11
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Perpajakan
2.1.1.1 Pengertian Perpajakan
Definisi pajak menurut menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Definisi pengertian pajak menurut Prof Dr. Rochmat Soemitro, SH (Soemitro, 1990) sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari pengertian di atas, menurut Mardiasmo (2009:1) dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran- pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.1.2 Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak menurut Mardiasmo (2009:1) yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi Penerimaan (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.
Contoh:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran Indonesia.
2.1.1.3 Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:5), pajak dibagi dalam beberapa kelompok diantaranya adalah:
1. Menurut golongan
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang akhirnya dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut Sifat
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah
3. Menurut Lembaga Pemungut
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contoh: Pajak Provinsi (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) dan pajak Kabupaten/ Kota (misalnya Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan).
2.1.1.4 Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:9) terdapat empat macam tarif pajak, yaitu:
1. Tarif sebanding/proposional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
a. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar b. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap
c. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil 4. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenal pajak semakin besar.
2.1.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011:7) ada tiga macam cara, yaitu:
1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus b. Wajib Pajak bersifat Pasif
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri
b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi 3. Witholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.1.1.6 Syarat Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:2) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan
hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang yang baru.
2.1.2 Pengertian Wajib Pajak
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”.
2.1.2.1 Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang Pribadi dapat bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia Menurut Mardiasmo (2013:56), subjek pajak orang pribadi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau berada di Indonesia dalam satu tahun pajak dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak Orang Pribadi luar negeri, yaitu orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
2.1.2.2 Wajib Pajak Badan
Definisi Badan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 ayat 3 yaitu:
“Badan adalah sekumpulan orang pribadi dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koprasi, dan pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.
2.1.3 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2.1.3.1 Pengertian NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya (Mardiasmo, 2009).
Menurut Diana Sari (2013:180) fungsi NPWP antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sarana dalam administrasi perpajakan.
2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. Setiap dokumen
perpajakan sebagai contoh Surat Setoran Pajak (SSP), Faktur Pajak, Surat
Pemberitahuan, harus mencantumkan NPWP.
4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan, seperti dokumen impor.
6. Menjadi persyaratan dalam pelayanan umum, misalnya paspor, kredit bank dan lelang.
Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti:
1. Memenuhi salah satu persyaratan ketikan melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
2. Salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank; dan
3. Memenuhi persyaratan untuk bisa mengikuti tender-tender yang dilakukan oleh pemerintah.
2.1.3.2 Pendaftaran NPWP
Dalam (Mardiasmo, 2009), semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jendral Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan
mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
2.1.4 Surat Pemberitahuan (SPT) 2.1.4.1 Pengertian SPT
Kewajiban Wajib Pajak selain mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP adalah melakukan sendiri perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa:
“Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1:11)”.
2.1.4.2 Fungsi SPT
Fungsi SPT menurut Mardiasmo (2011:31) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang untuk melaporkan tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak.
c. Harta dan kewajiban; dan/atau
d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau Badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang telah dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
2.1.4.3 Jenis SPT
Menurut Mardiasmo (2011:34) secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua:
a. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa
Pajak. Jenis SPT Masa yaitu SPT Masa Pajak Penghasilan. SPT Masa Pajak
Pertambahan Nilai, dan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
b. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahunan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Jenis SPT Tahunan yaitu SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
SPT dapat berbentuk:
a. Formulir kertas (hardcopy);atau b. e-SPT
2.1.5 Efektivitas
Pohan (2014) menyimpulkan bahwa efektivitas adalah hal yang bersangkut paut dengan keberhasilan, manfaat dan seberapa target (kualitas, kuantitas, waktu) yang telah dicapai dari suatu perlakuan yang diterapkan kepada subjek penelitian. Efektivitas dalam kegiatan organisasi dapat dirumuskan sebagai tingkat perwujudan sasaran yang menunjukkan sejauh mana sasaran dicapai.
Efektivitas umumnya dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan atau sasaran organisasional yang ditetapkan.
