• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Anemia Pada Ibu Hamil Dengan Antropometri Bayi Baru Lahir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Anemia Pada Ibu Hamil Dengan Antropometri Bayi Baru Lahir"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Najwa Sufa Hilwa, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 67-72

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol 7 No 2 – Agustus 2020 ISSN 2302-836X (print), ISSN 2621-461X (online) Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jkr DOI: 10.22146/jkr.50642

Hubungan Anemia Pada Ibu Hamil Dengan Antropometri

Bayi Baru Lahir

Najwa Sufa Hilwa1, Irmiya Rachmiyani2, CIpta Pramana3

1Mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti; 2Staff Pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 3Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang/Dosen Pembimbing Klinis

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta

Korespondensi: 1najwasufahilwa@hotmail.com 2dr.irmiya@trisakti.ac.id 3pramanacipta@yahoo.com Submisi: 18 November 2019; Revisi: 15 Oktober 2020; Penerimaan: 16 Oktober 2020

ABSTRACT

Background: Health problems that occur during pregnancy can affect the health of the baby in the womb until the delivery and growth of the baby. Anthropometry in newborns can be affected by some factors, which are anemia in pregnancy, the lack of maternal nutrition, maternal and fetal infections, and the mother contains multiple babies. Anemia in pregnant women will increase the risk of perinatal mortality and morbidity because it can cause impaired nutrition and utero placental oxygenation which results in a disruption of growth in conception.

Objective: This study aims to assess the relationship of anemia in pregnant women with anthropometry of newborns.

Method: Observational analysis with cross-sectional study design with subjects of research are pregnant women who gave birth in the hospital in January 2017 - June 2018. Variables collected and will be examined were Hb levels of the third semester, birth weight, birth length and baby head circumference born which was obtained from secondary data specifically medical records.

Result and Discussion: Total subjects in this study were 152 subjects, most of them were aged 26-30 years (41.4%) with mothers without anemia as

many as 105 people (69.1%). The results of the analysis show that there is no relationship between the weight of newborns and anemia in pregnant women, there is no relationship between the length of the newborn body and anemia in pregnant women, there is a relationship between the head circumference of newborns and anemia in pregnant women.

Conclusion: This study shows that there is a significant relationship between anemia in pregnant women with head circumference of newborns (p = 0.050), but it is found that there is no significant relationship between anemia in pregnant women and birth weight (p = 0.374) and body length of the baby (p = 0.198).

Keywords: Anemia; Anthropometry of newborns; Pregnant mother; Third trimester Hb level

ABSTRAK

Latar Belakang: Gangguan kesehatan yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan pertumbuhan bayi selanjutnya. Antropometri pada bayi baru lahir dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu anemia pada kehamilan, nutrisi maternal yang kurang, infeksi maternal dan fetal, dan ibu mengandung janin multipel. Anemia pada wanita hamil akan meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas perinatal karena dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan oksigenasi utero plasenta yang menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan anemia pada ibu hamil dengan antropometri bayi baru lahir.

Metode: Analisis observasional dengan desain studi potong lintang dengan subjek penelitian ibu hamil yang melahirkan di RS pada bulan Januari 2017 - Juni 2018. Variabel yang dikumpulkan dan akan diteliti adalah kadar Hb trimester III, berat badan bayi lahir, panjang badan bayi lahir, dan lingkar kepala bayi lahir yang diperoleh dari data sekunder yaitu rekam medis.

Hasil dan Pembahasan: Total subjek pada penelitian ini adalah 152 subjek, sebagian besar subjek penelitian berusia 26 - 30 tahun (41,4%) dengan ibu tidak anemia sebanyak 105 orang (69,1%). Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara berat badan bayi baru lahir dengan anemia pada ibu hamil, tidak ada hubungan antara panjang badan bayi baru lahir dengan anemia pada ibu hamil, ada hubungan antara lingkar kepala bayi baru lahir dengan anemia pada ibu hamil.

(3)

PENDAHULUAN

Pembangunan dibidang kesehatan tidak bisa dilepaskan dari upaya mewujudkan kesehatan anak sedini mungkin sejak dalam kandungan. Upaya kesehatan ibu telah dipersiapkan sebelum dan selama kehamilan bertujuan untuk mendapatkan bayi yang sehat.1 Gangguan kesehatan yang terjadi

selama kehamilan dapat mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan tumbuh kembang bayi selanjutnya. Gangguan kesehatan yang sering terjadi selama kehamilan adalah anemia.2 Anemia memiliki dampak yang

besar terhadap kesehatan masyarakat, begitu juga pada perkembangan sosial dan ekonomi. Anemia terjadi di setiap tahap siklus hidup manusia, di mana satu dari empat orang di dunia menderita anemia. Risiko tertinggi anemia terdapat pada anak- anak yang belum bersekolah (0-4,99 tahun) dan ibu hamil.2

Telatar B, dkk, menyatakan bahwa anemia maternal berpengaruh terhadap pengukuran antropometri (panjang lahir, berat lahir, lingkar kepala, dan lingkar dada). Terjadi perbedaan pada pengukuran antropometri dari ibu dengan anemia ringan dan ibu dengan anemia berat, pada ibu dengan anemia berat pengukuran antropometri bayi baru lahirnya lebih rendah daripada ibu dengan anemia ringan.3 Konsekuensi dari anemia

selama kehamilan adalah hasil kehamilan yang buruk, gangguan perkembangan fisik dan kognitif, meningkatnya angka kesakitan pada anak, dan kurangnya produktivitas saat dewasa. Anemia selama kehamilan mempengaruhi pengukuran antropometri dari bayi yang baru lahir. Anemia yang berat secara signifikan akan memberikan efek negatif terhadap pengukuran antropometri neonatal.(3-4)

Berat badan lahir rendah (BBLR) dapat berdampak buruk pada kesehatan bayi. Permukaan tubuh bayi dengan berat lahir rendah relatif lebih luas, sehingga risiko kehilangan panas dan air relatif lebih besar. Selain itu, jaringan lemak subkutan bayi lebih tipis, sehingga risiko kehilangan panas melalui kulit dan kekurangan cadangan energi lebih besar.(5,6) Panjang bayi yang kurang dari normal

saat kelahiran merupakan salah satu faktor risiko dari stunting. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier dan apabila terjadi pada masa

golden period perkembangan otak (0-3 tahun), maka berakibat pada perkembangan otak yang tidak baik. Hal tersebut di masa yang akan datang dapat berakibat pada penurunan kemampuan intelektual dan produktivitas, peningkatan risiko penyakit degeneratif dan kelahiran bayi dengan berat lahir rendah atau prematur.6

METODE

Desain Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan analisis observasional. Selanjutnya, data diolah dan diuji dengan menggunakan teknik analisis statistik.

Metode yang digunakan adalah desain potong silang atau cross sectional, berdasarkan hasil rekam medik ibu melahirkan di RSUD Budhi Asih dengan pertimbangan kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian akan dilaksanakan di RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur pada bulan September 2018 sampai Desember 2018. Populasi yang dipilih adalah semua ibu yang melahirkan di RSUD Budhi Asih pada bulan Januari 2017 – Juni 2018.

Besar Sampel dan Cara Pengukuran

Sampel penelitian adalah anggota dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Teknik Pengambilan sampel adalah dengan cara consecutive sampling, yaitu dengan mengambil data yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang berurutan dalam kurun waktu tertentu hingga memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan.

• Rumus populasi infinit

Keterangan:

N0 = besar sampel optimal yang dibutuhkan Zα = pada tingkat kemaknaan 95% besarnya 1,96 P = prevalensi bayi lahir normal = 0,90

Q = 1-p (perkiraan prevalensi yang tidak tergolong p) D = penyimpangan terhadap populasi atau derajat populasi yang dibutuhkan

(4)

Najwa Sufa Hilwa, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 67-72 • Rumus populasi finit

Keterangan:

n = besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi finit N0 = besar sampel optimal yang dibutuhkan = 132 N = besar populasi yang finit

(Ibu melahirkan Januari 2017 – Juni 2018) Maka:

Besar sampel adalah 132 + drop out (15% x 132) = 152 responden. Sehingga minimal besar sampel penelitian adalah 152 responden.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data penelitian diambil dari data sekunder rekam medis ibu yang melahirkan di RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur pada bulan Januari 2017 sampai Juni 2018. Responden yang diikutsertakan pada penelitian ini berjumlah 152 responden.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian di RSUD Budhi Asih

Karakteristik Kategori (±Standar Deviasi)Mean (max-min)Median Frekuensi Persen(%)

