1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu kekayaan alam bangsa Indonesia yang menjadi aset berharga dalam mendatangkan devisa bagi negara, sehingga dapat memberi kontribusi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan nasional secara berkesinambungan. Keadaan hutan alam yang sudah sangat memprihatinkan, membuat hutan alam tersebut tidak dapat terus menerus dieksploitasi. Namun di pihak lain tuntutan pasar akan kebutuhan kayu semakin meningkat setiap tahunnya. Industri kayu di Indonesia saat ini banyak mengalami kekurangan bahan baku, karena pasokan bahan baku terutama dari hutan alam terus menurun.
Kebutuhan bahan baku berupa kayu pada tahun 2010 sekitar 40 juta m3 (Nurrochmat 2010). Namun berdasarkan surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK. 235/IV-BPHA/2009, tentang Penetapan Jatah Produksi Kayu Bulat Nasional Periode Tahun 2010 yang berasal dari hutan alam sebesar 9,1 juta m3. Kesulitan yang dialami industri dalam memenuhi bahan baku menjadi salah satu pemicu maraknya penebangan dan perdagangan kayu secara illegal (tidak memiliki ijin) di Indonesia. Dampak negatif dari kondisi ini antara lain tutupnya perusahaan-perusahaan pengolahan kayu, rusaknya hutan beserta ekosistem di dalamnya dan makin besarnya tekanan dunia internasional terhadap manajemen hutan dan produk hasil hutan dari Indonesia.
Usaha untuk menanggulangi atau paling tidak mengurangi berbagai permasalahan mengenai kekurangan pasokan bahan baku industri ini, salah satunya adalah dengan pemanfaatan kayu dari sumber-sumber lainnya seperti dari hutan rakyat. Keberadaan hutan rakyat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Pembangunan hutan dan peningkatan kembali peran ekonomi dari hutan dapat diusahakan dalam peningkatan hutan rakyat baik secara mandiri atau dibantu pihak luar khususnya pemerintah. Pembangunan ini dapat dilakukan secara mandiri apabila masyarakat sendiri yang merasakan dan menganggap kegiatan tersebut bermanfaat. Pembangunan hutan rakyat sudah semakin menampakkan perannya dalam menghasilkan pasokan bahan baku dalam
2
memenuhi kebutuhan industri perkayuan bangsa. Semakin bermanfaat sesuatu maka semakin giat dan semakin masyarakat bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pemeliharaan dan mempertahankannya. Manfaat tersebut diantaranya dapat dilihat dari dua faktor yaitu kelayakan usaha yang berkaitan dengan harga produk atau harga pasar produknya serta kesesuaian sebagai sumber penghasilan dengan kebutuhan dana dari keluarga yang bersangkutan.
Jati merupakan tanaman yang banyak ditanam dihutan rakyat Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang. Hal ini disebabkan kayu jati merupakan kayu komersial yang memiliki nilai jual tinggi, sehingga nantinya dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan rakyat dapat dianggap penting walaupun jumlahnya tidak besar apabila dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga yang bersangkutan baik dari segi waktu dan jumlah. Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) selaku unit usaha dibawah binaan Departemen Kehutanan, yang bergerak di bidang usahatani Jati Unggul Nusantara dengan sistem kemitraan. Sistem kemitraan yang dilakukan UBH- KPWN merupakan bagian dari proses berlangsungnya usahatani tersebut. Selain itu, UBH-KPWN juga menerapkan pola bagi hasil kepada para mitra usahanya (pemilik lahan, petani penggarap, investor dan pemerintah desa).
1.2. Perumusan Masalah
Kayu jati (Tectona grandis) merupakan salah satu komoditas hasil hutan yang memiliki nilai ekonomis yang bernilai tinggi namun memiliki kelemahan yaitu umur tanam yang relatif lama, bahkan dapat mencapai delapan puluh tahun.
Disisi lain, kayu jati merupakan salah satu bahan baku industri perkayuan yang populer karena berbagai keunggulannya.
Kayu jati memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan baku pembuat rumah dan mebel. Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga apabila tiang dan papan bangunan rumah serta perabotannya terbuat dari kayu jati. Selain itu, berbagai konstruksi pun terbuat dari kayu jati seperti bantalan rel kereta api, tiang jembatan, balok dan gelagar rumah, serta kusen pintu dan jendela. Pada industri kayu lapis, jati digunakan sebagai vinir muka karena memiliki serat gambar yang indah. Pada industri perkapalan, kayu jati sangat cocok dipakai
3
untuk papan kapal yang beroperasi di daerah tropis. Namun, beberapa tahun belakangan ini, kayu jati lebih banyak digunakan untuk bahan baku perumahan dan mebel.