Efektivitas ditentukan oleh hubungan antara output yang dihasilkan
dengan tujuannya. Semakin besar output yang dikontribusikan terhadap tujuan,
maka semakin efektif (Anthony dan Vijay, 2004). Untuk mengetaui efektivitas
Sensus Pajak Nasional, maka digunakan kriteria berdasarkan keputusan Dalam
Negeri No 690.900.327 tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan yang
disusun dalam t
Tabel 2.1
Klasifikasi Pengukuran Efektivitas Persentase Kriteria
>100% Sangat Efektif
90-100% Efektif
80-90% Cukup Efektif
60-80% Kurang Efektif
<60% Tidak Efektif
Sumber: Departemen Dalam Negeri, 1996
2.1.6 Sensus Pajak Nasional (SPN) 2.1.6.1 Pengertian Sensus
Menurut Christoper Pass dan Ptyan Lowes dalam Pohan (2014), Sensus adalah suatu survei yang menyeluruh terhadap rumah tangga atau perusahaan yang dilakukan dengan jumlah waktu yang tetap dalam rangka mendapatkan informasi sosial dan ekonomi.
2.1.6.2 Pengertian Sensus Pajak Nasional
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.96/PMK.03/2013
menetapkan bahwa Sensus Pajak Nasional (SPN) adalah kegiatan pengumpulan
data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak
dengan cara mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh
wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak.
2.1.6.3 Dasar-Dasar Hukum Sensus Pajak Nasional
Dasar-dasar hukum mengenai sensus pajak nasional antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Sensus Pajak Nasional.
2.1.6.4 Tujuan Sensus Pajak Nasional
Tujuan Sensus Pajak Nasional adalah untuk menjaring seluruh potensi
perpajakan dalam rangka Tridharma Perpajakan yaitu seluruh Wajib Pajak
terdaftar, seluruh objek pajak dipajaki, dan pelaksanaan kewajiban perpajakan
tepat waktu dan tepat jumlah (www.pajak.go.id). Menurut Peraturan Menteri
Keuangan PMK No.96/PMK.03/2013 menetapkan tujuan Sensus Pajak Nasional
untuk memperluas basis pajak, pencapaian target penerimaan perpajakan dan
pengamanan penerimaan negara. Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional
dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia, dengan pemilihan
lokasi sensus menggunakan hasil mapping dan monografi fiskal dengan skala
prioritas sentra ekonomi/ kawasan bisnis, high rise building, kawasan pemukiman,
dan kawasan potensial lainnya (misalnya perkebunan kelapa sawit dan
pertambangan). Pada lokasi sensus, seluruh subjek dan objek pajak didata dengan menggunakan Formulir Isian Sensus (FIS) dan diikuti dengan penyuluhan dan himbauan. Tempat usaha dan atau tempat tinggal responden yang telah disensus selanjutnya dipasang sticker sebagai tanda telah dilakukan sensus (Annual Report Direktorat Jendral Pajak 2012).
2.1.6.5 Sasaran Sensus Pajak Nasional
Sensus Pajak Nasional pada dasarnya merupakan kegiatan ekstensifikasi yang meliputi perluasan basis data Wajib Pajak baru dan intensifikasi yang meliputi penggalian potensi Wajib Pajak yang ada serta pemutakhiran data.
Sasaran dari Sensus Pajak Nasional adalah Wajib Pajak (Orang Pribadi dan Badan) yang tergolong sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2. Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP tetapi belum memiliki kesadaran untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak.
3. Wajib Pajak yang belum menyampaikan SPT, agar menyampaikan SPT.
4. Wajib Pajak yang memiliki tunggakan atau utang pajak kepada negara.
5. Wajib Pajak yang belum optimal membayar pajak sesuai dengan ketentuan dan sistem yang berlaku.
(Sumber: www.pajak.go.id)
2.1.6.6 Manfaat Sensus Pajak Nasional
Manfaat dari Sensus Pajak Nasional menurut Sumarsan (2012:3) adalah sebagai berikut:
1. Dengan adanya sensus, Wajib Pajak akan diingatkan untuk menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan PPh baik untuk orang pribadi maupun badan. Penyampaian SPT Tahunan PPh berarti juga harus membayar pajak. Jadi, sensus akan meningkatkan penerimaan pajak.
