• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POTENSI KECAMATAN GIDO SEBAGAI IBUKOTA KABUPATEN NIAS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS POTENSI KECAMATAN GIDO SEBAGAI IBUKOTA KABUPATEN NIAS."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI KECAMATAN GIDO SEBAGAI

IBUKOTA KABUPATEN NIAS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

ESTER RAHMAT WATI ZEBUA NIM. 309131021

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

viii

ABSTRAK

ESTER RAHMAT WATI ZEBUA, NIM: 309131021

Analisis Potensi Kecamatan Gido Sebagai Ibukota Kabupaten Nias Skripsi. Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Medan,2015.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tentang Potensi fisik dan non fisik yang dimiliki kecamatan Gido sebagai ibukota pemerintahan kabupaten Nias. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kecamatan Gido. Sampel dalam penelitian ini adalah potensi fisik dan non fisik yang dimiliki Kecamatan Gido sebagai Ibukota Kabupaten Nias. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara studi dokumen dan wawancara kepada Informan. Tekhnik analisa data yang digunakan adalah tekhnik analisis deskriptif.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Kecamatan Gido memiliki banyak potensi sebagai Ibukota pemerintahan Kabupaten Nias. Potensi yang dimiliki Kecamatan Gido terdiri dari Potensi fisik dan Potensi Nonfisik. Potensi fisik yang terdapat di Kecamatan Gido untuk menjadi ibukota Pemerintahan Kabupaten Nias antara lain : tersedianya lahan pembangunan kantor-kantor yang dihibahkan oleh masyarakat kecamatan Gido yang terdapat di Desa Hilizoi dan Desa Hiliweto ; terdapat banyak sumber mata air yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih ; kondisi topografi Kecamatan Gido secara umum relatif datar atau tingkat kemiringan lereng yang rendah dan berada di daratan yang relatif tinggi, sehingga lokasi-lokasi tersebut relatif cukup aman dari bencana alam terutama banjir dan tanah longsor. Sedangkan potensi nonfisik yang terdapat di Kecamatan Gido untuk menjadi ibukota Pemerintahan Kabupaten Nias antara lain: sumber daya manusia yang terdapat di Kecamatan Gido masih membutuhkan peningkatan untuk menbangun dan mengembangkan daerah kecamatan Gido sebagai Ibukota pemerintahan Kabupaten Nias ; kondisi Aksesibilitas yang mendukung karena wilayah yang strategis untuk menjangkau kecamatan yang lain diwilayah Kabupaten Nias dan juga strategis untuk menjangkau kabupaten disekitar wilayah kepulauan Nias. Sedangkan kondisi jalan masih terdapat jalan yang dalam kondisi buruk yang menghubungkan desa dengan ibukota Kecamatan Gido ; tersedianya fasilitas umum diwilayah Kecamatan Gido diantaranya : Pasar tradisional, kantor BRI cabang Gido, KSP3 Nias cabang Gido, kantor Dinas pertanian, kantor dinas kelautan dan perikanan, badan ketahanan pangan dan penyuluhan pertanian, kantor pos, kantor dinas pemuda olahraga kebudayaan dan pariwisata.

(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas Penyertaan Tuhan kepada Peneliti atas berkat, rahmat

dan karunianNya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :

Analisis Potensi Kecamatan Gido Sebagai Ibukota Kabupaten Nias. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan Geografi di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak mengalami rintangan

namun berkat bantuan dari berbagai pihak maka tulisan ini dapat diselesaikan.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

- Bapak Prof.Dr. Ibnu Hajar,M.Si, selaku Rektor Universitas Negeri Medan

- Bapak Drs. H. Restu,M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial beserta stafnya.

- Bapak Drs. Alinurman,M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan Geografi.

- Ibu Dra. Rosni,M.Pd selaku Dosen Pembimbing Skripsi, Terima kasih

sebesar-besarnya karena kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan

penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

- Bapak Drs. Mbina Pinem,M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang

telah banyak membantu penulis dalam studi.

- Bapak Drs. W.Lumbantoruan,M.Si, dan Bapak Darwin P.Lubis,S.Si,M.Si

selaku dosen penguji yang telah membimbing dan mengarahkan penulis

sehingga terselesaikannya skripsi ini.

- Ibu Dra. Asnidar,M.Si selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Geografi yang

telah banyak membantu penulis dalam studi.

- Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Geografi Unimed yang selama ini

(7)

v

- Bapak Sofuziduhu Ndraha selaku Camat Gido, dan Jajarannya beserta seluruh

stafnya yang telah banyak membantu penulis dalam Penelitian.

- Orangtua Peneliti (Ayah) Luluaro Zebua,S.Pd dan (Ibu) Tercinta Eukhristia

Gulo,S.Pd, Adik Emanuel Candra Nova Zebua, Adik Selamat Berkat

Perlindungan Zebua, Kakek dan Nenek A/I.Iman Zalukhu, Bapasaa dan

Mamasaa A/I.Carlo Zalukhu, Paman Martin Gulo,SE, Kakak Hertamina

Gulo,S.Sos, dan Om dan Tante A/I.Rifki, yang telah banyak memberikan

bantuan dan dukungan berupa moril maupun materil sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik.

- Abang Felix Yanto Ziliwu,S.Pd, Abang Andi Berkat Ndraha,S.Pd, dan Lini

Mutiara Sari Harefa,S.Pd yang telah banyak membantu penulis dalam

Penelitian.

- Teman-teman di Unimed : Andry Gulo, Elphin Zega, Yulius Gulo, Ebtharia

Nadeak,S.Pd, Ease Arent,S.Pd, Erna Tampubolon,S.Pd, Selvi Aisyah

Lubis,S.Pd dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu

dalam kesempatan ini.

Akhir kata kiranya Tuhan memberi balas kepada semua yang memberikan

bantuan tersebut. Saya harap tulisan ini berguna bagi pembaca terutama Jurusan

Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.

Medan, 15 Januari 2015 Penulis,

(8)

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ...iii

KATA PENGANTAR ... ...iv

B. Penelitian yang Relevan ... 34

C. Kerangka Berfikir ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Lokasi Penelitian ... 39

B. Populasi dan Sampel ... 40

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... ... 39

D. Tehnik Pengumpulan Data ... 42

(9)

vii

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ... 44

A. Keadaan Fisik ... 44

B. Keadaan Non Fisik ... 46

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Hasil Penelitian ... 61

B. Pembahasan ... 79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(10)

ix

DAFTAR TABEL

No Uraian Hal

1 Rata-Rata Jumlah Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan Di

Kecamatan Gido 2013………... 45

2 Statistik Penduduk di Kecamatan Gido Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 - 2012………... 48

3 Statistik Pendidikan di Kecamatan Gido Tahun 2012…………... 50

4 Statistik Tenaga Kesehatan di Kecamatan Gido Tahun 2012……....50

5 Luas Wilayah Kecamatan Gido Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2012……… 59

21 Banyaknya Murid SD, SMTP, SMTA Menurut Desa 2012... 87

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

No Uraian Hal

1 Kerangka Berfikir ... 38

2 Peta Administrasi Kabupaten Nias ... 45

3 Peta Administrasi Kecamatan Gido ... 46

4 Jalan Menuju Pertapakan Kantor Bupati Nias ... 92

5 Lahan Pertapakan Kantor Bupati Nias ... 92

6 Kantor Pos Cabang Hiliweto Kecamatan Gido ... 103

7 Kantor Bank BRI Kecamatan Gido ... 103

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penunjukkan Dosen Pembimbing Skripsi

2. Nota Tugas Dosen PS

3. ACC Judul Proposal Penelitian

4. ACC Seminar Proposal Penelitian

5. Undangan Seminar Proposal Penelitian

6. Daftar Hadir Mahasiswa Seminar Proposal Penelitian

7. Berita Acara Seminar Proposal Penelitian

8. Lembar Perbaikan Seminar Proposal Penelitian

9. Lembar Persetujuan Penelitian

10.Penerbitan Izin Penelitian

11.Surat Izin Penelitian Dari Fakultas

12.Surat Izin Penelitian Dari Kantor Camat Gido

13.Surat Telah Selesai Penelitian Dari Kantor Camat Gido

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Pulau Nias merupakan salahsatu kabupaten diwilayah Provinsi Sumatera

Utara. Didaerah Pulau Nias terdiri beberapa Kabupaten diantaranya : Kabupaten

Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat dan

Kota Gunungsitoli. Berdasarkan sejarah pemerintahan dikepulauan Nias, mulai

pada masa penjajahan Belanda, Pendudukan militer Jepang, Indonesia merdeka

dan sampai pada tahun 2003 pemerintahan di Pulau Nias berada dalam satu

wilayah pemerintahan.

