a. Ukuran yang tergantung umur (age dependence) 1) Berat badan (BB) terhadap umur

2) Tinggi/panjang badan (TB/PB) terhadap umur 3) Lingkar kepala (LK) terhadap umur

4) Lingkar lengan atas (LLA) terhadap umur

(52)

b. Ukuran yang tidak tergantung umur 1) BB terhadap TB

2) LLA terhadap TB (QUAC Stick = Quacker Arm Circumference measuring stick)

3) Lain-lain: LLA dibandingkan dengan standar/baku, lipatan kulit pada trisep, subskapular, abdominal dibandingkan dengan baku.

Standar antropometri WHO 2005 nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 (Kemenkes 2010a):

a. Umur dihitung dalam bulan penuh. Contoh: umur 2 bulan 29 hari dihitung sebagai umur 2 bulan.

b. Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang diukur telentang. Bila anak umur 0 sampai 24 bulan diukur berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.

c. Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur di atas 24 bulan yang diukur berdiri. Bila anak umur di atas 24 bulan diukur telentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.

d. Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk).

e. Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut

(53)

umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).

f. Kurus dan sangat kurus adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan severely wasted (sangat kurus).

Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini (Kemenkes 2010a):

Tabel 3. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi

Indeks Kategori

Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Berat Badan menurut Umur (BB/U) anak umur 0-60 bulan

Gizi buruk <- 3 SD

Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi lebih >2SD

Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) anak

umur 0-60 bulan

Sangat pendek <- 3 SD

Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi >2SD

Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) anak umur 0-60 bulan

Sangat kurus <- 3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk >2SD

Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) anak umur 0-60

bulan

Sangat kurus <- 3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk >2SD

(54)

Selanjutnya hasil pengukuran antropometri tersebut dibandingkan dengan suatu baku tertentu, misalnya baku Harvard, NCHS (National Center for Health Statistic), CDC (Communicable Disease Center), WHO, atau baku nasional kalau ada. Pada saat ini dianjurkan untuk pemantauan ukuran antropometrik digunakan WHO Anthro 2005 (Soetjiningsih & Ranuh 2014).

Berat Badan (BB)

Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting dan harus diukur pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh , antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh, dan lain-lain. Pada saat ini berat badan dipakai sebagai indikator terbaik untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak karena berat badan sensitif terhadap perubahan walaupun sedikit. Pengukuran bersifat objektif dan dapat diulangi dengan menggunakan timbangan apa saja yang relative murah, mudah dan tidak memerlukan waktu banyak. Kerugian indikator berat badan adalah tidak sensistif terhadap proporsi tubuh misalnya pendek gemuk atau tinggi kurus (Soetjiningsih & Ranuh 2014)

Tinggi/Panjang Badan (TB/PB)

Tinggi/panjang badan merupakan ukuran antropometri kedua yang terpenting. Keistimewaannya adalah pada masa pertumbuhan, ukuran tinggi/panjang badan meningkat terus sampai tinggi maksimal dicapai.

(55)

Kenaikan tinggi badan ini berfluktuasi, yaitu meningkat pesat pada masa bayi, kemudian melambat, dan selanjutnya menjadi pesat kembali pada masa remaja, kemudian melambat lagi dan akhirnya berhenti pada umur 18-20 tahun. Keuntungan indikator ini adalah pengukurannya objektif dan dapat diulang; alat dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa;

merupakan indikator yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting); sebagai pembanding terhadap perubahan- perubahan relatif, seperti terhadap nilai BB dan LLA. Kerugiannya adalah perubahan tinggi badan relatif pelan dan sukar mengukur tinggi badan secara tepat; kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga untuk mengukur TB/PB. Selain itu dibutuhkan 2 macam teknik pengukuran, pada anak umur kurang dari 2 tahun dengan posisi tidur telentang (panjang supinasi) dan pada umur lebih dari 2 tahun dengan posisi berdiri.

Pengukuran supinasi pada umumnya lebih panjang 1 cm daripada pengukuran berdiri pada anak yang sama, meskipun pengukuran dilakukan dengan teknik pengukuran yang terbaik dan secara cermat (Soetjiningsih &

Ranuh 2014).