Usia 20-25 27.7 (±4.064) 27(21) 51 33.6 26-30 63 41.4 31-35 38 25 Paritas Nulipara 55 36.2 Primipara 97 63.8 Jenis persalinan SC 107 70.4 Normal 45 29.6 Kadar HB Anemia 11.617(±1.3777) 11.8(8.1) 47 30.9 Normal 105 69.1 Berat Badan BBLR 3187.32(±402.835) 3181(2320) 6 3.9 Tidak BBLR 146 96.1 Lingkar Kepala Mikrosefal 32.97(±1.617) 33(8) 24 15.8 Tidak Mikrosefal 128 84.2 Panjang Badan Normal 47.76(±1.967) 48(11) 124 81.6 Stunting 28 18.4

Tabel 2 Hubungan Anemia dengan Berat Badan Bayi Lahir

Kadar Hb trimester III

N=152 Total p-value

Anemia Normal

Berat Badan Tidak BBLRBBLR 443 1023 1466 0.374

Total 47 105 152

(5)

Tabel 3 Hubungan Anemia dengan Panjang Badan Bayi Lahir

Kadar Hb trimester III

N=152 Total p-value Anemia Normal Panjang Badan Normal 35 89 124 0.198 Stunting 12 16 28 Total 47 105 152

Terlihat pada tabel di atas diketahui bahwa dari ibu yang memiliki kadar Hb trimester III dengan kategori anemia terdapat sebanyak 35 bayi terlahir dengan panjang badan normal dan 12 bayi terlahir dengan panjang badan stunting. Sedangkan jika kadar Hb trimester III normal terdapat sebanyak 89

bayi terlahir dengan panjang badan normal dan 16 bayi terlahir dengan panjang badan stunting. Hasil analisis statistik menunjukan nilai p-value = 0.198 > 0.05 maka H0 diterima, artinya dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara panjang badan bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III.

Tabel 4 Hubungan Anemia dengan Lingkar Kepala Bayi Lahir

Kadar Hb trimester III

N=152 Total p-value

Anemia Normal

Lingkar Kepala MikrosefalBukan 35 93 128

0.050

Mikrosefal 12 12 24

Total 47 105 152

Terlihat pada tabel di atas diketahui bahwa dari ibu yang memiliki kadar Hb trimester III dengan kategori anemia terdapat sebanyak 35 bayi terlahir dengan lingkar kepala bukan mikrosefal dan 12 bayi terlahir dengan lingkar kepala mikrosefal. Sedangkan jika kadar Hb trimester III normal terdapat sebanyak 93 bayi terlahir dengan lingkar kepala bukan mikrosefal dan 12 bayi terlahir dengan lingkar kepala mikrosefal. Hasil analisis statistik menunjukan nilai p-value = 0.050 ≤ 0.05 maka H0 ditolak, artinya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lingkar kepala bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III.

Diskusi

Dari 3.608 ibu hamil yang melakukan persalinan di RSUD Budhi Asih, Cawang selama Januari 2017 - Juni 2018, diambil sejumlah 152 sampel secara acak. Adapun karakteristik sampel yang dimasukkan dalam penelitian meliputi usia, paritas, dan jenis persalinan. Sebagian besar subjek penelitian berusia 26 - 30 tahun (41,4%) dengan paritas terbanyak adalah primipara (63,8%), dan jenis persalinan terbanyak adalah Sectio Caesaria (70,4%).

Hubungan antara Anemia dengan Berat

Badan Bayi Lahir

Pada penelitian ini, hasil analisis statistik menunjukan nilai p-value = 0.374 > 0.05 maka H0 diterima, artinya dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara berat badan bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ulfa R7 yang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kadar hemoglobin trimester III dengan berat badan bayi lahir. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggi S, dkk8 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara kadar hemoglobin ibu hamil trimester III dengan antropometri bayi baru lahir, hal ini dikarenakan persamaan dalam pengambilan trimester untuk kadar Hb yaitu trimester III, dengan subjek pada usia yang relatif sama yaitu 20 - 35 tahun. Dengan ibu kehamilan trimester III yang melahirkan bayi aterm. Selain itu, terdapat persamaan tidak mengambil subjek ibu mengandung janin multipel, ibu dengan bayi yang mengalami kelainan kongenital, dan ibu perokok dan peminum alkohol.

(6)

Najwa Sufa Hilwa, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 67-72 Hubungan kadar hemoglobin trimester III

dengan berat bayi lahir memang telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Kadar hemoglobin ibu hamil trimester III yang rendah dan tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat/ kecil untuk masa kehamilan.(9,10) Pada penelitian ini, peneliti belum bisa menemukan hubungan antara anemia pada ibu hamil dengan berat bayi lahir tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan masih adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat bayi lahir yang belum dapat disingkirkan sebagai faktor perancu pada penelitian seperti ibu hamil dengan berat badan < 45kg dan nutrisi maternal yang kurang.

Pada dasarnya, berat bayi lahir memang tidak mutlak dipengaruhi oleh kadar hemoglobin ibu hamil. Berat bayi lahir dipengaruhi oleh dua faktor ibu yang mempengaruhi pertumbuhan janin intrauterin, yaitu faktor internal dan eksternal ibu hamil. Kadar hemoglobin termasuk ke dalam faktor internal ibu hamil.11

Hubungan antara Anemia dengan Panjang

Badan Bayi Lahir

Pada penelitian ini, hasil analisis statistik menunjukan nilai p-value = 0198 > 0.05 maka H0 diterima, artinya dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara panjang badan bayi baru lahir dengan kadar Hb Trimester III. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Laflamme EM.12 Pada penelitiannya didapatkan bahwa hubungan antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan panjang badan bayi lahir memiliki p-value > 0,05, yang berarti tidak ada korelasi yang bermakna antara kedua variabel tersebut.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Ulfa RP13 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar hemoglobin ibu hamil trimester III dengan panjang badan bayi lahir, hal ini dikarenakan persamaan dalam pengambilan trimester untuk kadar Hb dan juga persamaan dalam kriteria inklusi dan eksklusi. Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian dari Rolla D yang

anemia 4,13 kali lebih berisiko melahirkan anak dengan panjang badan lahir pendek dari pada ibu yang tidak anemia.13 Hasil penelitian yang berbeda dikarenakan banyak faktor seperti perbedaan metode penelitian, pada penelitian yang dilakukan oleh Rolla D menggunakan metode case control dengan jumlah sampel yang lebih sedikit yaitu 64 untuk bayi panjang lahir stunted dan 128 bayi kelompok kontrol, terdapat juga perbedaan dalam pengambilan trimester untuk kadar Hb, pada penelitian ini mengambil status anemia pada ibu hamil yaitu kadar Hb trimester I hingga III.

Hubungan antara Anemia dengan Lingkar

Kepala Bayi Lahir

Hasil analisis statistik menunjukan nilai p-value = 0.050 ≤ 0.05 maka H0 ditolak, artinya dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lingkar kepala bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III.

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Hutabarat MR5 melalui penelitiannya di RSUP Adam Malik Medan bahwa tidak ada hubungan antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan lingkar kepala bayi lahir. Perbedaan dikarenakan jumlah sampel yang berbeda, pada penelitian menggunakan sampel dengan jumlah 45 sampel, dan tanpa mengeksklusikan faktor perancu lain, hanya mengeksklusikan ibu dengan janin multipel.

Studi oleh Telatar, dkk3, terhadap 3.6888 orang ibu hamil di Turki menyatakan bahwa lingkar kepala bayi lahir dipengaruhi secara negatif oleh anemia maternal, yang berarti bahwa anemia berat memiliki hubungan yang lebih signifikan. Penelitian tersebut mendapatkan perbedaan berat badan, panjang badan, lingkar kepala dan lingkar dada yang signifikan secara statistik di antara bayi baru lahir pada ibu hamil non anemia dan ibu hamil anemia. Berat badan, panjang badan, lingkar kepala, dan lingkar dada bayi dengan ibu hamil anemia berat memiliki nilai yang lebih kecil daripada ibu hamil anemia ringan. Perbedaan hasil penelitian dikarenakan perbedaan jumlah sampel yang signifikan, selain

(7)

Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan yang mungkin ikut mempengaruhi hasil penelitian yang ada. Keterbatasan itu berupa :

a. Tidak memasukkan faktor perancu lain seperti ibu dengan nutrisi maternal yang kurang dan ibu dengan berat badan < 45kg sebelum kehamilan dalam kriteria eksklusi dikarenakan > 90% rekam medis tidak mencantumkan data tersebut.

b. Tidak mengambil data secara primer sehingga tidak bisa menanyakan hal yang belum tertera atau kurang jelas di rekam medis langsung kepada sampel.

c. Sampel yang diambil hanya dari satu rumah sakit sehingga tidak bisa membandingkan dengan populasi lain pada rumah sakit lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan pada distribusi frekuensi sampel, diperoleh usia sampel paling banyak adalah 26-30 tahun, dan karakteristik hemoglobin paling banyak adalah normal. Tidak ada hubungan antara berat badan bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III. Tidak ada hubungan antara panjang badan bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III. Ada hubungan antara lingkar kepala bayi baru lahir dengan kadar Hb trimester III.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia. Depkes RI. 2009: Jakarta

2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Bakti Husada. 2008: Jakarta.

