• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH JUMLAH PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH JUMLAH PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JUMLAH PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

OLEH

PUTRI OKTAVIANI 140501091

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

PENGARUH JUMLAH PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan di berbagai negara didunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan, beberapa diantaranya adalah jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011-2015.

Penelitian ini menggunakan uji chow dan uji hausman untuk menentukan model estimasi penelitian dan terpilih metode efek acak (REM).

Hasil estimasi menunjukkan variabel Jumlah Penduduk dan Tingkat Pengangguran Terbuka berpengaruh positif terhadap Tingkat Kemiskinan dan variabel Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011-2015.

Variabel Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tingkat Pengangguran Terbuka secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011-2015.

Kata Kunci: Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, Tingkat Kemiskinan

(6)

ABSTRACT

THE EFFECTS OF NUMBER OF POPULATION, ECONOMIC GROWTH, AND OPEN EMPLOYEE RATE TO THE RATE OF POVERTY IN

REGENCY/CITY OF NORTH SUMATERA

Poverty is a problem for many countries in this world, both developed and developing countries. There are many factors which effect poverty, such as number of population, economis growth, and open employee rate.

The purpose of this study is to discover the effects of number of population, economic growth, and open employee rate to the rate of poverty in regency/city of North Sumatera from 2011 to 2015. Using Chow Test and Hausman Test to determine Random Effect Model is the best estimation model for this study.

The estimation result showed that the number of population and open employee rate had positive effect to the rate of poverty and economic growth had negative effect to the rate of poverty in regency/city of North Sumatera from 2011 to 2015. Number of population, economic growth, and open employee rate affected the rate of poverty in regency/city of North Sumatera from 2011 to 2015 simultaneously.

Keywords: Number of Population, Economic Growth, Open Employee Rate, Rate of Poverty

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul

“Pengaruh Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara” ini. Penulisan tugas akhir skripsi ini dimaksudkan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini belum sempurna dan penulis mendapatkan banyak bimbingan, bantuan, serta motivasi dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Ir. Edy Mulyanto dan Dra. Sri Wahyuningsih dan

kedua kakak penulis, Kunthi Septarini, Amd. dan Shinta Agustina, S.KG.

untuk kasih sayang, doa serta motivasinya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE., M.S., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Coki Ahmad Syahwier, MP selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, dan Ibu Inggrita Gusti Sari Nasution, SE., M.Si., selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

(8)

4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE., M.Si., sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar telah meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dan saran kepada penulis.

5. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si., sebagai dosen pembanding I dan Bapak Drs. Murbanto Sinaga, MA, sebagai dosen pembanding II atas saran dan kritikan atas penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Ekonomi yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

7. Seluruh Staff Administrasi Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi yang penulis butuhkan selama ini.

8. Buat Menantu Idaman yang sudah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, Joyce Anggita, Erika Septiani, Yulia Sarah, Natalia dan Christsanty, makasih ya guyss.

9. Terimakasih penulis ucapkan kepada Tari, teman sedoping yang selalu setia membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

10. Buat teman-teman badai bm 1, walaupun jauh tapi dekat di hati, Eva, Aulia, Lilia, Siska, Clara, Rebecca. Semoga kita semua bisa sukses!

11. Buat Dessy Simatupang, 10 years and still counting!

12. Buat Desty, Marlin, Anfrischa, Abdi, Eunika, Gratia, Rio, Erick, Widya, Putri, terima kasih juga sudah membantu dan menemani penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

(9)
(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Tinjauan Pustaka ... 8

2.1.1 Kemiskinan ... 8

2.1.1.1 Penyebab Kemiskinan ... 9

2.1.1.2 Jenis Kemiskinan ... 11

2.1.1.3 Indikator Kemiskinan ... 13

2.1.2 Jumlah Penduduk ... 15

2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi ... 18

2.1.3.1 Tahap-tahap Pertumbuhan Ekonomi ... 19

2.1.3.2 Faktor Pertumbuhan Ekonomi ... 22

2.1.4 Tingkat Pengangguran Terbuka ... 26

2.1.4.1 Jenis Tingkat Pengangguran Terbuka ... 26

2.1.4.2 Penyebab Tingkat Pengangguran Terbuka ... 28

2.1.5 Penelitian Terdahulu ... 29

2.2 Kerangka Konseptual ... 34

2.2.1 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Kemiskinan ... 34

2.2.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan ... 34

2.2.3 Pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka terhadapKemiskinan ... 35

2.3 Hipotesis ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Jenis Penelitian ... 37

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.3 Batasan Operasional ... 37

3.4 Definisi Operasional... 38

(11)

3.5 Jenis dan Sumber Data ... 38

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 38

3.7 Teknik Analisis Data ... 39

3.7.1 Analisis Data Panel ... 39

3.7.2 Penentuan Model Estimasi ... 40

3.7.2.1 Pendekatan Kuadrat Kecil (Common Effect) / Pooled Least Square ... 40

3.7.2.2 Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect) ... 40

3.7.2.3 Pendekatan Efek Acak (Random Effect) ... 41

3.7.3 Pemilihan Metode Estimasi ... 41

3.7.3.1 Uji Chow ... 41

3.7.3.2 Uji Hausman ... 41

3.7.4 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ... 42

3.7.4.1 Koefisien Determinasi (R2) ... 42

3.7.4.2 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) ... 42

3.7.4.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

4.1 Gambaran Umum ... 44

4.1.1 Letak Geografis ... 44

4.1.2 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara ... 45

4.1.3 Perkembangan Jumlah PendudukKabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara ... 47

4.1.4 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara ... 50

4.1.5 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara ... 52

4.2 Pemilihan Model Estimasi ... 54

4.2.1 Uji Chow ... 54

4.2.2 Uji Hausman ... 55

4.3 Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Judul Halaman

1.1 Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Sumatera Utara ... 2

1.2 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara ... 3

1.3 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara ... 4

1.4 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Sumatera Utara ... 5

4.1 Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi SumateraUtarapada 2011-2015 (dalam jiwa) ... 46

4.2 Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada 2011-2015 (dalam jiwa) ... 49

4.3 Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada 2011-2015 (dalam juta rupiah) ... 51

4.4 Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada 2011- 2015 (dalam jiwa) ... 53

4.5 Uji Chow ... 54

4.6 Uji Hausman ... 55

4.7 Random Effect Model ... 56

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Lingkaran Kemiskinan ... 9 2.2 Kerangka Konseptual ... 36

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul

1 Data Variabel

2 Hasil Estimasi

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Definisi kemiskinan secara umum adalah suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya. Menurut Ravallion dalam Arsyad (2010) kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. Masyarakat miskin selalu berada pada kondisi ketidakberdayaan atau ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu ketidakmampuan dalam: (1) melakukan kegiatan usaha produktif, (2) menjangkau akses sumber daya sosial-ekonomi, (3) menentukan nasibnya sendiri dan senantiasa mendapatkan perlakuan diskriminatif, dan (4) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku dan mentalitas miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan dalam berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat.

