USU Law Journal, Vol.7. No.2, Juni 2019, 123-131 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Pidana Cambuk Terhadap Pelaku Tindak Pidana Maisir di Wilayah Hukum Aceh
Radian Putra [email protected]
Madiasa Ablisar, M. Ekaputra, Sutiarnoto
Abstract. In Indonesia, Aceh is the only province or territory to which makes the Islamic legal norm s into Qanun, which applies since the year 2003. Qanun is m eant is 12/2003 Number of Alcohol Qanun, Qanun 13/2003 Num ber of Maisir, Qanun and 14/2003 Num ber of Seclusion. The third position is legally the qanun is getting sturdier after the promulgation of Act No. 11/2006 of the Governm ent of Aceh (BAL). Then the third the Qanun was replaced with the 6 year Num ber 2014 Qanun About Jinayat. Am ong the powers granted to Aceh by the legislation in the field of criminal law is the authority to include basic, form s, levels, limits, properties, and equality between different criminal legislation in force in Indonesia. The form of punishm ent whip was a form of punishment in the new legislation expected Indonesia could r educe the crim e rate or breach of Shari'ah in Aceh. The principle of Islamic law in fact Jinayah him include the management and those settings is to create a sense of security and benefit for the community as well as the certainty of his upright God's law in the Earth Kingdom. Although the im plem entation of Islamic Sharia in Aceh is far from pristine, but the business as well as the wishes of the people of Aceh for safely syari'atau has reached the point of light and progress gradually, although it is indeed very difficult to run it kaffah . There is a fundamental difference against the application of the penalty of flogging in Aceh with the application of the penalty of flogging according to jinayah i.e. in term s of the number of lashes. This difference is caused due to the application of Islamic Sharia in Aceh has not fully reference such as what is taught in the religion and Islam ic Sharia in Aceh im plementation is done gradually and still in testing or rudim entary
Keywords: Qanun, A Criminal Offence, Maisir
PENDAHULUAN Latar Belakang
Di Indonesia, Aceh adalah satu -satunya provinsi atau daerah yang menjadikan norma hukum Islam m enjadi Qanun, yang berlaku sejak tahun 2003. Qanun dimaksud adalah Qanun Nom or 12/2003 tentang Khamar, Qanun Nom or 13/2003 tentang Maisir, dan Qanun Nom or 14/2003 tentang Khalwat. Posisi ketiga qanun tersebut secara yuridis semakin kokoh setelah diundangkannya Undang-undang Nom or 11/2006 tentang Pem erintahan Aceh (UUPA). Kemudian ketiga Qanun tersebut diganti dengan Qanun Nom or 6 Tahun 2014 Tentang Jinayat. Di antara kewenangan yang diberikan kepada Aceh oleh undang -undang tersebut dalam bidang hukum pidana adalah kewenangan untuk m emuat asas, bentuk, kadar, batas, sifat, dan kesetaraan antar pidana yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.1
Undang undang Nom or 18 tahun 2001 Tentang Otonom i Khusus Bagi Provinsi Daerah Istim ewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001, mem beri kesem patan yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber -sumber ekonom i, m enggali sumber daya alam dan sum ber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan dem okrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, m enggali dan mengimplem entasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, m emfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam m emajukan penyelenggaraan pemerintah di
1 Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang kitab Undang-undang Hukum Pidana,2013.
124 Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam dan mengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.2
Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau unsur untung - untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai kesepakatan bahwa pihak yang menang akan m endapat bayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung atau tidak langsung.3
Qanun Nom or 6 Tahun 2014 Tentang Jinayah menyatakan : Pasal 18
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Maisir dengan nilai taruhan dan/atau keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas murni, diancam dengan Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 12 (dua belas) kali atau denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 12 (dua belas) bulan.4
Untuk m elihat pengertian judi, dapat dilihat pada pasal 303 ayat (3) Kitab undang - undang hukum pidana adalah :
Pasal 303 ayat (3) :
Yang dimaksud dengan permainan judi adalah setiap permainan yang pada umumnya menggantungkan kemungkinan diperolehnya keuntungan itu pada faktor kebetulan, juga apabila kesem patan itu menjadi lebih besar dengan keterlatihan yang lebih tinggi atau dengan ketangkasan yang lebih tinggi dari pemainnya. Termasuk ke dalam pengertian permainan – permainan yang lain, yang tidak diadakan antara merreka yang turut serta sendiri di dalam permainan itu, demikian pula setiap pertaruhan yang lain.5
Bagi masyarakat Aceh sebelum diberlakukannya Qanun Aceh telah m engenal hukuman Cambuk pada masa kesultanan Aceh. Dengan demikian dalam ingatan masyarakat telah tertanam bahwa sanksi pidana syariat islam yaitu cam buk merupakan perintah agama yang sejak dulu telah diterapkan dan adanya keinginan yang kuat untuk m elaksanakannya. Pada waktu Undang – undang Nom or 44 Tahun 1999 Penyelenggaraan Keistim ewaan Provinsi Daerah Istim ewa Aceh disahkan, masyarakat Aceh m enyambutnya dengan “pengadilan rakyat” kepada para penjudi, pem inum – minuman keras (khamar) dan pelaku perbuatan zina (khalwat) di ham pir semua kabupaten. Di samping itu dalam berbagai kesempatan masyarakat menga jukan tuntutan kepada para ulama agar Mahkamah Syar’iyah menjatuhkan hukuman cam buk pada pelaku kejahatan.6
Pelaksanaan cambuk mulai diberlakukan di Propinsi Aceh pada, tanggal 10 Juni 2005.