2. Masing-masing kantor pelaksanaan pajak dapat melakukan update dengan melengkapi profil Wajib Pajak. Dengan profile Wajib Pajak yang up to date, lengkap, dan akurat, maka Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dapat melihat potensi dari Wajib Pajak dan terhadap Wajib Pajak yang berpotensi akan “dikejar” sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini dapat berbentuk himbauan, pemeriksaan, sampai penyitaan.
3. Merupakan bagian dari upaya untuk menegakkan keadilan. Sesuai dengan fakta bahwa yang belum bayar pajak pada saat ini masih banyak sekali.
Sedangkan masyarakat yang berpendapatan kecil sudah banyak yang membayar pajak, yaitu melalui pemotongan PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 21 oleh pemberi kerja.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat Indonesia dalam hal ini Wajib Pajak
dalam mendukung kelangsungan pembangunan melalui pembayaran
sehingga bangga menjadi warga negara.
5. Melakukan program ekstensifikasi yaitu dengan menjaring Wajib Pajak yang belum terdaftar (belum memiliki NPWP) dan objek pajak yang belum dipajaki.
6. Melakukan program intensifikasi yaitu dengan mengoptimalkan pengenaan pajak atas Wajib Pajak atau objek pajak yang belum sepenuhnya mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka SPN berfungsi untuk meningkatkan penerimaan pajak, memutakhirkan data Wajib Pajak, menegakkan keadilan, dan meningkatkan peran Wajib Pajak dalam mendukung kelangsungan pembangunan.
Adapula manfaat Sensus Pajak Nasional (SPN) Menurut Direktorat Jendral Pajak adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional.
2. Mewujudkan keadilan peran serta Subyek Pajak dalam pembiayaan pembangunan nasional.
3. Mengurangi ketergantungan pembiayaan dari pinjaman asing.
4. Mewujudkan pembangunan nasional yang lebih baik 5. Kesejahteraan seluruh masyarakat.
(DITJEN PAJAK, 2012)
2.1.6.7 Dokumen Keperluan Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional Dokumen untuk keperluan Sensus Pajak Nasional adalah:
1. Surat Pemberitahuan Sensus.
2. Formulir Isian Sensus (FIS) yaitu formulir yang memuat data-data detil tentang subjek sensus, lokasi sensus, dan kondisi subjek sensus. Dokumen FIS dibedakan antara FIS Orang Pribadi dan FIS Badan.
2.1.6.8 Pedoman Teknis Sensus Pajak Nasional
Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional dilakukan sesuai dengan pedoman teknis Sensus Pajak Nasional yang dijelaskan pada Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-31/PJ/2013. Pedoman teknis Sensus Pajak Nasional meliputi:
1. Pedoman teknis persiapan SPN
Rangkaian kegiatan persiapan ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas serta efisiensi dari pelaksanaan kegiatan. Proses kegiatan persiapan meliputi proses pembentukan tim SPN, rencana kerja, penyediaan data, dan koordinasi internal dan eksternal.
2. Pedoman teknis pelaksanaan
Meliputi proses pencacahan kepada objek/subjek sensus, proses pelaporan hasil pelaksanaan, dan proses asistensi yang dilakukan oleh tim SPN Tingkat Kantor Wilayah dan tim SPN Tingkat Pusat.
3. Pedoman teknis pemanfaatan data hasil sensus
Berisi panduan dalam memproses data yang diperoleh dari kegitan SPN.
Secara keseluruhan pemanfaatan data hasil sensus melibatkan empat proses
bisnis utama DJP yaitu proses ekstensifikasi, pengawasan, registrasi dan pemeriksaan.
4. Pedoman teknis monitoring dan evaluasi
Kegiatan monitoring merupakan serangkaian kegiatan untuk memantau secara rutin pelaksanaan kegiatan SPN secara keseluruhan yang mencakup tahap persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut SPN. Dari kegiatan monitoring akan diperoleh gambaran tentang kegiatan sensus yang meliputi:
a. Aspek kuantitas, seperti jumlah perolehan dan perekaman FIS.
b. Aspek waktu, seperti lamanya pelaksanaan sensus pada suatu cluster dan waktu yang digunakan dalam perekaman FIS.
c. Kinerja petugas, seperti kinerja Account Representative (AR), petugas perekam dan petugas validasi.