(16)

2

Tabel 1.1

Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Sumatera Utara Tahun Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)

2015 1.463.660

2014 1.360.610

2013 1.416.390

2012 1.400.460

2011 1.421.440

Sumber : Sumatera Utara dalam Angka BPS Tahun 2012-2016

Tabel 1.1 menunjukkan jumlah penduduk miskin Provinsi Sumatera Utara cenderung mengalami fluktuasi dari tahun 2011 sampai tahun 2015. Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan penduduk miskin paling tinggi di Pulau Sumatera dan tertinggikeempat di Indonesia di tahun 2015.Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin, mulai dari jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah pengangguran wilayah tersebut.

Menurut Sharp dalam Kuncoro (2006), terdapat tiga faktor penyebab kemiskinan jika dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya yang terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan.

Ketiga, kemiskinan muncul karena perbedaan akses dalam modal.

(17)

Permasalahan kemiskinan dihadapi oleh hampir semua negara didunia, baik negara maju maupun negara berkembang, hanya saja tingkat kemiskinan di negara maju tidak setinggi tingkat kemiskinan negara berkembang. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah jumlah penduduk. Jumlah penduduk global telah meningkat pesat sejak awal era industri, dari di bawah 1 miliar di tahun 1800 menjadi 1,65 miliar di tahun 1900 dan menjadi lebih dari 6 miliar di tahun 2000. PBB memperkirakan bahwa “hari di mana penduduk dunia mencapai 7 miliar” akan terjadi di akhir tahun 2011 atau awal 2012. Pertambahan jumlah penduduk yang berlangsung pesat dimulai di Eropa dan negara lain yang sekarang dikenal sebagai negara maju. Akan tetapi, dalam beberapa dasawarsa belakangan, pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat terjadi di negara berkembang. Dibandingkan dengan negara-negara maju, yang sering memiliki tingkat kelahiran mendekati atau bahkan dibawah tingkat pertumbuhan nol, tingkat kelahiran di negara-negara berkembang sangat tinggi. Lebih dari lima per enam penduduk dunia sekarang hidup di negara-negara berkembang (Todaro dan Smith, 2011).

Tabel 1.2

Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

2015 13.937.797

2014 13.766.851

2013 13.326.307

2012 13.215.401

2011 13.103.596

Sumber : Sumatera Utara dalam Angka BPS Tahun 2012-2016

(18)

4

Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara meningkat dari tahun ke tahun.

Jumlah penduduk yang meningkat akan menyebabkan peningkatan kebutuhan sumber daya alam yang semakin lama akan semakin berkurang dan meningkatkan jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung sehingga menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi.Pemerintahan di negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun berdasarkan tinggi-rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya dalam catatan statistik nasional. Berhasil-tidaknya program-program pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga sering dinilai berdasarkan tinggi- rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Bahkan, selama bertahun-tahun, kebijaksanaan konvensional hampir selalu menyamakan pembangunan dengan kecepatan pertumbuhan output nasional yang dihasilkannya (Todaro dan Smith, 2003).Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara meningkat dari tahun 2011 sampai tahun 2013 kemudian menurun sampai tahun 2015. Berikut pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2015 yang disajikan pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3

Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Tahun Pertumbuhan Ekonomi (juta rupiah)

2015 22.366.670

2014 23.065.480

2013 23.413.060

2012 22.341.890

2011 21.168.210

Sumber : Sumatera Utara dalam Angka BPS 2012-2016

(19)

Jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan tingginya jumlah masyarakat usia produktif dan berdampak pada tingginya permintaan pekerjaan.

Peningkatan permintaan pekerjaan yang seringkali tidak disertai dengan peningkatan lapangan pekerjaan yang dibuka mengakibatkan meningkatnya pengangguran dan akhirnya berakhir dengan semakin tingginya jumlah masyarakat miskin.

Pengangguran merupakan masalah setiap provinsi di Indonesia. Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi kelima tertinggi tingkat pengangguran terbukanya di Indonesia dan tertinggi di Pulau Sumatera pada tahun 2015. Berikut tingkat pengangguran terbuka Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2015 pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4

Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Sumatera Utara Tahun Tingkat Pengangguran Terbuka (jiwa)

2015 428.794

2014 390.712

2013 412.202

2012 379.982

2011 402.125

Sumber : Sumatera Utara dalam Angka BPS 2012-2016

Berdasarkan pemikiran dan data diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Pengaruh Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.

(20)

6

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini menganalisis pengaruh jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Maka, rumusan masalah yang dapat ditulis sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?

2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?

3. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

2. Mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Mengetahui pengaruh tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dalam membuat program-program pengentasan kemiskinan, sehingga

(21)

2. Bagi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan ekonomi pembangunan khususnya mengenai pengaruh jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai pengaruh jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kemiskinan

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak- hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. UNRISD (United Nation Research Institute for Social Development) menggolongkan kebutuhan manusia ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) kebutuhan fisik primer, yang terdiri dari kebutuhan gizi, perumahan dan kesehatan, (2) kebutuhan kultural, yang terdiri dari pendidikan, waktu luang (leisure), dan kesehatan, dan (3) kebutuhan yang muncul karena adanya surplus pendapatan, sehingga kemudian muncul sebuah keinginan untuk mencapai kebutuhan lain yang lebih tinggi tingkatannya (Arsyad, 2010).

Definisi kemiskinan menurut Nurkse adalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya pembangunan pada masa lalu, tetapi kemiskinan juga dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan di masa mendatang.

Ungkapan Nurkse yang sangat terkenal adalah “a country is poor because it is poor”. Teori lingkaran kemiskinan (vivious circle of poverty) pertama kali

diperkenalkan oleh Ragnar Nurkse dalam bukunya “Problems of Capital Formation in Underdevelopment Countries” (1953), salah satu faktor yang diidentifikasi Nurkse sebagai penyebab timbulnya lingkaran kemiskinan adalah

(23)

adanya hambatan yang sangat kuat dalam proses pembentukan modal (Arsyad, 2010).