Hukuman cam buk ini dilakukan dalam wilayah hukum Kabupaten Bireu eun. Sebanyak 26 orang dari 27 orang pelaku yang melanggar Qanun Nom or 13 tahun 2003 tentang Maisir (judi) dieksekusi cambuk di halaman Masjid Agung Bireuen. Hukuman ini tidak hanya pertama sekali dilakukan di Aceh, bahkan pertama sekali dilakukan di Indonesia. Hukuman cambuk ini menjadi m omentum awal keseriusan pemerintah Aceh dalam m enegakkan Syari’at Islam secara menyeluruh di bumi Seram bi Mekkah.7
Hukuman cam buk merupakan sejenis hukuman badan yang dikenakan atas terhukum dengan cara mencambuk badannya. Pelaksanaan cambuk adalah kewenangan dan tanggung jawab jaksa. Pencambukan dilakukan setelah putusan hakim m empunyai kekuatan hukum tetap yang berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang diatur dalam Qanun tentang hukum formil.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, selanjutnya dapat dirumuskan pem bahasan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana formulasi tindak pidana maisir m enurut KUHP dan Qanun Jinayah?
2. Mengapa Pidana cambuk dijadikan sebagai bentuk hu kuman terhadap pelaku tindak pidana maisir diwilayah hukum Aceh?
3. Bagaimana cara/proses pelaksanaan pidana cambuk di Aceh?
2 Lihat Penjelasan Umum, Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam
3 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat
4 Ibid, hal. 9
5 Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia : Cetakan Ketiga, (Bandung : Sinar Baru.1990)hal,185
6 Al yasa Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Prov NAD), hal 13-14
7 https://nasional.tempo.co/read/62969/hukuman-cambuk-pertama-di-aceh-dilakukan-siang-ini
125 Tujuan Penelitian
Adapun yang m enjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui formulasi tindak pidana maisir m enurut KUHP dan Qanun Jinayah.
2. Untuk m engetahui pidana cam buk dijadikan sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku tindak pidana maisir diwilayah hukum Aceh.
3. Untuk mengetahui cara/proses pelaksanaan pidana cambuk di Aceh.
KERANGKA TEORI
Tujuan kerangka teori dalam penyusunan penelitian tesis adalah untuk m embahas dan mem ecahkan permasalahan m engingat kerangka teori ini merupakan landasan berpikir dan tolak ukur dalam berbagai bidang ilmu. Tujuan kerangka teori sangat jelas, yaitu secara g eneralisasi mem persoalkan pengetahuan dan menjelaskan hubungan antara sesuatu gejala sosial dan arti dari observasi yang dilakukan serta meramalkan fungsi gejala -gejala sosial yang diobservasikan itu.
Secara umum teori itu diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan – kegiatan yang bersifat praktis untuk m elakukan sesuatu.8 Kerangka secara etim ologis bermakna garis besar atau rancangan. Teori adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan. Teori berarti penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistemasikan masalah yang dibicarakan dan teori juga bisa mengandung subjektivitas apabila berhadapan dengan suatu fenom ena yang cukup kom pleks seperti hukum ini.9
Pemidanaan m erupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk m engenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melaui proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah m elakukan suatu tindak pidana.
Jadi pidana berbicara m engenai hukumannya dan pemidanaan berbicara m engenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.tujuan pemidanaan harus m enimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang m enyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan m enggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan.10
tujuan pemidanaan harus m enim bulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan m enggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan.11
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Pidana Cambuk
Hukuman Cambuk m erupakan istilah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya cambuk itu adalah terjemahan dai bahasa Arab, yaitu dari akar kata Jald.
