• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RELEVANSI KITAB WASHOYA AL -ABAA LIL ABNAA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK KONTEKSTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV RELEVANSI KITAB WASHOYA AL -ABAA LIL ABNAA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK KONTEKSTUAL"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

59

BAB IV

RELEVANSI KITAB WASHOYA AL - ABAA’ LIL ABNAA’

TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK KONTEKSTUAL

A. Analisis terhadap Penyusunan dan Kemasan Bahasa Kitab Washoya Al - Abaa’ lil Abnaa’

Sebagai Kitab yang berisi tentang wasiat-wasiat akhlak, Washoya Al- Abaa’ lil Abnaa’ sudah pasti mencakup pula beberapa nilai pendidikan akhlak.

Nilai pendidikan akhlak dalam Kitab ini dimulai dengan relasi guru dan murid yang diumpamakan sebagaimana orangtua dan anak kandung. Guru adalah orang yang mengharapkan kebaikan bagi muridnya. Hal ini sangat kontras dengan dunia pendidikan saat ini, sering dijumpai relasi guru dan murid yang kering dari kedekatan dan aspek religiusitas. Hubungan keduanya hanya sebatas antara guru dan murid yang lebih ditekankan saat di lingkungan sekolah saja, keluar dari itu, secara moril guru seakan terlepas dari tanggung jawabnya.

Justru dalam kitab Washoya relasi keduanya tidaklah demikian.

Sebagaimana di atas disinggung, relasi keduanya sama dengan relasi orang tua dan anak kandungnya. Seorang guru bagi muridnya adalah orang yang berperan sebagai penasehat, pendidik, pembina rohani, dan suri tauladan.

Namun pengawasan guru tidak bisa dijadikan sandaran utama, karena pengawasan diri sendiri itu lebih utama.

Harapan baik seorang guru terhadap muridnya di sini lebih ditekankan pada kebaikan akhlak. Beliau memberikan perhatiannya pada betapa pentingnya akhlakul karimah. Di awal nasehatnya sebagai seorang guru, beliau mengulang-ngulang akan betapa pentingnya berakhlak mulia, apalagi seorang yang sedang menuntut ilmu. Akhlak yang baik adalah perhiasan setiap orang bagi dirinya, teman-teman, keluarga dan masyarakat, karena dengan berakhlak baik akan dihormati dan dicintai setiap orang.

(2)

Perumpamaan dari hal tersebut adalah, jika ilmu pengetahuan tidak disertai dengan akhlak mulia, maka ilmu pengetahuan itu lebih berbahaya daripada kebodohan. Karena orang bodoh medapatkan dispensasi sebab kebodohannya, dan tidak demikian dengan orang ‘alim. Dalam konsep Islam, manusia dituntut untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan menghindarkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ukuran kemanfaatan terletak sejauh mana suatu ilmu mendekatkan diri kepada kebenaran Allah dan sejauh mana ia tidak merusak kehidupan manusia itu sendiri secara luas.1 Untuk tercapainya tujuan utama pembentukan karakter positif pada peserta didik, Syaikh Muhammad Syakir menyepakati dengan adanya usaha yang terus menerus sebagai proses mencapai hasil yang maksimal. Yakni dalam ungkapan bahasa “’proses” dan

“hasil”.

Untuk mensukseskan tugas-tugas guru tersebut, maka dibutuhkan kerjasama dari murid. Berarti, seorang murid mempunyai beberapa kewajiban, yaitu menjalankan akhlaqul karimah yang diperintahkan guru serta mencontohnya. Syaikh Muhammad Syakir berpendapat, jika seseorang tidak melaksanakan nasihat guru ketika sendirian, kecil kemungkinan dia akan melaksanakannya ketika bersama teman-temanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini yang menuntut keaktifan dari semua pihak, sudah bukan saatnya lagi guru menjadi satu-satunya sumber keilmuan dan satu-satunya qiblat dari proses kegiatan belajar mengajar.