Sejak tahun 2003 Kabupaten Nias dimekarkan menjadi beberapa

Kabupaten/Kota. Pemekaran daerah kabupaten/kota dilaksanakan Berdasarkan

keputusan DPRD Kabupaten Nias Nomor : 02/KPTS/2000 tanggal 1 Mei 2000

tentang persetujuan pemekaran Kabupaten Nias menjadi dua Kabupaten.

Keputusan DPRD Propinsi Sumatera Utara Nomor : 19/K/2002 tanggal 25

Agustus 2002, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2002 tanggal

25 Februari 2003 tentang pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten

Pak-pak Barat dan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 29 tahun 2002 tanggal 28 Juli 2003, maka Kabupaten Nias

resmi dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Nias dan Kabupaten

Nias selatan.

Kemudian pada tahun 2008 kabupaten Nias dimekarkan lagi Berdasarkan

(14)

2

Utara, Undang-Undang RI Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan

Kabupaten Nias Barat Undang-Undang RI Nomor 47 Tahun 2008 tentang

Pembentukan Kota Gunung Sitoli di Provinsi Sumatera Utara.

Pada umumnya tujuan dilakukan pemekaran suatu daerah yaitu untuk

meningkatkan pembangunan dalam segala bidang, baik fisik maupun non fisik.

Pembangunan suatu daerah menuju kearah yang lebih maju didukung oleh

beberapa faktor diantaranya pemerintahan yang baik, ketersediaan fasililitas

pemerintahan, pendidikan, kesehatan, serta dukungan dari masyarakat.

Sejak dilakukannya pemekaran daerah Kabupaten Nias pada tahun 2003,

Ibukota Kabupaten Nias terletak di Kecamatan Gunungsitoli, tetapi setelah

Kabupaten Nias dimekarkan lagi pada tahun 2008 sampai tahun 2014, hampir

seluruh fasilitas pemerintahan Ibukota Kabupaten Nias masih berada diwilayah

kota Gunungsitoli yaitu di Desa Fodo Kecamatan Gunungsitoli Selatan. keadaan

seperti ini sangat memprihatinkan, karena suatu daerah tidak dimungkinkan jika

ibukota pemerintahannya berada diwilayah pemerintahan kabupaten/kota yang

lain.

Kabupaten Nias yang dahulunya merupakan induk dari beberapa

kabupaten dikepulauan Nias harus memulai kembali pembangunan daerahnya

sendiri. Beberapa tokoh berpendapat bahwa Ibukota pemerintahan kabupaten Nias

akan segera dipindahkan kewilayah pemerintahan kabupaten Nias sendiri, adapun

lokasi sebagai tempat yang direncanakan oleh pemerintah kabupaten Nias yaitu di

(15)

3

Kecamatan Gido merupakan tempat tujuan yang direncanakan oleh

Pemerintah Kabupaten Nias. Berdasarkan letak geografisnya, Kecamatan Gido

strategis sebagai Ibukota Kabupaten Nias dan didukung juga beberapa potensi

yang dimiliki seperti : Pembangkit Listrik, PDAM Umbu, Bandara, dan lain-lain.

Rencana pemindahan Ibukota Pemerintahan Kabupaten Nias harus

dilakukan Berdasarkan peraturan pemerintah No.78 tahun 2007 tentang cara

pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah disebutkan dalam pasal 12

ayat 3 yaitu : penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan

fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi,

sosial politik dan sosial budaya “. Artinya penetapan suatu daerah ibukota itu

bukan merupakan persoalan politis semata, akan tetapi penetapan ibukota

kabupaten harus objektif dan perlu dilakukan tentang pengkajian tentang

potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut .

Potensi-Potensi daerah dalam ruang lingkup kajian geografi meliputi

potensi fisik dan potensi non fisik . Potensi fisik meliputi (letak, jarak, luas lahan,

keadaan tanah, air tanah, sumber air, sumber mineral, topografi, iklim, bentuk

kawasan, flora dan fauna). Potensi-potensi nonfisik meliputi sumber daya manusia

(jumlah penduduk, kepadatan penduduk, mata pencaharian, pendidikan dan

kesehatan), industri, sarana dan prasarana/fasilitas seperti : a). fasilitas pendidikan

(TK,SD,SMP/MTS,SMA/SMK/sederajat, dan Perguruan Tinggi) ; b). fasilitas

kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, posyandu) ; c). fasilitas

(16)

4

air bersih, jaringan telepon, bank, pos, pemakaman, rumah ibadah, alat

transportasi) ; e). fasilitas hiburan (bioskop, taman, tempat wisata) dan, f).

aksesibilitas (panjang jalan dan indeks jalan ).

Sehubungan dengan itu perlu dianalisis untuk mengulas dan membahas lebih

dalam tentang proses pemindahan ibukota pemerintahan Kabupaten Nias, dengan

judul penelitian analisis potensi Kecamatan Gido sebagai Ibukota Kabupaten

Nias.

B.Identifikasi masalah

Pemindahan Ibukota yang dialami oleh Kabupaten Nias akhirnya

menetapkan Kecamatan Gido sebagai ibukota-nya yang baru. Sebelum suatu

daerah itu ditetapkan menjadi ibukota perlu dilakukan pengkajian tentang

potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut, karena kota/ibukotalah yang menjadi

tolak ukur dalam pembangunan dan pengembangan wilayah.

Potensi yang harus dipertimbangkan dalam penentuan kedudukan ibukota

meliputi potensi fisik yaitu: letak, jarak luas lahan, keadaan tanah, air tanah,

sumber air, sumber mineral, topografi, iklim bentuk kawasan, flora dan fauna.

Potensi non fisik meliputi: sumber daya manusia (jumlah penduduk, kepadatan

penduduk, mata pencaharian, pendidikan dan kesehatan), industri, sarana dan

prasarana/fasilitas (fasilitas pendidikan( perguruan tinggi hingga taman

kanak-kanak), fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, posyandu),

fasilitas perekonomian (pasar, pertokoan), fasilitas umum (listrik, air bersih,

(17)

5

hiburan (bioskop, taman, tempat wisata) dan aksesibilitas (panjang dan indeks

jalan).

Berbagai potensi diatas haruslah dimiliki oleh daerah calon ibukota

sebelum ditetapkan menjadi daerah ibukota. Hal ini terkait dengan status

kota/ibukota yang akan menjadi tolak ukur dalam pembangunan dan

pengembangan wilayah. Bagaimanakah potensi Kecamatan Gido sehingga daerah

ini ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Nias ?

C.Pembatasan Masalah

Mengingat keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian dan juga

karena luasnya masalah yang harus dibahas, maka peneliti membatasi

permasalahan dalam penelitian ini agar lebih terarah dan terfokus. Oleh karena itu

penelitian dibatasi pada keadaan potensi fisik dan potensi non fisik Kecamatan

Gido.

D.Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana keadaan potensi fisik (luas lahan, sumberdaya air, dan topografi)

yang dimiliki Kecamatan Gido sebagai Ibukota Kabupaten Nias ?

2. Bagaimana keadaan potensi nonfisik (sumber daya manusia, aksesibilitas,

dan fasilitas umum) yang dimiliki Kecamatan Gido sebagai Ibukota

(18)

6

E.Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui keadaan potensi fisik (luas lahan, sumber daya air, dan

topografi) yang dimiliki Kecamatan Gido sebagai Ibukota Kabupaten Nias.

2. Untuk mengetahui keadaan potensi nonfisik (sumber daya manusia,

aksesibilitas, dan fasilitas umum) yang dimiliki Kecamatan Gido sebagai

Ibukota Kabupaten Nias.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberi informasi bagi pembaca tentang Potensi yang dimiliki kecamatan

Gido sebagai Kabupaten Nias.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat untuk menetapkan

Kecamatan Gido sebagai Ibukota Kabupaten Nias.

3. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk refrensi/rujukan penelitian

bagi peneliti lain.

4. Untuk menambah khazanah ilmu geografi dan juga sebagai bahan masukan

(19)

97 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Potensi Fisik

Berdasarkan potensi fisik, wilayah Kecamatan Gido memiliki potensi

untuk menjadi wilayah ibukota pemerintahan Kabupaten Nias, hal ini didukung

dengan ketersediaan lahan yang dihibahkan oleh masyarakat Kecamatan Gido

untuk dijadikan tempat pembangunan kantor-kantor Administrasi pemerintahan

Kabupaten Nias. Lahan yang tersedia terletak di (2) desa yaitu Desa Hilizoi

dan sebagaian di Desa Hiliweto. Kecamatan Gido memiliki Potensi untuk

menyediakan sumber daya air yang bersumber dari air tanah. Diwilayah

Kecamatan Gido masih terdapat banyak sumber mata air yang dapat

dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi kepentingan Ibukota Kabupaten

dan Pusat Pemerintahan. Berdasarkan kondisi topografi, Kecamatan Gido

memiliki potensi untuk menjadi ibukota pemerintahan Kabupaten Nias, hal ini

didukung kondisi daerah Kecamatan Gido secara umum relatif datar atau

tingkat kemiringan lereng yang rendah dan berada di daratan yang relatif

tinggi, sehingga lokasi-lokasi tersebut relatif cukup aman dari bencana alam

(20)

98

2. Potensi Non Fisik

Berdasarkan potensi sumber daya manusia yang terdapat di Kecamatan

Gido masih membutuhkan peningkatan untuk menbangun dan

mengembangkan daerah kecamatan Gido sebagai Ibukota pemerintahan

Kabupaten Nias. Kecamatan Gido merupakan wilayah yang strategis untuk

menjangkau kecamatan yang lain diwilayah Kabupaten Nias dan juga strategis

untuk menjangkau kabupaten disekitar wilayah Kepulauan Nias. Sedangkan

kondisi jalan masih terdapat jalan yang dalam kondisi buruk yang

menghubungkan desa dengan ibukota Kecamatan Gido. Berdasarkan

ketersediaan fasilitas umum, wilayah Kecamatan Gido memiliki potensi dalam

fasilitas perekonomian hal ini didukung dengan telah tersedianya beberapa

kantor diwilayah Kecamatan Gido seperti kantor BRI cabang Gido, KSP3 Nias

cabang Gido, kantor Dinas pertanian, kantor dinas kelautan dan perikanan,

kantor Dinas pemuda dan olahraga dan juga Pasar Tradisional Gido.

B.Saran

Adapun saran yang diajukan sesuai dengan hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Potensi Fisik

Untuk memperlancar pembangunan Kecamatan Gido menjadi Ibukota

Pemerintahan Kabupaten Nias perlunya penyediaan sumber air bersih di setiap

daerah di Kecamatan Gido dan juga perlunya penambahan kapasitas sumber air

bersih oleh PDAM yang ada.

(21)

99

2. Potensi Non Fisik

Dalam upaya meningkatkan potensi sumber daya manusia diwilayah

Kecamatan Gido perlu peningkatan pembangunan sarana dan prasarana, baik

Fasilitas pendidikan, Fasilitas Perekonomian, Fasilitas Kesehatan dan fasilitas

pendukung lainnya. Untuk meningkatkan penghasilan komoditas pertanian

Kecamatan Gido, maka perlu penyediaan berupa mesin yang membantu

pengerjaan lahan yang dimiliki masyarakat, perlu peningkatan pelatihan tenaga

kerja sesuai dengan profesi dan bidangnya, serta pendampingan dan

penyuluhan pertanian yang terstruktur untuk mendampingi masyarakat aktifitas

pertanian, perkebunan, peternakan dan perindustrian. Dalam bidang

Aksesibilitas, pemerintah perlu memperhatikan pembangunan jalan-jalan yang

menghubungkan antara desa dengan desa, antara desa dengan Kecamatan

diwilayah Kecamatan Gido. Dokumen-dokumen yang ada dalam proses

penetapan hingga pembangunan Kecamatan Gido sebagai ibukota

Pemerintahan Kabupaten Nias, hendaknya disimpan sebagai dokumen sejarah

(22)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kerangka Teori

1. Analisis Lokasi dan Pola Ruang

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order)

kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari

sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap

keberadaan berbagai macam usaha atau kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial

(Tarigan, 2006). Pengertian teori lokasi yang lainnya adalah suatu penjelasan

teoritis yang dikaitkan dengan tata ruang dari kegiatan ekonomi. Hal ini selalu

dikaitkan pula dengan alokasi geografis dari sumber daya yang terbatas yang pada

gilirannya akan berpengaruh dan berdampak terhadap lokasi berbagai aktivitas

baik ekonomi maupun sosial.

Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran

kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Menurut Christaller,

pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola

berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di

wilayah yang mempunyai dua syarat. Pertama, topografi yang seragam sehingga

tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam

lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan. Kedua, kehidupan ekonomi

yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang

(23)

8

Analisis keruangan adalah analisis lokasi yang menitik beratkan pada tiga

unsur jarak (distance), kaitan (interaction), dan gerakan (movement). Tujuan dari

analisis keruangan adalah untuk mengukur apakah kondisi yang ada sesuai dengan

struktur keruangan dan menganalisa interaksi antar unit keruangan yaitu hubungan

antara ekonomi dan interaksi keruangan, aksebilitas antara pusat dan perhentian

suatu wilayah dan hambatan interaksi. Hal ini didasarkan olah adanya

tempat-tempat (kota) yang menjadi pusat kegiatan bagi tempat-tempat-tempat-tempat lain, serta adanya

hirarki diantara tempat-tempat tersebut. Pada kenyataanya dalam suatu wilayah

mempunyai keterkaitan fungsional antara satu pusat dengan wilayah sekelilingnya

dan adanya dukungan penduduk untuk keberadaan suatu fungsi tertentu dimana

barang mempunyai sifat goods order dan tidak setiap barang atau jasa ada di

tempat. Perkembangan tempat-tempat sentral tergantung konsumsi barang sentral

yang dipengaruhi faktor penduduk, permintaan dan penawaran serta harga, juga

kondisi wilayah dan transportasi seperti yang telah dikemukakan oleh Christaller

(dalam Central Place Theory,1933). Suatu wilayah memiliki ketergantungan pada

wilayah lain. Pada setiap wilayah memiliki kelebihan dibanding yang lain

sehingga wilayah tersebut memiliki beberapa fasilitas yang mampu melayani

kebutuhan penduduk dalam radius yang lebih luas, sehingga penduduk akan

mendatangi wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perbedaan

tingkat kepemilikan sumberdaya dan keterbatasan kemampuan wilayah dalam

mendukung kebutuhan penduduk suatu wilayah menyebabkan terjadinya

pertukaran barang, tenaga kerja dan jasa antar wilayah (Morlok,1988). Agar dapat

(24)

9

tinggal yang disebut pemukiman yang terbentuk dari unsur-unsur working,

opportunities, circulation, housing, recreation, and other living facilities (Hari

Sabari Yunus, 1987). Unsur circulation adalah jaringan transportasi dan

komunikasi yang ada dalam pemukiman. Sistem transportasi dan komunikasi

meliputi sistem internal dan eksternal. Transportasi merupakan tolok ukur dalam

interaksi keruangan antar wilayah dan sangat penting peranannya dalam

menunjang proses perkembangan siatu wilayah.

2. Pemekaran/Pembentukan Daerah

Diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah telah menjadikan otonomi daerah sebagai pilihan dalam

rangka mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Dimana, setiap

daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah inipun telah

diamandemen menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 .

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 2 menyebutkan bahwa, “ ayat

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing

mempunyai pemerintahan daerah, ayat (2) Pemerintah daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembatuan”. Undang-Undang No. 32 Tahun

2004 BAB II bagian kesatu tentang pembentukan daerah pasal 4 ayat (1)

(25)

10

dengan undang-undang, ayat (2) Undang-undang pembentukan daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan

wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan,

penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan

kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah, ayat

(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian

daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah

atau lebih, ayat (4) Pemekaran dari suatu daerah menjadi dua (2) daerah atau lebih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas

minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”.