Meskipun pada akhir-akhir ini trend penggunaan kayu lain sebagai bahan baku perumahan dan mebel mulai meningkat, namun jati masih tetap menjadi pilihan utama. Beberapa jenis kayu lain yang banyak digunakan sebagai bahan baku perumahan dan mebel adalah kayu sengon laut dan kayu kamper. Kedua jenis kayu ini memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding dengan jati.
Namun, jika dilihat dari kualitas dan keawetan, kedua jenis kayu ini masih kalah dibandingkan dengan jati.
Jati Unggul Nusantara (JUN) adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Jati Plus Perhutani ini diinduksi perakarannya menjadi akar tunggang majemuk, sehingga perakarannya menjadi kokoh dan batang cepat besar namun tidak mudah roboh (UBH-KPWN 2009). Salah satu hal yang menjadi pembeda antara JUN dengan jati unggul lainnya, seperti Jati Emas adalah pelaku budidayanya. Jati Emas dikembangkan oleh Thailand, sehingga jika dilihat dari kesesuaian dengan agroklimat atau tempat tumbuh dengan iklim di Indonesia perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu. Sedangkan JUN merupakan hasil seleksi yang dilakukan di Indonesia, sehingga secara agroklimat sudah sesuai dengan kondisi di Indonesia. Meskipun dikembangkan oleh pihak yang berbeda, namun pengembangan bibit jati unggul ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menghasilkan jati dalam umur yang tidak terlalu lama.
Penggunaan teknik budidaya jati unggul ini dapat memperpendek umur panen, sehingga masa panen dapat lebih cepat. Masa panen yang relatif cepat ini diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan kayu jati saja, tetapi juga dapat menarik pemilik modal untuk berinvestasi pada sektor kehutanan khususnya tanaman jati.
Dalam rangka menunjang pengembangan budidaya jati unggul, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar dapat memenuhi permintaan jati secara berkesinambungan. Salah satu pelaku
4
usaha budidaya jati unggul yang memiliki sistem usaha yang terpadu adalah Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara KPWN.
Tanaman Jati Unggul Nusantara yang dibudidayakan oleh Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) dapat dipanen pada tahun ke lima dengan kualitas hasil yang baik pula. Selain itu, UBH- KPWN menerapkan pola bagi hasil kepada para mitra usahanya (pemilik lahan, petani penggarap, investor, pemerintah desa).
Adapun peran masing-masing mitra usaha dan persentase bagi hasil yang diterapkan UBH-KPWN kepada mitra usahanya tersebut yaitu:
1. Peran UBH-KPWN dalam investasi JUN yaitu UBH-KPWN selaku fasilitator, bertanggungjawab mencari lokasi tanaman, kerjasama dengan pemilik lahan, petani penggarap, dan pemerintah desa, mencari investor, menempatkan tenaga pendamping untuk melakukan pendampingan kepada petani penggarap agar mempunyai kemauan dan kemampuan melaksanakan usahatani JUN pola bagi hasil secara baik dan benar.
Disamping itu UBH-KPWN juga bertanggungjawab memasarkan hasil panen dengan harga yang layak dipasaran, serta melakukan pembagian hasil panen sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian dengan investor, pemilik lahan, petani penggarap, dan pemerintah desa. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh UBH-KPWN yaitu sebesar 15%.
2. Peran pemilik lahan dalam investasi JUN yaitu kontribusi pemilik lahan sebatas mengijinkan lahannya untuk ditanami jati JUN dengan jarak tanam 2 m x 5 m, dalam jangka waktu kerjasama 5 tahun. Dengan jarak tanam tersebut, pemilik lahan masih punya peluang untuk menanam tanaman tumpangsari diantara tanaman jati JUN. Apabila pengerjaan lahan oleh orang lain (petani penggarap), maka bagian hasil dari tumpangsari masih dapat diperoleh pemilik lahan dari petani penggarap. Berdasarkan pengalaman, para pemilik lahan pada umumnya juga petani penggarap.
Tetapi ada juga pemilik lahan bukan merangkap sebagai petani penggarap melainkan merangkap sebagai investor. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh pemilik lahan yaitu sebesar 10%.
5
3. Peran petani dalam investasi JUN adalah sebagai ujung tombak yang paling menentukan keberhasilan usahatani JUN pola bagi hasil.
Penanaman, pemupukan tepat waktu dan ukuran, serta perawatan intensif terhadap JUN, sangat tergantung pada kinerja petani. Agar para petani mempunyai kemampuan yang handal dalam mengurus tanaman JUN, maka pihak UBH-KPWN menempatkan tenaga pendamping di pedesaan.
Tugas utama para tenaga pendamping adalah untuk memberikan bimbingan, pelatihan, dan pembinaan kepada petani agar mau dan mampu melaksanakan usahatani JUN secara baik dan benar. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh petani yaitu sebesar 25%.