Gambar 2.1 Lingkaran Kemiskinan

Fernandez dalam Arsyad (2010) menambahkan tentang ciri masyarakat miskin ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:

1. Aspek politik: tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka.

2. Aspek sosial: tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada.

3. Aspek ekonomi: rendahnya kualitas SDM, termasuk kesehatan, pendidikan, ketrampilan yang berdampak pada rendahnya penghasilan, dan rendahnya kepemilikan atas aset fisik,termasuk aset lingkungan hidup seperti air bersih dan penerangan

4. Aspek budaya atau nilai: terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan mudah menyerah.

2.1.1.1 Penyebab Kemiskinan

Menurut Sharp dalam Kuncoro (2006), terdapat tiga faktor penyebab kemiskinan jika dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan

Produktivitas Rendah Pembentukan Modal

Rendah

Pendapatan Riil Rendah Tabungan

Rendah

(24)

10

distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya yang terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan.

Ketiga, kemiskinan muncul karena perbedaan akses dalam modal.

Pandangan lain mengenai penyebab kemiskinan dikemukakan Arsyad (2010) yaitu, kemiskinan dapat pula dipandang sebagai kondisi anggota masyarakat yang tidak atau belum turut serta dalam proses perubahan, karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam kepemilikan faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai, sehingga tidak mendapatkan manfaat dari hasil proses pembangunan. Ketidakikutsertaan dalam proses pembangunan ini dapat disebabkan karena secara ilmiah mereka tidak atau belum mampu mendayagunakan faktor produksi yang mereka miliki.

Pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah terkadang tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk berpartisipasi, hal tersebut berakibat manfaat pembangunan juga tidak dapat menjangkau mereka.

Oleh karena itu, kemiskinan di samping merupakan masalah yang muncul dalam masyarakat, ternyata kemiskinan juga berkaitan dengan kepemilikan atas faktor produksi, produktivitas dan tingkat perkembangan masyarakat itu sendiri, serta berkaitan dengan kebijakan pembangunan nasional yang dilaksanakan. Atau dengan kata lain, masalah kemiskinan ini selain dapat ditimbulkan oleh hal yang

(25)

bersifat alamiah atau kultural, kemiskinan juga dapat disebabkan oleh miskinnya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada, sehingga para pakar pemikir tentang masalah-masalah kemiskinan, sebagian besar hanya memandang fenomena kemiskinan sebagai masalah struktural. Sehingga, pada akhirnya muncul istilah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak dapat ikut menikmati sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Sumardjan dalam Arsyad, 2010).

2.1.1.2 Jenis Kemiskinan

Dua jenis ukuran kemiskinan menurut Arsyad (2010) yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, sebagai berikut:

1. Kemiskinan absolut

Konsep kemiskinan seringkali dikaitkan dengan sebuah perkiraan atas tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan atas tingkat kebutuhan biasanya hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara layak. Jika pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin.

Dengan demikian, kemiskinan dapat pula kita ukur dengan memperbandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Konsep ini sering disebut dengan kemiskinan absolut.

(26)

12

Kesulitan utama dalam perhitungan konsep kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum, karena kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja, namun juga oleh iklim, tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor ekonomi lainnya.

2. Kemiskinan relatif

Orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti orang tersebut “tidak miskin”.

Beberapa pakar berpendapat bahwa meskipun pendapatan seseorang sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, namun ternyata pendapatan orang tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam kategori miskin. Ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, dari lingkungan orang yang bersangkutan. Konsep inilah yang dikenal sebagai konsep kemiskinan relatif. Berdasarkan konsep ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan jika tingkat hidup masyarakatnya berubah. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut. Konsep kemiskinan relatif bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada.

Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial):

1. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.

2. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak mendapat menguasai

(27)

sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata (Suryawati, 2005).

2.1.1.3 Indikator Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 21.000 per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah) dan konsumsi non makanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 21.000 kalori ini belaku untuk semua umur, jenis kelamin dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk. Ukuran ini sering disebut garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.

Ukuran yang digunakan sebagai indikator kemiskinan menurut Arsyad (2010) ada empat, yaitu:

a. Tingkat konsumsi beras per kapita per tahun

Untuk daerah pedesaan, penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 180 kg per kapita per tahun dapat digolongkan sebagai penduduk melarat, kurang dari 240 kg per kapita per tahun digolongkan sebagai penduduk sangat miskin, dan kurang dari 320 kg per kapita per tahun digolongkan sebagai penduduk miskin.

(28)

14

Sedangkan untuk daerah perkotaan kurang dari 270 kg per kapita per tahun digolongkan sebagai penduduk melarat, kurang dari 360 kg per kapita per tahun sebagai penduduk sangat miskin, dan kurang dari 480 kg per kapita per tahun sebagai penduduk miskin. Namun, sejak tahun 1979 kategori “melarat”

dihilangkan dan kemudian digantikan dengan kategori “nyaris miskin”, yaitu dengan 480 kg di daerah perdesaan dan 720 kg di daerah perkotaan (Sugiyono, dalam Arsyad, 2010).

b. Tingkat pendapatan

Adanya ketimpangan dalam pola pembangunan dan belum termanfaatkannya sumber daya yang ada di perdesaan secara penuh hanya merupakan sedikit dari sekian banyak permasalahan yang menyebabkan keterbelakangan di daerah tersebut. Di sisi lain, adanya perbedaan yang cukup mencolok pada penetapan garis kemiskinan antara daerah perdesaan dan perkotaan kiranya dapat dimengerti karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya (desa dan kota). Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat beragam dibandingkan dengan daerah perdesaan, sehingga mempengaruhi pula pola pengeluaran mereka.

c. Indeks kesejahteraan rakyat

Pada salah satu publikasi PBB pada tahun 1961 yang berjudul International Defenition and Measurement of Levels of Living: An Interim Guide

dikemukakan ada sembilan komponen kesejahteraan, antara lain: kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang, rekreasi dan kebebasan.

(29)

d. Indeks kemiskinan manusia (IKM)

Indeks ini diperkenalkan oleh UNDP (United Nations Development Program) dalam salah satu laporan tahunannya, Human Development Report

(1997). Menurut UNDP, ada tiga nilai pokok yang menentukan tingkat kemiskinan, yaitu: (1) tingkat kehidupan, dengan asumsi bahwa karena tingkat kesehatan yang begitu rendah, sehingga lebih dari 30 persen penduduk negara terbelakang tidak mungkin hidup lebih dari 40 tahun, (2) tingkat pendidikan dasar, diukur oleh persentase penduduk usia dewasa yang buta huruf, dengan beberapa penekanan tertentu, misalnya hilangnya hak pendidikan pada kaum wanita, (3) tingkat kemapanan ekonomi, diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap prasarana kesehatan dan air bersih, serta persentase anak- anak di bawah usia lima tahun yang kekurangan gizi.