3. Telatar B, Comert S, Vitrinel A, Erginoz E, Akin Y.

The effect of maternal anemia on anthropometric measurements of newborns. Saudi Med J. 2009;

30(3): 409-12

4. Dandara S, Hariati L, Ririn Teguh A. Analisis Faktor Risiko BBLR, Panjang Badan Bayi Saat Lahir dan Imunisasi Dasar Terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia 12-36 Bulan. Universitas Halu Oleo. 2016 5. Margareth R. M. Hutabarat. Hubungan Kadar

Hemoglobin Ibu Hamil dengan Lingkar Kepala Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara. 2010

6. Darmawan M, Wira S. Faktor Risiko Bayi Berat Badan Lahir Rendah di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia. 2010

7. Ulfa RP. Hubungan Anemia pada Ibu Hamil Trimester Ketiga dengan Antropometri Bayi Baru Lahir. 2014. Medan: Universitas Sumatra Utara

8. Anggi S, Nur Indrawaty L, Amirah Zatil I. Hubungan antara kadar hemoglobin ibu hamil trimester III dengan berat bayi lahir. Jurnal Kedokteran Andalas. 2013; 2

9. Makhoul Z. Anemia and iron deficiency in rural nepali

pregnant women: risk factors, effect of vitamin A supplementation and their association with birth outcomes. Dissertation. University of Arizona. 2009

10. Wang J dkk. Study on the third trimester hemoglobin

concentrations and the risk of low birth weight and preterm delivery. PubMed. 2009; 28(1): 15-8

11. Nurkhasanah. Hubungan Status Protein, Besi, Seng, Vitamin A, Folat dan Antrophometri Ibu Hamil Trimester IIdengan Bayi Berat Lahir Rendah. 2013. Semarang: Universitas Diponegoro

12. Laflamme EM. Maternal hemoglobin concentration

and pregnancy outcome: a study of the effects of elevation in El Alto, Bolivia. MJM. 2010; 13(1): 47-55

13. Rolla D. Faktor Risiko Anemia Ibu Hamil Terhadap Panjang Badan Lahir Pendek di Puskesmas Sentolo 1 Kulon Progo D.I Yogyakarta. Yogyakarta. 2018.

(8)

Choery Novitasari, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 73-80

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol 7 No 2 – Agustus 2020 ISSN 2302-836X (print), ISSN 2621-461X (online) Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jkr DOI: 10.22146/jkr.57002

Perbandingan Angka Ketahanan Hidup Penderita Kanker

Ovarium yang Mendapat Terapi Regimen Kemoterapi

Paclitaxel-Carboplatin dan

Cyclophosphamide-Adiamycin-Cisplatin di RSUP Dr.Sardjito: Studi retrospektif

Januari 2014- Desember 2018

Choery Novitasari1, Ahsanuddin Attamimi2, Heru Pradjatmo3 1,2,3 Departemen Obstetri dan Ginekologi,

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada Korespondensi: 1choery.novitasari@yahoo.com

Submisi: 18 Juni 2020; Revisi: 28 Agustus 2020; Penerimaan: 7 September 2020

ABSTRACT

Background: Cancer has high mortality rates and is the leading cause of mortal diseases, just second to cardiovascular diseases. Seventy percent of cancer occurs in developing countries. Ovarian cancer is ninth most prevalence cancer in woman and fifth in mortality rates, around 8.6 in 100,000. There are 21,880 new cases and 13.850 death from ovarian cancer in United States every year.

Objective: This study compare the survival rates between group of patient which treated with Paclitaxel-Carboplatin (PC) Chemotherapy Regiments and Cyclophosphamide-Adriamycin-Cisplatin (CAP) Regiments in Sardjito General Hospital.

Method: Retrospective study was done by collecting data from medical records. Subjects divided into two groups based on their chemotherapy regiments and survival analysis conducted between groups.

Result and Discussion: There were 353 ovarian cancer patients treated with chemotherapy regiments, divided into 265 patients treated with PC and

88 patients treated with CAP. Bivariate analysis showed that chemotherapy PC and CAP regimens did not affect survival rates (HR=1.15, p=0.64, CI95%=0.64-2.05). Age <50 years old (HR=0.42, p=0.01, CI95%=0.23-0.77), early clinical stage (HR=0.27, p=0.00, CI95%=0.14-0.49), andCA125 after chemotherapy <70 U/mL (HR=0.21, p=0.00, CI95%=0.11-0.41) are prognostic factors for better survival rates in patients with ovarian cancer. Multivariate analysis with survival rates (cox’s regression) showed that factors influencing survival rates were early clinical stage (HR=0.45, p=0.04, CI95%=0.18-0.91) and CA125 after chemotherapy <70 U/mL (HR=0.33, p=0.01, CI95%=0.15-0.74).

Conclusion: There is no significant difference between chemotherapy regiment PC and CAP with survival rate of the ovarian cancer patients treated in RSUP dr. Sardjito for 2014- 2018. Factors influencing better survival rates of the ovarian cancer patients are early clinical stage and CA125 after chemotherapy >70 U/mL.

Keywords: Survival rate; ovarian cancer; Paclitaxel-Carboplatin regiment; Cyclophosphamide-Adriamycin Cisplatin regiment

ABSTRAK

Latar Belakang: Kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah penyakit kardiovaskular dan lebih dari 70% kematian yang disebabkan oleh kanker terjadi di negara berkembang. Kanker ovarium merupakan kanker terbanyak kesembilan pada wanita dan menjadi kanker dengan mortalitas ke-5 terbanyak, yaitu 8,6 per 100.000.

Tujuan: Menilai angka ketahanan hidup penderita kanker ovarium yang diberikan kemoterapi dengan regimen Paclitaxel- Carboplatin dibandingkan dengan regimen Cyclophospamide-Adriamicyn-Cisplatin di RSUP Sardjito.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi analisis angka ketahanan hidup (survival rate) dari penderita kanker ovarium. Data akan diambil secara retrospektif dari rekam medis pasien kanker ovarium yang berobat ke RSUP dr. Sardjito kemudian ditelusuri riwayat kematiannya.

Hasil dan Pembahasan: Terdapat 353 penderita kanker ovarium yang dilakukan kemoterapi, terdiri dari 265 subjek yang diterapi PC dan 88 subjek yang diterapi dengan CAP. Dari analisis bivariat didapatkan bahwa regimen kemoterapi PC dan CAP tidak memengaruhi angka ketahanan hidup (HR=1,15,

(9)

Kesimpulan: Tidak ada perbedaan bermakna antara regimen kemoterapi PC dan CAP dengan angka ketahanan hidup penderita kanker ovarium yang dirawat di RSUP dr. Sardjito selama tahun 2014-2018. Faktor- faktor yang dapat meningkatkan angka ketahanan hidup pasien kanker ovarium adalah stadium klinis awal dan CA125 pasca kemoterapi <70 U/mL.

Kata kunci: Angka ketahanan hidup; kanker ovarium; regimen paclitaxel dan carboplatin; regimen cyclophosphamide, adriamycin, cisplatin

PENDAHULUAN

Kanker ovarium merupakan kanker terbanyak kesembilan pada wanita1 dan menjadi kanker

dengan mortalitas ke 5 terbanyak, yaitu 8,6 per 100.000. Studi memperkirakan bahwa terdapat sekitar 21.880 kasus baru dan 13.850 kematian di Amerika setiap tahunnya.2 Sekitar 1 dari 71 wanita

diperkirakan berisiko untuk menderita kanker ovarium yang invasif sepanjang masa hidupnya dan sekitar 1 dari 95 wanita meninggal dikarenakan kanker ovarium invasif tersebut.1

Angka kejadian kanker ovarium yang cukup tinggi mendorong dilakukannya berbagai studi untuk mengetahui keefektifan modal terapi. Modal terapi kanker secara garis besar dapat dibedakan menjadi terapi bedah, terapi radiasi, kemoterapi dan imunoterapi. Perkembangan dalam metode terapi kanker telah meningkatkan angka ketahanan hidup penderita kanker secara signifikan.3

Prinsip terapi kanker ovarium pada dasarnya adalah dengan melakukan total abdominal histerektomi pada kanker ovarium stadium 1A hingga stadium 1C. Pasien kanker ovarium stadium II, III, dan IV dilakukan bedah sitoreduksi atau dengan pemberian neoadjuvan kemoterapi.4

Kemoterapi dapat diberikan dengan berbagai regimen. Regimen kemoterapi yang digunakan di RSUP Dr. Sardjito saat ini adalah paclitaxel (golongan taxane) dan carboplatin (golongan platinum) serta regimen cyclophospamide, adriamicyn, dan cisplatin.5 Regimen kemoterapi yang diberikan

dapat berhubungan dengan ketahanan hidup dari penderita kanker ovarium.