Kata Jald sendiri berasal dari kata Jalada, yajlidu jaldan yang berarti memukul di kulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Dalam istilah keislaman lebih dikenal dengan istilah “hukuman jilid”. Hukuman ini dikenakan kepada pelaku kejahatan yang tidak termasuk dalam kategori hudud. Dan qhisash.12
Hukuman cambuk m erupakan salah satu hukuman paling tua di dunia. Digunakan sejak tahun 195 sebelum Masehi oleh imper ium Rom awi kuno untuk menghukum terpidana yang berstatus bukan warga negara. Pada masa perbudakan hukum cambuk merupakan hukuman terhadap para budak yang m embangkang atau melarikan diri.13
Hukuman cam buk disebutkan secara jelas didalam AL-qur’an dalam surat an Nur ayat 2 dan 4. Catatan sejarah menyatakan bahwa hukuman cambuk betul-betul telah dipraktekkan di masa Rasulullah dan masa Khulafa’ur Rasyidin. Dalam cerita rakyat Aceh pada masa kesultanan dahulu pun hukuman cam buk sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan ditengah masyarakat. Dengan demikian kuat tetanam di dalam kesadaran masyarakat, bahwa hukuman cambuk adalah perintah agama yang dituliskan didalam kita b suci, telah dilaksanakan di dalam sejarah.14
9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal 235
10 Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. ( Bandung. Alumni 2002)
12 Muslim Zainuddin, Problematika Hukuman Cambuk di Aceh, Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam Prov NAD, hal. 9
13 https://dni3l.wordpress.com, Dari Iron Meiden Hingga Hukum Cambuk, diposting, 11 Mei 2009
14 Al Yasa Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam Prov NAD, 2008.
hal.25
126 Di dalam hadis hukuman cambuk dijatuhkan pula untuk para peminum khamar. Catatan sejarah menyatakan bahwa hukuman cambuk telah dipraktekkan di masa Rasulullah dan masa Khulafa’ur Rasyidin. Dalam cerita rakyat Aceh dan dalam buku hukum positif yang berlaku pada masa kesultanan dahulu pun hukuman cambuk sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan di tengah masyarakat. Dengan demikian hukuman cam buk kuat tertanam di dalam kesadaran masyarakat Aceh, bahwa hukuman cam buk adalah perintah agama yang dituliskan di dalam kitab suci, telah dilaksanakan di dlam sejarah, oleh kaena itu perlu dilaksanakan dengan tulus dan sungguh di dalam hidup kemasyarakatan dan kenegaraan sekarang ini.15
Ali Sodiqin, m enyebutkan bahwa ada lima unsur yang harus dipenuhi dalam sebuah hukuman, kelima unsur tersebut adalah sebagai berikut: (1) harus menyebabkan rasa sakit atau konsekuensi lain yang secara normal dianggap tidak m enyenangkan, (2) diberlakukan terhadap pelanggar hukum, (3) m enyangkut adanya pelanggaran yang nyata atau diduga kuat terjadinya pelanggaran, (4) dilaksanakan dengan sengaja oleh orang lain, dan (5) ditegakkan oleh otoritas yang ditunjuk oleh sistem hukum.16
Dalam studi hukum pidana islam, hukuman cambuk termasuk dalam bentuk dan jenis hukumannya lebih banyak diberikan kepada pelaku kejahatan yang hukumannya itu lebih banyak diserahkan kepada kebijaksanaan penguasa (dalam prakteknya diserahkan kepada hakim), karena meskipun dasar-dasarnya terdapat dalam beberapa ayat Al Qur’an dan Hadist Rasul, namun dalam prakteknya mengalami banyak penafsiran hukum, sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan dan perkembangan budaya masyarakat di suatu tem pat.