2.1.2 Jumlah Penduduk

Perkembangan penduduk di negara berkembang sangat tinggi tingkat kecepatan perkembangan dan besar jumlahnya. Keadaan ini menambah hambatan- hambatan yang harus diatasi dalam pembangunan. Hal ini menimbulkan beberapa masalah pada usaha-usaha pembangunan karena, di satu pihak, pertambahan penduduk yang sangat tinggi akan menimbulkan perkembangan jumlah tenaga kerja yang hampir sama cepatnya. Di lain pihak, kemampuan negara itu menciptakan kesempatan kerja baru yang sangat terbatas. Sebagai akibat dari kedua keadaan yang bertentangan itu, pertambahan penduduk menimbulkan masalah-masalah berikut: (i) jumlah pengangguran yang sudah cukup serius keadaannya sesudah Perang Dunia II makin bertambah serius lagi, (ii)

(30)

16

perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke kota menjadi bertambah pesat dan menimbulkan masalah urbanisasi yag berlebihan, (iii) pengangguran di kota- kota besar terus-menerus bertambah, dan (iv) keadaan kemiskinan di negara berkembang semakin serius (Sukirno, 2006).

Selain permasalahan diatas, Sukirno (2006) mengungkapkan perkembangan penduduk yang bertambah cepat dan jumlah yang sangat besar dalam beberapa dasawarsa ini, menimbulkan masalah baru yang serius, yaitu struktur penduduk yang berat sebelah, yaitu banyaknya penduduk yang berada dibawah umur (dibawah 15 tahun). Tingkat perkembangan penduduk yang semakin cepat menyebabkan proporsi penduduk yang belum dewasa menjadi bertambah tinggi dan jumlah anggota keluarga menjadi bertambah besar. Pada masa ini di negara maju penduduk yang berumur dibawah 15 tahun adalah sebesar 25 sampai 30 persen dari seluruh jumlah penduduk, sedangkan di negara berkembang persentase tersebut berada di sekitar 40 sampai 45 persen. Keadaan tersebut masih tetap berlaku pada permulaan abad ke-21 ini. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada golongan penduduk yang produktif, yaitu penduduk yang berumur di antara 15-59 tahun. Di negara maju proporsi mereka adalah antara 55- 60 persen, sedangkan di negara berkembang adalah sebesar 50-55 persen.

Selanjutnya perkembangan penduduk yang pesat di negara berkembang menyebabkan pula perubahan dalam jumlah rata-rata anggota keluarga, yaitu jumlah mereka menjadi bertambah besar. Secara rata-rata setiap keluarga mempunyai anggota sebanyak satu setengah kali lipat dari jumlah rata-rata anggota keluarga di negara maju.

(31)

Dalam tulisannya pada tahun 1798 yang berjudul Essay on The Principle of Population yang didasarkan atas konsep hasil yang semakin menurun, Malthus

mengajukan tesis adanya kecenderungan universal penduduk suatu negara—

kecuali jika diimbangi dengan bencana kelaparan yang parah—untuk tumbuh menurut deret ukur/geometris yang berlipat ganda setiap 30 sampai 40 tahun.

Pada saat yang sama, dikarenakan faktor tetap—yaitu lahan—mengalami hasil yang semakin menurun, persediaan makanan hanya dapat bertambah menurut deret hitung/aritmetik. Dan ketika lahan yang dimiliki setiap orang untuk bercocok tanam semakin sempit, kontribusi mereka terhadap produksi makanan akhirnya juga akan menurun. Karena pertumbuhan persediaan makanan tidak dapat mengikuti laju pertambahan penduduk, pendapatan per kapita (yang dalam masyarakat agraris hanya didefinisikan sebagai produksi makanan per kapita) akan cenderung menurun sedemikian rendahnya sehingga hanya memungkinkan orang-orang untuk menjalani kehidupan setingkat atau sedikit di atas tingkat sekadar bisa bertahan hidup. Oleh sebab itu, Malthus berpendapat bahwa satu- satunya cara untuk menghindari timbulnya kondisi taraf hidup yang sangat rendah atau kemiskinan absolut ini adalah mendorong setiap orang agar melakukan

“pengendalian moral” dan membatasi jumlah anak (Todaro dan Smith, 2011).

Sudah dapat dipastikan bahwa secara makro pembangunan suatu bangsa yang mengandalkan kepada jumlah manusia, jumlah sumber daya alam, atau materi dan uang tidaklah bisa langgeng. Hal ini disebabkan karena jumlah manusia yang banyak, walaupun dengan pendidikan yang tinggi, belumlah berarti bahwa manusia tersebut dapat dimanfaatkan sebagai aset dalam pembangunan.

(32)

18

Sebaliknya mereka bisa menjadi beban dan sumber kerawanan sebagaimana terlihat di banyak negara berkembang dalam bentuk pengangguran terdidik.

Sumber alam atau materi jelas tidak akan tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas. Uang tidak mempunyai makna apapun tanpa didukung oleh materi dan sumber daya (Hasibuan, 1996).

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Simanjuntak (1998) yang mengatakan bahwa jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar serta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di satu negara sebenarnya tidak perlu menjadi masalah bila daya dukung ekonomi yang efektif di negara itu cukup kuat memenuhi berbagai macam kebutuhan masyarakat termasuk penyediaan kesempatan kerja.

2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintahan di negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun berdasarkan tinggi-rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya dalam catatan statistik nasional. Berhasil-tidaknya program-program pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga sering dinilai berdasarkan tinggi- rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Bahkan, selama bertahun-tahun, kebijaksanaan konvensional hampir selalu menyamakan pembangunan dengan kecepatan pertumbuhan output nasional yang dihasilkannya. Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau

(33)

penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro dan Smith, 2003).

2.1.3.1 Tahap-tahap Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Rostow, terdapat lima tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu masyarakat tradisional, tahap prasyarat untuk lepas landas, tahap lepas landas, tahap gerakan ke arah kedewasaan, dan tahap masa konsumsi tinggi.