Kemoterapi dengan regimen paclitaxel-carboplatin digunakan sebagai terapi kuratif pada kanker ovarium stadium I,II, dan III, kanker peritoneal

primer, dan kanker tuba falopi. Regimen ini digunakan sebagai regimen kemoterapi lini pertama post operasi untuk kanker ovarium epitel stadium II, III, dan IV yang baru pertama kali terdiagnosis. Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian regimen ini adalah mialgia, arthralgia, neuropati perifer, mielosupresi, mual, muntah, dan reaksi hipersensitivitas.6

Kemoterapi dengan regimen cyclophosphamide-adriamycin-cisplatin digunakan sebagai terapi kanker ovarium pada pasien yang tidak dapat mentolerir terapi dengan paclitaxel. Efek samping yang paling sering terjadi dari penggunaan regimen ini adalah mual dan muntah, nefrotoksisitaas, neurotoksisitas, ototoksisitas, myelosupresi, sistitis, dan fatique. Penggunaan regimen paclitaxel-carboplatin lebih superior dibandingkan dengan cyclophosphamide-cisplatin pada kanker ovarium stadium lanjut.6 Hingga saat ini belum terdapat data

angka ketahanan hidup penderita kanker ovarium yang dibedakan berdasarkan regimen kemoterapi yang diberikan di Indonesia, khususnya di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan supaya dapat memberikan gambaran mengenai angka ketahanan hidup penderita kanker ovarium di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan regimen kemoterapi yang diterima oleh pasien.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi analisis angka ketahanan hidup (survival rate) dari penderita kanker ovarium. Data akan diambil secara retrospektif dari rekam medis pasien kanker ovarium yang berobat ke RSUP dr. Sardjito kemudian ditelusuri riwayat kematiannya.

(10)

Choery Novitasari, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 73-80 Subjek penelitian adalah penderita yang

didiagnosis kanker ovarium pertama kali pada periode Januari tahun 2014 sampai dengan bulan Desember tahun 2018 yang datang memeriksakan diri di bagian ilmu obstetri dan ginekologi RSUP Dr. Sardjito serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi adalah penderita telah didiagnosis kanker ovarium secara pasti secara histopatologis, telah menjalani kemoterapi dengan regimen Paclitaxel-Carboplatin atau regimen Cyclophosphamide-Adriamycin- Cisplatin selama minimal 1 siklus. Kriteria eksklusi adalah penderita kanker ovarium yang sebab kematiannya bukan dikarenakan kanker ovarium, menderita kanker lainnya, dan rekam medis tidak lengkap.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Subjek penelitian ini sebanyak 353 pasien kanker ovarium. Tabel 1 menunjukkan sebaran

pasien kanker ovarium yang mendapatkan regimen kemoterapi PC sebanyak 75,1% sedangkan pasien kanker ovarium yang mendapatkan regimen kemoerapi CAP sebanyak 24,9%. Sebaran pasien dengan usia kurang dari 50 tahun adalah 39,0% sedangkan usia 50 tahun atau lebih adalah 61,0%. Sebaran pasien dengan jumlah paritas 0 adalah 32,3% sedangkan pasien dengan jumlah paritas ≥1 adalah 67,7%. Sebaran pasien dengan indeks massa tubuh<25 kg/m2 adalah 71,1% dan indeks massa tubuh ≥25 kg/m2 sebesar 28,9%.

Berdasarkan stadium klinis, sebaran pasien yang berada pada stadium awal (I-II) adalah sebesar 45% dan stadium lanjut (III-IV) adalah sebesar 55%. Berdasarkan histopatologi, sebaran pasien didominasi oleh epitel tipe I sebesar 64,2%, diikuti oleh epitel tipe II sebesar 35,8%. Pasien kanker ovarium dengan histopatologi derajat diferensiasi baik sebesar 22,7 dan diferensiasi sedang-buruk sebesar 77,3%. Nilai CA125 pasca kemoterapi<70 U/

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pasien Kanker Ovarium

Variabel Distribusi dan Frekuensi

N % Regimen Kemoterapi PC 265 75,1 CAP 88 24,9 Usia <50 tahun 133 39,0 ≥ 50 tahun 208 61,0 Paritas 0 112 32,3 ≥1 235 67,7

Indeks massa tubuh

<25 kg/m2 246 ≥25 kg/m2 100 Stadium klinis Awal 150 45,0 Lanjut 183 55,0 Histopatologi Epitel tipe I 221 64,2 Epitel tipe II 123 35,8 Derajat diferensiasi Baik 27 22,7 Sedang-buruk 92 77,3

Nilai CA125 (U/mL)

<70 207 85,2 ≥70 36 14,8 Optimalisasi tindakan Optimal 225 63,7 Tidak Optimal 128 36,3 *p<0,05

Hasil analisis bivariat disajikan pada tabel 2.

mL sebesar 85,2% dan ≥70 U/mL sebesar 14,8%. Pasien yang mendapatkan tindakan o p e r a s i optimal sebesar 65,0% sedangkan yang tidak optimal sebesar 35,0%.

(11)

Tabel 2. Analisis Bivariat Variabel Status Hidup HR CI 95% p Meninggal Hidup N % N % Regimen PC 47 17,7 218 82,3 1,15 0,64-2,05 0,64 CAP 15 17,0 73 83,0 Usia <50 tahun 14 10,5 119 89,5 0,42 0,23-0,77 0,01* ≥50 tahun 43 20,7 165 79,3 Paritas 0 23 20,5 89 79,5 1,18 0,70-1,98 0,54 ≥1 39 16,6 196 83,4

Indeks Massa Tubuh

<25 kg/m2 43 17,5 203 82,5 1,09 0,63-1,89 0,76 ≥25 kg/m2 18 18,0 82 82,0 Stadium Klinis Awal 13 8,7 137 91,3 0,27 0,14-0,49 0,00* Lanjut 45 24,6 138 75,4 Histopatologi Epitel tipe I 38 17,2 183 82,8 0,85 0,51-1,43 0,54 Epitel tipe II 23 18,7 100 81,3 Derajat Diferensiasi Baik 2 7,4 25 92,6 0,31 0,07-1,34 0,12 Sedang-buruk 23 25,0 69 75,0

Nilai CA125 (U/mL)

<70 24 11,6 183 88,4 0,21 0,11-0,41 0,00* ≥70 14 38,9 22 61,1 Optimalisasi Tindakan Optimal Tidak 37 16,4 188 83,6 0,91 0,55-1,51 0,71 Optimal 25 19,5 103 80,8 *p<0,05

Masing-masing variabel dinyatakan bermakna signifikan terhadap angka ketahanan hidup apabila p<0,05. Nilai HR (hazard ratio) lebih dari 1 berarti bahwa variabel bermakna secara statistik berisiko meningkatkan angka kematian pada penderita kanker ovarium. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara regimen kemoterapi PC dan CAP dengan status survival penderita kanker ovarium. Terdapat perbedaan bermakna antara usia, stadium klinis, dan nilai CA125 pasca kemoterapi dengan status survival penderita kanker ovarium, p<0,05. Ketiga variabel

(12)

Choery Novitasari, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 73-80

Tabel 3. Tabel Harapan Hidup Pasien Kanker Ovarium

Regimen

Kemoterapi Estimasi (bulan) Std. Error

CI 95%

Batas Bawah Batas Atas

PC 48,92 2,04 44,91 52,92

CAP 49,64 2,86 44,04 55,23

Kurva harapan hidup pasien dengan regimen kemoterapi PC dan CAP dapat ditunjukkan pada kurva Kaplan Meier gambar 1.

Gambar 1. Kurva Harapan Hidup Pasien berdasarkan Regimen Kemoterapi

Penderita kanker ovarium yang diterapi dengan PC memiliki risiko kematian sebesar 1,15 kali dibandingkan dengan penderita kanker ovarium yang diterapi dengan CAP, dengan nilai p 0,64.

Hubungan survival penderita kanker ovarium di RSUP dr. Sardjito dengan kelompok variabel didapatkan bahwa usia, stadium klinis, nilai CA125 pasca kemoterapi secara statistik memengaruhi angka ketahanan hidup dengan p<0,05. Variabel-variabel yang memiliki nilai p<0,25 dilanjutkan untuk analisis multivariat. Variabel-variabel tersebut adalah usia, stadium klinis, nilai CA125 pasca kemoterapi, dan derajat diferensiasi. Akan tetapi, variabel-variabel lain tetap dimasukkan ke analisis multivariat karena menurut studi literatur, variabel tersebut dapat memengaruhi angka ketahanan hidup.