Layaknya dalam kitab-kitab kuning lainnya, pengarang tidak mencantumkan biografi penulis, tahun terbit maupun hak cipta penerbit, sebagaimana layaknya buku-buku ilmiah lain. Mereka menyampaikan suatu karya lebih didorong oleh keinginan untuk menyampaikan sesuatu yang diketahuinya kepada masyarakat, mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Mereka berharap apa yang ditulis itu

1Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Kajian Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 141.

(3)

dapat menjadi tuntutan atau suri tauladan bagi masyarakat.2 Sehingga hak terbit suatu karya tidak dimonopoli oleh satu penerbit, tapi bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan. Maka untuk melengkapi data tentang penulis, peneliti tidak hanya melalui literatur saja, namun juga dari majelis ta’lim dan wawancara.

Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi antara satu individu dengan individu lainnya. Bahasa juga membentuk nalar (kognitif) seseorang.

Dan dengan terbentuknya nalar, terbentuk pula budaya suatu masyarakat tertentu.3 Kitab Washoya yang menggunakan bahasa yang ringan, sehingga mudah dipahami oleh kalangan secara umum yang menguasai bahasa arab.

Untuk menerjemahkannya pun tidak sulit untuk menyesuaikannya dengan kemampuan seseorang pada umumnya. Hal ini seakan sesuai dengan tujuan pengarangnya, yaitu diperuntukkan untuk pelajar pemula. Terkait dengan penggunaan bahasanya yang ringan dan mudah difahami, materi-materinya juga mengupas macamnya akhlak yang bersifat praktis. Misalnya, tatacara diskusi yang baik adalah dengan tidak memotong pembicaraan anggota diskusi yang lain.

Beberapa hal yang selalu diikutkan dalam setiap nasehatnya Syaikh Muhammad Syakir adalah: Pertama, memuji kebesaran Allah. Misalnya dengan lafad wallahu yatawallaa hidayataka wairsyadaka washalahika (Allah yang berwenang atas petunjuk dan kebaikanmu). Pujian ini juga bisa berfungsi sebagai pengetahuan. Pujian terhadap Allah itu sebagaimana yang sering dilakukan oleh ulama-ulama pengarang kitab kuning dengan tujuan ngalap barokah, namun biasanya di pembukaan dan penutupnya saja.

Kedua, memperingatkan akibat-akibat akhlak tercela maupun peringatan untuk selalu berbuat baik. Hal ini sebagai bahan renungan murid dalam setiap perilakunya. Selain itu sebagai bahan renungan, beliau juga

2Irfan Firdaus, Dialog Agama dan Budaya Lokal, dalam Jurnal Penelitian Agama UIN Sunan Kalijaga Vol. XV (Yogjakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 483.

3Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak, Dampak Pygmalion dalam Keluarga, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001), hlm. 96.

(4)

menguraikannya dengan beberapa perumpamaan. Sehingga dalam setiap nasehatnya Syaikh Muhammad Syakir tidak terkesan melarang dan memerintah saja, tapi disertai rasionalisasinya.

Ketiga, selalu tidak lupa mendoakan muridnya dengan berbagai macam doa kebaikan. Sebagaimana uraian beliau tentang relasi guru dan murid, Syaikh Muhammad Syakir telah komitmen dengan pendapatnya bahwa seorang guru adalah sosok yang berharap kebaikan terjadi pada muridnya.

Seperti dalam lafadz arsyadakallahu wawaffaqoka lisholihil a’maali (semoga Allah Menujukkan amal shaleh kepadamu).4 Doa-doa demikian tidak lupa beliau ungkapkan demi kebaikan muridnya.