Lingkar Kepala (LK)

Lingkar kepala (LK) mencerminkan volume intracranial, termasuk pertumbuhan otak. Apabila otak tidak tumbuh normal, kepala akan kecil atau sebaliknya bila kepala tidak tumbuh, otak akan mengikuti. Karena itu, pada LK yang lebih kecil dari normal (<-2 SD) atau mikrosefali, seringkali ada retardasi mental. Sebaliknya kalau ada penyumbatan aliran cairan

(56)

serebrospinal pada hidrosefalus, volume kepala akan meningkat, sehingga LK lebih besar daripada normal. Acuan untuk pemantauan LK pada saat ini adalah menggunakan baku WHO Anthro 2005. Perkembangan otak dari bayi baru lahir sampai dewasa setengahnya terjadi pada 6 bulan pertama, oleh karena itu 6 bulan pertama adalah masa yang paling kritis perkembangan otak anak. Pemantauan LK sebaiknya dilakukan setiap bulan selama 2 tahun pertama, dan selanjutnya setiap 3 bulan sampai anak umur 5 tahun yang sangat penting untuk deteksi dini penyimpangan perkembangan otak anak (Soetjiningsih & Ranuh 2014).

Lingkar Lengan Atas (LLA)

Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh, tidak seperti berat badan. LLA dapat dipakai untuk menilai keadaan gizi/tumbuh kembang pada kelompok umur prasekolah. Laju tumbuhnya lambat, yakni dari 11 cm pada saat lahir menjadi 16 cm pada umur 1 tahun. Selanjutnya LLA tidak banyak berubah selama 1-3 tahun. LLA hanya digunakan untuk identifikasi anak dengan gangguan gizi/pertumbuhan yang berat, pertengahan LLA sukar ditentukan tanpa menekan jaringan dan LLA hanya digunakan untuk anak umur 1-3 tahun, walaupun ada yang mengatakan alat ini dapat digunakan untuk anak mulai umur 6 bulan sampai 5 atau 6 tahun (Soetjiningsih & Ranuh 2014).

(57)

Pertumbuhan Gigi

Pembentukan struktur gigi yang sehat dan sempurna dimungkinkan dengan gizi yang cukup protein, kalsium, fosfat, dan vitamin (terutama vitamin C dan vitamin D). Klasifikasi gigi dimulai pada umur janin lima bulan mencakup seluruh gigi susu. Erupsi gigi yang terlambat dapat ditemukan pada hipotiroidisme, gangguan gizi, dan gangguan pertumbuhan. Pada usia 16-18 bulan, gigi taring mulai muncul. Sampai dengan umur 2 tahun, umur bayi dapat diukur secara kasar dengan menghitung jumlah gigi ditambah enam, untuk menentukan umur dalam bulan (Adriani & Wirjatmadi 2016).

Rata-rata bayi mempunyai 4-6 gigi susu pada usia satu tahun dan 16 pada usia dua tahun. Gigi yang pertama muncul adalah gigi depan sedangkan yang terakhir adalah geraham. Empat gigi susu yang terakhir biasanya baru muncul pada tahun pertama masa kanak-kanak (Jafar et al. 2016)

Untuk memantau pertumbuhan anak dapat dilihat dengan menggunakan grafik pertumbuhan. Grafik pertumbuhan telah dikonstruksikan dengan mengukur sejumlah besar anak sehat di berbagai umur. Garis-garis sentil kemudian dikonstruksikan yang menunjukkan distribusi normal ukuran berat badan/tinggi badan/lingkar kepala pada setiap umur. WHO Child Growth Standards (Standar Pertumbuhan Anak WHO) dikembangkan dengan mengguanakan data yang dikumpulkan di dalam WHO Multicentre Growth Reference Study yang merupakan proyek multinegara berbasis masyarakat yang dilaksanakan di Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman, dan Amerika Serikat. Masing-masing dari keenam

Referensi

Dokumen terkait

2019;11(1):46-50 2019 Departemen Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar,

Ekstrakurikuler Pada SMP Perguruan Islam Kota Makassar. Program Studi Pendidikan Seni Rupa Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Muhammad

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterapkan pada penyelenggaraan sumbangan yang terjadi saat

Hasil ini tidak sepenuhnya membuktikan hipotesis penelitian (hipotesis penelitian 2; lihat hal. 18) yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni terdapat pengaruh jenis kelamin, tempat

1) Paradigma kelembagaan yang dikembangkan PKK adalah paradigma dari atas ke bawah (top down) dan berdasarkan struktur hirarki kedinasan dari tingkat pusat sampai

Semoga dengan diterbitkannya laporan ini akan memberikan informasi baru terkait pelaksanaan kegiatan yang telah berjalan maupun yang akan datang sehingga dapat

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 April – 19 Mei 2018 di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Indikator kinerja utama pada penelitian ini dapat diukur berdasarkan rata-rata jumlah kegiatan penelitian dosen tetap program studi (DTSP) yang sesuai dengan keilmuan