Kegiatan evaluasi merupakan upaya pengumpulan, pengolahan, analisis, deskriptif dan penyajian data atau informasi sebagai masukan utuk pengambilan keputusan dan feed back untuk penyempurnaan. Tujuan dari kegiatan evaluasi adalah menilai dan menganalisis proses pelaksanaan SPN dan hasil yang telah diperoleh. Hasil penilaian dan analisis ini akan dijadikan masukan untuk pelaksanaan sensus berikutnya.
Berikut mekanisme siklus pelaksanaan SPN di lokasi:
Gambar 2.1
Siklus Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional
SIKLUS PELAKSANAAN SENSUS PAJAK NASIONAL
Petugas berdasarkan Surat Pemberitahuan Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional (SPN) melakukan koordinasi lapangan dengan pihak ketiga (Pemerintah Daerah, Ketua RW/RT, Pengelola/manajemen gedung perkantoran, perumahan/apartemen,
perhimpunan dan tokoh masyarakat)
Petugas SPN menemui responden dengan didampingi oleh petugas berasal dari lingkungan lokasi sensus
Petugas SPN menunjukkan Surat Tugas dan Identitas
Petugas SPN memberikan penjelasan kepada responden terkait dengan SPN
Pengisian Formulis Isian Sensus (FIS), petugas SPN meminta kesediaan responden untuk membantu memberikan data dalam pengisian FIS, dan menyampaikan himbauan umum pelaksanaan kewajiban perpajakan (dalam
amplop tertutup)
Petugas SPN mengecek kelengkapan pengisisan FIS dan responden diminta untuk menandatangani FIS
Petugas SPN menempelkan stiker sensus
2.1.7 Kepatuhan Wajib Pajak
2.1.7.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Keputusan Menteri keuangan No. 192/PMK.03/2007 tentang kriteria Wajib Pajak patuh menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku umum dalam suatu negara”.
Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Mohamad
Zain, 2007:31) sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi dimana:
1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Menurut Chaizi Nasucha didalam buku Siti Kurnia (2010) kepatuhan Wajib Pajak dapat di identifikasi dari :
1. Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri.
2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali SPT.
3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang.
4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
2.1.7.2 Jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu (2011:5):
1. Kepatuhan formal, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
2. Kepatuhan material, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara
substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai
dengan isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material
dapat meliputi kepatuhan formal.
2.1.7.3 Kriteria Wajib Pajak Patuh
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012, yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
3. Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan tentang pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai berikut:
1. SPT disampaikan tepat waktu dalam tiga tahun terakhir.
2. Penyampaian SPT Masa untuk masa pajak bulan Januari dengan bulan November yang terlambat tidak lebih dari masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut dalam tahun pajak terakhir.
3. SPT masa yang terlambat tersebut tidak lewat dari batas waktu
penyampaian SPT masa pajak berikutnya.
2.1.7.4 Indikator Wajib Pajak Patuh
Adapun indikator kepatuhan pajak menurut Rahayu (2010:139) adalah:
a. Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan.
b. Menyampaikan SPT ke KPP sebelum batas waktu berakhir.
2.1.7.5 Wajib Pajak Patuh
Penetapan Wajib Pajak patuh dilakukan oleh Kepala Kantor Direktorat Jendral Pajak setelah menerima daftar normatif Wajib Pajak patuh dari Kantor Pelayanan Pajak paling lambat akhir bulan Januari dan mengirimkan penetapan Wajib Pajak patuh kepada:
a. Kepala KPP tempat Wajib Pajak domisili terdaftar.
b. Kepala KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar.
c. Kepala Kantor Wilayah atasan KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Pasal 3 menyebutkan bahwa:
a. Direktur Jendral Pajak menetapkan Wajib Pajak berdasarkan hasil penelitian terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 paling lambat tanggal 20 Januari.
b. Penetapan Wajib Pajak patuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 2 (dua) tahun kalender.
2.1.7.6 Manfaat Predikat Wajib Pajak Patuh
Sesuai keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak menyebutkan bahwa Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah Wajib Pajak patuh. Selain itu, fasilitas yang diberikan oleh Dirjen Pajak terhadap Wajib Pajak Patuh adalah:
1. Pemberian batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan Wajib Pajak diterima untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tanpa melalui penelitian dan pemeriksaan oleh Dirjen Pajak.