Sapaan-sapaan dalam lafadznya merupakan implementasi proses pembelajaran yang komunikatif. Sapaaan-sapaan tersebut diungkapkan dalam setiap nasehatnya dalam lafadz “ya bunayya” (hai anakku sayang), lafadz ini sama dengan apa yang diungkapkan Luqmanul Hakim Al-Iskandariyah (Mesir) dalam setiap mengawali nasihat maupun dalam beberapa peribahasanya. Dalam buku the complete guide to learning and assessment, Julie Cotton juga berbicara mengenai pembelajaran yang komunikatif. salah satu cara komunikatif yang dia sampaikan adalah misalnya dengan guru mengajukan pertanyaan kepada peserta didik. Seorang guru harus mempunyai keterampilan komunikasi yang baik, supaya apa yang disampaikan bisa difahami peserta didik.5

Sapaan ya bunayya merupakan ciri khas Syaikh Muhammad Syakir ketika menyapa muridnya. ini juga merupakan penyampaian pesan-pesan baik melalui bahasa, yakni pesan emosional. Orang tua menggunakan bentuk kata- kata tertentu untuk mengungkapkan kedekatan emosionalnya dengan anak, misalnya menggunakan kata-kata “cayang” (sayang). Hal ini untuk memberikan kesan bermain dan sebagainya.6

4Muhammad Syakir, Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’, (Semarang: Toha Putra, tt.), hlm. 4.

5Julie Cotton, the Complete Guide to Learning and Assessment-learners, Vol.I, (New Delhi:

Kogan Page India PVT.LTD, 2004), hlm. 27.

6Monty P. Satiadarma, op.cit., hlm. 96.

(5)

Dalam mengungkapkan larangan dan anjurannya, Syaikh Muhammad Syakir tidak secara langsung mengungkapkan apa yang dilarang, tapi terlebih dahulu memberi analogi seandainya kita menjadi korban perbuatan tercela, atau menunjukkan tujuan dan manfaat jika kita menjalankan mau’idhoh hasanah, atau mengajak murid merenung terlebih dahulu. Perintah untuk merenung dan memperhatikan membuat peserta didik tidak saja berpengatahuan akhlak, tapi berpikir dan merenungi tindakan mereka yang tercela dan terpuji, karena letak akhlak bukan pada ingatan tapi di hati. Selain itu juga murid dilatih untuk selalu berfikir. Selain itu Syaikh Muhammad Syakir juga menguatkan nasihatnya dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an maupun Hadis.

B. Analisis terhadap Isi Materi Kitab Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’

Nasihat-nasihat dalam kitab Washoya diposisikan sama sebagaimana wasiat orang tua kepada anaknya. Hal ini bisa kita lihat dari nama kitabnya, yakni, Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’. Yang demikian adalah sebagai sebuah peringatan bahwa ini adalah nasehat yang harus dilaksanakan, tidak sekedar berfungsi sebagai pengetahuan, karena nasehat-nasehat ini merupakan bekal yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya.

Sebagaimana kita tahu, wasiat adalah amanat yang harus dilaksanakan oleh orang yang mendapat wasiat ketika pewasiat meninggal. Jadi, nasihat ini disampaikan ibarat sang guru adalah orang yang tidak bisa selamanya mendampingi muridnya, murid itu pula yang selanjutnya akan menjalankan amanah tersebut dengan pengawasan utama dirinya sendiri. Pada titik ini beliau menguraikan tentang begitu urgennya peran guru. Selain sebagai pendidik, guru juga sebagai pembina rohani.7

Guru mempunyai peranan yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan aktifitas pengajaran dan administrasi pendidikan, lebih jauh guru berperan sebagai, pengambil inisiatif,

7Muhammad Syakir, op.cit., hlm. 2.