Berdasarkan uji multivariat yang ditunjukkan pada tabel 4, variabel yang berpengaruh terhadap angka ketahanan hidup adalah stadium dan CA125 pasca kemoterapi. Pasien dengan stadium awal memiliki risiko kematian sebesar 0,45 kali dibandingkan dengan stadium lanjut. Pasien dengan CA125 pasca kemoterapi <70 U/mL memiliki risiko kematian sebesar 0,33 kali dibandingkan dengan CA125 ≥70 U/mL.

tersebut merupakan variabel perancu. Variabel perancu lain seperti paritas, indeks massa tubuh, histopatologi, derajat diferensiasi, dan optimalisasi tindakan secara statistik tidak memengaruhi status survival penderita kanker ovarium.

Survival penderita kanker ovarium yang diterapi

dengan PC dan CAP dapat dilihat pada tabel 3.

Rata-rata lama hidup pasien kanker ovarium dengan regimen kemoterapi PC adalah 48,92 bulan dengan CI 95% (44,91– 52,92) bulan namun pasien kanker ovarium dengan regimen kemoterapi CAP adalah 49,64 bulan dengan CI 95% (44,04-55,23) bulan.

(13)

Tabel 4. Uji Multivariat terhadap Angka Ketahanan Hidup (Cox’s Regression) Variabel Status Hidup HR CI 95% p Meninggal Hidup N % N % Regimen PC 47 17,7 218 82,3 1,15 0,64-2,05 0,64 CAP 15 17,0 73 83,0 Usia <50 tahun 14 10,5 119 89,5 0,42 0,23-0,77 0,01* ≥50 tahun 43 20,7 165 79,3 Paritas 0 23 20,5 89 79,5 1,18 0,70-1,98 0,54 ≥1 39 16,6 196 83,4

Indeks Massa Tubuh

<25 kg/m2 43 17,5 203 82,5 1,09 0,63-1,89 0,76 ≥25 kg/m2 18 18,0 82 82,0 Stadium Klinis Awal 13 8,7 137 91,3 0,27 0,14-0,49 0,00* Lanjut 45 24,6 138 75,4 Histopatologi Epitel tipe I 38 17,2 183 82,8 0,85 0,51-1,43 0,54 Epitel tipe II 23 18,7 100 81,3 Derajat Diferensiasi Baik 2 7,4 25 92,6 0,31 0,07-1,34 0,12 Sedang-buruk 23 25,0 69 75,0

Nilai CA125 (U/mL)

<70 24 11,6 183 88,4 0,21 0,11-0,41 0,00* ≥70 14 38,9 22 61,1 Optimalisasi Tindakan Optimal Tidak 37 16,4 188 83,6 0,91 0,55-1,51 0,71 Optimal 25 19,5 103 80,8 *p<0,05

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengobatan kanker ovarium masih menjadi sebuah tantangan. Operasi debulking primer dan sitoreduksi diikuti dengan kemoterapi primer masih menjadi pengobatan utama untuk kanker ovarium stadium lanjut. Hingga saat ini, kemoterapi lini pertama yang standar adalah paclitaxel dengan tambahan carboplatin.7 Walaupun respon awal terhadap terapi sistemik baik setelah operasi debulking optimal, angka ketahanan hidup jangka panjang masih rendah, dengan rekurensi risiko tinggi8. Pengobatan kanker ovarium memengaruhi

kualitas hidup akibat munculnya efek samping kemoterapi seperti alopesia, neurotoksisitas, dan kelelahan.8 Dalam rangka mencapai efikasi dan menurunkan toksisitas dari kemoterapi lini pertama, beberapa alternative pengobatan sedang dalam investigasi.8 Penelitian kami membandingkan antara paclitaxel-carboplatin (PC) dan cyclophosphamide-adriamycin-cisplatin (CAP). Penggunaan regimen kemoterapi untuk penderita kanker ovarium telah menjadi materi studi selama bertahun-tahun. Penggunaan paclitaxel yang dikombinasikan dengan

(14)

Choery Novitasari, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 73-80 cisplatin terbukti lebih baik jika dibandingkan

dengan kombinasi cyclophosphamide dan cisplatin dalam hal laju respon, perhentian progresi kanker, dan angka ketahanan hidup secara keseluruhan.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara regimen kemoterapi PC dan CAP terhadap angka ketahanan hidup pada penderita kanker ovarium yang dirawat di RSUP dr. Sardjito dari tahun 2014-2018. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh The International Collaborative Ovarian Neoplasm Study (ICON)3 dan studi Hellenic Cooperative Oncology Group (HeCOG). ICON3 menunjukkan bahwa agen tunggal carboplatin dan CAP sama efektif dengan paclitaxel plus carboplatin sebagai pengobatan lini pertama pada penderita kanker ovarium yang membutuhkan kemoterapi.9 Pada tahun 2008, studi HeCOG membandingkan regimen kemoterapi cisplatin, paclitaxel, dan doxorubicin (kelompok antrasiklin) dengan carboplatin dan paclitaxel yang merupakan kemoterapi lini pertama standar terstandar pada kanker ovarium stadium lanjut.8 Status perfoma lebih baik pada kelompok antrasiklin. Dalam hal toksisitas, perbedaan utama antara kedua kelompok tersebut adalah munculnya neutropenia febril pada kelompok antrasiklin. Dengan median follow-up selama 57,7 bulan, terdapat perbaikan marginal pada progression- free survival (PFS) di kelompok antrasiklin walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan pada angka ketahanan hidup.8

Dengan prognosis yang tidak berbeda antara regimen PC dan CAP terhadap angka ketahanan hidup, regimen kemoterapi CAP dapat dipertimbangkan sebagai regimen kemoterapi lini pertama dalam terapi kanker ovarium. Menurut sebuah studi retrospektif di multisenter yang menggunakan cyclophosphamide oral metronomik, CAP dinilai dapat menjadi alternatif dalam pengobatan paliatif pada pasien kanker ovarium rekuren.10 Keuntungan utama dari regimen CAP adalah efektif dalam menurunkan aktivitas tumor, dapat digunakan dalam setting rawat jalan, harga yang lebih murah, dan profil toksisitas yang rendah.11

dan CA125 pasca kemoterapi. Stadium diketahui merupakan faktor prognostik yang kuat terhadap angka ketahanan hidup. Penelitian kami dengan analisis multivariat menunjukkan bahwa pasien dengan stadium awal secara statistik menurunkan angka mortalitas sebesar 0,45 kali dibandingkan stadium lanjut dengan p<0,05. Hal ini sesuai dengan Berek dan Hillard, 2012 yang menunjukkan bahwa angka ketahanan hidup 5 tahun pada stadium 1 adalah 90% dan stadium II adalah 60%. Angka ketahanan hidup menurun pada stadium lanjut (III dan IV) yaitu sekitar 30%. 12

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengobatan kanker ovarium masih menjadi tantangan bagi ahli onkologi karena frekuensi yang tinggi pada penyakit stadium lanjut saat terdiagnosis dan kurangnya pendekatan pengobatan sistemik yang lebih baik. Penggunaan regimen kemoterapi yang lama dapat menjadi strategi yang efektif untuk memberi pilihan terapeutik yang lebih banyak kepada pasien.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah regimen PC memiliki risiko kematian sebesar 1,15 kali dibandingkan dengan regimen CAP, dengan nilai p yang tidak signifikan terhadap angka ketahanan hidup penderita kanker ovarium yang dirawat di RSUP dr. Sardjito selama tahun 2014-2018. Dengan prognosis yang tidak berbeda antara regimen PC dan CAP terhadap angka ketahanan hidup dan harga CAP yang lebih murah daripada PC, regimen kemoterapi CAP dapat dipertimbangkan sebagai regimen kemoterapi lini pertama dalam terapi kanker ovarium di RSUP dr. Sardjito.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan angka ketahanan hidup pasien kanker ovarium adalah stadium klinis awal dan CA125 pasca kemoterapi <70 mL.

DAFTAR PUSTAKA

1. Colombo, N., Peiretti, M., Parma, G., Lapresa, M., Mancari, R., Carinelli, S., Sessa, C. and Castiglione, M.

(15)

of Oncology. doi: 10.1093/annonc/mdq244. 2010; 21(Supplement 5): 23–30.

2. Baldwin, L. A., Huang, B., Miller, R. W., Tucker, T., Goodrich, S. T., Podzielinski, I., Desimone, C. P. and Ueland, F. R. Ten-Year Relative Survival for Epithelial

Ovarian Cancer. Obstetrics & Gynecology. 2012;

120(3): 612–618

3. Devita, V. T., Rosenberg, S. A., Paget, S. and Avery, O. Two Hundred Years of Cancer Research. The New England Journal of Medicine. 2012: 2207– 2214 4. Morgan, R. J., Armstrong, D. K., Alvarez, R. D.,

Bakkum-gamez, J. N., Behbakht, K., Chen, L., Copeland, L., Crispens, M. A., Derosa, M., Dorigo, O., Gershenson, D. M., Gray, H. J., Hakam, A., Havrilesky, L. J., Johnston, C., Lele, S., Martin, L., Penson, R. T., Percac-lima, S., Pineda, M., Plaxe, S. C., Powell, M. A., Ratner, E., Remmenga, S. W., Rose, P. G., Sabbatini, P., Santoso, J. T., Werner, T.L. and Burns, J. Ovarian

Cancer , Clinical Practice Guidelines in Oncology.

Journal of the National Comprehensive Cancer Network. 2016; 14(9): 1134–1163

5. Ahyar, I., Rachman, I. T. and Kusumanto, A. Regimen

Paclitaxel dan Carboplatin dengan Regimen Cyclophosphamide, Adriamycin dan Cisplatin. Jurnal

Kesehatan Reproduksi. 2017; 4(1): 1–10

6. Kurnianda, J., Widayati, K., Purwanto, I., Hardianti, M. S. and Wulanningsih, W. Buku Protokol Kemoterapi: Pedoman Tatalaksana Terapi Sistemik pada Kanker. 2011

7. Giannopoulos, T., Butler-Manuel, S., Taylor, A., Ngeh, N. and Thomas, H. Clinical Outcomes of Neoadjuvant

Chemotherapy and Primary Debulking Surgery in Advanced Ovarian Carcinoma. European Journal of

Gynaecological Oncology. 2006; 27(1): 25–28

8. Aravantinos, G., Fountzilas, G., Bamias, A., Grimani, I., Rizos, S., Kalofonos, H.P., Skarlos, D.V., Economopoulos, T., Kosmidis, P.A., Stathopoulos, G.P. and Briasoulis, E. Carboplatin and paclitaxel

versus cisplatin, paclitaxel and doxorubicin for first-line chemotherapy of advanced ovarian cancer: a Hellenic Cooperative Oncology Group (HeCOG) study. European Journal of Cancer. 2008; 44(15):

2169-2177.

9. Tortorella, L., Vizzielli, G., Fusco, D., Cho, W. C., Bernabei, R., Scambia, G., & Colloca, G. Ovarian

Cancer Management in the Oldest Old : Improving Outcomes and Tailoring Treatments. 2017; 8(5):

677–684

10. The International Collaborative Ovarian Neoplasm (ICON) Group, T. I. C. O. N. (ICON) G. Paclitaxel

Plus Carboplatin Versus Standard Chemotherapy with either Single-Agent Carboplatin or Cyclophosphamide, Doxorubicin, and Cisplatin in Women with Ovarian Cancer: The ICON3 Randomised Trial. Lancet. 2002; 360: 505–515

11. Ferrandina, G., Corrado, G., Mascilini, F., Malaguti, P., Samaritani, R., Distefano, M., Masciullo, V., Di Legge, A., Savarese, A. and Scambia, G. Metronomic oral

cyclophosphamide (MOC) in the salvage therapy of heavily treated recurrent ovarian cancer patients: a retrospective, multicenter study. BMC cancer. 2014;

14(1): 947

12. de Boo, L.W., Vulink, A.J.E. and Bos, M.E.M.M.

Metronomic cyclophosphamide-induced long-term remission after recurrent high-grade serous ovarian cancer: A case study. Molecular and clinical oncology.

2017; 7(6): 1130-1134

13. Berek, J. S. and Hillard, P. J. A. Initial Assessment and

Communication’, in Berek and Novak’s Gynecology.

(16)

Wana Melia Simbolon, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 81-87

ARTIKEL PENELITIAN

Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol 7 No 2 – Agustus 2020 ISSN 2302-836X (print), ISSN 2621-461X (online) Tersedia online di https://jurnal.ugm.ac.id/jkr DOI: 10.22146/jkr.49847

Kejadian Infeksi Menular Seksual pada Wanita Kawin di

Indonesia dan Variabel-variabel yang Memengaruhinya

Wana Melia Simbolon1, Winih Budiarti2 1,2Politeknik Statistika STIS

Jalan Otto Iskandardinata 64C Jakarta Korespondensi: winih@stis.ac.id

Submisi: 20 September 2019; Revisi:22 September 2020; Penerimaan: 7 Oktober 2020

ABSTRACT

Background: Sexually transmitted infections (STIs) are one type of infectious disease whose main transmission is through sexual contact. More than 1 million STIs occur every day throughout the world and are ranked in the top 10 reasons for treatment in many developing countries. STIs can have serious reproductive health consequences beyond the direct effects of the infection itself, for example infertility or transmission from mother to child. Married women are at high risk for transmission of STIs from their partners.

Objective: See a general picture of the incidence of STIs in married women aged 15-49 years in Indonesia and the variables that influence it. Method: This type of observational study using data from the 2017 IDHS results. The unit of analysis in this study was married women aged 15-49 years whose husbands were also interviewed. The number of samples used was 8,743 respondents. The analysis used is univariable, bivariable and binary logistic regression analysis.

Result and Discussion: There were 14.1 percent of married women aged 15-49 years who experienced STI / STI symptoms in Indonesia in 2017.

Women aged <25 years have a tendency of 1,421 times to experience STIs. The tendency of women who have never heard of STI 1,416 times to experience STI compared to women who have never heard of STI. Women who have husbands who engage in risky behavior have a 1,548-fold tendency to experience STIs.

Conclusion: Women’s age, economic status, having heard of STIs, and husband’s risk behaviors are the variables that influence the incidence of STIs in married women.

Keywords: Sexually transmitted infections; married woman; risk behavior

ABSTRAK

Latar Belakang: Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu jenis penyakit menular yang penularan utamanya melalui kontak seksual. Lebih dari 1 juta IMS terjadi setiap hari di seluruh dunia dan menempati peringkat 10 besar alasan berobat di banyak negara berkembang. IMS dapat memiliki konsekuensi kesehatan reproduksi yang serius di luar dampak langsung dari infeksi itu sendiri, misalnya infertilitas atau penularan dari ibu ke anak. Wanita kawin merupakan kelompok yang berisiko tinggi untuk terkena penularan IMS dari pasangannya.

Tujuan: Melihat gambaran umum kejadian IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia dan variabel-variabel yang memengaruhinya. Metode: Jenis penelitian observasional dengan menggunakan data hasil SDKI 2017. Unit analisis dalam penelitian ini adalah wanita kawin usia 15-49 tahun yang suaminya juga turut diwawancarai. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 8.743 responden. Analisis yang digunakan adalah univariabel, bivariabel dan analisis regresi logistik biner.

Hasil dan Pembahasan: Terdapat 14,1 persen wanita kawin usia 15-49 tahun yang mengalami IMS/gejala IMS di Indonesia tahun 2017. Wanita yang berusia <25 tahun memiliki kecenderungan 1,421 kali untuk mengalami IMS. Kecenderungan wanita yang tidak pernah mendengar IMS 1,416 kali untuk mengalami IMS dibandingkan wanita pernah mendengar IMS. Wanita yang memiliki suami yang melakukan perilaku berisiko memiliki kecenderungan 1,548 kali untuk mengalami IMS.

Kesimpulan: Usia wanita, status ekonomi, pernah mendengar IMS, dan perilaku berisiko suami merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi kejadian IMS pada wanita kawin.

(17)

PENDAHULUAN

Tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) poin ketiga adalah memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia. Salah satu target dari poin ketiga adalah mengurangi kematian akibat penyakit tropis, penyakit menular dan tidak menular. Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu jenis penyakit menular. IMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, baik melalui vagina, mulut, maupun anus yang disebabkan terutama oleh bakteri, virus, atau protozoa1 dan merupakan

penyakit utama penyebab morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia2. Sehingga, mengurangi kematian

akibat IMS adalah salah satu target dari SDGs. IMS menempati peringkat 10 besar alasan berobat di banyak negara berkembang, dan biaya yang dikeluarkan dapat memengaruhi pendapatan rumah tangga3. Lebih dari 1 juta IMS terjadi setiap

hari di seluruh dunia4. IMS seperti Herpes Simplex

Virus tipe 2 (HSV-2) dan sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV4. IMS, selain infeksi HIV menimbulkan beban morbiditas dan mortalitas terutama di negara sedang berkembang dengan sumber daya yang terbatas, baik secara langsung yang berdampak pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi dan anak-anak, serta secara tidak langsung melalui perannya dalam mempermudah transmisi seksual infeksi HIV dan dampaknya terhadap perekonomian perorangan maupun nasional3.

Pada tahun 2012 lebih dari 900.000 wanita hamil terinfeksi sifilis dan menyebabkan sekitar 350.000 kelahiran yang terganggu termasuk kelahiran mati4. WHO menyatakan bahwa dalam beberapa

kasus, IMS dapat memiliki konsekuensi kesehatan reproduksi yang serius di luar dampak langsung dari infeksi itu sendiri seperti infertilitas atau penularan dari ibu ke anak. Kegagalan dalam diagnosis dan terapi dini IMS pada ibu hamil dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi baru lahir serta komplikasi yang cukup serius, berupa infertilitas, kehamilan ektopik, kanker, lahir mati, dan infeksi kongenital1.