2. Adanya kebijakan percepatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) menjadi paling lambat 2 (dua) bulan untuk PPh dan 7 (tujuh) hari untuk PPN.
Bagi Wajib Pajak yang tidak mendapat kriteria tersebut, penerbitan
SKPPKP harus menunggu penelitian dan pemeriksaan yang memakan waktu,
biaya, dan menjadi sumber terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
2.1.7.7 Pencabutan Wajib Pajak Patuh
Surat Penetapan Wajib Pajak Patuh dicabut oleh Kepala Kantor Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam hal memenuhi kriteria pembatalan, yaitu:
1. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindak penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak.
3. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak atau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak.
4. Dalam suatu masa pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak masa pajak yang bersangkutan.
2.1.8 Theory of Planned Behavior (TPB)
Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah Theory of Planned
Behavior (TPB). Teori ini menjelaskan bahwa adanya niat untuk berperilaku dapat
menimbulkan perilaku yang ditampilkan oleh individu. Dalam Theory of Planned
Behavior (TPB) (Gambar 2.2), perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul
karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku
ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu:
1. Behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation).
2. Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply).
3. Control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power).
Gambar 2.2
Theory of Planned Behavior (TPB) Sumber: Ajzen, 2002:2
Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat
berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan
behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau negatif,
normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived
social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan contol beliefs
menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002:2).
Alasan dipilihnya model kerangka Theory of Planned Behavior (TPB) ini karena model TPB merupakan suatu model perilaku yang telah terbukti memberikan penjelasan yang signifikan bahwa sikap, norma subjektif, dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh terhadap perilaku tidak patuh Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan. Beberapa peneliti menggunakan model Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan perilaku kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Blanthorne 2000; Bobek 2003). Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000), dan Hanno & Violette (1996) memanfaatkan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Temuan Bobek & Hatfield (2003), dan Hanno & Violette (1996) adalah sikap terhadap ketidakpatuhan pajak berpengaruh secara signifikan terhadap niat ketidakpatuhan pajak.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Jatmiko (2006) secara khusus melakukan penelitian terhadap tingkat
kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Semarang. Penelitian Jatmiko
(2006) menggunakan tiga variabel bebas yaitu sikap WP terhadap pelaksanaan
sanksi denda, sikap WP terhadap pelayanan fiskus dan sikap WP terhadap
kesadaran perpajakan. Hasil penelitian menunjukkan ketiga variabel tersebut
memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Shofia (2013) menguji variabel program Sensus Pajak Nasional terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Malang. Shofia mengukur tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan indikator kesadaran perpajakan, moral perpajakan, komitmen membayar pajak, pemahaman perpajakan, dan distribusi keadilan pajak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey berupa kuesioner. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh positif antara variabel Sensus Pajak Nasional (SPN) terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Sukmarani (2014) menguji variabel efektivitas manajemen risiko dan pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak di KPP Bandung Karees dengan mengambil sampel 25 sampel Account Representative dan 25 Wajib Pajak di Karees. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa efektifitas penerapan manajemen risiko memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dengan arah yang positif.
Tabel 2.2
Tinjauan Penelitian Sebelumnya
No. Peneliti JudulVariabel yang Digunakan Hasil Penelitian Independen Dependen
1. Jatmiko (2006)
Pengaruh Sikap Wajib
Pajak Pada
Pelaksanaan Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
a. Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Sanksi Denda b. Pelayanan
Fiskus c. Kesadaran
Perpajakan
Kepatuhan Wajib Pajak
Semua variabel berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak
No. Peneliti Judul
Variabel yang Digunakan Hasil Penelitian Independen Dependen
2. Shofia (2013)
Pengaruh Program
Sensus Pajak
Nasional Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Malang
Sensus Pajak Nasional
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak
Sensus Pajak Nasional berpengaruh positif terhadap tingkat
kepatuhan Wajib Pajak
3. Sukmarani (2014)
Efektivitas Penerapan Manajemen Risiko dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Bandung Cibeunying
Efektivitas Penerapan Manajemen Risiko
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak
Efektivitas penerapan manajemen risiko memiliki pengaruh positif signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak
2.3 Kerangka Pemikiran
Sejak tahun 1983 pemerintah telah melakukan reformasi perpajakan (tax reform) yang bertujuan untuk dapat memaksimalkan dan meningkatkan peranannya kepada masyarakat. Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan, seperti organisasi, sistem, sarana dan prasarana kerja, peraturan maupun aparat yang mengelola pajak. Salah satunya dengan mengubah sistem pemungutan pajak yang sebelumnya official assesment menjadi self assesment.