(6)

pengarah, penilai aktifitas pengajaran dan pendidikan, wakil masyarakat di sekolah, penegak disiplin, pelaksana administrasi, pemimpin generasi muda, penerjemah kepada masyarakat atau guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.8

Sesuai dengan komitmennya, yakni dengan mengacu pada nama Kitab (wasiat orang tua kepada anaknya), serta lebih dalam beliau menjelaskan, Kitab ini diperuntukkan bagi pelajar pemula, maka menurut penulis, Syaikh Muhammad Syakir telah menjalankan komitmennya. Hal itu bisa dilihat pada penggunaan bahasanya yang sangat ringan dan konsep keterikatan guru dan muridnya. Dengan beberapa metode penyampaiannya beliau tidak serta merta membiarkan peserta didik belajar secara mandiri layaknya orang dewasa yang belajar.

Begitu juga secara materi, analisis terhadap relevansi tersebut jika kita menggunakan analisis SWOT adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan pendukung: tersedianya kebijakan makro

Yaitu upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti dapat dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, seperti telah dituangkan dalam perundang-undangan dan Sistem Pendidikan Nasional serta komitmen masyarakat dalam berbagai lapisan terhadap etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Kelemahan implementasi: krisis multidimensional

Beberapa kelemahan tersebut adalah: Pertama, pada tataran pemerintah baru sebatas membuat peraturan, implementasinya masih sangat minim. Kedua, teladan para birokrat dan tokoh masyarakat. Dengan sangat vulgar mereka mempertontonkan korupsi, kekerasan dan perbuatan- perbuatan tercela lainnya di hadapan publik. Salah satu problem pendidikan akhlak saat ini adalah krisis keteladanan, baik dari pihak pemerintah, masyarakat (tokoh-tokohnya), guru, bahkan orang tua.

Padahal dakwah yang lebih efektif mengena pada audien adalah dengan

8Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 165-167.

(7)

uswah hasanah bukan sekedar mau’idhoh hasanah, karena realitas perbuatan itu jauh lebih mengena.

Maka, harus diakui saat kini kita butuh pendidikan yang mengikut sertakan keteladanan dari semua pihak. Seperti salah satu metode dalam kitab Washoya yang juga menggunakan metode keteladanan. Teladan tersebut selain diperankan dirinya sendiri, yakni image beliau yang dikenal sebagai keluarga dermawan, beliau juga memberi contoh misalnya tokoh Imam Abu Hanifah, Rasulullah, kemudian yang lebih spesifik adalah kedua orang tua.

Peranan para tokoh ini cukup berpengaruh bagi perkembangan moral anak, kususnya orang tua sebagai keluarga. Orang tua atau perawat anak adalah guru pertama seorang anak, karena sejak anak itu lahir dan berinteraksi, maka pada saat itulah terjadi proses pendidikan, anak tersebut belajar dari orang yang ada di sekitarnya.9 Sebagai kelompok primer keluarga berpengaruh besar terhadap anggota-anggotanya, yaitu: keluarga memberi kesempatan yang unik kepada anggotanya untuk menyadari dan memperkuat nilai kepribadiaanya dan keluarga mengatur dan menjadi perantara hubungan anggota-anggotanya dengan dunia luar.10

Ketiga, krisis moral, selain korupsi dari para tokoh, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan moral dalam tata krama pergaulan, yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan, pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan,

9Eugenian hepworth Berger, Parents as Partners in Educatioan, (Missouri, England:

C.V.Mosby Company, 1983), hlm. vii.

10St. Vembriarto, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Grasindo, 1993), hlm. 41.

(8)

pembakaran, perusakan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan.

Pendidikan akhlak berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan moral sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan agama dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Secara isi materi, pendidikan akhlak dalam kitab Washoya lebih mengarah pada pengembangan moral dan mental anak. Bisa dilihat dari 20 bab yang diuraikan, ada 17 bab yang mengarahkan perhatiannya pada kehidupan sosial. Jika disesuaikan dengan cakupan materi pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral, maka bisa dilihat sebagai berikut: pengembangan nilai-nilai demokratis ada dalam materi adabnya pertemuan, belajar, berdiskusi dan menuntut ilmu. Pengembangan kehidupan kewargaan, nilai-nilai komunitas dan pembentukan identitas nasional bisa dilihat dari materi salah satu takwa kepada Allah SWT adalah cinta tanah air dan pemimpinnya, hal ini yang kemudian memunculkan pemerintahan yang bersih. Pengembangan ikatan sosial dan kebhinnekaan dan pengembangan kehidupan pribadi ada dalam beberapa materi yang kaitannya dengan akhlak terpuji seperti, jujur, amanah, iffah, tawadhu’, percaya diri dan lain-lain.