Kemudian pada pasal 5 dijelaskan bahwa, “ayat (1) pembentukan daerah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis,

dan fisik kewilayah, ayat (2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota

yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi , persetujuan DPRD provinsi induk

dan Gubernur , serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, ayat (4) Syarat teknis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar

pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah,

sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan,

dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah , ayat (5)

syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5

(26)

11

pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon

ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan”.

Pasal 6 menyebutkan bahwa, “ayat (1) Daerah dapat dihapus dan

digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu

menyelenggarakan otonomi daerah, ayat (2) Penghapusan dan penggabungan

daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah, ayat (3) pedoman evaluasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah”. Kemudian pada

pasal 7 dijelaskan bahwa, “ayat (1) penggabungan dan penghapusan daerah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) beserta akibatnya ditetapkan

dengan undang-undang, ayat (2) Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama

daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau

pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah

ditetapkan dengan peraturan pemerintah, ayat (3) sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan. Kemudian

dalam pasal 8 disimpulkan bahwa “tata cara pembentukan, penghapusan, dan

penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal (4), pasal 5, dan pasal 6

diatur dengan peraturan pemerintahh ,”

3. Metode Penilaian Pembentukan Daerah Otonom Baru (PP. No. 78 Tahun

2007)

Penilaian yang digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan

daerah otonom baru terdiri dari 2 macam metode yaitu: metode rata-rata dan

(27)

12

besaran/nilai tiap calon daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rara-rata

keseluruhan daerah di sekitarnya. Sedangkan metode kuota adalah metode yang

menggunakan angka tertentu sebagai kuota penentuan skoring baik terhadap calon

daerah maupun daerah induk. Kuota jumlah penduduk provinsi untuk

pembentukan provinsi adalah 5 kali rata-rata jumlah penduduk kabupaten/kota di

provinsi-provinsi sekitarnya. Kuota jumlah penduduk kabupaten untuk

pembentukan kabupaten adalah 4 kali rata-rata jumlah penduduk kecamatan

kota-kota di provinsi yang bersangkutan dan sekitarnya. Semakin besar perolehan

besaran/nilai calon daerah dan daerah induk (apabila dimekarkan ) terhadap kuota

pembentukan daerah, maka semakin besar skornya. Dalam hal ini terdapat

beberapa faktor yang memiliki karakteristik tersendiri maka penilaian tekhnis

dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif .

Pemberian skor untuk pembentukan provinsi menggunakan Pembanding

Provinsi, Pembentukan kabupaten menggunakan pembanding kabupaten dan

pembentukan kota menggunakan pembanding kota. Pembanding provinsi adalah

provinsi-provinsi sesuai dengan letak geografis, yaitu :

a. Jawa dan Bali

b. Sumatera

c. Sulawesi

d. Kalimantan

e. Nusa Tenggara

f. Maluku

(28)

13

Pembanding Kabupaten adalah kabupaten-kabupaten di provinsi yang

bersangkutan. Pembanding kota adalah kota-kota sejenis (tidak termasuk kota

yang menjadi ibukota provinsi) di provinsi yang bersangkutan dan atau provinsi di

sekitarnya minimal 3 (tiga) kota.

Dalam hal menentukan pembanding provinsi , pembanding kabupaten

dan pembanding kota terdapat provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki

besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (diatas 5 kali dari besaran/nilai

terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan. Setiap indikator

mempunyai skor dengan skala 1-5, dimana skor 5 masuk dalam kategori sangat

mampu, skor 4 kategori mampu, skor 3 kategori kurang mampu, skor 3 kategori

kurang mampu, skor 2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat tidak

mampu. Besaran/nilai rata-rata pembanding dan besaran jumlah kuota sebagai

dasar untuk pemberian skor. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator

lebih besar atau sama dengan 80% besaran/nilai rata, pemberian skor 4 apabila

besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata,

pemberian skor 3 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan

40% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih

besar atau sama dengan 20% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 1 apabila

besaran/nilai indikator kurang dari 20% besaran/nilai rata-rata.

4. Kota dan Ibukota

Kota merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian

masyarakat suatu daerah. Menurut Bintarto (1989: ) kota merupakan “Suatu

(29)

14

yang tinggi dan diwarnai dengan srata sosial ekonomi yang heterogen dan

coraknya materialistis, atau dapat pula diartikan dari sudut sebuah bentang budaya

yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala

pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat

heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya”.

Grunfeld (dalam Daldjoeni 1987) menyatakan bahwa : “Kota sebagai

suatu pola pemukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada

kepadatan penduduk wilayah nasional dengan struktur mata pencaharian non

agraris dan tata guna lahan (tanah) yang beraneka ragam serta dengan

pergedungan yang berdiri berdekatan”.

Sementara Yunus (2005) mendefinisikan kota dengan melihat

penggunaan lahan, dimana: “Kota sebagai suatu daerah tertentu dengan

karakteristik tata guna lahan non agraris. Tata guna lahan dimana sebagian

tertutup oleh bangunan yang bersifat secara umum Building Coverage lebih

banyak daripada Vegetation Coverage, Kependudukan mengalami perubahan

yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks dan relativ lebih rendah daripada

satuan pemukiman disekitarnya”.

Koestoer (2001) mengungkapkan definisi kota sebagai: “Suatu sistem

jaringan kehidupan manusia yang memiliki kecirian social ekonomi yang

heterogen dengan corak yang materialistis berbeda dengan desa. Kota memiliki

kondisi fisik yang relative modern, seperti kondisi sarana dan prasarana, jaringan

(30)

15

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (dalam Setiawan 1997)

dinyatakan bahwa, kota adalah “pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang

mempunyai batasan administrasi yang diatur dalam perundangan, serta

pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan”.

Kota sebagai pusat aktivitas manusia meliputi pusat pemerintahan, pusat

perekonomian dan lainnya akan terus mengalami perkembangan dari satu fase ke

fase berikutnya .hal ini kemudian memberikan definisi terhadap kota yang terus

pula mengalami perkembangan. Banyaknya definisi tersebut membuktikan

kompleksnya aspek-aspek yang merupakan potensi yang harus ada dan

mendukung eksistenssi sebuah daerah sebagai kota, karena kota merupakan patron

sebuah wilayah baik untuk perkembangan, pelayanan serta kesejahteraan

masyarakatnya.

5. Potensi-Potensi Kota

Menurut Marioti (dalam Akbar 2008) potensi adalah ”sumberdaya yang

terdapat disuatu daerah yang bersangkutan baik dalam bentuk fisik maupun dalam

bentuk sosial yang perlu dikembangkan”. Wilayah dapat ditetapkan sebagai kota

dengan pendekatan jumlah penduduk, konsentrasi pemukimannya, sarana dan

fasilitas, jaringan transportasi dan lainnya. Biro Pusat Statistik pada sensus 2000

(dalam Tarigan: 2005) “Mengkategorikan apakah suatu daerah (desa/kota) sebagai

kota dengan kriteria kepadatan penduduk per kilometer persegi, persentase rumah

tangga yang mata pencaharian utamanya pertanian atau nonpertanian, memiliki

(31)

16

fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas

lainnya”.

Menurut Tarigan (2005): “Sebuah konsentrasi atau daerah dapat

dinyatakan sebagai kota dengan pendekatan seberapa jenis banyak jenis fasilitas

yang tersedia untuk menjalankan fungsi kekotaan. Fasilitas tersebut meliputi :

pusat perdagangan , pusat pelayanan jasa , tersedianya prasarana kota (jalan yang

baik, jaringan listrik, telepon, air minum, pelayanan sampah, sistem drainase,

taman kota dan pasar), fasilitas sosial (fasilitas pendidikan, kesehatan, gedung

pertemuan), pusat pemerintahan, pusat komunikasi, dan pangkalan transport, dan

lokasi pemukiman tertata”.