4. Peran investor dalam investasi JUN yaitu menanamkan investasinya ke UBH-KPWN sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) per pohon untuk pembiayaan selama 5 (lima) tahun. Minimal investasi jati 100 pohon atau senilai Rp 60.000.000,- Pembayaran langsung ke rekening UBH- KPWN dilakukan setelah tanaman berumur 4 empat bulan, sehingga para investor dapat mengetahui lokasi tanaman, petani penggarap, dan tenaga pendamping yang berada di lapangan. Bagian hasil panen yang didapat investor sebesar 40 % (empat puluh persen) dari jumlah pohon yang ditanam.
5. Peran desa dalam hal ini pamong desa atau perangkat desa adalah untuk membuktikan keabsahan pemilikan lahan yang akan ditanami JUN.
Hal ini untuk menghindari terjadinya pengakuan kepemilikan lahan oleh orang yang tidak berhak, karena pemilik yang sebenarnya bertempat tinggal jauh dari lahan tersebut. Disamping itu pamong desa juga berperan dalam menggerakkan masyarakat calon peserta, mengawasi jalannya kerjasama tersebut, dan turut serta mengamankan tanaman JUN dari gangguan, pencurian, kebakaran atau gangguan ternak dan manusia. Adapun persentase bagi hasil yang diperoleh pemerintah desa yaitu sebesar 10%.
Kemitraan yang dilakukan UBH-KPWN dengan berbagai pihak merupakan bentuk kemitraan jangka menengah dengan perjanjian tertulis. Sistem kemitraan antara UBH-KPWN, pemilik lahan, petani penggarap, investor dan
6
pemerintah desa menarik untuk dikaji, karena usaha ini baru dilaksanakan selama tiga tahun, terutama terhadap kelayakan usahanya. Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk di analisis secara lebih jelas, yaitu:
1. Bagaimana analisis usaha hutan rakyat dalam pola bagi hasil?
2. Bagaimana berbagi biaya (cost sharing) dari masing-masing mitra (UBH- KPWN, pemilik lahan, investor, pemerintah desa dan petani)?
3. Bagaimana tingkat hubungan kemitraan yang dilakukan UBH-KPWN, pemilik lahan, investor uang, pemerintah desa dengan petani?
1.3. Kerangka Pemikiran
Jati Unggul Nusantara (JUN) dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir. Tanaman ini memiliki keunggulan masa panen yang relatif singkat 5-20 tahun namun tetap menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama dengan kayu jati konvensional. Dalam rangka menunjang pengembangan usaha budidaya JUN, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar dapat memenuhi permintaan jati secara berkesinambungan.
Salah satu lembaga yang melakukan usaha budidaya JUN secara terpadu adalah Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara KPWN (UBH-KPWN). Usaha ini telah berdiri selama tiga tahun, namun rencana usaha jangka menengah telah dipersiapkan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan usaha adalah kontinuitas. Upaya untuk menjaga kontinuitas usaha dapat dilakukan dengan menjalin kemitraan, baik kemitraan dengan pemilik lahan, investor, pemerintah desa maupun petani. Oleh karena itu, identifikasi kemitraan antar subsistem agribisnis JUN yang dilaksanakan oleh UBH-KPWN menjadi salah satu hal yang menarik untuk di kaji. Identifikasi ini dilakukan secara deskriptif berdasarkan kondisi di lapang serta informasi melalui data sekunder.
Sistem bagi hasil yang diterapkan UBH-KPWN menjadi salah satu keunikan sistem usaha yang dilaksanakan. Namun, karena usaha ini baru berjalan tiga tahun, maka kelayakan dari usaha ini masih memerlukan pengkajian.
Kelayakan yang dilihat tidak hanya secara hubungan/pola kemitraan melainkan juga kelayakan cost sharing. Bila usaha tersebut layak, maka usaha tersebut dapat terus dilaksanakan dan dikembangkan, namun bila sebaliknya, usaha tersebut
7
membutuhkan pengefisiensian biaya. Kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 1.
Keterangan :
= Lingkup Penelitian --- = Peran Mitra Usaha
Gambar 1 Kerangka pemikiran Usahatani Jati Unggul Nusantara
UBH-KPWN
Investor
Pemilik lahan Pemerintah desa Petani
Lahan Modal Fasilitasi
Status, Mengawasi,
Keamanan Tenaga
Pola Kemitraan dan Analisis Cost Sharing
8
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan sistem pengelolaan hutan rakyat pola kemitraan di lokasi penelitian.
2. Menganalisis tingkat hubungan kemitraan antara petani penggarap dengan UBH-KPWN.
3. Menganalisis cost sharing dari pola bagi hasil usahatani Jati Unggul Nusantara (JUN).
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat memberikan informasi ataupun gambaran tentang pola kemitraan di suatu daerah sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan terkait kebijakan kehutanan.
2. Dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun penelitian serupa lainnya.
3. Dapat memberikan solusi atau kontribusi dalam pemecahan masalah yang terkait dengan masalah-masalah kemitraan.