Materi di atas sebagai pemenuhan kebutuhan bangsa Indonesia saat ini yang tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai- nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, hidup dan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman.

(9)

Kebocoran soal saat ujian nasional menunjukkan bahwa kejujuran, etos belajar, dan meraih hasil dengan kerja keras, justru belum membudaya. Maka, materi-materi di atas dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya keterbukaan, kejujuran, penghargaan pada pendapat orang lain, sportivitas, kerendahan hati, dan toleransi.

Sedangkan melalui materi adab diskusi dan pertemuan anak diajak untuk mulai berani mengungkapkan perasaanya, tahap demi tahap anak diarahkan untuk menata jalan pikiran, cara berbicara, dan sikap hidupnya.

Hal ini bisa mengurangi krisis moral seperti, integritas pribadi, kesadaran religius, karya yang berkualitas kompetitif dan kepekaan sosial yang rendah.

Dari beberapa sifat terpuji ini, beliau menguraikan beberapa tanda- tandanya agar murid bisa membedakan mana yang “baik” dan mana yang

“buruk”. Misalnya dengan uraian “Diantara tanda iffah adalah kemampuan menahan diri dan nafsu. Sedangkan contoh sikap iffah adalah: tidak mungkin memasukkan makanan ke dalam perutnya apabila telah kenyang, sikap qona’ah (puas menerima pemberian Allah).

Dari beberapa materi tersebut pula, anak dididik untuk memiliki toleransi, rasa menghargai diri sendiri, disiplin diri, etos kerja dan belajar, kebersamaan dan gotong royong, saling menghormati, sopan santun dan tumbuhnya kejujuran. Mempunyai rasa tanggung jawab bisa dimulai dari keluarga, misalnya pada materi kewajiban terhadap orang tua. Maka, hal ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan akhlak saat ini, yakni, tujuan akhir pendidikan akhlak di era global adalah menyediakan SDM yang memiliki mental untuk tidak hanyut di era globalisasi. Pengembangan mental selanjutnya juga bisa diusahakan dengan materi kewajiban kepada Allah dan Rasulullah, hal ini adalah bagian dari sikap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan ketaatan terhadap ajaran agama.

Diantara beberapa hal sangat dibutuhkan saat ini, khususnya bagi perkembangan moral anak ramaja adalah melindungi mentalnya dari pengaruh negatif pergeseran zaman. Karena gaya hidup saat ini yang

(10)

sangat kental dengan nuansa minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas dan kemerosotan moral yang lain. Gaya hidup demikian terbukti akan membawa resiko yang besar bagi kelangsungan hidup seorang anak.

Seperti diketahui bahwa tidak sedikit diantara anak-anak ini terutama yang berusia antara 15-17 tahun yang sudah berhubungan seks bebas dengan pasangannya. Begitu juga resiko-resiko yang lain.11

Seandainya bisa disamakan antara akhlak dan tasawuf, maka sebagaimana mengutip dari pendapatnya Nurkholis Majid, yaitu, sufisme baru itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral. Jadi sufisme baru menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat.12 Sehingga image Imam Hanafi sebagai Imam Mazhab yang lebih modern diantara mazhab-mazhab lain,13 serta keberagaman negara Mesir ikut mewarnai corak pendidikan akhlak dalam kitab Washoya.

Yakni, pendidikan akhlak yang ada di dalamnya tidak mengarah pada akhlak yang bercorak tasawuf.