1. Masyarakat tradisional

Rostow mengartikan tahap masyarakat tradisional sebagai suatu masyarakat yang strukturnya berkembang di dalam fungsi produksi yang terbatas, yang didasarkan kepada teknologi, ilmu pengetahuan, dan sikap masyarakat seperti sebelum masa Newton. Yang dimaksudkan oleh Rostow dengan masyarakat sebelum masa Newton adalah suatu masyarakat yang masih menggunakan cara-cara berproduksi yang relatif primitif dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dicetuskan oleh cara pemikiran yang tidak rasional, tetapi oleh kebiasaan yang telah berlaku secara turun-temurun.

2. Tahap prasyarat untuk lepas landas

Rostow mendefinisikan tahap ini sebagai suatu masa transisi pada ketika dimana suatu masyarakat telah mempersiapkan dirinya, atau dipersiapkan dari luar, untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk terus berkembang (self-sustained growth). Tahap prasyarat untuk lepas landas dibedakan oleh Rostow dalam dua bentuk. Yang pertama adalah tahap prasyarat lepas landas yang dicapai oleh negara-negara Eropa, Asia, Timur Tengah, dan

(34)

20

Afrika: yang dilakukan dengan merombak masyarakat tradisional yang sudah lama ada. Bentuk yang kedua adalah yang dicapai oleh negara-negara yang dinamakan Rostow born free, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, yang dapat mencapai tahap prasyarat lepas landas tanpa harus merombak sistem masyarakat yang tradisional karena masyarakat negara-negara itu terdiri dari imigran yang telah mempunyai sifat-sifat yang diperlukan oleh sesuatu masyarakat untuk tahap prasyarat lepas landas.

3. Tahap lepas landas

Awal dari tahap lepas landas adalah masa berlangsungnya perubahan yang sangat drastis dalam masyarakat, seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat inovasi atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Jadi faktor penyebab dimulainya masa lepas landas berbeda-beda. Yang penting, sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini secara teratur akan tercipta pembaruan-pembaruan (innovations) dan peningkatan penanaman modal. Dan, penanaman modal yang makin bertambah tinggi tingkatnya ini mengakibatkan tingkat pertambahan pendapatan nasional menjadi bertambah cepat dan akan melangkahi tingkat pertambahan penduduk. Dengan demikian tingkat pendapatan per kapita makin lama akan menjadi makin besar.

Untuk mengetahui apakah sesuatu negara sudah mencapai tahap lepas landas atau belum, Rostow mengemukakan tiga ciri untuk menentukannya. Ciri- ciri tersebut adalah:

 Terwujudnya kenaikan dalam penanaman modal yang produktif dari lebih kurang 5 persen menjadi 10 persen dari Produk Nasional Neto.

(35)

 Terjadinya peningkatan satu atau beberapa sektor industri dengan tingkat laju perkembangan yang tinggi.

 Adanya suatu platform politik, sosial, dan institusional baru yang akan

menjamin berlangsungnya (i) segala tuntutan perluasan di sektor modern, dan (ii) potensi ekonomi ekstern yang ditimbulkan oleh kegiatan lepas landas, sehingga pertumbuhan dapat terus-menerus berjalan.

4. Tahap gerakan ke arah kedewasaan

Tahap pembangunan yang berikut adalah gerakan ke arah kedewasaan, yang diartikan oleh Rostow sebagai: masa dimana masyarakat sudah efektif menggunakan teknologi modern pada sebagian besar faktor produksi dan kekayaan alamnya. Dalam tahap ini sektor-sektor ekonomi berkembang lebih lanjut, sektor-sektor pelopor baru akan muncul untuk menggantikan pelopor lama yang akan mengalami kemunduran. Sektor-sektor pemimpin pada gerakan ke arah kedewasaan coraknya ditentukan oleh perkembangan teknologi, kekayaan alam, sifat tahap lepas landas yang berlaku, dan juga oleh bentuk kebijakan pemerintah.

5. Tahap konsumsi tinggi

Tahap terakhir dalam teori pertumbuhan Rostow adalah tahap konsumsi tinggi, yaitu masa di mana perhatian masyarakat lebih menekankan kepada masalah-masalah konsumsi dan kesejahteraan, dan bukan lagi kepada masalah produksi. Dalam tahap ini terdapat tiga macam tujuan masyarakat yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang tersedia dan dukungan politik, yaitu:

(36)

22

 Memperbesar kekuasaan dan pengaruh negara ke luar negeri, dan kecenderungan ini umumnya berwujud penaklukan negara-negara lain.

 Menciptakan welfare state, yaitu kemakmuran yang lebih merata bagi

penduduk dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem perpajakan progresif. Dalam sistem perpajakan seperti ini, makin tinggi pendapatan makin besar pula tingkat pajak atas pendapatan itu.

 Mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat di atas konsumsi keperluan

utama yang sederhana seperti makanan, pakaian, dan perumahan menjadi konsumsi barang-barang tahan lama dan mewah (Sukirno, 2006).

2.1.3.2 Faktor Pertumbuhan Ekonomi

Ada empat faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat (negara), yaitu:

1. Akumulasi modal

Akumulasi modal akan terjadi jika ada bagian dari pendapatan pada masa sekarang yang ditabung dan kemudian diinvestasikan untuk dapat memperbesar output pada masa yang akan datang. Adanya akumulasi modal akan mampu menambah “ketersediaan” sumberdaya-sumberdaya baru (misalnya, memperbaiki kualitas tanah yang rusak atau memperbaharui mesin-mesin yang telah usang), atau mungkin adanya akumulasi modal tersebut malah akan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya-sumberdaya yang sudah ada (misalnya, dengan adanya pola irigasi, pupuk, pestisida, dan lain-lain), namun karakteristik yang paling utama dari investasi adalah bahwasanya investasi tersebut menyangkut suatu trade-

(37)

offantara konsumsi pada masa sekarang dan konsumsi pada masa yang akan

datang, di mana pada umumnya investasi akan memberikan hasil yang sedikit pada masa sekarang, namun hasilnya akan lebih banyak diterima pada masa mendatang.

2. Pertumbuhan penduduk

Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut berarti: (1) semakin banyak jumlah angkatan kerja berarti semakin banyak pasokan tenaga kerja, dan (2) semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik.

Pengaruh positif atau negatif terhadap kemajuan ekonomi yang diakibatkan dari peningkatan penawaran tenaga kerja yang cepat di negara sedang berkembang tergantung pada kemampuan sistem ekonomi tersebut dalam menyerap dan mempekerjakan tambahan tenaga kerja tersebut secara produktif. Kemampuan tersebut tergantung pada tingkat dan jenis akumulasi modal serta tersedianya faktor-faktor lain yang dibutuhkan, seperti misalnya keahlian manajerial dan administratif.