Rasulullah dalam mengadili perkara jarimah yang ancaman hukumannya dicam buk, maka beliau m enjatuhkan hukuman cambuk dengan jumlah yang bervariasi. Dalam kasus tertentu, dijatuhi hukuman cambuk sedikit dan dalam kasus lain dijatuhi hukuman cambuk yang berat, tetapi jumlah seluruhnya tidak lebih dari 40 kali cambuk. Sementara khalifah Abu bakar menerapkan hukuman cambuk bagi pelaku jarimah minum khamar sebanyak 40 kali.17
Pada masa awal Islam, cambuk menjadi bentuk pidana ta’zir (ketentuan hukum yang ditetapkan penguasa), yang tidak ada kepastian tentang jumlah dan materi hukumanny a, keran penentuan hukumannya itu diserahkan sepenuhnya pada kebijakan hakim. Para ulama berbeda pendapat soal jumlah cambukan. Menurut Abu Hanifah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, hukuman cambuk untuk pidana ta’zir tidak boleh melebihi sanksi paling rendah dar i hudud (tindak pidana yang batasan hukumannya sudah ditentukan Al Qur’an dan Hadis), yaitu 40 kali bagi peminum khamar. Menurut Abu Yusuf, sanksi cambuk pidana ta’zir tidak boleh m elewati 75 kali
Hukuman cambuk untuk pelaku jarimah sudah ditentukan di dalam Al Qur’an dan Hadis seperti para pelaku jarimah zina sebanyak 100 (seratus) kali cambukan, jarimah Qadzf sebanyak 80 (delapan puluh) kali cambukan, jarimah syurbah sebanyak 80 (delapan puluh) atau 40 (empat puluh) kali cam bukan. Praktek hukuman cambuk y ang dilaksanakan dalam sejarah hukum islam mem enuhi berbagai kriteria yang sama sekali tidak baku. Pada suatu waktu diisyaratkan cambuk itu harus kering, tidak boleh basah karena menimbulkan luka. Di sam ping itu, juga diisyaratkan cambuk tersebut ekornya (maksudnya tali cambukan) tidak boleh lebih dari satu. Apabila lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyak ekor cambuk tersebut.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, pada saat Rasullulah akan menjilid seseorang, lalu diberikan kepada beliau cambuk yang kecil, maka beliau m eminta cambuk yang agak besar. Lalu beliau menyebutkan terlalu besar dan menyatakan bahwa cambuk yang pertengahan antara kedua cambuk itulah yang digunakan.18 Mengenai keadaan orang yang dihukum cam buk harus berpakaian atau terbuka, sepertinya ulama berbeda pandangan. Menurut Imam Ma;ik dan Imam Abu Hanifah, apabila orang yang terhukum laki-laki maka bajunya harus dibuka kecuali yang menutup auratnya. Akan tetapi menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, orang yang terhukum dalam keadaan berpakaian.
Pelaksanaan hukuman menurut Imam Malik dilakukan dalam keadaan duduk tanpa dipegang atau diikat, kecuali apabila m enolak atau melawan. Namun m enurut Imam Abu Hanifah , Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, apabila yang terhukum seorang laki-laki, ia dihukum sambil berdiri , dan apabila perem puan maka hukuman dilaksanakan dalam keadaan duduk. Ini mengandung arti bahwa antara laki-laki dan perempuan , harus dibedakan dalam proses pelaksanaan hukuman, karena m enyangkut jenis kelamin dan kon disi tubuh masing-masing.
Hukuman tidak boleh sampai menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum, karena hukuman ini bersifat pencegahan. Hukuman tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan panas terik atau cuaca yang sangat dingin. Demikian pula hukuman tidak dilaksanakan atas orang yang
15 Ibid, hal,25
16 Ali Sodiqin, Hukum Qisas: dari tradisi Arab Menuju Hukum Islam (Yogyakarta : Tiara Wacana , 2010), hal 155
17 A. Djazuli, Fiqh Jinayat: Upaya menaggulangi kejahatan dalam Islam, hal 99
18 Ibid, hal 13
127 sedang sakit sam pai ia sembuh, dan wanita yang sedang hamil sam pai melahirkan. Aturan -aturan yang demikian pada prinsipnya m erupakan salah satu ciri bahwa hukum pidana Islam mem perhatikan keadaan si terpidana itu sendiri.
Para fukaha sepakat bahwa pelaksanaan hukuman harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjuknya). Hal ini disebabkan karena hukuman itu merupakan hak Allah dan sudah selayaknya apabila dilaksanakan oleh imam selaku wakil masyarakat. Kehadiran imam (kepala Negara) tidak m enjadi syarat pelaksanaan hukuman. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Rasullulah selalu mem erintahkan pelaksanaan hukuman kepada para sahabat dan beliau tidak ikut m enghadiri pelaksanaan hukuman tersebut, seperti dalam ha dis Ma’iz dan lainnya. Akan tetapi persetujuan pem erintah (kepala Negara) selalu diperlukan dalam pelaksanaan hukuman ini.19
Alasan Pidana Cambuk Sebagai Hukuman Tindak Pidana Maisir 1. Dasar diSyariatkannya Ta’zir
Tidak diragukan lagi bahwa syariat berdasarkan pada prinsip m eraih kemaslahatan dan meminimalisir kerusakan. Karena itulah disyariatkan ta’zir terhadap pelanggaran - pelanggaran yang tidak ditentukan hukumannya dan tidak ada qhisasnya untuk merealisasikan tujuan tersebut, dan untuk mengaplika sikan sem boyan amar ma’ruf nahi munkar. Beberapa contoh, disebutkan dalam sunnah Nabi:
a. Perintah Nabi untuk memukul anak-anak setelah berusia sepuluh tahun bila mereka m eninggalkan shalat.
