BAB II
PROSEDUR HUKUM PENDAFTARAN AKTA FIDUSIA SECARA ELEKTRONIK YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS SETELAH
TERBITNYA PERMENKUMHAM NOMOR 9 TAHUN 2013
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Fidusia 1. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia berasal dari kata “fiduciair” yang berarti ‘secara kepercayaan’, ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara timbal balik oleh suatu pihak kepada pihak yang lain bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya ke dalam (intern) hanya suatu jaminan saja untuk utang.
49Pengertian ini mengandung arti bahwa yang terjadi adalah hanya pengalihan kepemilikan atas benda yang didasari oleh kepercayaan mengingat benda itu tidak diserahkan kepada kreditur melainkan tetap dipegang debitur. Namun demikian dengan adanya pengalihan ini, status benda itu hak miliknya adalah berada di tangan kreditur, bukan lagi ditangan debitur meskipun debitur menguasai benda itu. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka posisi benda menjadi benda dengan jaminan fidusia.
Fidusia merupakan lembaga jaminan yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi yang berakar dari hukum kebiasaan, dan telah menjadi yurisprudensi serta sekarang ini diformalkan dalam undang-undang. Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan
49
Bambang Riswanto, Sejarah dan Pengertian Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hal. 15
perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law. Ketika hukum Romawi diresepsi oleh hukum Belanda, lembaga fidusia tidak turut diambil alih, oleh karena itu tidak mengherankan bahwa fidusia sebagai lembaga jaminan tidak terdapat dalam Burgelijk Wetboek (BW). Dengan berkembangnya gadai dan hipotik, lembaga fidusia
yang berasal dari Romawi ini tidak popular dan tidak digemari lagi hilang dari lalu lintas perkreditan.
50Namun demikian setelah sekian lama praktek jaminan fidusia tidak lagi digunakan, pada abad ke-19 di Eropa terjadi kelesuan ekonomi akibat kemerosotan hasil panen, sehingga semua perusahaan-perusahaan pertanian membutuhkan modal, sementara lembaga hipotik tidak dapat diandalkan sebab para petani mempunyai luas tanah yang sangat terbatas untuk dapat dijadikan jaminan hutang. Disisi lain agar petani dapat mengambil kreditnya pihak perbankan juga meminta jaminan lain dalam bentuk gadai, akan tetapi para petani tidak dapat menyerahkan barang-barang karena dibutuhkan untuk proses produksi pertanian, di sisi lain pihak bank juga tidak membutuhkan barang-barang tersebut untuk diserahkan kepada pihak bank sebagai jaminan hutang.
Konsekusni dari statisnya sektor hukum perkreditan dan lembaga jaminan tersebut melahirkan upaya-upaya untuk mencari jalan keluar dan terobosan secara yuridis, maka di Belanda mulailah dihidupkan kembali konstruksi hukum pengalihan hak kepemilikan secara kepercayaan atas barang-barang bergerak sebagaimana telah dipraktekkan oleh masyarakat Romawi yang dikenal dengan fiducia cum ceditore.
50
Ibid, hal. 16
Pengakuan terhadap eksistensi jaminan fidusia bermula dari adanya yurisprudensi melalui putusan pertamanya tentang fidusia dalam perkara yang dikenal dengan nama Bier Brouwrij Arrest tanggal 25 Januari 1929 yang menyatakan bahwa jaminan fidusia tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan / menggagalkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh undang-undang dengan secara tidak pantas.
Sistem hukum Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan hukum Belanda karena adanya pertautan sejarah yang didasarkan kepada asas konkordasi (concordantie beginsel).
51Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia juga diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerrecht Hof (HGG) tanggal 18 Agustus 1932 dalam kasus sebagai berikut :
52“Pedro Clignett meminjam uang dari Batafsche Petroeum Maatschapji (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil berdasarkan kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignent lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil BPM. Ketika Clignent benar-benar tidak melunasi utang-utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan perjanjian yang dibuat tidak sah. Menurut Clignett perjanjian yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur maka gadai tersebut menjadi tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata. Dalam
51
C.S.T Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2010, hal. 198
52
Gunawan Darwanto, Sistem Hukum di Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah, Salemba Empat,
Jakarta, 2007, hal. 51
putusannya HGH menolak alasan Clignent bahwa peristiwa tersebut bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hooggerrecht Hof dalam BIerbrouwerij Arrest, Clignent diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM.
Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan akan teatpi sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya sebagai pemegang jaminan saja. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitur, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek jaminan fidusia. Mengenai objek jaminan fidusia ini, Hoogerrad Belanda maupun Mahkamah Agung Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan terhadap barang-barang bergerak saja. Namun pada praktek kemudian orang juga melakukan fidusia terhadap barang tidak bergerak, apalagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 Tahun 1960), perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.
Lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 terjadi
perbedaan yang meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Pengertian jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya (Pasal 1 butir 1 dan 2 UU Nomor 42 Tahun 1999).
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Fidusia dikatakan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu benda atau lebih satuuan atau jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.
Objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang terdaftar maupun
tidak terdaftar (termasuk dalam dan surat-surat berharga), yang bergerak maupun
yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Dalam pengertian
benda termasuk pula piutang atas nama yang dahulu dilaksanakan pengikatannya
dengan cara gadai tetapi dalam praktik perbankan biasa dikenal dengan pengalihan
secara cessie (Pasal 613 KUH Perdata) yang kemudian dalam perkembangannya
menjadi obyek jaminan fidusia.
Objek jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dapat menggantikan cessie jaminan atas piutang ataupun yang disebut dengan Suijling sebagai Fiduciaire Cessie yang banyak dipergunakan dalam praktek pemberian kredit di bank-bank. Selanjutnya objek jaminan fidusia dapat berupa benda yang sudah dimiliki oleh pemberi fidusia pada saat pembebanannya, tetapi dapat pula dimasukkan benda yang akan diperoleh kemudian.
53Untuk menghindari kesulitan dikemudian hari, dalam Pasal 10 Undang- Undang Fidusia sudah ditetapkan bahwa jaminan fidusia meliputi semua hasil dari jaminan fidusia dan juga klaim asuransi apabila objek jaminan fidusia tersebut musnah didalam pelaksanaan eksekusinya.
Menurut Munir Fuady, ketentuan mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdapat antara lain dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-Undang Fidusia. Benda-benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia tersebut antara lain :
541. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum, 2. Atas benda berwujud, 3. Benda tidak berwujud, 4. Benda bergerak, 5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hak tanggungan, hipotik, 6. Benda yang sudah ada dan yang aka ada dikemudian hari yang tidak diperlukan sebuah akta pembebanan, 7. Dapat satuan atau jenis benda, 8. Dapat lebih dari satuan
53
Arie S. Hutagalung, Analisa Yuridis Mengenai Pemberian dan Pendaftaran Jaminan Fidusia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 3
54
Munir Fuady, Ketentuan Benda yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Dalam Undang-
Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 57
jenis atau satuan benda, 9. Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, 10.
Hasil klaim asuransi, 11. Benda persediaan.
Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia dilakukan atas dasar kepercayan dengan cara constitutum possessorium yang artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda kepada penerima fidusia dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersbeut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima jaminan fidusia, yang pengalihannya harus didaftarkan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pengalihan hak kepemilikan tersebut berada dari pengalihan hak milik sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 584 jo. Pasal 612 ayat (1) KUH Perdata). Dalam hal jaminan fidusia, pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata-mata sebagai jaminan / agunan bagi pelunasan hutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.
Dalam Pasal 5 sub 1 Undang-undang Fidusia bahwa bentuk akta perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Perjanjian jaminan fidusia baik berupa Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO) maupun cessie jaminan atas piutang yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang fidusia tidak diwajibkan dengan akta notaris. Alasan undang-undang menerapkan akta bentuk notaris adalah :
5555
Ratnawati W. Prasodjo, Pokok-pokok Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, Mitra Ilmu, Jakarta, 2010, hal. 16
1. Akta notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
2. Objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak.
3. Undang-undang melarang adanya fidusia ulang.
Isi dari akta perjanjian fidusia yang dibuat oleh debitur dengan krediturnya adalah bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikannya atas suatu benda kepada krediturnya sebagai jaminan untuk utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas.
Isi akta jaminan fidusia dalam Pasal 66 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 ditentukan minimum yang harus termuat didalamnya, diantaranya :
561. Identitas pemberi dan penerima fidusia
Mengingat akta tersebut merupakan akta notariil maka identitas para pihak secara otomatis harus sudah disebutkan secara lengkap didalamnya (Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Jabatan Notaris)
2. Data Perjanjian Pokok
Sesuai dengan sifat assesoir daripada perjanjian penjaminan, maka kita perlu mengetahui dengan pasti perjanjian pokok sebagai dasar dari pemberian penjaminan, karena eksistensi perjanjian penjaminan sangat bergantung kepada perjanjian pokoknya.