3. Kemajuan teknologi

Menurut para ekonom, kemajuan teknologi merupakan faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kemajuan teknologi disebabkan oleh adanya cara-cara baru atau mungkin cara- cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional, seperti cara menanam padi, membuat pakaian, atau membangun rumah. Ada tiga

(38)

24

macam klasifikasi mengenai kemajuan teknologi yaitu: (1) kemajuan teknologi yang bersifat netral, (2) kemajuan teknologi yang bersifat menghemat tenaga kerja, dan (3) kemajuan teknologi yang bersifat menghemat modal.

Suatu kemajuan teknologi dikatakan mempunyai sifat yang netral jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi dari kuantitas dan kombinasi input yang sama. Kemajuan teknologi dapat pula bersifat menghemat tenaga kerja (di mana output yang lebih tinggi dapat dicapai dengan jumlah tenaga kerja yang sama) atau menghemat modal (di mana output yang lebih tinggi dapat dicapai dengan input modal yang sama). Penggunaan komputer, traktor, dan mesin-mesin lainnya dapat diklasifikasikan sebagai penggunaan teknologi yang menghemat tenaga kerja. Sedangkan kemajuan teknologi yang bersifat menghemat modal sangat jarang terjadi, karena hampir semua penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi yang dilakukan oleh negara-negara maju pada dasarnya bertujuan untuk menghemat tenaga kerja, bukan untuk menghemat modal. Namun, bagi negara- negara yang mempunyai tenaga kerja melimpah seperti NSB pada umumnya.

Maka kemajuan teknologi yang bersifat menghemat modal sangat dibutuhkan.

Di sisi lain, kemajuan teknologi dapat pula bersifat memperluas tenaga kerja atau malah memperluas modal. Kemajuan teknologi yang bersifat memperluas tenaga kerja terjadi jika kualitas atau keahlian angkatan kerja ditingkatkan. Sementara itu, kemajuan teknologi yang bersifat memperluas modal terjadi jika penggunaan modal secara lebih produktif, misalnya penggantian bahan untuk membuat bajak dari kayu menjadi baja dalam produksi pertanian.

(39)

4. Sumberdaya institusi

Menurut North peran institusi dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sangat sentral. Pengertian institusi yang dimaksudkan oleh North (1991) adalah aturan-aturan yang mengatur interaksi politik, ekonomi, dan sosial.

Institusi terdiri dari aturan informal (adat istiadat, tradisi, norma sosial, dan agama) dan aturan formal (konstitusi, undang-undang, peraturan-peraturan, dan hak kepemilikan).

Menurut Rodrik et al (2000). Ada empat fungsi institusi dalam kaitannya dengan mendukung kinerja perekonomian yaitu:

 Menciptakan pasar: institusi uang melindungi hak kepemilikan dan memastikan pelaksanaan kontrak.

 Mengatur pasar: institusi yang bertugas mengatasi kegagalan pasar yakni

institusi yang mengatur masalah eksternalitas, skala ekonomi, dan ketidaksempurnaan informasi untuk menurunkan biaya transaksi.

 Menjaga stabilitas: institusi yang menjaga agar tingkat inflasi rendah,

meminimumkan ketidakstabilan makroekonomi, dan mengendalikan krisis keuangan.

 Melegitimasi pasar: institusi yang memberikan perlindungan sosial dan asuransi, termasuk mengatur redistribusi dan mengelola konflik (Arsyad, 2010).

(40)

26

2.1.4 Tingkat Pengangguran Terbuka

Arsyadmengatakan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai arti penting masalah kesempatan kerja di perkotaan, kita harus memperhitungkan pula masalah pertambahan pengangguran terbuka yang jumlahnya lebih besar, yaitu mereka yang kelihatan aktif bekerja namun secara ekonomis sebenarnya mereka tidak bekerja secara penuh. Kelebihan tenaga kerja dan pengangguran merupakan sumber utama kemiskinan massal, baik kemiskinan materi maupun nonmateri (Hasibuan, 1996). Menurut Edwards, untuk melakukan pengelompokkan terhadap jenis-jenis pengangguran, perlu dipahami dimensi- dimensi berikut ini:

 Waktu: banyak di antara mereka yang ingin bekerja lebih lama, misalnya jam kerjanya per hari, per minggu, atau per tahun).

 Intensitas pekerjaan: yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi makanan.

 Produktivitas: kurangnya produktivitas seringkali disebabkan oleh

kurangnya sumberdaya komplementer dalam melakukan pekerjaan.

Edwards mengemukakan definisi pengangguran terbuka adalah baik sukarela (mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik) maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja namun tidak memperoleh pekerjaan).

2.1.4.1 Jenis Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut BPS, penganggur terbuka terdiri dari:

1. Mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan.

(41)

Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang pada saat survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti mereka:

 Yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.

 Yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan.

 Yang bekerja atau mempunyai pekerjaan, tetapi karena sesuatu hal masih

berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain.

Usaha mencari pekerjaan ini tidak terbatas pada seminggu sebelum pencacahan, jadi mereka yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan dan yang permohonannya telah dikirim lebih dari satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan asalkan seminggu yang lalu masih mengharapkan pekerjaan yang dicari. Mereka yang sedang bekerja dan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lain tidak dapat disebut sebagai penganggur terbuka.

2. Mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha.

Mempersiapkan suatu usaha adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam rangka mempersiapkan suatu usaha/pekerjaan yang “baru”, yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan/keuntungan atas resiko sendiri, baik dengan atau tanpa mempekerjakan buruh/pekerja dibayar maupun tidak dibayar.

Mempersiapkan yang dimaksud adalah apabila “tindakannya nyata”, seperti:

mengumpulkan modal atau perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus surat ijin usaha dan sebagainya, telah/sedang dilakukan. Mempersiapkan usaha tidak termasuk yang baru merencanakan, berniat, dan baru mengikuti kursus/pelatihan dalam rangka membuka usaha. Mempersiapkan suatu usaha yang

(42)

28

nantinya cenderung pada pekerjaan sebagai berusaha sendiri atau sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar atau sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar.

3. Mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.

4. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.

2.1.4.2 Penyebab Tingkat Pengangguran Terbuka

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran adalah sebagai berikut:

1. Besarnya angkatan kerja tidak seimbang dengan kesempatan kerja ketidakseimbangan terjadinya apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia.