Hasil penelitian di Pulau Jawa tentang Satuan Wilayah Pengembangan

(SWP) terhadap hirarki perkotaan pada tahun 1997 oleh Poernomosidi dinyatakan

bahwa “untuk negara yang belum maju maka hirarki perkotaannya bisa belum

teratur”. Tentang hirarki perkotaan ini berdasarkan apa yang diungkapkan

Poernomosidi, Sinulingga (1999) menjelaskan orde-orde kota berdasarkan

ciri-cirinya, dimana : Kota orde ketiga dinyatakan sebagai ibukota Dati II atau kota

administratif dengan ciri-ciri memiliki jangkauan pelayanan 15-50 km, jumlah

penduduk 20.000–100.000 jiwa, fasilitas pelayanan yang tersedia Sekolah

Menengah Atas, Rumah Sakit tipe C, puskesmas, pasar dan kantor pemerintahan,

jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kereta api, terminal bus, industri kecil dan

gudang penyimpanan hasil produksi.

Selain itu aspek geografi fisik wilayah yang akan dijadikan ibukota/kota

(32)

17

tersebut. Daldjoeni (1987) menegaskan bahwa, “pertumbuhan dan perkembangan

kota sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi yang dimiliki oleh suatu daerah.

Faktor geografi yang dimaksud adalah relasi keruangan yang menyangkut lokasi,

posisi, luas dan jarak, topografi, iklim, jenis tanah, air tanah, sumber air, sumber

mineral dan interelasi daerah tersebut dengan daerah lainnya”.

Akbar (skripsi 2008: ) dalam penelitiannya tentang Potensi Kabupaten

Batu Bara Dalam Penentuan Ibukota Kabupaten menjelaskan potensi-potensi yang

mempengaruhi penentuan letak ibukota meliputi “potensi asspek fisik wilayah

(luas lahan, sumber air, topografi), potensi nonfisik meliputi beberapa aspek,

yakni : (1)Sumberdaya manusia (jumlah penduduk, mata pencaharian,

pendidikan), (2)Industri, (3)Fasilitas perkotaan; fasilitas pendidikan (SD, SLTP,

SLTA, dan Perguruan Tinggi), fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas,

Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan), fasilitas perekonomian (pasar,

pertokoan, pergudangan), fasilitas umum (listrik, terminal bus, balai pertemuan),

(4) Aksesibilitas (panjang jalan, indeks jalan) yang ada di tiap-tiap kecamayan”.

Banyaknya sudut pandang tentang aspek-aspek yang harus

dipertimbangkan untuk menentukan suatu daerah menjadi daerah kota atau pusat

pengembangan wilayah, maka berdasarkan pembatasan masalah yang telah

penulis jelaskan terdahulu adapun potensi yang akan dinilai adalah meliputi

potensi fisik wilayah (luas lahan, sumberdaya air, topografi) dan Potensi nonfisik

wilayah, meliputi (1) Sumberdaya manusia (jumlah penduduk, tenaga kerja, mata

pencaharian), (b)Aksesibilitas, (c)Fasilitas umum (fasilitas perekonomian, fasilitas

(33)

18

a. Potensi Fisik

1. Luas Lahan

Sumberdaya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya

merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan

secara tepat dengan memperhatikan karakteristiknya. “Lahan merupakan salah

satu sumberdaya alam yang dibutuhkan manusia untuk menopang kebutuhan

hidupnya”, Tarigan (2005). Semakin besar kebutuhan manusia tersebut maka

kebutuhannya terhadap lahan juga bertambah. Kebutuhan akan lahan ini akan

menghadirkan pola penggunaan lahan tersebut.

Sugiharto (2008: 214) menyatakan : “Dalam membicarakan penggunaan

lahan ada dua hal yang perlu dipertimbangkan , yaitu pertama , penggunaan

lahan yang aktual (sekarang) dan kedua, penggunaan lahan potensial.

Penggunaan lahan sekarang pada dasarnya merupakan hasil dari berbagai

faktor penyebab, sebagian besar berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan

budaya masyarakat. Penggunaan lahan potensial tidak selalu sama dengan

penggunaan lahan sekarang, bahkan sering berbeda dengan penggunaan lahan

yang disesuaikan dengan kemampuannya”.

Sadyohutomo (2008: ) mengidentifikasi penggunaan lahan perkotaan,

dimana “lahan perkotaan didominasi oleh jenis penggunaan nonpertanian,

seperti perumahan/pemukiman, jasa (services), perdagangan, dan industri”.

Pernyataan ini hampir senada dengan Koestoer (dalam Sugiharto: 2006) yang

menyatakan bahwa: “kota sebagai perwujudan spasial cenderung mengalami

(34)

19

sangat berperan dalam perubahan-perubahan tersebut yaitu faktor penduduk

dan aspek kebijakan. Faktor penduduk yang paling penting adalah segi

kuantitasnya. Aspek-aspek kependudukan mencakup kondisi sosial yang luas,

seperti politik, sosial ekonomi, budaya dan teknologi. Kuantitas dan kualitas

kegiatannya selalu meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah pendudukn

dan perubahan nilai-nilai. Dengan demikian lahan sebagai wadah kegiatan

selalu mengalami perubahan secara terus-menerus”.

Sementara itu Sinulingga (1999: ) menganalisis penggunaan lahan kota

berdasarkan pusat pelayanan dengan jumlah penduduknya, dimana “untuk kota

sebagai sub wilayah dengan jumlah penduduk 200.000 – 500.000 jiwa

memerlukan luas lahan 36.000 m2, untuk kota lebih berkembang diatasnya

dengan jumlah penduduk di atas 800.000 jiwa lahan yang dibutuhkan adalah

100.000 – 120.000 m2”.

Di daerah perkotaan aktivitas manusia lebih kompleks daripada di daerah

pedesaan. Kompleksnya aktivitas di daerah perkotaan ini mengakibatkan

penggunaan lahan menjadi lebih bervariasi, sehingga membutuhkan lahan yang

cukup(luas) sebagai tempat dari segala aktivitas perkotaan .

2. Sumberdaya Air

Air bersih merupakan kebutuhan vital bagi penduduk kota, yang

kegunaannya antara lain untuk keperluan air minum, mandi, memasak, dan

termasuk keperluan industri. Dengan kata lain, air materi yang dapat membuat

kehidupan dapat terjadi di bumi. Semua organisme yang hidup tersusun dari

(35)

20

tempat dilarutan air. Sadyohutomo (2008) menyatakan: “Sumber air bersih

bagi penduduk pedesaan dan perkotaan berbeda. Bagi penduduk pedesaan , air

sumber atau air tanah dangkal yang diperoleh dengan membuat sumur cukup

sehat untuk langsung digunakan untuk memasak dan mencuci. Sedangkan

untuk penduduk perkotaan yang padat, air tanah dangkal sudah diragukan

kebersihannya karena kemungkinan tercemar septic tank dan limbah rumah

tangga. Dikarenakan air tanah dangkal sudah tercemar maka ada upaya

pemanfaatan air tanah dalam”. Tentang pengelolaan air dan sumber air , Plane

(dalam Robert dkk: 2002) mengemukakan bahwa sistem pengelolaan air dan

sumber air dalam rangka pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat modern

bersifat berkelanjutan (sustainable) harus mampu mengantisipasi perubahan

sistem itu sendiri karena usia, kebutuhan masyarakat dalam kemampuan

memasok (supplay) air.

Tarigan (2005) menyatakan : “Rencana pengambangan /pemanfaatan air

baku sangat perlu diperhatikan untuk perkotaan. Hal ini karena sumber sir yang

tersedia sangat terbatas sedangkan kebutuhan akan air di perkotaan terus

meningkat. Harus diinventarisasi sumber-sumber yang mungkin dipergunakan

untuk memenuhi air perkotaan, baik yang sudah dimanfaatkan maupun yang

bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang. Sumber air utama biasanya

adalah air permukaan (sungai/waduk). Air tanah memang bisa menjadi sumber

alternatif, tetapi pemanfaatannya terbatas. Pengurasan air tanah secara

(36)

21

Menurut Sinulingga (1999) sumber-sumber air yang dapat dimanfaatkan

untuk wilayah perkotaan adalah :

a) Air hujan, yang biasanya sebelum jatuh kepermukaan bumi akan

mengalami pencemaran sehingga tidak memenuhi syarat apabila langsung

diminum.

b) Air pernukaan tanah yaitu rawa, sungai, danau, yang tidak dapat diminum

sebelum melalui pengolahan, karena gampang tercemar.

c) Air dalam tanah yang terdiri dari air sumur dangkal dan air sumur dalam.