3. Data benda jaminan
Hak jaminan kebendaan muncul apabila kreditur memperjanjikan suatu jaminan khusus terhadap satu atau lebih benda tertentu, yang memberikan kedudukan yang didahulukan menurut Undang-Undang di dalam pelunasannya dari hasil eksekusi atas benda tersebut. Jadi sangatlah logis bahwa di dalam akta pemberian jaminan fidusia harus terdapat uraian tentang benda jaminan yang bersangkutan.
56
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cetakan 5, PT. Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2007, hal. 191
4. Nilai penjaminan
Nilai penjaminan adalah jumlah maksimal kreditur preferen atas hasil eksekusi benda jaminan. Hak preferen kreditur tidak bisa lebih dari jumlah nilai penjaminan, tetapi bisa kurang. Hal itu berkaitan dengan sifat assesoir dari perjanjian jaminan.
5. Tanggal dan Nomor
Meskipun di dalam Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tidak disyaratkan penyebutan tanggal dan nomor akta penjaminan, namun karena akta tersebut dituangkan secara notariil maka secara otomatis sudah ada dengan sendirinya, karena tanggal dan nomor digunakan sebagai dasar untuk mengetahui siapakah yang berhak sebagai pihak pertama atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 25 sub d P.J.N)
Sifat Jaminan fidusia sejalan dengan sifat dari jaminan hak kebendaan, ini dikarenakan jaminan fidusia merupakan bagian dari jaminan khusus yang bersifat hak kebendaan yang mempunyai sifat yang memberikan perlindungan hukum secara penuh bagi pihak kreditur diantaranya :
1. Mempunyai sifat absolute (mutlak), yaitu dapat dipertahankan atau dilindungi terhadap setiap gangguan dari pihak ketiga.
2. Mempunyai sifat mengikuti bendanya (droit de suite) misalnya hak sewa senantiasa mengikuti bendanya, dan perjanjian tidak akan putus dengan berpindahnya atau dijualnya barang yang disewa.
3. Mempunyai sifat prioritas (droit de preferen) yaitu bahwa hak kebendaan lebih mendahulukan hak yang lebih dulu terjadi daripada hak yang terjadi kemudian.
4. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sebagai implikasi dari sifat droit de
suite dari jaminan fidusia tersebut sehingga mengikat pihak ketiga dan
memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
575. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya 2. Prinsip-prinsip Hukum Jaminan Fidusia
Jaminan fidusia sesuai Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Oleh karena itu untuk menemukan asas-asas hukum jaminan fidusia dicari dengan jalan menelaah pasal demi pasal dari Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999. Adapun asas pokok dalam jaminan fidusia, yaitu :
a) Asas spesialitas atas Fixed Laon
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999. Objek jaminan fidusia merupakan agunan atau jaminan atas pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
57
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Jaminan : Komentar Pasal Demi Pasal Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hal. 45
penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Oleh karena itu, objek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu pada satu segi, dan pada segi lain harus pasti jumlah utang debitur atau paling tidak dipastikan atau diperhitungkan jumlahnya (verrekiningbaar, deductable).
b) Asas Accesoir
Menurut Pasal Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan dari perjanjian pokok (principal agreement).
Perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang, dengan demikian keabsahan perjanjian jaminan fidusia tergantung pada perjanjian pokok dan penghapusan benda objek jaminan fidusia tergantung pada penghapusan perjanjian pokok.
c) Asas Droit de Suite
Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, dinyatakan jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun berada, kecuali keberadaanya pada tangan pihak ketiga berdasarkan pengalihan hak atas piutang atau cessie berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata. Dengan demikian, hak atas jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak atau in rem bukan hak in personam.
d) Asas Preferen (Droit de Preference)
Pengertian asas preferen atau hak didahulukan ditegaskan dalam Pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 yaitu memberi hak
didahulukan atau diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain untuk
mengambil pemenuhan pembayaran pelunasan utang atas penjualan benda objek
fidusia. Kualitas hak didahulukan penerima fidusia, tidak hapus meskipun debitur pailit atau dilkuidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dalam dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor.
Namun dengan berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, yang dapat menjadi objek jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah :
1. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum 2. Dapat berupa benda berwujud
3. Benda berwujud termasuk piutang 4. Benda bergerak
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan ataupun hipotek
6. Baik benda yang ada ataupun akan diperoleh kemudian 7. Dapat atas satu satuan jenis benda
8. Dapat juga atas lebih dari satu satuan jenis benda
9. Termasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia
10. Benda persediaan
Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan disini dalam kaitannya dengan rumah susun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Yang dapat menjadi pemberi fidusia adalah orang perorang atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang atau perorangan yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia. (Pasal 5 ayat (1) UUJF). Dalam akta jaminan fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenak waktu (jam) pembuatan akta tersebut.
Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat : a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan data perjanjian pokok yang dijamin fidusia yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.
b. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia merupakan benda
dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap,
seperti stok bahan baku, barang jadi, atau portofolio efek, maka dalam akta
jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut.
c. Nilai penjaminan
d. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Adapun utang yang pelunasannya dijamin dengan jaminan fidusia dapat berupa:
a. Utang yang telah ada
b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu
c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Utang yang dimaksud adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian.
Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan
bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau
kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai
pemberi fidusia kepada lebih dari satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan
kredit konsorsium. Yang dimaksud dengan “kuasa” dalam ketentuan ini adalah orang
yang mendapat kuasa khusus dari penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya
dalam penerimaan jaminan fidusia dari pemberi fidusia. Sedangkan hukum dianggpa
mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan fidusia, misalnya wali amanat
yang mewakili kepentingan pemegang obligasi.
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 menetapkan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Ini berarti benda tersebut demi hukum akan dibebani dengan jaminan fidusia pada saat Belanda dimaksud menjadi milik Pemberi Fidusia. Pembebanan tersebut tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Hal ini karena atas benda tersebut sudah dilakukan pengalihan hak kepemilikan “sekarang untuk nantinya” ketentuan dalam pasal ini penting dipandang dari segi komsial. Ketentuan ini secara tegas memperbolehkan jaminan fidusia mencakup benda yang dapat dibebani jaminan fidusia bagi pelunasan utang.
Menurut Pasal 10 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, jaminan fidusia ini meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, dan meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan. Yang dimaksud dengan hasild ari benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang diperoleh dan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Apabila benda diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut merupakan hak penerima fidusia.
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia sendiri cukup
dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat
bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia
merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan tidak
tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi atau portofolio perusahaan efek, maka
dalam akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut.
B. Pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Manual Sebelum Berlakunya Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur jaminan fidusia adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tenjang Jaminan Fidusia, yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999 LN. 168, TLN. 3889 dan berlaku pada saat diundangkan, berikut peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan pendaftaran jaminan fidusia LN Nomor 170, TLN 4005, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000 tanggal 30 Oktober 2000 tentang Bentuk Formulir dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia, Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Umum (AHU) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia NOMOR C.UM.01.10-11 tanggal 19 Januari 2001 tentang Penghitungan Penetapan Jangka Waktu Penyesuaian dan Pendaftaran Perjanjian Jaminan Fidusia.
Objek jaminan fidusia pada awalnya hanya benda bergerak saja. Hal ini dapat
dilihat dari Keputusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22
Maret 1950 dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 372K/Sip/1970 tanggal 1
September 1971, yang menyatakan bahwa fidusia hanya sah sepanjang mengenai
barang-barang bergerak. Dalam perkembangannya objek fidusia tidak hanya benda
bergerak saja, tetapi juga meliputi benda tidak bergerak. Ketentuan ini sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) Nomor 42 Tahun 1999, yang pada intinya menyebutkan bahwa objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan maupun hipotik.
58Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 3 UUJF Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa jamiinan fidusia tidak berlaku terhadap:
a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda- benda tersebut wajib didaftar.
b. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih
c. Hipotik atas pesawat terbang d. Gadai
Prinsip utama dari jaminan fidusia adalah :
a. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya
b. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur
c. Apabila hutang sudah dilunasi, maka obyek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia
58
J. Satrio, Hukum Jaminam Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 41
d. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
Menurut Pasal 5 ayat (1) UUJF Nomor 42 Tahun 1999 bahwa, pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Dalam akta jaminan fidusia, selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan waktu (jam) pembuatan akta tersebut. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut, maka pembebanan jaminan fidusia yang merupakan perjanjian fidusia dibuat dalam bentuk tertulis dengan akta notaris.
Pengertian akta otentik sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, bahwa : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”
Dalam fidusia, pendaftaran merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagai syarat lahirnya jaminan fidusia untuk memenuhi asas publisitas. Ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF Nomor 42 Tahun 1999 berbunyi : “benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan”.
Pendaftaran tersebut memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia, dan selain itu pendaftaran jaminan fidusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepastian hukum.
59Hal ini sesuai juga dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (3) UUJF Nomor 42 Tahun
59