2. Struktur lapangan kerja tidak seimbang.

3. Kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi.

4. Meningkatnya peranan dan aspirasi angkatan kerja wanita dalam seluruh struktur angkatan kerja Indonesia.

5. Penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja antardaerah tidak seimbang (Sukirno, 2004).

(43)

2.1.5 Penelitian Terdahulu

1. Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, IPM, Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah oleh Saputra (2011) Penelitian yang dilakukan oleh Saputra mengenai pengaruh variabel independen yaitu Jumlah Penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Tingkat Pengangguran terhadap variabel dependen yaitu Tingkat Kemiskinan di kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode analisis data panel dengan model persamaan sebagai berikut:

KM = β0 + β1PDit + β2PDRBit + β3IPMit + β4PGit + β5D2 + β6D3 + v7D4 + μi....(2.1)

Dimana:

KM = tingkat kemiskinan (%), D4 = dummy tahun 2008 PD = variabel jumlah penduduk (jiwa), i = unit cross-section PDRB = variabel PDRB harga konstan 2000 (rp), t = unit time-series

IPM = variabel IPM, β0 = konstanta

PG = variabel tingkat pengangguran (%) , β = koefisien

D2 = dummy tahun 2006, μ = residual

D3 = dummy tahun 2007

Hasil dari penelitian yang dilakukan Saputra ini adalah variabel Jumlah Penduduk memberikan pengaruh yang positif dan signifikan pada α = 5%

terhadap tingkat kemiskinan pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, variabel Produk Domestik Regional Bruto memberikan pengaruh negatif dan

(44)

30

signifikan pada α = 5% terhadap tingkat kemiskinan pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan pada α = 5% terhadap tingkat kemiskinan pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, dan variabel Tingkat Pengangguran memberikan pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Sumatera Utara oleh Restuty (2014)

Penelitian ini menggunakan alat analisa ekonometrika dan data yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisa statistik, yaitu persamaan regresi linear berganda. Model persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

LnY = β0 + β1X1 + β2LnX2 + β3X3 + β4X4 +μ...(2.2) Dimana:

Y = jumlah penduduk miskin (jiwa)

Β0 = intercept

X1 = pertumbuhan ekonomi (%) X2 = pendapatan per kapita (Rp) X3 = inflasi (%)

X4 = pengangguran (%) β1 ,β2, β3, β4 = koefisien regresi

μ = error term

(45)

Hasil dari penelitian ini adalah variabel pertumbuhan ekonomi memberi pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara, variabel pendapatan per kapita memberi pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara, variabel inflasi memberi pengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara, dan varibel pengangguran memberi pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara.

3. Pengaruh PDRB, Tingkat Pendidikan, dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Kota Yogyakarta oleh Nugroho (2015)

Analisis data dalam penelitian Nugroho mengenai pengaruh variabel independen yaitu PDRB, Tingkat Pendidikan, dan Pengangguran terhadap variabel dependen Kemiskinan di Kota Yogyakarta ini menggunakan cara pentahapan secara berurutan dengan pendekatan deskriptif, yaitu terdiri dari tiga alur yaitu pengumpulan data sekaligus reduksi data dari hasil dokumentasi data dari BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil dari penelitian ini adalah variabel PDRB memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan di Kota Yogyakarta, variabel tingkat pendidikan memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan di Kota Yogyakarta, dan variabel pengangguran memberikan pengaruh positif dan berpengaruh terhadap kemiskinan di Kota Yogyakarta.

(46)

32

4. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Inflasi dan Tingkat Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Bengkulu oleh Septajaya (2014)

Penelitian yang dilakukan Septajaya ini menggunakan metode analisis data kuantitatif dengan analisis regresi linier berganda. Model persamaan yang digunakan adalah:

Y = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e...(2.3) Dimana:

Y = tingkat kemiskinan (%)

b0 = konstanta

b1, b2,b3, b4 = koefisien regresi

X1 = pertumbuhan penduduk (%)

X2 = pertumbuhan ekonomi (PDRB) (%) X3 = tingkat pengangguran (%)

X4 = tingkat inflasi (%)

e = error term

Hasil dari penelitian ini adalah variabel pertumbuhan penduduk tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, variabel pertumbuhan ekonomi memberi pengaruh negatif yang signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, variabel tingkat pengangguran memberi pengaruh positif yang signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, dan variabel tingkat inflasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu.

(47)

5. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Pendidikan, UMR dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2014 oleh Arumsari (2017)

Penelitian Arumsari tentang Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Pendidikan, UMR dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2014 ini menggunakan model analisis data panel dengan model persamaan sebagai berikut:

TKMit = α + β1PEit + β2EDUCit + β3UEit + β4UMRit + β5TGit + u...(2.4) Dimana:

TKM = tingkat kemiskinan PE = pertumbuhan ekonomi EDUC = tingkat pendidikan UE = tingkat pengangguran UMR = upah minimum regional

TG = laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah α = intersep

β1, β2, β3= koefisien regresi variabel bebas i = data cross section

t = data time series

Uit = komponen error di waktu t untuk unit cross section

Hasil penelitian ini adalah variabel pertumbuhan ekonomi memberi pengaruh positif tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2011-2014, variabel pengangguran memberi pengaruh positif tidak

(48)

34

signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2011-2014, variabel laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah memberi pengaruh yang positif signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2011-2014, variabel upah minimum regional memberi pengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2011-2014, dan variabel pendidikan memberi pengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2011-2014.

2.2 Kerangka Konseptual

2.2.1 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Kemiskinan

Peningkatan jumlah penduduk di negara berkembang seringkali menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah banyaknya jumlah penduduk usia produktif dan jumlah beban orang yang ditanggung. Kemampuan negara berkembang dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang masih terbatas mengakibatkan banyak masyarakat yang bekerja tidak tetap, menganggur, serta bekerja namun tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan berakhir dengan kemiskinan. Jumlah penduduk yang tinggi juga lambat laun akan menghabiskan sumberdaya alam yang tersedia sehingga meningkatkan bencana kelaparan, kesehatan yang buruk, tidak mempunyai tempat tinggal tetap, dan lainnya.

2.2.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

Kuznet (Tambunan, 2001) mengatakan pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati

(49)

Hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan pada dasarnya bersifat dua arah. Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan menyebabkan peningkatan permintaan akan tenaga kerja dan peningkatan upah, dan dengan demikian mengurangi kemiskinan. Pendapatan yang lebih baik meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan juga memperbaiki pendapatan publik dan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk prasarana fisik dan sosial, sehingga membantu mengurangi kemiskinan dikutip dari Sukirno (2006) dalam Restuty (2014).