b. Keinginan Nabi untuk membakar rumah mereka yang tidak mengikuti shalat berjamaah.
c. Tindakan beliau m embakar pelana yang disembunyikan dari antara harta rampasan perang (untuk diambil).
d. Perintah beliau untuk mem otong kepala patung agar m enjadi seperti pohon dan mem otong tirai lalu dijadikan bantal.
e. Perintah beliau untuk m emecahkan gentong-gentong khamar dan merobek kantong-kantongnya.
f. Perintah beliau kepada Abdullah bin Umar untuk m embakar dua pakaian yang dicelup warna kuning.20
g. Dilipatgandakannya denda terhadap orang yang m encuri dari selain tempat penyimpanan, orang yang menyembunyikan ternak yang tersesat.
h. Perintah beliau untuk m engambil separuh harta orang yang menolak membayar zakat.
i. Tindakan beliau menahan sejumlah orang karena tuduhan.
Semua contoh dan selainnya bersumber dari Nabi. Sebagiannya akan disebutkan hadistnya dalam pasal ini, dan sebagian lainnya tersebar di sela -sela buku ini, baik yang sudah maupun yang akan dikemukakan. Maksudnya, Nabi telah memberlakukan ta’zir terhadap orang yang melakukan kesalahan, dan m ensyariatkan kepada para sahabat dan para khalifahnya untuk melaksanakannya.
2. Kadar hukuman ta’zir dan
Terdapat 4 jenis hukuman yang utama, bagaimanapun kadarnya menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1. Sebatan atau Pukulan
Jumlah sebatan diperselisihkan di kalangan ulama sebagaimana berikut:
Tidak boleh lebih dari 10 pukulan saja. Ini adalah pandangan Imam Ishak Rahawaih, al -Lais bin Sa’ad, setengah ulama Syafi’i seperti al-Bulqini dan al-Azra’i may oritas ulama Hambali dan Mahzab Zahiri.
Meski lebih dari 10 sebatan dalam m emberikan suatu takzir, tetapi kurang dari kadar hudud.
Dem ikian pandangan Jumhur Hanafiah, pendapat yang lebih tepat dalam sebagian mahzab Syafi’i dan salah satu riwayat Imam Ahmad.
Kekuatan pukulan adalah dengan pukulan yang kuat, demikian menurut mahzab Hanafiyah malah lebih kuat dari pada pukulan hudud zina. Manakala pandangan Jumhur dari Mahzab Malikiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah menyatakan sebaliknya. (Pukulan yang tidak menciderakan). Bagaimanapun pendapat Hanafiyah didukung oleh tindakan Saidina Umar r.a yang memukul dengan kuat sewaktu menjatuhkan hukuman takzir. Justru, pandangan
19 Muslim Zainuddin, Op.Cit. hal 14
20 Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Jilid 5, Pustaka at Tazkia
128 Hanafiyah lebih tepat jika pukulan biasa tidak m emberi pelajaran kepada si penzina dan penjinayah, karena pengaturan pukulan ini adalah sebagai pengajaran.
2. Kurungan atau Penjara
Mahzab Jumhur (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) menyatakan adalah harus untuk m emenjarakan seseorang pelaku jinayah atas nama takzir, serta tidak ditetapkan kadar waktunya, ia tergantung kepada tercapainya tujuan pengajaran terhadap pelaku jinayah.
3. Ram pasan Harta
Hukuman ta’zir berupa pengambilan harta benda si pelanggar diperbolehkan, ini adalah pendapat yang dianut oleh madzabnya Abu Yusuf, di akui pula oleh Imam Malik. Dan Ibu’l- Qayyim meriwayatkan, bahwa Nabi saw. Pernah m enjatuhkan hukuman ta’zir dengan melarang bagian orang yang berhak dari harta ram pasankaum muslimin, karena dia mem buat suatu pelanggaran. Dan beliau saw. Memberikan maklumat tentang hukuman ta’zir orang yang tidak mau m embayar zakat, yaitu dengan mengam bil sebagian dari harta si pelanggar. Untuk itu Nabi saw. Bersabda dalam suatu periwayatan yang diceritakan oleh Ahmad, Abu Daud, dan an-Nasaiy:“Barang siapa m emberikan zakat demi m engharapkan pahala, maka ia akan memperoleh pahalanya. Dan barang siapa yang menolaknya, maka sesungguhnya kami akan m engambilnya dan sebagian dari hartanya sebagai penebus kepastian perintah Tuhan kami.”
4. Hukuman Bunuh
Mahzab Jumhur (Maliki, Syafi’i dan Ham bali serta Zahiri) tidak m enjatuhkan hukuman mem bunuh kepada pelaku pelanggaran m engikuti peruntukan hukuman takzir. Mahzab Hanafi berpendapat diperbolehkan oleh sebagian para ulama’ dan sebagian lainnya melarangnya. Disebutkan dalam kitabnya Ibnu Abidin menukil dari pendapat al -Hafizh ibnu Taymiyyah: “sesungguhnya di antara pokok-pokok kalangan madzab Hanafi adalah bahwa kejahatan yang tidak dianggap sebagai pem bunuhan yang mem enuhi syarat di antara mereka, seperti mem bunuh dengan benda yang berat, dan perbuatan hom oseks. Bilamana perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka sang Imam diperbolehkan m enjatuhkan hukuman mati terhadap pelakunya, sebagaimana sang Imam pun diperbolehkan m elebihkan hukuman hadd dari yang telah ditentukan, bilamana beliau m elihat kemaslahatan dalam hal tersebut.
Adapun bentuk takzir yang lain adalah sebagai berikut:
a. Diusir dari negeri/daerah b. Diruntuhkan rumahnya c. Dikeluarkan dari rumah
d. Diberitahukan kepada masyarakat sebagai pelaku maksiat/jenayah atau saksi palsu.
e. Wajahnya dicat hitam atau disapu tepung dan sebagainya f. Dicukur rambutnya
g. Diikat hidup-hidup dengan diberi makan dan minum dan hak untuk sholat. Tetapi tidak lebih dari 3 hari.
h. Diasingkan.21
3. Kesalahan-kesalahan yang termasuk dibawah kategori Takzir
Kesalahan-kesalahan yang termasuk dbawah kategori takzir dapar diringkaskan sebagai berikut :
a. Kesalahan-kesalahan hudud atau qishash yang tidak cukup bukti untuk dikenakan hukuman hudud atau qhisash.
b. Keslahan-kesalahan khalwat, mencuri yang tidak cukup nisab dan sebagainya.
c. Perbuatan-perbuatan yang bisa menggangu ketentraman umum seperti mengumpat, mem fitnah, menipu, berjudi.
4. Cara-cara Melaksanakan Hukuman Takzir dan Bentuk Hukumannya
Adapun cara menghukum pelaku tindak pidana takzir ada beberapa tingkat, misalnya:
a. Nasehat: m enasehati orang yang melakukan kesalahan kecil untuk pertama kali agar dia tidak mengulangi lagi dimasa yang akan datang.
b. Teguran: teguran resmi yang dilakukan oleh hakim dengan m engeluarkan ucapan -ucapan atau m elakukan suatu tindakan tertentu agar orang yang m elakukan kesalahan akan berusaha untuk mem perbaikik dirinya.
c. Ancaman dan peringatan: mengancam dan mem berikan peringatan kepada orang yang bersalah agar tidak mengulangi kesalahannya dikarenakan takut akan hukumannya.
21 Abu Mazaya Al-Hafiz dan Abu Izzat Al-Sahafi, Fiqh Jenayah Islam (Al-Hidayah, Kuala Lumpur 2004),ha;.224
129 d. Pengasingan: hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku agar dia merasa sepi tidak dapat berinteraksi dengan orang lain dida lam masyarakat sehingga dia tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukuman pengasingan selama setahun bukanlah hukuman had wajib atas pezina gairu muhsan melainkan hukuman ta’zir, dan diberikan kebebasan pada hakim untuk m enentukan apakah hukuman pengasingan itu perlu dijatuhkan dengan pertimbangan kepentingan umum yang menghendakinya. Ulama mahzab Hanafi mengemukakan, mewajibkan hukuman pengasingan selama setahun disamping hukuman cam buk, maka dengan sendirinya hukuman cambuk menjadi sebagian pembalasan had dan hukuman pengasingan selama setahun m enjadi satu pembalsan yang m elebihi dari kehendak nash.