Hasil SDKI menunjukkan persentase penduduk wanita umur 15-49 tahun yang pernah berhubungan seksual dan pernah mengalami IMS atau gejala IMS dalam 12 bulan terakhir di Indonesia dari tahun 2012 ke tahun 2017 mengalami peningkatan dari 11,7% menjadi 13,7%. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas dan dampak buruk lain yang dapat ditimbulkan IMS pada wanita umur 15-49 tahun.

Menurut NACO dalam buku “Training of Medical

Officers to Deliver STI/RTI Services” dikatakan bahwa

wanita lebih rentan terkena IMS dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan biologis, wanita kurang memiliki kekuatan untuk meminta menggunakan kondom, dan faktor lainnya menyebabkan penularan pria ke wanita lebih mudah dibandingkan penularan dari wanita ke pria5.

Walaupun tidak secara langsung berperilaku seksual risiko tinggi, ibu hamil dan bayi baru lahir merupakan kelompok rawan tertular IMS, dimana penularan kepada ibu rumah tangga pada umumnya terjadi melalui hubungan seksual dengan suami yang berperilaku seksual berisiko tinggi3. Banyak penyakit

menular seksual terutama hepatitis B, HIV, dan sifilis termasuk klamidia, gonore, juga dapat ditularkan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan. IMS penularan dari ibu ke bayi dapat menyebabkan lahir mati, kematian neonatal, berat lahir rendah dan prematur, sepsis, pneumonia, oftalmia neonatorum, dan cacat bawaan4.

Wanita merupakan kelompok yang berisiko tinggi untuk terkena penularan IMS dari pasangannya, dan jika wanita yang mengalami IMS tersebut hamil, maka dapat menularkan IMS kepada janinnya. IMS dapat membahayakan individu tersebut dan orang lain yang tertular. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi IMS pada wanita.

Semua orang yang sudah pernah melakukan hubungan seksual berisiko tertular IMS. BKKBN menyebutkan bahwa risiko tertular IMS akan lebih tinggi pada orang yang melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (multipartner), melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang multipartner dan melakukan hubungan seksual

(18)

Wana Melia Simbolon, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 81-87

tanpa pengaman (kondom)1.

Faktor risiko yang menyebabkan IMS adalah usia di bawah 25 tahun, tidak menggunakan kondom, berganti-ganti pasangan, gejala pada pasangan dan perilaku berisiko pasangan2. Banyak faktor sosial ekonomi menyebabkan populasi tertentu cenderung memiliki insiden IMS yang lebih tinggi, seperti: penduduk yang tinggal di perkotaan, berpenghasilan rendah, minoritas, dan wanita6. IMS juga dipengaruhi

oleh perilaku seksual seseorang. Perilaku seksuak yang dimaksud yaitu usia saat melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, hubungan seksual tanpa kondom, penggunaan narkoba dan alkohol. Penduduk berpenghasilan rendah lebih cenderung melakukan hubungan seks di usia yang lebih muda, jarang menggunakan kondom, dan melakukan perilaku berisiko lainnya. Selain itu, kekayaan dan pendidikan berkorelasi positif dengan penggunaan kondom.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum IMS dan untuk mengetahui variabel-variabel yang memengaruhi terjadinya IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia tahun 2017. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel usia wanita, status ekonomi, pernah mendengar IMS, dan perilaku berisiko suami yang diduga memengaruhi terjadinya IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia tahun 2017.

METODE

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data mentah (raw data) Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 yang mencakup seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Responden SDKI 2017 adalah wanita umur 15-49 tahun, pria kawin/hidup bersama umur 15-54 tahun, dan remaja pria berstatus belum kawin umur 15-24 tahun.Unit analisis dalam penelitian ini adalah wanita kawin usia 15-49 tahun yang suaminya juga turut diwawancarai. Data yang diolah merupakan

raw data dari kuesioner wanita usia subur dan kuesioner pria kawin. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 8.743 responden.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia berupa analisis regresi logistik biner. Analisis deskriptif adalah metode analisis yang digunakan untuk memberi gambaran umum mengenai karakteristik kejadian IMS yang terjadi pada wanita kawin usia 15-49 tahun 2017 serta variabel-variabel bebas yang memengaruhinya menggunakan grafik dan diagram. Analisis inferensia digunakan untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang memengaruhi kejadian IMS di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah regresi logistik biner. Varabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia wanita, status ekonomi, penggunaan kondom, pernah mendengar IMS, dan perilaku berisiko suami. Semua variabel merupakan variabel kategori sehingga dibuat sebagai dummy variabel. Adapun kategori untuk setiap variabel ditampilkan pada Tabel 1.

Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 5 persen, tahapan analisis inferensia yang dilakukan yaitu : uji simultan, uji parsial, uji kesesuaian model dan rasio kecenderungan (odds ratio). Uji simultan digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel tak bebas terhadap variabel tak bebas secara bersama-sama dengan menggunakan statistik uji G. Uji parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas yang digunakan signifikan atau tidak signifikan memengaruhi variabel tak bebas dengan menggunakan uji Wald. Uji kesesuaian model digunakan untuk mengetahui apakah model yang terbentuk sesuai untuk menjelaskan variabel tak bebas yang dilakukan dengan uji Hosmer-Lemeshow. Odds ratio (OR) adalah ukuran hubungan untuk memperkirakan kecenderungan dalam mengalami kejadian antara dua kejadian yaitu kejadian sukses terhadap kejadian gagal.

(19)

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian

Variabel Nama Variabel Kategori

Y Mengalami IMS/ Gejala IMS Tidak*

Ya D1 Usia Wanita ≥ 25 Tahun* < 25 Tahun D2 Status Ekonomi Miskin* Menengah Tinggi D3 Penggunaan Kondom Tidak* Ya

D4 Pernah Mendengar IMS Tidak*

Ya

D5 Perilaku Berisiko Suami

Tidak* Ya

Keterangan : * = Kategori referensi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Infeksi Menular Seksual adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, baik melalui vagina, mulut, maupun anus. IMS dapat berupa sifilis atau raja singa, gonore, kondiloma akuminata, chanroid, chlamydia/klamidia, kandidiasis, herpes genital, ataupun penyakit IMS lainnya. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri (misalnya: sifilis), jamur, virus (misalnya: herpes, HIV), atau parasit seperti kutu1. Pada tahun 2017 terdapat 14,1 persen wanita

kawin usia 15-49 tahun di Indonesia yang mengalami IMS, sedangkan yang tidak mengalami IMS sebanyak 85,9 persen. Yang dimaksud dengan mengalami IMS di sini adalah wanita yang benar-benar tahu jenis atau nama IMS yang dialami seperti: sifilis, gonore, kondiloma akuminata, chancroid, clamydia, kandidiasis, herpes genital, maupun infeksi lainnya maupun yang mengalami gelaja-gejala IMS seperti mengalami keluarnya cairan putih yang berbau, berubah warna, dan gatal pada atau mengalami luka/bisul pada kemaluan/kelamin.

Berdasarkan tabel 1, persentase IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun yang berusia <25 tahun lebih tinggi dibandingkan yang berusia 25 tahun ke atas. Berdasarkan status ekonomi, persentase IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun yang berstatus ekonomi miskin lebih tinggi dibandingkan yang berstatus ekonomi menengah dan atas. Berdasarkan penggunaan kondom, persentase IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun yang tidak menggunakan kondom lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan kondom. Berdasarkan pernah mendengar IMS, persentase IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun yang tidak pernah mendengar IMS lebih tinggi dibandingkan yang pernah mendengar IMS. Berdasarkan perilaku berisiko suami, persentase IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun yang memiliki suami yang melakukan perilaku berisiko lebih tinggi dibandingkan yang memiliki suami yang tidak melakukan perilaku berisiko.

Tabel 2. Persentase IMS Berdasarkan Variabel Bebas yang Digunakan

Variabel Kategori Mengalami IMS/Gejala IMS

Ya Tidak

Usia Wanita ≥ 25 Tahun 13,6 86,4

< 25 Tahun 18,9 81,1

Status Ekonomi

Miskin 15,8 84,2

Menengah 14,2 85,8

Tinggi 12,3 87,7

Penggunaan Kondom Tidak 14,2 85,5

Ya 12 88

Pernah Mendengar IMS Tidak 15,6 84,4

Ya 11 89

Perilaku Berisiko Suami Tidak 13,8 86,2

(20)

Wana Melia Simbolon, et al. Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 2, Agustus 2020: 81-87 Hasil analisis dengan regresi logistik diperoleh

nilai statistik G sebesar 67,398 dan nilai p-value sebesar 0,000. Nilai G dibandingkan dengan χ2

((0,05;6)) = 12,592 sedangkan p-value dibandingkan dengan α = 0,05. Nilai G > χ2

((0,05;6)) dan p-value < α, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat signifikansi 5 persen, minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia tahun 2017.

Uji parsial dilakukan dengan membandingkan W terhadap χ2

((0,05;1)) = 3,841 sedangkan p-value

dibandingkan dengan α = 0,05. Tolak ketika W > χ2 ((0,05;1)) atau p-value < 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat signifikansi 5 persen, variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap IMS wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia tahun 2017. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa terdapat empat variabel yang berpengaruh signifikan dari enam variabel bebas, yaitu usia wanita, status ekonomi, pernah mendengar IMS, dan perilaku berisiko suami.

Tabel 3. Nilai Wald, Signifikansi dan Odds Ratio

Variabel β Wald p-value Exp(β)

(1) (2) (3) (4) (5)

Usia Wanita >=25 Tahun (ref)

<25 Tahun 0,351 14,625 0,000* 1,421

Status Ekonomi

Miskin (ref) 5,265 0,072

Menengah -0,078 0,895 0,344 0,925

Kaya -0,167 5,255 0,022* 0,846

Penggunaan Kondom Tidak (ref)

Ya -0,037 0,031 0,859 0,964

Pernah Mendengar IMS Tidak (ref)

Ya -0,348 22,331 0,000* 0,706

Perilaku Berisiko Suami Tidak (ref)

Ya 0,437 13,135 0,000* 1,548

Constant -1,698 1147,046 0,000* 0,183

Sumber : SDKI 2017 (diolah)

Keterangan : *Variabel signifikan pada α =0,05

Berdasarkan tabel di atas maka persamaan regresi yang terbentuk adalah sebagai berikut : g (x) = -1,698+0,351D1*-0,078D

21-0,167D22*-0,037D3-0,348D4*+ 0,437D5* dimana :

D_1 : dummy variabel untuk usia wanita <25 tahun D_21 : dummy variabel untuk status ekonomi

menengah

D_22 : dummy variabel untuk status ekonomi kaya D_3 : dummy variabel untuk wanita yang

menggunakan kondom

Variabel usia wanita berpengaruh signifikan terhadap kejadian IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun. Nilai odds ratio sebesar 1,421 menunjukkan bahwa wanita yang berusia <25 tahun memiliki kecenderungan 1,421 kali untuk mengalami IMS dibandingkan wanita berusia ≥25 tahun. Wanita yang berusia lebih muda (<23 tahun) berisiko lebih tinggi untuk mengalami IMS dibandingkan wanita

(21)

banyak pasangan dan negosiasi untuk menggunakan kondom rendah7.

Variabel status ekonomi kategori kaya berpengaruh signifikan, sedangkan status ekonomi kategori menengah tidak signifikan terhadap kejadian IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun. Nilai odds ratio sebesar 0,846 menunjukkan bahwa wanita yang berstatus ekonomi kaya memiliki kecenderungan 0,846 kali lebih rendah untuk mengalami IMS dibandingkan wanita berstatus ekonomi rendah. Atau dengan kata lain 1/0,846=1,182 menunjukkan bahwa kecenderungan wanita berstatus ekonomi miskin 1,182 kali untuk mengalami IMS dibandingkan wanita berstatus ekonomi kaya. Hal ini sejalan dengan penelitian Refti (2018) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan IMS dimana seseorang dengan status ekonomi rendah berisiko 2,4 kali untuk terkena IMS dibandingkan seseorang dengan status ekonomi cukup8.

Sedangkan variabel penggunaan kondom tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun. Penggunaan kondom tidak secara signifikan terkait dengan kejadian infeksi menular seksual9. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan kondom yang tidak benar. Salah satu alasan kondom tidak memiliki keterkaitan dengan infeksi menular seksual adalah penggunaan kondom yang tidak tepat, pecah, jatuh, bekas (digunakan kembali), digunakan setelah kopulasi (intromission) dilakukan sehingga berisiko mengalami IMS. Oleh karena itu, walaupun tidak ada hubungan yang signifikan, tidak boleh dikatakan bahwa penggunaan kondom tidak efektif untuk pencegahan infeksi menular seksual.

Variabel pernah mendengar IMS berpengaruh signifikan terhadap kejadian IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun. Nilai odds ratio sebesar 0,706 menunjukkan bahwa wanita yang pernah mendengar IMS memiliki kecenderungan 0,706 kali lebih rendah untuk mengalami IMS dibandingkan wanita yang tidak pernah mendengar IMS. Atau dengan kata lain kecenderungan wanita yang tidak pernah mendengar IMS 1/0,706 = 1,416 kali untuk mengalami IMS dibandingkan wanita pernah mendengar IMS. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian IMS10. Penelitian

Nurlely (2011) yang mengatakan bahwa remaja yang tidak terpapar informasi IMS memiliki kecenderungan 1,154 kali untuk terkena IMS dibandingkan remaja yang terpapar informasi IMS11. Oleh karena itu, pemberian informasi mengenai IMS dibutuhkan agar individu mengetahui cara mencegah penularan IMS. Tanpa pengetahuan, individu mungkin tidak menyadari risiko atau tidak tahu tindakan apa yang harus diambil untuk melindungi diri mereka dari IMS. Di antara mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup, faktor-faktor lain akan mempengaruhi apakah mereka mengambil tindakan untuk melindungi diri mereka dari IMS atau tidak.

Variabel perilaku berisiko suami berpengaruh signifikan terhadap kejadian IMS pada wanita kawin usia 15-49 tahun. Nilai odds ratio sebesar 1,548 menunjukkan bahwa wanita yang memiliki suami yang melakukan perilaku berisiko memiliki kecenderungan 1,548 kali untuk mengalami IMS dibandingkan wanita yang memiliki suami yang tidak melakukan perilaku berisiko. Yang dimaksud dengan perilaku berisiko ini adalah suami pernah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Berhubungan seks dengan banyak pasangan seksual adalah faktor risiko terbesar untuk terkena HIV dan infeksi menular seksual lainnya12,13. Hal ini berarti semakin banyak pasangan seksual yang dimiliki akan meningkatkan risiko terkena IMS karena kemungkinan untuk bertemu dengan pasangan lain yang terinfeksi lebih besar sehingga dapat tertular penyakit menular seksual kemudian dapat menularkan kembali kepada pasangannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagian besar wanita kawin usia 15-49 tahun yang mengalami IMS tinggal di daerah perdesaan, berusia <25 tahun, berstatus ekonomi miskin, tidak menggunakan kondom, tidak pernah mendengar IMS, dan memiliki suami yang melakukan perilaku berisiko. Variabel yang memengaruhi kejadian IMS pada WUS pernah berhubungan seksual, yaitu:usia wanita, status ekonomi, wanita pernah mendengar IMS, dan perilaku berisiko suami.

Wanita yang berusia <25 tahun memiliki kecenderungan 1,421 kali untuk mengalami

Gambar

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian di RSUD Budhi Asih Karakteristik Kategori Mean
Tabel 4 Hubungan Anemia dengan Lingkar Kepala Bayi Lahir Kadar Hb trimester III
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pasien Kanker Ovarium Variabel Distribusi dan Frekuensi
Tabel 2. Analisis Bivariat Variabel Status Hidup HR CI 95% pMeninggalHidup N % N % Regimen PC 47 17,7 218 82,3 1,15 0,64-2,05 0,64 CAP 15 17,0 73 83,0 Usia &lt;50 tahun 14 10,5 119 89,5 0,42 0,23-0,77 0,01* ≥50 tahun 43 20,7 165 79,3 Paritas 0 23 20,5 89 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

dilihat pada Tabel 4.2 bahwa ekstrak lengkuas konsentrasi 10% berpengaruh terhadap penurunan jumlah bakteri ikan patin, angka kuman diperoleh hasil 2,01 x 10 3 koloni/g

SKL Ekspor Impor Page 29 Terkait dengan kursus dan pelatihan Ekspor Impor Level IV sesuai KKNI, maka. pembelajaran lampau yang dapat diakui sebagai bagian dari

Pengaruh dari variabel CAR, NPL dan ROA sebagai variabel independen terhadap variabel dependen Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah 34,9%, sedangkan 65,1% sisanya dianggap

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa kemampuan menemukan gagasan pokok pada paragraf eksposisi siswa kelas X SMA Ma’arif NU I Kemranjen Tahun Pelajaran 2011-2012, yang

[r]

• Keberadaan hukum atau undang-undang yang berhubungan dengan usahanya atau kegiatan bisnis. • Hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh keberadaan hukum atau undang-undang

Tabel Karateristik

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Terdapat pengaruh yang signifikan keaktifan siswa dalam pembelajaran terhadap