Yang demikian adalah masuk dalam materi pendidikan akhlak yang meliputi tanggung jawab sebagai manusia. Lingkup materi ini juga dilengkapi dengan akhlak terhadap kedua orang tua dan sesama teman.

Akhlak terhadap kedua orang tua disampaikan lewat beberapa pengetahuan tentang jerih payah orang tua sebagai bahan renungan.

11Wiwid Trisnadi, Lika-liku Pendampingan Anak Jalanan Perempuan di Yogyakarta, (Yogyakarta: Mitra Wacana, 2004), hlm. 19.

12Nurcholish Madjid, Sufisme Baru dan Sufisme Lama: Masalah Kontinuitas dan

Perkembangan dalam Esoterisme Islam, dalam Demokrasi, Jurnal dan Media Dialog Komunitas Kebudayaan, Peradaban, Ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman, Volume III (Semarang: Universitas Peradaban Nubuwah, 1999), hlm. 3.

13Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Penerjemah Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 75.

(11)

Metode tersebut terlihat sama dengan perintah birrul walidain Allah dalam firmannya Surat Al-Luqman ayat 14, yaitu:

 ִ

 !⌧

# $%&'

( )

*+ ,-.

)

# / 0 1

+ 2 324-%֠-6

37 ' 89:;<=

+?

ִ@ ִ A+ ? B

C9D0ִ☺

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Sedangkan mengenai akhlak yang kaitannya dengan anggota keluarga yang lain tidak dijelaskan dalam pembahasan kitab Whasoya.

Padahal hubungan kekerabatan yang perlu diajarkan kepada anak tidak hanya dengan kedua orang tua saja, hubungan dengan kakak dan adik juga perlu dijelaskan. Hal ini tidak akan menjadi masalah ketika anak tidak bersaudara, namun ketika terdapat saudara-saudara lain atau anggota keluarga yang lain dan anak tidak dibiasakan dengan pembinaan adab berinteraksi dengan anggota keluarga selain bapak dan ibu, maka dikhawatirkan mengenai perkembangan moralnya. Karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia.14 Keluarga mempunyai peranan penting untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik.15

Sedangkan ruang lingkup materi dan subtansi pendidikan akhlak yang meliputi akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa diterangkan dalam bab takwa kepada Allah SWT. Materi ini merupakan implementtasi pendidikan akhlak yang berkaitan dengan penghayatan terhadap ajaran

14W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978), hlm. 180.

15Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 79.

(12)

agama. Penghayatan terhadap ajaran agama pada tataran tertentu akan tidak mengenal sekat-sekat primordialisme, karena semuanya dipandangnya sebagai satu hakekat.16

Secara materi, isi kitab Washoya sudah mencakup 3 cakupan materi pendidikan akhlak, yaitu, akhlak kepada Allah, akhlak kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap alam. Yang kemudian dikemas dengan dikaitkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang diteladankan pada beberapa tokoh seperti, orang tua, saudara, tokoh idola, maupun dikaitkan dengan beberapa kasus yang bersifat praksis sehari-hari dalam kehidupan seseorang.

Keempat, kondisi ekonomi Indonesia. Kondisi ekonomi Bangsa yang semakin terpuruk ikut mempengaruhi perkembangan akhlak warga negaranya. Contoh kecil adalah dari rakyat miskin, fokus perhatian orang tua yang lebih mengarah pada ekonomi demi memenuhi kebutuhan hidup, menyebabkan mereka kurang memperhatikan perilaku dan akhlak si anak.

3. Peluang: munculnya kesadaran kolektif

Pada dasarnya, tingkat kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan moral dan akhlak generasi muda.

kesadaran itu muncul baik dari peran orang tua, keluarga, pemerintah maupun lembaga pendidikan.