Sesuatu yang melebihi kehendak nash (Al Qur’an) tidaklah dapat digugurkan oleh hadis.22 Hukuman cam buk di Aceh relevan dengan kondisi sosio kultur masyarakatnya, karena hukuman tersebut diinginkan oleh mayoritas masyarakatnya dan itu bisa m empengaruhi tingkah laku dan hubungan sosial terhadap hukum itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Soerjono Soekanto,bahwa hukum itu harus m empelajari hubungan tim bal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Maksudnya sejauh mana hukum itu m em pengaruhi tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap pembentukkan hukum.23
Dapat disimpulkan bahwa cam buk adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding yang lain. Jarimah ini pun m emiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim. Cambuk sesungguhnya bertujuan untuk mem beri pelajaran, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya, bukan bertujuan untuk pem balasan. Rasulullah m elarang para hakim untuk m emberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah.24
Pidana ta’zir merupakan pidana yang tidak ditentukan baik bentuk maupun jumlahnya, hakim dalam hal ini dibenarkan untuk menjatuhkan hukuman, dengan mem pertim bangkan kondisi pelaku. Hal ini disebabkan kemaslahatan masyarakat lebih diutamakan dari semua kemaslahatan lainnya. Menurut Abdul Qadir Audah hukuman atas tindak pidana hudud memiliki tiga ciri, yaitu:
1. Hukuman ini bertujuan untuk m endidik pelaku, m emberikan efek jera terhadap pelaku dati melakukan tindak pidana tersebut. Dalam hukuman ini, kondisi pelaku dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penjatuhan hukuman.
2. Hukuman ini dianggap sebagai sanksi hukum yang tidak m emiliki satu batasan. Karena itu, hakim berhak menentukan hukuman yang akan dijatuhkan.
Pidana ta’zir yang diancamkan kepada pelaku tindak pidana ta’zir bukanlah bertujuan untuk m enyiksa ataupun m erendahkan martabat manusia, namun tujuan dijatuhkannya pidana ta’zir adalah sesuai dengan tujuan utama diturunkannya syari’at islam yaitu sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam sem esta. Tujuan puncak yang hendak dicapai dan harus terdapat dalam setiap hukum Islam , adalah maslahat (kemaslahatan) Hikmah di balik pem berlakuan hadd adalah untuk m encegah orang-orang dari m elakukan kejahatan, m emberi efek jera, m elindungi masyarakat dari kerusakan, dan pembersihan diri dari dosa.
Hukuman cam buk di Aceh relevan dengan kondisi sosio kultur masyarakatnya, karena hukuman tersebut diinginkan oleh mayoritas masyarakatnya dan itu bisa m empengaruhi t ingkah laku dan hubungan sosial terhadap hukum itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Soerjono Soekanto,bahwa hukum itu harus m empelajari hubungan tim bal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Maksudnya sejauh mana hukum itu m em pengaruhi tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap pembentukkan hukum.25
Islam bukanlah agama yang merestui kekejaman dan m engamini kekerasan.islam menyerukan kedamaian, kasih sayang dan kemudahan, namun pada waktu yang sama, Islam juga sangat peduli dan menganggap penting masalah -masalah yang berkaitan dengan ketentraman dan keamanan masyarakat.hal tersebut dilakukan untuk menjamin kebebasan setiap individu dan mem elihara dan m emberikan kepada mereka hak untuk hidup, hak untuk m enjalankan key akinan, hak untuk berfikir dan berekspresi, hak untuk memiliki harta, dan hak untuk mem pertahankan keluarga.
22 Mad Saad, Abd Rahman Undang-undang Jenayah Islam, Jenayah Hudud, Hizbi shah Alam, (Kelantan, 1993)hal.51
23 Dikutip oleh Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2003) hlm 1
24 Hasil wawancara dengan Musakkir. KASI Perundang-undangan PLT Kabid Bina Hukum dan Ham Dsi Aceh
25 Dikutip oleh Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2003) hlm 1
130 Islam mensyariatkan hukuman ta’zir sebagai tindakan edukatif terhadap orang -orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan. Hikmahnya adalah sama dengan hikmah yang ada dalam hukuman hadd, yaitu: bahwa hukuman merupakan penghapus dosa, sehingga orang yang terkena hukuman itu tidak disiksa lagi di akhirat nanti.