Air sumur dangkal dianggap belum memenuhi syarat untuk diminum karena

gamppang tercemar, misalnya kalau sumur terbuka sehingga menyerap debu

akibat dibawa angin ,ataupun karena aliran tanah dapat menyebabkan bakteri

patogen dari penyimpanan tinja yang ada didekatnya. Di lain pihak air sumur

dalam yang sudah mengalami perjalanan panjang adalah air yang jauh lebih

murni, dan padda umumnya dapat diminum, namun memerlukan pemeriksaan

laboratorium untuk memastikan kualitasnya. Keburukan dari pemakaian sumur

dalam ini ialah apabila ia terlalu banyak akan menimbulkan instrusi air asin

dan air laut yang membuat sumber air jadi asin untuk kota-kota pantai.

d) Sungai merupakan salah satu sumber air yang terus dimanfaatkan manusia

dari dulu hingga sekarang. Daerah perkotaan juga membutuhkan sungai

sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan penduduknya akan air. Hal

tersebut terlihat dari ungkapan Sadyohutomo (2008) bahwa, “kebutuhan air

bersih diperkotaan perlu ditangani secara massal dalam bentuk penyediaan

(37)

22

bentuk perusahaan daerah yang disebut PDAM (Perusahaan Daearah Air

Minum). Sumber air baku PDAM sebagian besar mengandalkan air sungai”.

Mengingat besarnya peran air sebagai kebutuhan pokok manusia, maka

keberadaan sungai sebagai indikator ketersediaan sumber air dan pemasok

kebutuhan manusia pada air pada suatu daerah dimana manusia berada harus

termasuk sebagai hal yang menjadi pertimbangan utama untuk penentuan

lokasi pusat aktivitas manusia. Besarnya sungai sebagai pemasok air dapat

dilihat dari indeks sungai melalui orde-orde yang membentuk sungai tersebut.

3. Topografi

Daerah yang akan dijadikan kota sebagai pusat pengembangan wilayah

haruslah memiliki topografi yang baik agar kota tersebut nantinya dapat

berkembang dengan baik pula sebagaimana fungsinya sebagai pusat

pengembangan wilayah yang akan diharapkan mampu memberikan pengaruh

terhadap wilayah yang dimaksud. Hail ini sejalan dengan perenyataan yang

diungkapkan oleh Bintarto (1989) tentang topografi kota, dimana “sebuah kota

mempunyai relief datar akan mempunyai jaringan jalan yang padat, sehingga

perkembangan kotanya diharapkan berkembang secara cepat”.

Berkenaan dengan topografi sandy (dalam Ritonga: 2003)

mengklasifikasikan ada empat jenis relief berdasarkan kemiringannya, yaitu :

a. Kemiringan 0%-2%

b. Kemiringan 2%-15%

c. Kemiringan 15%-40%

(38)

23

Akbar (skripsi 2008: ) dalam penelitiannya tentang Potensi Kabupaten

Batu Bara Dalam Penentuan Ibukota Kabupaten nenjelaskan bahwa

berdasarkan pada letak wilayah administrasi Kecamatan Babalan memiliki

keadaan topografi relatif datar dengan ketinggian antara 0 – 5 meter diatas

permukaan laut (dpl) dan kemiringan antara 0º - 3º. Dengan demikian, wilayah

kecamatan Babalan termasuk wilayah pesisir yang dipengaruhi pasang surut air

laut, sehingga sebagian besar air bersifat payau.

Berdasarkan klasifikasi diatas, (dalam Restu Jaya Duha & Noniawati

Telaumbanua) dijelaskan bahwa kondisi alam/topografi Kabupaten Nias

berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya diatas permukaan

laut bervariasi antara 0-800 m, terdiri dari :

a. Dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 24%,

b. Dari tanah bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8%

c. Dari berbukit sampai pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas daratan

Dengan kondisi Topografi yang demikian berakibat sulit membuat

jalan-jalan lurus dan lebar. Oleh karena itu kota-kota utama terletak di tepi pantai.

Aspek relief/topografi menjadi salah satu aspek yang merupakan potensi yang

harus dipertimbangkan dalam penetuan suatu kota . Kondisi topografi yang

cenderung datar akan lebih baik dalam hal pembangunan perkotaan dan juga

(39)

24

d. Potensi Nonfisik

a. Sumberdaya Manusia

1. Jumlah Penduduk

Banyak negara telah mendefinisikan sesuatu wilayahnya sebagi kota

dengan mendasar jumlah penduduknya semata.Kondisi setempat dengan latar

belakang sosial, ekonomi dan kultural telah memungkinkan munculnya

fungsi-fungsi kekotaan atas sejumlah aglomerasi penduduk minimal. Negara satu

berbeda dengan negara lain dalam hal menentukan jumlah penduduk minimal

sebagai dasar identifikasi kotanya sebagai dasar jumlah penduduk.

Yunus (2005) memaparkan beberapa versi jumlah penduduk minimal

daerah kota di Indonesia:

1. Menurut UU.1984/22 (Staatvorming Ordonantie/SVO, Staatsblad

22/1984):

Kota kecil : Kurang dari 100000

Kota Otonom (Kotapraja) : sekitar 100000

Kota besar : lebih dari 100000

2. UU 1957/1 Kotapraja minimal 50000

3. Balai Planologi Bandung (Menurut Prof.Hadinoto)

Kota berpenduduk minimal 400000

Kepadatan minimal 125/km persegi

Diameter permukiman minimal 6-7 km

4. UU 1965/18

(40)

25

Kotamadya : >75000 – 100000

Kotaraya : >100000

Sementara itu, Dirjen Cipta Karya PU (dalam Tarigan: 2005)

menetapkan “jumlah penduduk ibukota kabupaten minimal 10.000 jiwa”.

“Alasan utama yang muncul mengapa jumlah penduduk minimal ini adalah

adanya kenyataan bahwa sejumlah penduduk yang terkonsentrasi pada sesuatu

tempat tersebut telah mampu mengakibatkan muncul dan tumbuhnya

funsi-fungsi tertentu sebagaimana layaknya sebuah kota”, Yunus (2005)

2. Tenaga Kerja

Banyaknya jumlah penduduk di suatu wilayah tidak selalu menjadi

potensi murni dari aspek penduduk yang dapat menunjang kemajuan wilayah

tersebut, karena ada kalanya penduduk menjadi beban dalam pembangunan .

Hal ini terkait jumlah penduduk yang banyak dengan pendapatan wilayah

tersebut dalam perhitungan perkapitanya dimana pendapatan negara atau suatu

daerah dibagi jumlah penduduk di negara atau di daerah tersebut.

Payaman (dalam akbar: 2008) menyatakan bahwa “Sumberdaya manusia

(SDM) mengandung pengertian usaha kerja untuk dapat diberikan dalam

proses produksi atau men yangkut manusia yang mampu bekerja untuk

memberikan jasa atau usaha kerja tersebut”. Artinya, penduduk yang dikatakan

sebagai potensi SDM adalah yang produktif dalam artian mampu bekerja

(tenaga kerja) atau bukan penduduk yang tidak mampu bekerja.

Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja.

(41)

26

kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara

dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja.

Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia

kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64

tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut

sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga

kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan

di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena

anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja.

Kasto (dalalm Sugiharto: 2006) menyatakan : Tenaga kerja (manpower)

terdiri dari angkatan kerja (labour force) dan bukan angkatan kerja. Angkatan

kerja terdiri dari golongan yang bekerja dan yang menganggur atau potensi

kerja. Kelompok bukan abngkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah ,

mengurus rumah tangga dan golongan lain atau penerima pendapatan .

Golongan bukan angkatan kerja ini sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya

untuk bekerja.

Penduduk produktif (tenaga kerja ) sebagai sebuah potensi dapa ditinjau

dari sisi usia. “Para demograf saat ini mengelompokkan penduduk usia kerja

antara 15-64 tahun”, Daldjoeni ( dalam akbar: 2008). Jadi sebuah daerah dapat

dikatakan lebih maju jika daerah tersebut lebih banyak memiliki jumlah

(42)

27

3. Mata Pencaharian

Kota merupakan tempat berkumpulnya masyarakat dengan berbagai

aktivitas. Jumlah penduduk di kota lebih padat. Akibatnya, lahan di kota

bernilai ekonomis lebih tinggi. Berdasarkan fungsinya, kota dan penggunaan

lahannya diklasifikasikan seperti berikut :

a) Pusat pemerintahan: lahan digunakan untuk bangunan kantor-kantor

pemerintahan mulai dari tingkat kelurahan sampai kantor presiden

b) Pusat perdagangan: lahan digunakan untuk bangunan pasar-pasar, mulai

dari pasar tradisional sampai pusat-pusat pertokoan dan mal.

c) Pusat perindustrian: lahan digunakan untuk pabrik, gudang, dll.

d) Pusat pendidikan: lahan digunakan untuk bangunan sekolah, mulai dari

TK sampai perguruan tinggi, lengkap dengan sarana olahraga, dll.

e) Pusat kesehatan: lahan digunakan untuk bangunan rumah sakit,

puskesmas, laboratorium, dll.

f) Pusat rekreasi: lahan digunakan untuk sarana rekreasi.

g) Pusat pertahanan dan keamanan negara: lahan digunakan untuk markas

tentara dan polisi dan semua yang terkait dengan aktivitasnya.

Hal ini menjadikan kota sebagai pusat aktivitas manusia yang

menyediakan banyak lapangan pekerjaan (heterogen). Mata pencaharian yang

bersifat heterogen sekaligus menjadi ciri khas masyarakat kota yang

membedakannya dengan masyarakat pedesaan yang lebih homogen.

Kota sebagai lingkungan kehidupan perkotaan mempunyai ciri non

(43)

28

agraris. Pramudji ( dalam Sinulingga: 1999) menetapkan “50% sebagai mata

pencaharian penduduk kota yang non agraris”. Sementara itu pada sensus 1990

BPS (dalam Yunus: 2005) menetapkan “persentase rumah tangga pertanian

sama atau lebih kecil dari 25%”.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa daerah yang lebih

maju yang dikenal sebagai daerah perkotaan adalah daerah yang mana jenis

pekerjaan masyarakatnya lebih bersifat heterogen dan hanya sedikit yang

bergerak dibidang pertanian.

b. Aksesibilitas

Daerah yang dimaksud untuk daerah kota atau daerah pusat dari suatu

wilayah haruslah memiliki keunggulan dalam potensi. Tarigan (2005)

menyatakan bahwa, “salah satu faktor yang bisa membuat wilayah memiliki

keunggulan komperatif adalah aksesibilitas yang tinggi”.

Aksesibilitas yang baik ini akan menciptakan suatu hubungan yang baik

antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Kota atau daerah pusat akan

memerlukan suplay sum berdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup

masyarakatnya. Demikian pula dengan masyarakat sekitarnya tersebut

memerlukan kota atau daerah pusat sebagai pasar untuk pemasaran hasil-hasil

daerah mereka. Hubungan yang baik ini dalam memenuhi kebutuhan hidup

mereka dapat dilihat dari keberadaan tingkat aksesibilitas yang

menghubungkan daerah kota atau pusat dengan daerah sekitarnya tersebut .

Tarigan (2005) mengatakan tingkat aksesibilitas adalah kemudahan kota

(44)

29

kemudahan mencapai wilayah lain yang berdekatan bagi masyarakat yang

tinggal di kota tersebut. Ada berbagai unsur yang mempengaruhi tingkat

aksesibilitas , misalnya kondisi jalan , jenis alat angkutan yang tersedia ,

frekuensi keberangkatan dan jarak .

Tingkat aksesibilitas dapat dilihat dari keberadaan jalan yang dapat

dinilai dari panjang jalan berdasarkan jenis jalan dan kontursi permukaan atau

kondisi jalan .Kemudian tingkat aksesibilitas juga dapat dinilai dari indeks

jalan . Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1996 tentang jalan ,

jenis jalan dibagi kepada tiga yaitu :

a. Jalan nasional yang menghubungkan antara ibukota provinsi.

b. Jalan provinsi yaitu jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten.

c. Jalan kabupaten yang bersifat lokal primer

Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah Kabupaten Nias (BPS : 2000)

mengelompokkan panjang jalan menurut konstruksi permukaan atau kondisi

jalan , yaitu :

a. Aspal/Hotmix ( asphalted )

b. Batu/kerikil ( Gravel )

c. Tanah/Earth

d. Tidak Diperinci

Jaringan jalan tidak hanya mempunyai peranan penting dalam kelancaran

aksesibilitas di kota, tetapi juga terpenting dalam membentuk tata ruang kota .

(45)

30

transportasi kota ialah kekurangan jaringan jalan, sedangkan tata ruang kota

dapat berkembang menjadi dinamis karena jaringan jalan.

Sinulingga ( 1999 ) menjelaskan: “Ditinjau dari fungsi kota terhadap

wilayah pengembangannya maka sistem jaringan jalan kota ada dua macam

yaitu sistem primer yaitu jaringan jalan yang berkaitan dengan hubungan antar

kota. Di dalam kota sistem primer ini akan berhubungan dengan fungsi-fungsi

kota yang bersifat regional, seperti kawasan industri , kawasan pergudangan,

kawasan perdagangan grosir dan pelabuhan. Di samping sistem primer, di

dalam kota dikenal juga sistem sekunder yaitu jaringan jalan yang berkaitan

dengan pergerakan lalu lintas bersifat dalam kota saja”.

Tidak hanya terfokus pada jaringan jalan, kualitas jalan juga sangat

mempengaruhi kenyamanan dalam aktivitas transportasi. Buruknya kualitas

jalan bisa mengakibatkan terhambatnya aktivitas penduduk. Sadyohutomo

(2008) mengklasifikasikan jalan umum menurut kualitasnya sebagai berikut:

a. Jalan bebas hambatan ( free way/highway ), yaitu jalan raya yang akses

keluar masuknya sangat dibatasi dan tidak ada persimpangan jalan, kecuali

dengan lintasan dibawah dan diatasnya (fly over). Jalan ini khusus untuk

kendaraan dengan kecepatan tinggi (antara 60-100 km/jam).

b. Jalan raya biasa, yaitu semua jalan raya yang diperkeras dengan (aspal,

beton) dan bukan jalan bebas hambatan.

c. Jalan batu, yaitu jalan raya yang diperkeras dengan batu. Jalan ini banyak

(46)

31

d. Jalan tanah, yaitu jalan umum yang belum diperkeras. Jalan ini banyak

ditemui pada daerah pedesaan.

e. Jalan setapak, yaitu jalan sempit yang hanya dapat dilalui dengan berjalan

kaki. Jalan ini banyak ditemui pada daerah terpencil dan jarang penduduknya,

yaitu jalan ditengah hutan yang menghubungkan antar perkampungan atau

jalan menuju ke areal perdagangan.

Kondisi jalan yang bagus mencirikan daerah perkotaan. Semakin bagus

kondisi jalan di suatu kota maka semakin bagus pula akses jalan menuju kota

tersebut. Sehingga, aktivitas perekonomian penduduk tidak terhambat dan

dapat mengurangi tingkat kmecelakaan lalu lintas.

c. Fasilitas Umum

1. Fasilitas Perekonomian

Fasilitas perekonomian ini meliputi pasar dan toko. Pasar merupakn

tempat jual beli atau pusat perdagangan dimana masyarakat dapatr memperoleh

kebutuhan hidupnya. Sementara keberadaan pertokoan akan membuat areal

kegiatan ekonomi semakain semarak.

Keberadaan pasar dan pertokoan juga akan lebih mencirikan suatu

wilayah menjadi daerah yang majau sebagai daerah perkotaan. Koestoer (2011)

menyatakan, “salah satu yang dapat mencirikan apakah suatu wilayah

merupakan daerah perkotaan adalah konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi

yang terdiri dari pasar dan pertokoan”.

“Untuk mengukur daya tarik pasar dapat didasar atas luas pasar (m2 )

(47)

32

daya tarik pertokoan dapat didasarkan atas luas pertokoan ataupun jumlah

toko”Tarigan (2005)

Sementara itu Sinulingga (1999) menjelaskan, “apabila penduduk

sudah mencapai 2.500 jiwa maka sudah diperlukan fasilitas perbelanjaan ± 6

buah toko. Untuk lingkungan dengan penduduk 30.000 jiwa sudah diperlukan

kompleks yang mungkin dilengkapi dengan super market yang setara dengan ±

60 toko yang menjual berbagai komoditi perdagangan”.

Keberadaan pasar dan pertokoan pada suatu daerah akan lebih

mempercepat perkembangan daerah tersebut. Kemudahan untuk mendapatkan

kebutuhan sehari-hari dapat pula menjadi daya tarik bagi masyarakat daerah

lain untuk mendapatkan barang-barang pemenuhan kebutuhan hidupnya.

2. Fasilitas Pendidikan

“Fasilitas pendidikan ialah fasilitas untuk memperoleh pendidikan

bagi penduduk sebuah lingkungan yang dapat terdiri dari Sekolah Taman

Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, atau Sekolah

Menengah Atas”, Sinulingga (1999). Fasilitas pendidikan ini merupakan faktor

penunjang untuk pembangunan manusia. Fasilitas pendidikan yang baik

merupakan suatu indikator bagi kualitas manusia di daerah tersebut. Selain itu

pula keberadaan fasilitas pendidikan merupakan salah satu daya tarik bagi

masyarakat daerah sekitarnya untuk datang ke wilayah tersebut, baik engan

maksud belajar maupun alasan lain yang berhubungan dengann pendidikan.

Fasilitas pendidikan sangat beragam. Dari sudut jenjang pengajaran

(48)

33

(SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), program diploma atau

politeknik dan universitas/institut dimana ada program S-1,S-2, dan S-3,

Tarigan (2005).

Mengenai fasilitas pendidikan, Sinulingga (1999) menjelaskan bahwa

“pengadaan fasilitas pendidikan ini tergantung pada jumlah penduduk yang

dilayani ,misalnya apabila di suatu daerah penduduknya ada 1000 orang

membutuhkan 1 buah taman kanak-kanak, sedangkan untuk penduduk 1600

orang sudah memerlukan 1 buah SD. Pembangunan SMP dan SMA sudah

dibutuhkan untuk melayani penduduk 6000 jiwa”.

3. Fasilitas Kesehatan

Keberadaan fasilitas kesehatan di suatu daerah merupakan salah satu

indikator kualitas kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Kemudian hal ini

juga merupakan daya tarik bagi masyarakat luar datang ke daerah tersebut

untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Berdasarkan Undang-Undang No.9 tahun 1960 tentang pokok-pokok

kesehatan, maka “usaha pelayanan kesehatan adalah merupakan kewajiban dari

pemerintah, swasta dan masyarakat luas”.Pemerintah telah memperluas

jaringan kesehatan sampai tingkat kecamatan. Dengan didirikannya puskesmas

dan puskesmas pembantu dimaksudkan agar daerah terpencil dari kabupaten

dapat memperoleh pelayanan kesehatan secukupnya.

Fasilitas kesehatan cukup beragam. Ada praktik mantri/bidan, praktik

dokter umum, praktik dokter spesialis, puskesmas pembantu, puskesmas tanpa

(49)

34

B, dan rumah sakit tipe A . Selain itu ada rumah sakit khusus misalnya

kebidanan, paru, mata, jantung, dan lain-lain, Tarigan (2005).

Sinulingga (1999) menjelaskan, untuk lingkungan pemukiman yang

berpenduduk 6000 jiwa diperlukan 1 buah puskesmas pembantu. Apabila

lingkungan sudah berpenduduk 30.000 jiwa, disamping ada 5 buah puskesmas

pembantu, juga perlu dibangun 1 buah puskesmas . sedangkan rumah bersalin

sudah diperlukan apabuila penduduk sudah berjumlah 10.000 jiwa dengan

tambahan fasilitas apotek.

6. Penetapan Ibukota

Penentuan suatu wilayah untuk menjadi sebuah ibukota atau kota harus

dikaji dari berbagai segi. Mengartikan sebuah kota dapat menjadi langkah awal

untuk menilai apakah sebuah wilayah sudah menjadi kawasan kota atau masih

merupakan kawasan yang mengarah menjadi kota. Kajian tentang kota sendiri

memiliki beberapa perbedaan jika ditinjau dari beberapa sudut pandang ilmu,

diantaranya dari ilmu ekonomi, ekologi, kependudukan, transportasi ataupun

geografi. Kajian ilmu geografi mengenai kota ditekankan kepada aspek keruangan

kota, seperti yang diungkapkan

B. Penelitian Relevan

Suasatyo (2009), penelitian yang berjudul : dampak pemindahan ibukota

kabupaten Pekalongan dari Kota Pekalonngan ke Kajen terhadap pertumbuhan

ekonomi Kabupaten Pekalongan menggunakan metode deskriptif meliputi data

PDRB Kabupaten Pekalongan serta pendapatan perkapita dan jumlah penduduk

(50)

35

positif pada pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan pada

masing-masing kecamatan, meskipun juga menimbulkan dampak negative yang juga perlu

diperhatikan.

Penelitian Haris (2005), penelitian yang berjudul : evaluasi kriteria

lingkungan dalam pemilihan Ibukota Baru: studi kasus pemindahan Ibukota Kab

upaten Bima menggunakan metode skala guttman dan Likert, penelitian

menunjukkan penilaian dari segi kependudukan, segi kelengkapan fasilitas dan

tingkat aksesibilitas antar wilayah perencanaan, menyimpulkan: a) berdasarkan

kriteria umum pemilihan lokasi ibukota kabupaten Bima Kecamatan Woha

memiliki nilai tertinggi. Dengan demikian Kecamatan Woha dipilih sebagai lokasi

ibukota baru Kabupaten Bima, b) berdasarkan kriteria lingkungan alami dan

lingkungan social Kecamatan Bolo memiliki nilai tertinggi sedangkan

berdasarkan lingkungan binaan Kecamatan Boha memiliki nilai tertinggi, c)

kriteria umum yang digunakan dalam pemilihan ibukota baru tidak mencerminkan

dan mempertimbangkan kriteria lingkungan secara komprehensif, d) ibukota

terpilih yang dikaji berdasarkan kriteria umum tidak memenuhi syarat lingkungan

khususnya aspek daya dukung dan daya tamping lingkungan.

Selanjutnya penelitian Irmalashari (2007), penelitian yang berjudul :

persepsi masyarakat terhadap rencana pemindahan ibukota Kabupaten Bima dan

implikasinya pada pengelolaan lingkungan menggunakan uji anova serta korelasi

statistik, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pada karakteristik sosial

ekonomi masyarakat di lokasi pusat, terdekat dan terjauh. Pengetahuan

Referensi

Dokumen terkait

Di samping itu, negara juga didirikan untuk melindungi manusia dari kesewenangan-kesewenangan satu orang atau golongan dan kekuasaan memaksa agar peraturan-peraturan yang

serial konfigurasi yang berfungsi sebagai komunikasi serial antara software dengan Arduino Mega, bagian tampilan tekanan dan kedalaman berfungsi menampilkan hasil

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media yang layak digunakan dalam proses pembelajaran dan sekaligus mampu untuk meningkatkan hasil belajar psikomotor peserta didik

Pola Gotong Royong Dan Model Revitalisasinya Pada Masyarakat Batak Toba.Medan : Lembaga Penelitian Universitas Sumatera

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pengetahuan dengan kesiapan ibu dalam menghadapi menopause di Dusun Krandon Malangan Sumberagung Moyudan

Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat disarankan sebagai berikut: Usahatani jagung di Kabupaten Grobogan memiliki daya saing, untuk mendapatkan penerimaan tambahan hasil

Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Objek yang menjadi bahan penelitian yaitu siswa kelas X-F SMA Laboratorium Percontohan UPI

Kepada peserta pelelangan yang akan mengajukan sanggahan diberikan waktu selama 3 (tiga) hari kerja terhitung tanggal 9 Oktober 2014 sampai dengan 13 Oktober 2014. Demikian