Self Assesment adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
kewenangan kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Dalam hal ini, Wajib Pajak dipandang aktif, mulai dari menghitung,
menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi (Mardiasmo, 2011). Selain itu, Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Zain, 2008).
Dengan reformasi perpajakan tersebut diharapkan dapat mendongkrak penerimaan negara. Untuk mendongkrak peningkatan penerimaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari Wajib Pajak untuk memenuhi segala kewajiban perpajakannya dengan baik maka dari itu artinya peningkatan penerimaan negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagai Warga Negara yang baik (Diana Sari, 2013).
Pilihan Pemerintah untuk mengoptimalisasi fungsi penerimaan perpajakan yaitu melalui peran Direktorat Jendral Pajak. Optimalisasi ini dilakukan melalui dua solusi utama, yaitu intensifikasi perpajakan dan ekstensifikasi perpajakan.
Surat edaran Direktorat Jendral Pajak No SE-06/PJ.9/2001 tentang pelaksanaan
ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak menerangkan bahwa upaya
ekstensifikasi Wajib Pajak adalah penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan
perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jendral Pajak. Sementara,
pelaksanaan intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian
penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau
terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib
Pajak.
Direktorat Jendral Pajak selaku badan yang mengelola perpajakan Indonesia menyelenggarakan program Sensus Pajak Nasional (SPN) yang merupakan proses intensifikasi sekaligus ekstensifikasi perpajakan sebagai upaya peningkatan jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2013 tentang Sensus Pajak Nasional yang dikeluarkan pertama kali pada tanggal 12 September 2011 yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dari tahun 2011-2013 di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka sebagai penggalian potensi perpajakan guna pengamanan penerimaan negara dan pencapaian target penerimaan perpajakan sesuai dengan peraturan nomor 96/PMK.03/2013. Menurut pengamat pajak Universitas Indonesia Darussalam yang dikutip dari (www.bandung.bisnis.com) mengatakan bahwa Sensus Pajak Nasional tidak bisa ditunjukkan untuk penerimaan jangka pendek. Namun demikian, potensinya akan mulai terasa signifikan terhadap penerimaan negara pada 2-3 tahun mendatang seiring dengan perbaikan kapasitas Ditjen Pajak.
SPN yang merupakan kegiatan pengumpulan data diharapkan dapat
memberikan gambaran bagi pemerintah mengenai kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Berdasarkan uraian di atas,
maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis Penelitian
Pengertian Hipotesis menurut Sumarni dan Wahyuni (2006) yaitu:
“Hipotesis merupakan pernyataan atau dugaan sementara yang diungkapkan secara deklaratif. Pernyataan atau dugaan di formulasikan dalam bentuk variabel agar bisa diuji secara empiris”.
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen.
Hipotesis nol (H
0) yaitu suatu hipotesis tentang tidak adanya hubungan, umumnya Reformasi dan Modernisasi Perpajakan
Penerimaan Negara Self Assessment System
Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor
SE-06/PJ.9/2001
Sensus Pajak Nasioanal (SPN)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2013
Efektivitas Pelaksanaan Sensus Pjak Nasional (SPN)
Kepatuhan Wajib Pajak
diformulasikan untuk ditolak. Sedangkam hipotesis alternatif (H
1) merupakan hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
H
0: Efektivitas pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional (SPN) tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
H
1: Efektivitas pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional (SPN) berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Gambar 2.4 Kerangka Hipotesis
Efektifitas Pelaksanaan ProgramSensus Pajak Nasional (SPN) (X)
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Y)