Dapat disimpulkan bahwa cam buk adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding yang lain. Jarimah ini pun m emiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim. Cambuk sesungguhnya bertujuan untuk mem beri pelajaran, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya, bukan bertujuan untuk pem balasan. Rasulullah m elarang para hakim untuk m emberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah.26
Pidana ta’zir merupakan pidana yang tidak ditentukan baik bentuk maupun jumlahnya, hakim dalam hal ini dibenarkan untuk menjatuhkan hukuman, dengan mem pertim bangkan kondisi pelaku. Hal ini disebabkan kemaslahatan masyarakat lebih diutamakan dari semua kemaslahatan lainnya. Menurut Abdul Qadir Audah hukuman atas tindak pidana hudud memiliki tiga ciri, yaitu:
3. Hukuman ini bertujuan untuk m endidik pelaku, m emberikan efek jera terhadap pelaku dati melakukan tindak pidana tersebut. Dalam hukuman ini, kondisi pelaku dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penjatuhan hukuman.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pem bahasan, maka dapat disim pulkan beberapa pokok penting, yaitu:
1. Prinsip prinsip Jinayah dalam hukum Islam hakikat nya meliputi pengurusan dan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan rasa aman bagi masyarakat serta kepastian tegak nya hukum Allah di bumi raya ini.
2. Meskipun penerapan syari’at Islam di Aceh belumlah murni, namun usaha serta keinginan masyarakat Aceh untuk membumikan syari’atau telah m encapai titik terang dan mengalami kemajuan secara bertahap, walau memang sangat sulit untuk m enjalankannya secara kaffah.
3. Terdapat perbedaan yang m endasar terhadap penerapan hukuman cambuk di Aceh dengan penerapan hukuman cambuk menurut jinayah yaitu dari segi bilangan cambukan.Perbedaan ini disebabkan karena penerapan syari’at Islam di Aceh ini belum sepenuhnya m erujuk seperti apa yang diajarkan di agama dan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh ini dilakukan secara bertahap dan masih dalam tara f uji coba atau belum sempurna.
Saran
Dari kesim pulan penelitian ini, berikut beberapa saran dari penulis antara lain:
1. Diharapkan agar prinsip-prinsip yang terkandung dalam jinayah dapat diadopsikan kedalam sistem hukum umum dan qanun di Aceh yang mengandung hajat hidup banyak orang. Diharapkan kepada pem erintah hendaknya berkonsentrasi pada pencapaian visi dan m isi penerapan hukum Islam secara kaffah, sehingga segala undang -undang yang sudah dikeluarkan dapat diterapkan dengan sempurna.
2. Diharapkan kepada pem erintah Aceh agar m eninjau kem bali seluruh produk hukum dan melakukan perbaikan demi perbaikan, demi kesempurnaan yang diharapkan.
Dikarenakan syari’at islam belum dilaksanakan secara kaffah maka hendaknya pem erintah Aceh tidak menyebut hukuman tersebut bebagai hukum islam. Kerana tata cara pelaksanaannya belum seperti apa yang tertuang dalam fiqih jinayah atau belum sempurna.
3. Selain dari pada peningkatan sarana dan prasarana serta pengawasan terhadap masyarakat dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, sangatlah perlu untuk mem berikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan Syariat dalam kehidupan m ereka sehari–hari, agar timbul kesadaran dalam diri setiap masyarakat Aceh untuk menjalankan dan m engamalkan ajaran Islam secara kaffah.
26 Hasil wawancara dengan Musakkir. KASI Perundang-undangan PLT Kabid Bina Hukum dan Ham Dsi Aceh
131 DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Jilid 5, Pustaka at Tazkia
Abu Mazaya Al-Hafiz dan Abu Izzat Al-Sahafi, Fiqh Jenayah Islam , Kuala Lumpur : Al-Hidayah 2004.
Al yasa Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Prov NAD Ali Sodiqin, Hukum Qisas: dari tradisi Arab Menuju Hukum Islam Yogyakarta : Tiara Wacana ,
2010
Lamintang dan Djisman Sam osir, Hukum Pidana Indonesia : Cetakan Ketiga, Bandung : Sinar Baru.1990
Mad Saad, Abd Rahman, Undang-undang Jenayah Islam, Jenayah Hudud, Hizbi shah Alam, Kelantan: 1993.
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni 2002.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Tebba, Sudirman, Sosiologi Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2003.
Zainuddin, Muslim, Problematika Hukuman Cambuk di Aceh, Banda Aceh : Dinas Syari’at Islam Prov NAD.
Peraturan Perundang-Undangan
Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang kitab Undang -undang Hukum Pidana,2013.
Undang-undang Nom or 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam
Qanun Nom or 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat Internet
https://nasional.tem po.co/read/62969/hukuman -cambuk-pertama-di-aceh-dilakukan-siang-ini diakses pada tanggal 12 juni 2018
https://dni3l.wordpress.com, Dari Iron Meiden Hingga Hukum Cam buk, diposting, 11 Mei 2009