2.2.3 Pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan Dalam pembangunan ekonomi di negara berkembang pengangguran yang semakin bertambah jumlahnya merupakan masalah yang lebih rumit dan lebih serius dari masalah perubahan dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan rendah. Keadaan di negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak sanggup menciptakan kesempatan kerja yang lebih cepat dari pertambahan penduduk. Oleh karenanya, masalah pengangguran yang dihadapi dari tahun ke tahun semakin lama semakin serius (Sukirno, 2006).

Jumlah pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan di Indonesia yang penduduknya memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Yang artinya bahwa semakin tinggi pengangguran maka akan meningkatkan kemiskinan (Octaviani, 2001).

(50)

36

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual 2.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang menjawab pertanyaan- pertanyaan dalam rumusan masalah dan dibuat berdasarkan landasan teori-teori yang didapat oleh peneliti. Hipotesis dalam penelitian iniadalah sebagai berikut:

1. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

2. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3. Tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Jumlah Penduduk (X1)

Tingkat Kemiskinan (Y)

Pertumbuhan Ekonomi (X2)

Tingkat Pengangguran Terbuka (X3)

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dan dikembangkan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang administrasi dan manajemen (Sugiyono, 2014).

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang berbentuk angka. Sedangkan metode penelitian yang dipakai penulis adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pengangguran terbuka terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dan waktu penelitian adalah pada tahun 2011 sampai tahun 2015.

3.3 Batasan Operasional

Variabel Tingkat Kemiskinan (TK) sebagai variabel dependen (Y), variabel Jumlah Penduduk (JP), Pertumbuhan Ekonomi (PE), dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebagai variabel independen (X).

(52)

38

3.4 Definisi Operasional

1. Tingkat Kemiskinan adalah jumlah penduduk di setiap kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara yang berada dibawah garis kemiskinan tahun 2011-2015 (jiwa).

2. Jumlah Penduduk adalah banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2015 (jiwa).

3. Pertumbuhan Ekonomi adalah proses kenaikan produk domestik regional bruto dari tahun t-1 ke tahun t di setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2015 (juta rupiah).

4. Tingkat Pengangguran Terbuka adalah jumlah penduduk yang tidak bekerja/penganggur di setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2015 (jiwa).

3.5 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka dan sumber data penelitian ini diambil dari Badan Pusat Statistik, serta buku, jurnal, maupun situs yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Penulis mendokumentasikan data yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik, buku, jurnal, maupun situs yang berkaitan dengan penelitian.

(53)

3.7 Teknik Analisis Data 3.7.1 Analisis Data Panel

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel. Analisis ini merupakan gabungan dari analisis deret unit (cross-section data) dan analisis deret waktu (time-series data) berupa data dari 33

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011-2015.

Model dengan data cross-section:

Yi = α + βXi + εi ; i = 1,2,...., N Model dengan data time-series:

Yt = α + βXt + εt ; t = 1,2,...., T

Maka, model dengan data panel dituliskan sebagai berikut:

Yit = α + βXit + εit ; i = 1,2,...., N ; t = 1,2,...., T ...(3.1) Dimana:

N : banyaknya observasi T : banyaknya waktu NxT : banyaknya data panel

Baltagi dalam Gujarati dan Porter (2012) mengungkapkan keuntungan memilih data panel, yaitu:

1. Data panel dapat mengatasi heterogenitas yang terjadi akibat hubungan data dengan individu, perusahaan, negara, dan lain-lain, dari waktu ke waktu secara eksplisit dengan memberikan variabel spesifik-subjek.

(54)

40

2. Data panel memberi “lebih banyak informasi, lebih banyak variasi, sedikit kolinearitas antarvariabel, lebih banyak degree of freedom, dan lebih efisien”.

3. Dengan memberi observasi cross-section yang berulang-ulang, data panel paling cocok untuk mempelajari dinamika perubahan.

4. Data panel paling baik untuk mendeteksi dan mengukur dampak yang secara sederhana tidak bisa dilihat pada data cross-section murni atau time-series murni.

5. Data panel memudahkan untuk mempelajari model perilaku yang rumit.

6. Data panel dapat meminimumkan bias yang bisa terjadi.

3.7.2 Penentuan Model Estimasi

3.7.2.1 Pendekatan Kuadrat Kecil (Common Effect) / Pooled Least Square Pendekatan ini menggabungkan (pooled) seluruh data time-series dan cross-section tanpa melihat perbedaan antar waktu dan individu dan

menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) atau sering dikenal dengan pendekatan Pooled Least Square.

3.7.2.2 Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect)

Pendekatan ini memungkinkan adanya perubahan α (intersep) pada setiap individu dan waktu dengan menambahkan variabel dummy. Istilah efek tetap muncul karena adanya intersep yang dapat berbeda antar individu, namun intersep setiap perusahaan tidak bervariasi sepanjang waktu (Subanti dan Hakim, 2014).

Gambar

Gambar 2.1  Lingkaran Kemiskinan
Gambar 2.2  Kerangka Konseptual  2.3  Hipotesis
Tabel 4.5  Uji Chow
Tabel 4.7  Random Effect Model

Referensi

Dokumen terkait

Lopez dkk (2010:81) mengatakan bahwa penerimaan diri adalah kunci utama dari kesejahteraan psikologis individu. Berdasarkan pemaparan di atas, penerimaan diri pada

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan yang berfungsi sebagai kantor DPRD Sukoharjo sebagai wadah yang memiliki kesan terbuka lingkungan sekitar dalam hal

“Yayasan Pondok Pesantren Nurul Huda Surabaya di bidang formal (sekolah) selalu melakukan perencanaan dalam merekrut tenaga pendidik, yaitu dengan melakukan analisis

Penelitian ini menjelaskan bahwa upaya menghentikan konflik dan kerjasama yang dilakukan oleh umat beragama pasca konflik telah berhasil dilakukan atas dukungan semua

Persamaan Hazen William secara empiris menyatakan bahwa debit yang mengalir didalam pipa adalah sebanding dengan diameter pipa dan kemiringan hidrolis (S) yang di

Karena itulah pemilihan topik tentang sistem persediaan, pembelian, dan penjualan adalah untuk mempermudah dalam melakukan pengolahan dan penganalisaan terhadap informasi atau data

Walaupun Tanah Melayu sudahpun terdcdah kepada pasaran antarabangsa sejak 1870-an, dan pernah pula mengalami pasang surut aktiviti ekonorni, kernelesetan yang

Pendidikan karakter merupakan bentuk pendidikan yang mengedepankan nilai moral dan nilai keagamaan melalui berbagai aspek kehidupan mulai dari kesopanan serta