4. Tantangan pendidikan akhlak

Pertama, arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri, di mana informasi, baik positif maupun negatif dapat langsung diakses. Tanpa adanya bekal yang cukup dalam penanaman agama (termasuk akhlak) hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan benar. Kedua, pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masayarakat. Ketiga, krisis kepercayaan rakyat terhadap para pejabat dan birokrat karena moral yang sudah amat melekat, seperti, koruptor, curang,

16H.M. Amin Syukur, op.cit., hlm. 38.

(13)

tidak perduli pada kesusahan rakyatnya. Keempat, kondisi ekonomi Indonesia.

Selain wacana di atas, isi materi dalam kitab Washoya diperuntukkan untuk kategori anak-remaja, hal ini bisa dilihat dari keseluruhan materinya yang kurang menekankan pada aspek nilai-nilai pendidikan akhlak dalam masalah nyata dalam masyarakat. Sehingga siswa mampu menggunakan pengalaman akhlak yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab atas tindakannya.

Materi-materi diatas disampaikan jika disesuaikan dengan tujuan yang sifatnya praktis dalam dunia pendidikan sekolah, yaitu, siswa memahami nilai-nilai akhlak di lingkungan keluarga, lokal, melalui adat istiadat, hukum, undang-undang dan tatanan dalam suatu bangsa. Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil keputusan akhlak di tengah-tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini. Siswa juga dihadapkan pada suatu masalah dengan perumpamaan menghadapi.

Jika disesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak pada masa berakhirnya daya khayal dan mulai munculnya berpikir konkrit, maka penggambaran Syaikh Muhammad Syakir dalam proses diskusi dan belajar, seperti, bakhil dalam berbagi ilmu, memotong pembicaraan, terkesan beliau memperkenalkan peristiwa-peristiwa yang merupakan realitas yang ada dalam masyarakat kita, sehingga peserta didik yang pernah melakukan, akan merasa tersindir dan akan mempertimbangkan sikapnya selama ini.

Dari semua bab yang tercantum di atas, bisa dikatakan isi materi sesuai dengan pendidikan akhlak yang berorientasi pada penegakan moral yakni harus mencakup beberapa komponen penting, diantaranya: pengembangan nilai-nilai demokratis, pengembangan kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas, pengembangan pemerintahan yang bersih, pembentukan identitas nasional, pengembangan ikatan sosial dan kebhinnekaan, pengembangan kehidupan pribadi.

(14)

Keterbukaan pendidikan akhlak dalam kitab Washoya seperti mengarahkan pendidikan akhlak yang bervisi penegakan moral. Dan pelibatannya pada semua pihak, menjadikan Kitab ini dipandang bisa menjawab problematika pendidikan akhlak kontekstual. Hal ini bisa dilihat dari linngkup materi yang dikaji, kemasan bahasa maupun metode yang digunakan.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan dan keterampilan Agen Perubahan diperoleh melalui proses panjang pembelajaran dan pengalaman selama bekerja mendampingi masyarakat sehingga mereka layak

oleh penyedia harus berpedoman pada daftar harga dan kuantitas, gambar kerja, dan pada RKS ini atau penyedia dapat mengusulkan jenis dan merek bahan/material

a. Penerapan strategi pembelajaran aktif disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran fiqih yang cocok dan sesuai dengan metode tersebut. Metode-metode yang

Banyak cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi diet, misalnya dengan menempelkan tulisan “DIET!!!” pada pintu kamar atau ruang makan, menampilkan tokoh idola

Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut PPPPTK adalah unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan

Metode ini memiliki keuntungan yaitu peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana (Mustofa, 2008). Populasi yang tinggi serta kandungan senyawa alelokimia

Dari data yang dikumpulkan selama masa penelitian disimpulkan bahwa cacat dominan yang sering terjadi dengan nilai RPN tertinggi disebabkan antara lain karena beberapa faktor

Kontribusi langsung yang diberikan fokus pada konsumen terhadap kepuasan kerja karyawan ini menjelaskan bahwa perubahan kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh