TESIS
OLEH
IMANUEL PERANGIN-ANGIN 047020009/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
Oleh
IMANUEL PERANGIN-ANGIN 047020009/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN LAPANGAN MERDEKA KOTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan,
Imanuel Perangin-angin NIM 047020009
MERDEKA KOTA MEDAN
Nama : IMANUEL PERANGIN-ANGIN
Nomor Pokok : 047020009
Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR
Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(A/Prof. Abdul Majid Ismail , B.A, B.Arch, PhD) Ketua
(Dr. Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI) Anggota
Ketua Program Studi,
(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc)
Dekan,
(Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)
Tanggal Lulus: 26 Maret 2013
____________________________________________________________________
Panitia Penguji Tesis
Ketua Komisi Penguji : A/Prof. Abdul Majid Ismail , B.A, B.Arch, PhD Anggota Komisi Penguji : 1. Dr. Achmad Delianur Nasutiom, ST, MT, IAI
2. Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc
3. Beny O.Y. Marpaung, ST, MT, PhD 4. Ir. Morida Siagian, MURP
5. Hajar Suwantoro, ST, MT
i
Kecenderungan perubahan tata guna lahan (skala mikro tingkat perancangan kota) sepertinya memang sulit dihindari ditengah-tengah pesatnya perkembangan kota. Masuknya elemen-elemen arsitektural yang menyandang berbagai gelar fungsi di Lapangan Merdeka memang sudah terjadi sejak zaman kolonial dulu maupun setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia. Namun demikian, perubahan tata guna lahan yang signifikan terjadi pada tahun 2005 ketika pembangunan
“Merdeka Walk“ di laksanakan di sisi Baratnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan (skala mikro perancangan kota) Lapangan Merdeka Medan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif meliputi sampel dari populasi 27 Kecamatan di Kotamadya Medan. Pemilihan sample menggunakan teknik probability sampling dengan jenis proposionite stratified random sampling.
Pengumpulan data dengan teknik kuisioner dan pengolahannya menggunakan statistik deskriptif dengan bantuan program SPSS. Pengukuran data menggunakan skala likert.
Sebagai kesimpulan penelitian didapati bahwa persepsi publik Kota Medan mengenai perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka Medan cenderung tidak setuju baik dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya. Namun demikian, ada penemuan menarik dalam penelitian ini dimana mayoritas responden setuju dengan keberadaan Merdeka Walk yang menawarkan fungsi kuliner yang memang dibutuhkan di dalam suatu ruang terbuka publik terbuka.
Kata kunci: Perubahan Tata Guna Lahan dan Persepsi Masyarakat.
ii
The inclination to the change in land use (micro scale of town layout) is likely difficult to be avoided in the midst of town development. The inclusion of architectural elements which hold various function at Lapangan Merdeka has occured since the colonial era and the post independence of the Republic of Indonesia. However, the significant change in land use has occured since 2005 when the construction of ”Merdeka Walk” was carried out on its West side.
The objective of the research was to find out public perception in the change in land use (micro scale of town layout) of Lapangan Merdeka, Medan.
The research used descriptive method, and the population was 27 subdistricts in Medan. The samples were taken by using probability sampling technique with proportionate stratified random sampling type. The data were gathered by using questionnaires, processed by using descriptive statistics with an SPSS software program, and measured by using Likert scale.
The conclusion of the research was that publick perception in Medan on the change in land use of Lapangan Merdeka, Medan, indicated that the inhabitants of Medan did not agreee on the change in land use of Lapangan Merdeka, Medan, viewed from the economic, social, environmental, and cultural aspects. Nevertheless, there was interesting finding in the research which stated that the majority of respondents agreed on the existence of Medeka Walk which offered various culinary types in the open public place.
Keywords: Change in Land Use, Public Perception
iii
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga atas rahmat-Nya tesis dengan judul PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN LAPANGAN MERDEKA KOTA MEDAN ini dapat diselesaikan untuk memenuhi syarat penyelesaian studi pada Program Magister Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Terselesaikannya tesis ini tidak terlepas dari arahan, bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir.
Bustami Syam, MSME selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc selaku Ketua Program Magister Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Ibu Beny Octofryana Yousca Marpaung, ST, MT, PhD selaku Sekretaris Studi Magister Teknik Arsitektur.
Komisi Pembimbing, yang penulis sebutkan dengan hormat: Bapak Prof.
Abdul Majid Ismail, B.A., B.Arch, PhD selaku Ketua/Pembimbing I dan Bapak Dr.
Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI sebagai Anggota/Pembimbing II, atas perhatian, bimbingan, masukan yang berharga dan juga pinjaman buku.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya tesis ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
iv
penulis berharap dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu arsitektur dan perancangan kota serta Pemerintah Kota Medan.
Medan, Maret 2013 Penulis
Imanuel Perangin-angin NIM 047020009
v
Data Pribadi
Nama : Imanuel Perangin-angin
Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe, 2 Maret 1959
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen
Status : Menikah
Riwayat Pendidikan
SD : SD Masehi Kabanjahe, lulus tahun 1972
SMP : SMP Negeri 1 Kabanjahe, lulus tahun 1975
SMA : SMA Negeri 10 Bandung, lulus tahun 1978
Sarjana S1 : Universitas Katolik Parahyangan Bandung, lulus tahun 1986
Riwayat Pekerjaan
Tahun 1987-2007 : Sebagai Dosen Tetap Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unika St. Thomas SU dan sebagai arsitek freelance.
Tahun 2007-2012 : Berwiraswasta
Tahun 2013-sekarang : Bekerja dibidang jasa konstruksi
Riwayat Organisasi
Tahun 1999-2003 : Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2003-2009 : Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Provinsi Sumatera Utara
vi
Hal
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Landasan Teori ... 9
1.4 Tujuan Penelitian ... 11
1.5 Batasan Penelitian ... 11
1.6 Kerangka Berpikir ... 12
1.7 Struktur Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 15
2.1 Persepsi Masyarakat ... .. 15
2.1.1 Pengertian persepsi ... 15
2.1.2 Pembentukan persepsi ... 17
2.1.3 Bentuk-bentuk persepsi ... 17
2.1.4 Skema persepsi ... 19
vii
2.2.1 Tata ruang ... 23
2.3 Perubahan Tata Guna Lahan... 24
2.3.1 Defenisi ... 24
2.3.2 Model perubahan tata guna lahan ... 26
2.3.3 Perubahan guna lahan mikro ... 32
2.4 Persepsi Masyarakat terhadap Perubahan Tata Guna Lahan ... 33
2.5 Ruang Publik ... 35
2.5.1 Pengertian ruang terbuka publik di pusat kota ... 41
2.5.2 Arti penting ruang publik ... 43
2.5 Kaitan Kajian Teori Terhadap Kegiatan Penelitian ... 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51
3.1 Metodologi Penelitian ... 51
3.2 Populasi dan Sampel ... 53
3.2.1 Populasi ... 53
3.2.2 Sampel ... 53
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 56
3.3.1 Pengumpulan data primer ... 56
3.3.2 Pengumpulan data sekunder ... 56
3.4 Teknik Pengolahan Data ... 57
3.5 Teknik Analisis Data ... 57
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI …... 59
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... ... 59
4.1.1 Sejarah Kota Medan ... 59
4.1.2 Letak geografis dan administratif wilayah ... 59
viii
4.2 Kawasan Lapangan Merdeka ... 62
4.3 Tata Guna Lahan di Kawasan Lapangan Merdeka ... 64
4.3.1 Kedudukan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik ... 64
4.3.2 Perubahan tata guna lahan yang signifikan ... 65
4.3.3 Kondisi eksisting tata guna lahan kawasan Lapangan Merdeka ... 68
4.3.4 Rencana perubahan tata guna lahan kawasan Lapangan Merdeka ... 69
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 73
5.1 Karakteristik Responden ... 73
5.2 Persepsi Masyarakat terhadap Perubahan Tata Guna Lahan Lapangan Merdeka ... 76
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 130
6.1 Kesimpulan ... 130
6.2 Rekomendasi ... 132
DAFTAR PUSTAKA ... 134
ix
Nomor Judul Hal.
1.1 Kerangka Berpikir ………. 12
2.1 Skema Persepsi ………. 20
2.2 Kondisi Lapangan Merdeka Sebelum Kemerdekaan ……….. 34
2.3 Tipologi RTH ... 45
2.4 Penyediaan RTNH di Kawasan Perkotaan ... 45
4.1 Lokasi Penelitian Peta Kota Medan ……….. 62
4.2 Peta Kegiatan di Kawasan Lapangan Merdeka... 63
4.3.a Keadaan Tata Guna Lahan Lapangan Merdeka Tahun 1998... 65
4.3.b Peruntukan Lahan Kawasan Lapangan Merdeka... 66
4.4 Foto Lapangan Merdeka dari Udara... 67
4.5 “Pasar Buku” Lapangan Merdeka... 67
4.6 Suasana Merdeka Walk... 68
4.7 Kondisi Tata Guna Lahan Lapangan Merdeka Tahun 2013... 69
4.8 Rencana Pola Ruang Kota Medan Tahun 2011-2031... 71
5.1 Kontinum Hasil Analisa Pertanyaan Pertama Aspek Ekonomi... 78
5.2 Kontinum Hasil Analisa Pertanyaan Kedua Aspek Ekonomi... 79
5.3 Kontinum Hasil Analisa Pertanyaan Ketiga Aspek Ekonomi... 81
5.4 Kontinum Hasil Analisa Pertanyaan Keempat Aspek Ekonomi 82 5.5 Kontinum Hasil Analisa Pertanyaan Kelima Aspek Ekonomi... 83
x
5.7 Kontinum Hasil Analisa Pertanyaan Ketujuh Aspek Ekonomi... 86
5.8 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Pertama Aspek Sosial... 91
5.9 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Kedua Aspek Sosial... 92
5.10 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Ketiga Aspek Sosial... 93
5.11 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Keempat Aspek Sosial... 95
5.12 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Kelima Aspek Sosial... 96
5.13 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Keenam Aspek Sosial... 98
5.14 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Ketujuh Aspek Sosial... 99
5.15 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Pertama Aspek Lingkungan 105 5.16 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Kedua Aspek Lingkungan 106 5.17 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Ketiga Aspek Lingkungan 107 5.18 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Keempat Aspek Lingkungan 109 5.19 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Kelima Aspek Lingkungan 110 5.20 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Keenam Aspek Lingkungan 111 5.21 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Ketujuh Aspek Lingkungan 113 5.22 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Pertama Aspek Budaya... 118
5.23 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Kedua Aspek Budaya... 120
5.24 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Ketiga Aspek Budaya... 121
5.25 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Keempat Aspek Budaya... 122
5.26 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Kelima Aspek Budaya... 124
5.27 Kontinum Hasil Analisa Kuesioner Keenam Aspek Budaya... 125
xi
Nomor Judul Hal.
3.1 Distribusi Sampel Menurut Kecamatan... 55
4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan... 60
4.2 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin... 61 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia... 73
5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 74
5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan... 75
5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan... 75
5.5 Hasil Kuesioner Aspek Ekonomi... 76
5.6 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Pertama Aspek Ekonomi 77 5.7 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Kedua Aspek Ekonomi 78 5.8 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Ketiga Aspek Ekonomi 80 5.9 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Keempat Aspek Ekonomi 81 5.10 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Kelima Aspek Ekonomi 82 5.11 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Keenam Aspek Ekonomi 84 5.12 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Ketujuh Aspek Ekonomi 85 5.13 Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Aspek Ekonomi 86 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Aspek Ekonomi 87 5.15 Hasil Analisa Kuesioner Aspek Sosial……… 89
xii
5.17 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Kedua Aspek Sosial….. 91 5.18 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Ketiga Aspek Sosial…. 93 5.19 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Keempat Aspek Sosial… 94 5.20 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Kelima Aspek Sosial….. 96 5.21 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Keenam Aspek Sosial… 97 5.22 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Ketujuh Aspek Sosial… 98 5.23 Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Aspek Sosial... 100 5.24 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sosial…………. 101 5.25 Hasil Analisa Kuesioner Aspek Lingkungan……….. 103 5.26 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Pertama Aspek
Lingkungan………..
104
5.27 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Kedua Aspek Lingkungan………..
105
5.28 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Ketiga Aspek Lingkungan………..
107
5.29 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Keempat Aspek Lingkungan………..
108
5.30 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Kelima Aspek Lingkungan………..
109
5.31 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Keenam Aspek Lingkungan………..
110
5.32 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Pertanyaan Ketujuh Aspek Lingkungan………..
112
5.33 Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Aspek
Lingkungan………..
113
xiii
5.35 Kuesioner dan Hasil Kuesioner dari Aspek Budaya... 117
5.36 Hasil Pengolahan data Pertanyaan Pertama Aspek Budaya... 117
5.37 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Kedua Aspek Budaya... 119
5.38 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Ketiga Aspek Budaya... 120
5.39 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Keempat Aspek Budaya 122 5.40 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Kelima Aspek Budaya.... 123
5.41 Hasil Analisa Kuesioner Pertanyaan Keenam Aspek Budaya 124 5.42 Distribusi Persepsi Responden Berdasarkan Aspek Budaya.... 126
5.43 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Budaya………... 126
i
Kecenderungan perubahan tata guna lahan (skala mikro tingkat perancangan kota) sepertinya memang sulit dihindari ditengah-tengah pesatnya perkembangan kota. Masuknya elemen-elemen arsitektural yang menyandang berbagai gelar fungsi di Lapangan Merdeka memang sudah terjadi sejak zaman kolonial dulu maupun setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia. Namun demikian, perubahan tata guna lahan yang signifikan terjadi pada tahun 2005 ketika pembangunan
“Merdeka Walk“ di laksanakan di sisi Baratnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan (skala mikro perancangan kota) Lapangan Merdeka Medan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif meliputi sampel dari populasi 27 Kecamatan di Kotamadya Medan. Pemilihan sample menggunakan teknik probability sampling dengan jenis proposionite stratified random sampling.
Pengumpulan data dengan teknik kuisioner dan pengolahannya menggunakan statistik deskriptif dengan bantuan program SPSS. Pengukuran data menggunakan skala likert.
Sebagai kesimpulan penelitian didapati bahwa persepsi publik Kota Medan mengenai perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka Medan cenderung tidak setuju baik dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya. Namun demikian, ada penemuan menarik dalam penelitian ini dimana mayoritas responden setuju dengan keberadaan Merdeka Walk yang menawarkan fungsi kuliner yang memang dibutuhkan di dalam suatu ruang terbuka publik terbuka.
Kata kunci: Perubahan Tata Guna Lahan dan Persepsi Masyarakat.
ii
The inclination to the change in land use (micro scale of town layout) is likely difficult to be avoided in the midst of town development. The inclusion of architectural elements which hold various function at Lapangan Merdeka has occured since the colonial era and the post independence of the Republic of Indonesia. However, the significant change in land use has occured since 2005 when the construction of ”Merdeka Walk” was carried out on its West side.
The objective of the research was to find out public perception in the change in land use (micro scale of town layout) of Lapangan Merdeka, Medan.
The research used descriptive method, and the population was 27 subdistricts in Medan. The samples were taken by using probability sampling technique with proportionate stratified random sampling type. The data were gathered by using questionnaires, processed by using descriptive statistics with an SPSS software program, and measured by using Likert scale.
The conclusion of the research was that publick perception in Medan on the change in land use of Lapangan Merdeka, Medan, indicated that the inhabitants of Medan did not agreee on the change in land use of Lapangan Merdeka, Medan, viewed from the economic, social, environmental, and cultural aspects. Nevertheless, there was interesting finding in the research which stated that the majority of respondents agreed on the existence of Medeka Walk which offered various culinary types in the open public place.
Keywords: Change in Land Use, Public Perception
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan kota membawa perubahan aktivitas masyarakat kota dalam bentuk fungsi kota yang tidak sekedar bertambah secara kuantitatif tetapi juga semakin bervariasi dari waktu ke waktu. Salah satu bagian fungsi dari kota adalah ruang terbuka publik, yaitu tempat bertemunya orang- orang untuk berinteraksi secara bebas sesuai dengan kebutuhannya.
Peran ruang terbuka publik bagi masyarakat kota sangat penting, selain menyangkut tata ruang fisik lingkungan, ruang publik juga mengemban fungsi dan makna sosial dan kultural yang sangat tinggi. Namun, pertumbuhan kota yang cepat menyebabkan tuntutan kebutuhan lahan perkotaan makin meningkat. Komersialisasi dan Privatisasi lahan baik secara individual maupun badan hukum/lembaga telah menyebabkan keberadaan dan kualitas ruang terbuka publik menjadi terganggu.
Beberapa dasawarsa terakhir, semakin banyak orang yang tinggal di kota-kota yang padat, dimana pembangunan perkotaan selalu berubah dengan cepat, demikian juga disemua kota-kota di Asia. Diantara semua jenis ruang yang berubah dengan cepat dalam pembangunan kota-kota tersebut adalah ruang terbuka publik, seperti jalan, pasar-pasar, lapangan, plaza dan berbagai jenis ruang terbuka publik lainnya (Marcus dan Francis, 1998; Gastil & Ryan, 2004).
1
Ruang terbuka publik merupakan salah satu bagian yang tidak terelakkan dari kehidupan manusia. Setiap disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, political science atau hukum memiliki definisi masing-masing terhadap ruang terbuka publik.
Pemerintah Inggris mendeskripsikan ruang publik sebagai suatu sistem kompleks berkaitan dengan segala bagian bangunan dan lingkungan alam yang dapat diakses dengan gratis oleh publik yang meliputi: jalan, square, lapangan, ruang terbuka hijau, atau ruang private yang memiliki keterbukaan aksesibilitas untuk publik (Carmona, Tisdell, Heath, & Oc, 2010).
Carmona, et al, (2010) menyatakan ada tiga kualitas yang menentukan relativitas „ke-publik-an‟ suatu ruang yakni kepemilikan fungsi, akses dan kegunaan.
Selama memiliki kepemilikan fungsi yang netral, dapat diakses oleh publik dan digunakan secara bersama-sama oleh individu atau kelompok yang berbeda, maka dapat dikategorikan sebagai ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik memiliki banyak dampak positif untuk kehidupan kota. Menurut forum kota GreenSpace, ruang publik terutama taman memiliki tiga nilai penting terhadap kota yakni nilai sosial, nilai lingkungan dan nilai ekonomis. Taman menyediakan ruang di mana orang bisa mendapatkan udara segar, berjalan-jalan, olahraga atau hanya menikmati sekitarnya. Ruang hijau memberikan kesempatan masyarakat untuk belajar mulai dari ilmu lingkungan, biologi, kesehatan, sosial, dan kesejahteraan. Pohon dan tanaman di ruang hijau memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas udara dan mengurangi polusi di lingkungan perkotaan.
Minimnya ruang terbuka publik dikhawatirkan terjadinya berbagai masalah sosial kemasyarakatan sebagai akibat dari kurangnya kebersamaan dan sosialisasi
antarwarga. Masyarakat tidak lagi memiliki ruang bersama untuk saling berinteraksi, komunikasi antar warga, anak-anak tidak lagi memiliki tempat bermain di ruang luar, sehingga budaya kebersamaan dan toleransi semakin terkikis. Ruang publik menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 40% dari total luas wilayah kota dengan proporsi 30% untuk (RTH) dan 10% untuk ruang terbuka publik yang secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kota-kota di Indonesia.
Sejalan dengan pertumbuhan pembangunan tersebut terjadi perubahan kualitas hidup dan cara penggunaan ruang terbuka publik di dalam kota yang menunjukkan kebutuhan masyarakat terhadap ruang terbuka publik telah berubah. Dibanyak kota- kota Asia orang lebih memilih untuk memiliki rumah dan perabotan yang lebih baik, ruang publik yang lebih nyaman adalah taman tema, dan fasilitas hiburan konsumtif lainnya (Siu, 2008). Kecenderungan untuk menghilangkan ruang terbuka publik dan meningkatnya komunitas berpagar telah menjadi pertentangan dengan kehidupan sosial yang solider dan harmonis, menuju “akhir dari budaya publik” (Sennett, 1995).
Hal di atas bertentangan dengan konsep normatif ruang terbuka di dalam kota sebagai bagian yang integral dengan ruang yang merupakan ruang tempat berinteraksi sosial, integrasi budaya, ekspresi demokrasi dan harmonisasi politik (Carr, 1992).
Demikian juga kualitas lingkungan di dalam kota tidak hanya ditentukan oleh elemen fisik-fungsional saja tetapi juga harus memenuhi kebutuhan sosial, budaya, psikologi dan ideologi (Rapuano & Wigginton, 1994). Dalam buku Project for Public Places, sebuah ruang publik yang baik harus memperhatikan 4 faktor utama yakni: (1) Akses
dan linkage; (2) Tujuan dan aktivitas; (3) Kenyamanan dan tampilan; dan (4) Keramahan (Carmona, Tisdell, Heath, & Oc, 2010).
Li (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan ruang terbuka di Dalian, Cina adalah bagian dari kebijakan regenerasi Kota Dalian dengan pertimbangan utama adalah menyediakan kepada penduduk ruang terbuka untuk menikmati kehidupan dan meningkatkan kualitas lingkungan kota. Beberapa kebijakan tentang ruang terbuka publik antara lain adalah kebijakan tata guna lahan bagi ruang terbuka publik, jaringan pedestrian di pusat kota, fungsi komersil dan aktivitas di ruang terbuka publik, penataan fasade bangunan, penataan parkir, dan manajemen ruang terbuka publik.
Banyak kota terutama kota-kota besar menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan pesatnya pertambahan penduduk yang tercermin pada perkembangan dan munculnya daerah terbangun. Kedua hal inilah sebenarnya yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan sebagai ruang untuk manusia hidup dan menyelenggarakan berbagai kegiatan usahanya (Sujarto, 1992). Dengan demikian area perkotaan akan selalu menarik untuk dijadikan pusat kegiatan intelektual, kebudayaan, dan perdagangan karena fasilitas infrastruktur di perkotaan lebih lengkap dibandingkan dengan pedesaan. Tidak mengherankan jika kota akan mengalami pertumbuhan perekonomian yang pesat dan mempengaruhi percepatan perkembangan fisik kawasan.
Tidak dapat dihindari bahwa percepatan perkembangan fisik kawasan akan mempengaruhi kota yang tercermin pada kehidupan ekonomi dan sosio-politik, pada sifat-sifat fisik, dan tata ruangnya (Branch, 1996) dengan kata lain terjadi pergeseran
fungsi ruang. Kelangsungan hidup suatu kota secara ekonomis lebih kuat dan lebih sulit terkena pengaruh bila suatu kota memiliki fungsi jamak. Hal ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan ruang untuk menampung kegiatan akibat pertumbuhan ekonomi. Faktor itulah yang menyebabkan sebagian besar kota-kota berupaya untuk melakukan diversifikasi basis ekonominya.
Berbicara tentang ruang publik dalam pengertian politis (political public sphere), berarti bagaimana diskusi publik yang terbentuk dari kepentingan- kepentingan individu dihubungkan dengan kekuasaan negara. Ruang publik politis adalah ruang publik yang menjembatani antara kepentingan publik dan negara, yang mana publik mengorganisasi dirinya sebagai pemilik opini publik berdasarkan prinsip demokrasi (Habermas, 2002). Ruang publik (politis) ini pada esensinya merupakan ruang demokrasi bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan). Artinya bahwa ruang publik tersebut berasal dari kepentingan publik, oleh kepentingan publik, dan untuk kepentingan publik itu sendiri, tanpa campur tangan dari pihak- pihak tertentu, seperti pribadi atau kelompok, maupun dari pihak pemerintah. Jadi, esensi ruang publik adalah nilai-nilai demokrasi yang mementingkan kepentingan bersama (publik). Nilai demokrasi maksimal inilah yang menjadi inti suatu ruang publik politis.
Guna menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan fisik kota serta aspek-aspek kehidupan yang lainnya, perlu adanya suatu pedoman yang dapat mengendalikan serta mengarahkan perkembangan fisik lingkungan kawasan.
Agar pemahaman masyarakat terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)
dapat optimal dan tepat sasaran maka perlu diatur kembali agar lebih operasional di lapangan. Menurut Permendagri No. 2/1987, Keputusan Menteri Nomor 33 Tahun 1992 dan Perda No. 7/1999 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota memuat rumusan tentang kebijaksanaan pengembangan kota, rencana pemanfaatan ruang kota, rencana struktur utama tingkat pelayanan kota, rencana sistem utama transportasi, rencana sistem utama jaringan utilitas kota, rencana pemanfaatan air baku, indikasi unit pelayanan kota dan rencana pengelolaan pembangunan kota.
Perkembangan Kota Medan sebagai kota metropolitan begitu pesat dan mengagumkan. Data BPS Kota Medan tahun 2011 menunjukkan jumlah penduduk mencapai 2.778.902 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 10.482,5 jiwa/km2, dengan laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2012 mencapai 7,9 persen dengan PDRB sebesar Rp 93,1 triliun. Tetapi sayang perkembangan tersebut tidak diikuti dengan tersedianya sarana ruang terbuka publik yang memadai.
Salah satu ruang terbuka publik di kawasan pusat Kota Medan adalah Kawasan Lapangan Merdeka Medan. Kawasan Lapangan Merdeka Medan merupakan bagian awal terbentuknya Kota Medan yang diawali sebagai daerah perkebunan tembakau Deli. Setelah tahun 1927 area seluas kurang lebih 175m x 275m akhirnya ditetapkan sebagai taman kota (Passchier, 1995). Di lapangan ini terjadi beberapa peristiwa bersejarah dan hingga saat ini Lapangan Merdeka dan sekitarnya merupakan kawasan di pusat Kota Medan dengan konsentrasi bangunan bersejarah yang sangat tinggi, sebagai hasil peninggalan arsitektur pada zaman kolonial Belanda.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031, menyatakan bahwa salah satu kawasan RTNH di Kota Medan adalah Lapangan Merdeka sebagai tempat berkumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011. Lapangan Merdeka Medan saat ini terdefinisi sebagai ruang terbuka publik kota yang pada arealnya terdapat adanya pengelolaan swasta untuk kepentingan usaha.
Dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di Lapangan Merdeka kota menjadi lebih aman dan terkontrol sebagai tempat warga berinteraksi, ekonomi dan budaya, dengan penekanan utama pada aktivitas sosial, namun, disaat yang sama, Lapangan Merdeka juga telah mengakomodasi segregasi sosial, ketika ruang terbuka bersejarah ini kini terbagi menjadi beberapa zona dengan segmen pasar dari kelas sosial berbeda (Nasution, 2010).
Bangunan-bangunan disekitarnya sampai saat ini merupakan cerita masa lalu yang bisa diangkat kembali untuk dijadikan identitas kawasan yang diambil sejarah kota Medan sebagai kota perkebunan dan Kota Medan sebagai kota kolonial dalam perkembangnnya. Beberapa bangunan sampai saat ini masih terlihat kontinuitasnya dan persistensinya misalnya Gedung London Sumatera, Kantor Pos, Stasiun Kereta Api dan beberapa bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang kuat dan ikut membentuk Lapangan Merdeka sebagai kawasan kolonial saat itu. Keberadaan bangunan yang berada disekitar Lapangan Merdeka dipertegas dengan beberapa lorong yang ada disekitar Lapangan Merdeka dengan kekentalan gaya kolonialnya.
Ruang terbuka publik merupakan bagian dari pembangunan wilayah di perkotaan yang sangat penting untuk diperhatikan. Koridor “Merdeka Walk”
(Lapangan Merdeka) merupakan wilayah yang memiliki nilai historis yang tinggi, baik dari bangunan maupun lingkungannya sendiri. Perkembangan pembangunan yang pesat menuntut adanya suatu pelestarian baik preservasi maupun konservasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan jaman, konsep dan praktik nilai-nilai (kondisi-kondisi) Lapangan Merdeka Medan sebagai ruang publik terbuka, perlahan-lahan mulai berubah dan dimuati dengan nilai-nilai (kondisi- kondisi) ruang publik kontemporer yang banyak diintervensi oleh kepentingan pemerintah dan pemilik modal (pasar) yang dimediasi oleh media massa, sehingga keberadaannya bisa terancam dari segi fungsi dan maknanya. Pemerintah Kota Medan justru telah mengijinkan adanya aktivitas dalam pengelolaan kawasan Lapangan Merdeka yang lebih condong kepada bisnis seperti Merdeka Walk diikuti dengan perjanjian yang dikenal dengan BOT (Build Operate Transfer) selama 20 tahun (setelah habis masanya dapat diperpanjang kembali).
Perkembangan kawasan Lapangan Merdeka Medan erat kaitannya dengan perilaku masyarakat melalui persepsinya dalam merespon lingkungan mengingat masyarakat merupakan pakar lokal, pemegang informasi, dan usable knowledge yang amat berguna dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan (Lindblom dalam Hadi, 2005).
Senada dengan Lindblom, Jurgen Habermen (Haberman, dalam Hadi et al, 2005) mengemukakan perlunya menggunakan pendekatan perilaku dalam perencanaan pembangunan yang menggunakan bahasa keseharian yang mengambil informasi dan menerjemahkan pengetahuan tentang perilaku manusia termasuk nilai, rasa, dan penilaian internal sebagaimana masyarakat bertingkah laku. Intisari
pemikiran kedua tokoh tersebut adalah adanya krisis dalam kegiatan perencanaan yang salah satunya disebabkan oleh tidak adanya keharmonisan antara pemikiran perencana dengan prilaku dan persepsi masyarakat pengguna produk perencanaan terebut.
Dalam konteks studi ini maka perlu dikaji bagaimana persepsi masyarakat kota Medan terhadap perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka di Kota Medan.
Sehingga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam penentuan kebijakan penataan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik kedepannya. Dengan mengetahui persepsi masyarakat berarti mengetahui nilai-nilai dan prilaku yang ada pada masyarakat sehingga dapat menjadi masukan bagi perencana dan pemangku kepentingan Kota Medan, khususnya dalam penataan Lapangan Merdeka kedepannya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan di Lapangan Merdeka Kota Medan.
1.3 Landasan Teori
Persepsi, menurut Jalaludin (2009) adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (2007) persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan
diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.
Atkinson dan Hilgard (2004) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Donely (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera.
Menurut Walgito (2003) sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa:
(1) Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya; (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan cocok dengan keadaan individu; (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut, yaitu bagaimana sebaiknya bersikap.
Menurut Sari (2009) pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di wilayah perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan, namun tidak
semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi memicu persaingan dan konflik dalam memanfaatkan ruang.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menemukan kesimpulan tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka di Kota Medan.
2. Menemukan faktor-faktor penting dan berperan sehubungan dengan persepsi masyarakat sebagai masukan bagi perencanaan Lapangan Merdeka kedepannya.
1.5 Batasan Penelitian
Untuk mempertegas batas penelitian tesis ini, maka perlu dibuat batasan- batasan penelitian yang mencakup hal-hal: (1) Responden adalah penduduk kota Medan dengan umur serendahnya 26 tahun dan pernah mengunjungi Lapangan Merdeka Kota Medan. Dengan demikian mayoritas umur responden ketika terjadi perubahan tata guna lahan signifikan di Lapangan Merdeka Kota Medan (2005) sekurangnya adalah sekitar 18 tahun; (2) Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan alat berupa lembaran-lembaran kuesioner yang telah dirancang sesuai tujuan penelitian; (3) Skala pengukuran yang digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat adalah Skala Likert; (4) Obyek studi adalah Lapangan Merdeka yang terletak di Kecamatan Medan Barat Kota Medan yang ada sekarang ini.
1.6 Kerangka Berpikir
Kerangka berfikir dalam tesis ini secara garis besar memberikan gambaran yang menjelaskan proses penelitian melalui tahap-tahap yang tersusun secara sistematis seperti pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Latar Belakang Perubahan tata Guna Lahan Lapangan Merdeka Sebagai
Ruang Publik
Rumusan Permasalahan Pengelolaan Kawasan Lapangan Merdeka lebih condong kepada bisnis dan nilai-nilai Lapangan Merdeka
Medan sebagai ruang publik terbuka, perlahan-lahan mulai
tergerus.
Tujuan Penelitian Mengetahui persepsi masyarakat terhadap perubahan
tata guna lahan Lapangan Merdeka
Kesimpulan/Saran Hasil Penelitian Data Sekunder
a.Studi literatur/buku b.Hasil penelitian sejenis
Data Primer a.Kuesioner b.Pengukuran
a. Masyarakat
1.7 Struktur Penulisan
Struktur penulisan yang akan digunakan dalam proses penyusunan tesis ini terdiri dari:
1. Bab I. Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, landasan teori, tujuan penelitian, batasan penelitian, kerangka berpikir dan struktur penulisan.
2. Bab II. Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas mengenai tinjauan pustaka terkait dengan penelitian yang terdiri dari kajian tentang teori persepsi masyarakat, teori perubahan tata guna lahan, persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan, manajemen strategi dan kaitan-kajian teori terhadap kegiatan penelitian.
3. Bab III. Metodologi Penelitian
Bab ini membahas mengenai metodologi penelitian yang secara garis besar akan membahas tentang metode penelitian itu sendiri, penetapan populasi dan sampel, identifikasi variabel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik analisis data, serta tahapan penelitian secara umum.
4. Bab IV. Gambaran Umum Wilayah Studi
Bab ini membahas tentang kondisi kawasan kajian secara umum, yaitu kondisi umum Kota Medan dan kondisi tata guna lahan di Kecamatan Medan Barat.
5. Bab V. Hasil dan Pembahasan
Bab ini membahas hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden dan hasil penjaringan persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan
lapangan Merdeka dan pembahasan hasil penelitian serta strategi yang digunakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Lapangan Merdeka sebagai ruang publik berdasarkan teori-teori terkait.
6. Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini memuat kesimpulan studi yang dibuat dan saran saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi Masyarakat 2.1.1 Pengertian persepsi
Persepsi dalam psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan sesuatu objek yang ada di lingkungannya. Menurut Robbins (2001), mengungkapkan bahwa persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat mengalami persepsi (proses-proses psikologis) Robbins (2001).
Persepsi merupakan suatu proses seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkannya, mengalami, dan mengelola pertanda atas segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya (Hammer dan Morgan dalam Ibrahim, 2003). Menurut Thoha (2008), persepsi berkaitan dengan peta kognitif individu bukanlah penyajian fotografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai objek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menurut kebiasaan-kebiasaannya. Intinya persepsi adalah
15
suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya.
Persepsi, menurut Jalaludin (2009), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (2007), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.
Atkinson dan Hilgard (2004), mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Donely (1994), menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera.
Persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 2004). Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat memengaruhi
perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku.
2.1.2 Pembentukan persepsi
Proses pembentukan persepsi sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan" interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
2.1.3 Bentuk-bentuk persepsi
Persepsi secara umum merupakan suatu tanggapan berdasarkan suatu evaluasi yang ditujukan terhadap suatu obyek dan dinyatakan secara verbal, sedangkan bentuk-bentuk persepsi merupakan pandangan yang berdasarkan penilaian terhadap suatu obyek yang terjadi, kapan saja, dimana saja, jika stimulus memengaruhinya.
Persepsi yang meliputi proses kognitif mencakup proses penafsiran obyek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan.
Kemampuan manusia sangatlah terbatas, sehingga manusia tidak mampu memproses seluruh stimulus yang ditangkapnya. Artinya meskipun sering disadari,
stimulus yang akan dipersepsi selalu dipilih suatu stimulus yang mempunyai relevansi dan bermakna baginya. Dengan demikian dapat diketahui ada dua bentuk persepsi yaitu yang bersifat positif dan negatif:
1. Persepsi Positif
Persepsi positif, yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menuju pada suatu keadaan dimana subyek yang mempersepsikan cenderung menerima obyek yang ditangkap karena sesuai dengan pribadinya.
2. Persepsi Negatif
Persepsi negatif, yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menunjuk pada keadaan dimana subyek yang mempersepsi cenderung menolak obyek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pribadinya.
Pengertian masyarakat dalam kamus Bahasa Inggris, masyarakat disebut society asal katanya socius yang berarti kawan. Arti yang lebih khusus, bahwa
masyarakat adalah kesatuan sosial yang mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat dan sebagainya. Sedangkan jiwa masyarakat ini merupakan potensi yang berasal dari unsur-unsur masyarakat meliputi pranata, status dan peranan sosial. Sehingga para pakar sosiologi seperti Maclver, J.L Gillin memberikan pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang saling bergaul berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan
kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama (Soelaiman dalam Mussadun, 2000).
Jadi pengertian persepsi masyarakat dapat disimpulkan sebagai tanggapan melalui pengetahuan lingkungan dari kumpulan individu-individu yang saling bergaul dan berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh melalui interpretasi data indera.
2.1.4 Skema persepsi
Persepsi terhadap lingkungan (environmental perception) merupakan persepsi spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu setting (ruang) oleh individu yang didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut.
Dengan demikian setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda terhadap objek yang sama karena tergantung dari latar belakang yang dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi dan transportasi.
Respon manusia terhadap lingkungannya tergantung pada bagaimana individu tersebut mempersepsikan lingkungannya (Sarwono, dalam Boedojo, 1986). Persepsi terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya.
Menurut Walgito (2003), sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa: (1) Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya; (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan
cocok dengan keadaan individu; (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut, yaitu bagaimana sebaiknya bersikap.
Ada dua jenis lingkungan dalam kaitannya antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya (Sarwono, dalam Boedojo, 1986). Pertama adalah lingkungan yang telah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Lingkungan seperti ini cenderung dipertahankan. Kedua adalah lingkungan yang masih asing, dimana manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri atau sama sekali menghindarinya.
Setelah manusia menginderakan objek di lingkungannya, ia memproses hasil penginderaannya dan timbul makna tentang objek pada diri manusia yang dinamakan persepsi dan selanjutnya menimbulkan reaksi. Untuk memahami proses yang terjadi sejak individu bersentuhan melalui inderanya dengan objek di lingkungannya sampai terjadi reaksi. Skema persepsi dapat dilhat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skema Persepsi
Sumber: Paul A. Bell (dalam Sarwono, 2000)
Menurut skema tersebut tahap paling awal dari hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan individu datang dengan sifat-sifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan ciri kepribadiannya masing-masing.
Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeo statis yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas- batas optimal (terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stres dalam dirinya. Tekanan- tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan copying untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya.
Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping ini menyebabkan stres berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu dan persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu (adjusment).
Dampak dari keberhasilan ini juga mengenai individu maupun persepsinya.
Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasil terjadi berulang-ulang maka kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan.
Disamping itu, terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, kewaspadaan akan meningkat. Namun pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan menurunnya prestasi sampai pada titik terendah.
2.2 Tata Ruang dan Tata Guna Lahan
Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang (sekarang Undang- undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang) menyebutkan “Perencanaan tata ruang, struktur dan pola tata ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air dan tata guna sumber daya lainnya”. Sehubungan dengan hal tersebut maka penatagunaan tanah adalah bagian yang tak terpisahkan dari penataan ruang, atau subsistem dari penataan ruang. Pada saat ini penatagunaan tanah merupakan unsur yang paling dominan dalam proses penataan ruang.
Selain itu penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Di dalam pelaksanaannya, kegiatan penatagunaan tanah meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi terkait di pusat dan di daerah agar penatagunaan tanah dapat diserasikan dengan rencana tata ruang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tata Guna Tanah dengan Tata Ruang saling terkait satu dengan lainnya sehingga apabila rencana tata ruang
berubah, maka rencana tata guna tanah pun berubah disesuaikan dengan perubahan rencana tata ruang.
2.2.1 Tata ruang
Penataan Ruang diatur dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan penyelenggaraannya diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan tata ruang merupakan pemanfaatan daratan, lautan dan udara bagi manusia dan makhluk lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatan bagi kelangsungan hidupnya, dimana pemanfaatan ruang yang dimaksudkan tersebut di atas, dalam hal ini lebih ditekankan pada pemanfaatan akan tanah. Dalam tata ruang terdapat suatu sistim proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang disebut sebagai penataan ruang, yang penyelenggaraannya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan penataan ruang merupakan kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) yaitu: (1) Proses utama yakni proses perencanaan tata ruang
wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW); (2) Disamping sebagai pedoman untuk pelaksanaan kedepan, RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Proses yang kedua adalah proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri;
(3) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.
2.3 Perubahan Tata Guna Lahan 2.3.1 Definisi
Tata guna lahan (land use) merupakan pengaturan pemanfaatan lahan/aktifitas pada suatu lingkup wilayah (baik tingkat nasional, regional, maupun kawasan) untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan manusia seperti bekerja, berbelanja, belajar, dan berekreasi, semuanya dilakukan pada kapling-kapling tanah yang diwujudkan sebagai kantor, pabrik, gedung sekolah, pasar, pertokoan, perumahan, objek wisata, hotel, dan lain sebagainya. Aktivitas di kapling tanah (lahan) tersebut dinamakan tata guna lahan (Miro dalam Wismadi, dkk, 2008).
Pengertian konversi lahan atau perubahan tata guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati dalam Yusran, 2006). Sedangkan gejala perubahan pemanfaatan lahan sendiri menjadi gejala alamiah dalam suatu evolusi kota. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang berbeda (Legawa dalam Harjanti, 2002).
Evolusi kota sendiri terbentuk dari faktor-faktor internal seperti keputusan- keputusan yang diambil oleh berbagai institusi dan individu, penyebab eksternal (konteks ekonomi internasional) dan perkembangan sosial. Proses-proses dasar dapat berjalan lambat ataupun cepat, dan berlaku dalam lingkup lokal maupun global. Pada level yang berbeda, seperti yang terjadi dibeberapa kota besar di Eropa, evolusi tersebut menjadi daya tarik bagi para imigran seperti di negara-negara yang memiliki permasalahan utama ekonomi dan politik dimana sering memunculkan gejala marginalisasi dan segregasi. Kondisi tersebut juga menjadi lahan subur untuk munculnya aktivitas ekonomi, politik dan budaya, sehingga menimbulkan diantaranya perubahan dan konversi industri, penilaian lahan kembali dan pengembangan pusat pelayanan baru. Gejala di atas disebut dengan perubahan kualitatif yang bertolak belakang dengan proses-proses pertumbuhan kuantitatif yang murni (Albeverio,dkk, 2007).
Struktur dan bentuk kota-kota saat ini adalah hasil dari dinamika berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan fisik baik secara umum maupun lokal (Lambin dalam Hagoort, dkk, 2004). Oleh karenanya, dalam rangka efisiensi alokasi
pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang.
Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana tata ruang sendiri merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan atas pembagian berbagai sektor kegiatan masyarakat tersebut (Dardak, 2005).
Sedangkan proses penataan ruang merupakan proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan dalam konteks keruangan. Sehingga setiap aktifitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan dan memiliki titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation (Hardiansah, 2008).
Pada akhirnya perubahan tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai upaya manusia dalam merencanakan arahan perubahan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu yang merupakan rangkuman kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat kedepan yang ditikberatkan pada pencapaian sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation.
2.3.2 Model perubahan tata guna lahan
Perubahan pemanfaatan lahan tidak terlepas dari perkembangan suatu daerah menuju ke keadaan yang lebih padat yang sering diidentifikasikan sebagai perubahan menuju ke arah perkotaan (urbanised area). Secara umum, kebalikan dari perkotaaan
disebut dengan pedesaan (rural area). Diakui atau tidak, tidak ada satu daerahpun yang tertutup akan perubahan. Terlebih lagi memasuki era abad ke-21, dimana interaksi dan komunikasi antar komponen-komponen pendukung wilayah satu dengan yang lainnya tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Batas-batas keruangan wilayah memudar seiring inovasi-inovasi teknologi dan sistem regulasi pendukung yang memungkinkan terjadinya percampuran sistem budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, pemanfaatan berbagai penemuan baru, pemindahan modal, dan pergerakan sumber daya manusia (tenaga kerja) (Suartika, 2007).
Oleh karenanya, di dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diatur alokasi pemanfaatan ruang/lahan untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dan sebagainya) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni (livable environment) (Algamar, 2003). Sedangkan dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun aset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan), penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan, lingkungan, serta unsur fisik (seperti bangunan termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan).
Sedangkan pembedaan pola keruangan ini disebabkan oleh luas daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor ekonomi yang secara garis besar dibagi atas inti kota (core the city) dan selaput kota
(intergruments), dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai daerah- daerah kosong (interstices) (Bintarto dalam Yusran, 2006).
Menurut Bourne dalam Yusran (2006), ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota, peremajaan di pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu yang secara garis besar berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam yang dipengaruhi antara lain:
1. Faktor manusia, yang terdiri dari kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi;
2. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian;
3. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.
Adapun dalam mengatur dan mengkontrol terjadinya perubahan tata guna lahan diperlukan suatu perangkat sistem pengelolaan. Keiser, Godschalk dan Chapin dalam Suartika (2007) menawarkan dua model manajemen perubahan tata guna lahan, yaitu:
1. Model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan kehidupan hidup manusia (human ecology) dan politikal ekonomi dalam suatu konsep yang menggabungkan proses pengaturan pemanfaatan lahan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
2. Model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah (discourse planning model). Model ini tidak hanya mengakui kepentingan- kepentingan kelompok dominan yang telah disebutkan dalam game theory, tetapi juga memberi peluang kepada pihak perencana, tenaga ahli teknis dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya untuk berpartisipasi.
Menurut Gibson dalam Markvart (2009), konsep esensial dari pembangunan berkelanjutan sendiri antara lain:
1. Suatu tantangan untuk berfikir dan berbuat secara konvensional;
2. Melakukan sesuatu untuk kesejahteraan jangka panjang maupun jangka pendek;
3. Menyeluruh, meliputi semua permasalahan inti di dalam hal pengambilan keputusan;
4. Suatu pengenalan tentang hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan, terutama antara manusia dan fondasi biofisik untuk kehidupan;
5. Pentingnya melakukan pendekatan-pendekatan terhadap tindakan pencegahan;
6. Suatu pengenalan terhadap batasan yang tidak dapat diganggu gugat serta tidak habisnya peluang didalam menciptakan inovasi kreatifitas;
7. Suatu proses akhir yang selalu terbuka dan bukan merupakan suatu pernyataan;
8. Suatu pemahaman yang baik antara budaya dan pemerintahan seperti yang terjalin dengan ekologi, sosial dan ekonomi;
9. Seluruh ketergantungan yang bersifat universal dan kontekstual.
Menurut Camagni dalam Capello dan Nijkamp (2004), teori dan model ekonomi perkotaan secara efisien diatur dalam 5 (lima) prinsip utama antara lain:
1. Prinsip Pengelompokkan: Kepadatan penduduk yang tinggi dan kegiatan yang produksi mempercepat kemunculan seluruh gejala positif dan negatif yang berasal dari kedekatan fisik, ekonomi kelompok, baik dalam bentuk urbanisasi dan lokalisasi ekonomi yang dikenal sebagai elemen genetik dalam keberadaan suatu kota;
2. Prinsip Aksesibilitas: Pemahaman interaksi saling menguntungkan antara biaya transportasi dan penggunaan lahan langsung dan lebih banyak kepada aplikasi yang rasional secara cepat di tingkat kota;
3. Prinsip Interaksi Spasial: Tingkat kepadatan yang tinggi di permukiman dan kegiatan produksi yang hadir disetiap kota memfasilitasi kebutuhan kontak, dan berakibat terhadap mekanisme interaksi spasial, dengan segala dampak positif dan negatif yang terkait dengan mereka;
4. Prinsip Hirarki Perkotaan: Pembagian ruang bagi para pekerja jelas tercermin dalam perbedaan pola sosio-ekonomi antar kota;
5. Prinsip Persaingan: Dalam kondisi kota sebagai lokasi utama kegiatan produksi, prinsip persaingan menjadi sangat penting ditingkat perkotaan
serta membutuhkan ketentuan spesifik guna mendukung mekanisme efisiensi perkotaan.
Sedangkan konsep dari partisipasi sendiri adalah berdasarkan pengalaman dan wawasan yang berkembang harus diakui bahwa masyarakat lokal yang sebelumnya selalu dipandang sebagai subjek, klien atau penerima yang pasif, secara jelas telah banyak berkontribusi pada proses penelitian dan pengembangan. Menurut Chamber, pendekatan partisipatif yang diterapkan saat ini dalam berbagai konteks sosial dan ekologi, telah membentuk dan mempengaruhi program maupun kebijakan nasional, penelitian regional dan internasional serta pembangunan diseluruh dunia (Byambaa, 2007).
Partisipasi tidak meningkatkan kinerja proyek akan tetapi merupakan komponen utama pemberdayaan masyarakat dan membuat mereka mandiri untuk belajar bertanggung jawab atas kehidupan dan mengambil kendali atas keadaan untuk selanjutnya mengembangkan kapasitas untuk menolong dirinya sendiri dalam suatu proses. Menurut Rolly, partisipasi menciptakan rasa percaya diri yang kuat dan mampu meyakinkan diri mereka untuk dapat berhasil menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Byambaa, 2007).
Pendekatan partisipatif merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap pendekatan top-down di dalam proses perencanaan dan manajemen. Ketika masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan ataupun pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek (Rolly dalam Byambaa, 2007).