1
DENGUE SYOK SINDROM
Oleh :
Shobana Raveendran dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN
BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI FK UNUD/RSUP SANGLAH
3 DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iii
Daftar Gambar ... iv
Daftar Tabel ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2
2.1 Definisi ... 2
2.2 Etiologi ... 3
2.3 Nyamuk Penular DBD ... 4
2.4 Epidemiologi ... 5
2.5 Patofisiologi... 6
2.6 Manifestasi Klinis... 7
2.7 Diagnosis... 10
2.8 Pencegahan... 11
2.9 Komplikasi... 12
2.10 Prognosis... 13
BAB III LAPORAN KASUS ... 14
3.1 Identitas ... 15
3.2 Heteroanamnesis ... 16
3.3 Pemeriksaan Penunjang ... 22
3.4 Diagnosis Klinis ... 25
3.5 Diagnosis Gizi... ... 27
4
3.6 Rencana Kerja... 29
3.7 Penatalaksaan... 31
BAB IV PEMBAHASAN ... 32
BAB V KESIMPULAN……… 35
DAFTAR PUSTAKA……….. 35
5 BAB 1 PENDAHULUAN
Dengue Fever (DF) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, nyeri retro orbital, myalgia, atralgia, ruam kulit, hepatomegali, manifestasi perdarahan, dan lekopenia.
Dengue Hemoragik Fever (DHF) adalah kasusu demam dengue dengan kecenderungan perdarahan dan manifestasi kebocoran plasm. Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai dengan pembesara hati dan manifestasi perdarahan. Demam Berdarah Dengue (BDB) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviride, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda-beda tergantung dari sterotipe virus dengue. Mordibitas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Di setiap Negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.
Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus deman berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan sirkulasi/ syok/ renjatan. Dengue Shok Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan permasalahan klinis. Karena 30 – 50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.
Penanganan renjatan pada DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting diperhatikan, oleh karena angka kematian akan meninggi bila renjatan tidak ditanggulangi secara dini dan adekuat.
Dasar penangani renjatan DBD ialah volume replacement atau penggantian cairan intravascular yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma leakage.
6
Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam berdarah.Oleh itu, pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vector nyamuk demam berdarah.
7 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati. Demam Dengue berdarah adalah penyakit yang bermanifestasi perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni.Dengue Syok Sindrom adalah penyakit DHF yang mengalami kesadaran menurun atau renjatan.
2.1.1 Agent Infeksius
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masingmasing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.10 2.1.3 Vektor Penular Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
2.2. Etiology
2.2.1. Mekanisme Penularan
Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases. Virus dengue berukuran
8
35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk.
Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius. Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue. Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
2.2.2. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya.
Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah : a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)
9
b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat umum itu antara lain :
i. Sekolah Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.
ii. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.
iii. Tempat umum lainnya seperti : Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.
c. Pemukiman baru di pinggiran kota karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.
2.3. Nyamuk Penular DBD
2.3.1 Morfologi Nyamuk Penular DBD
Morfologi Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :
a. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk yang lain. Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
b. Pupa (Kepompong) Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik)nya. Pupa nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
c. Larva (jentik) Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva i. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.
ii. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.
iii. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
10 iv. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.
Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan seperti pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang atap, tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas, serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Larva sering berada di dasar container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat, sedangkan posisi kepala berada di bawah.
d. Telur Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding penampungan air, Aedes aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-tempat yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di dalam dan dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air.
2.3.2. Lingkungan Hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur dapat bertahan hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam air, dan apabila musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.
2.3.3. Variasi Musiman
Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas.
11
Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue.
2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Aedes aegypti
Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah.
Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.
b. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.
c. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain .
2.4. Epidemiologi
2.4.1. Distribusi Penyakit
Menurut Orang DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah. Pada
12
awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.Menurut Tempat Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna.Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.14 Universitas Sumatera Utara Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.14,19 2.4.3.
Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320 C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
2.4.2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit DBD
Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent (virus), host (pejamu), dan lingkungan, yaitu :
1. Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran DBD adalah virus dengue.19 2. Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD.
Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
13
i. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas penduduk di kota Mataram yang relatif rendah yaitu sebagian besar adalah petani.Hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar mobilitas penduduk berperan dalam penyebaran DBD, hal ini disebabkan mobilitas penduduk di kota Makassar yang relatif tinggi.Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk. Semakin tinggi mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit.
ii. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas Duma (2007) di kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan atau buta huruf , pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.
iii. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD.
Hasil penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus DBD terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun 1998 dan 2000 proporsi kasus pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut perlu diwaspadai bahwa DBD cenderung meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa.4 Hal ini sesuai dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi kasus DBD telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun.5 Hasil penelitian Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita terbanyak lebih sering pada kelompok umur ≥ 15 tahun.
iv. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun 1997 menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar 52,6 %.23 Hasil serupa juga di peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian besar penderita adalah perempuan (58,2%).25 Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis
14
kelamin penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat memberikan jawaban dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada penderita DBD.13 Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Djelantik di RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.
3. Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD adalah :
i. Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian Yukresna (2003) dengan desain penelitian case control di kota Medan mendapatkan kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).
ii. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk dan virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti.
iii. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan virus lebih besar.11,15,19 Dari hasil pengamatan penderita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal dan akhir tahun.4 Hasil penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat curah hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.
iv. Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna (2003) di kota Medan dengan desain penelitian case control yang mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15). Penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
15 2 .5 Patofisiologi
Patofisiologi yang utama pada dengue shock syndrome ialah reaksi antigen-antibodi dalam sirkulasi yang mengakibatkan aktifnya system komplemen C3 dan C5 yang melepaskan C3a dan C5a dimana 2 peptida tersebut sebagai histamine tubuh yang merupakan mediator kuat terjadinya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak sebagai akiba terjadinya perembesan plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstitial sehingga menyebabkan hipotensi,peningkatan hemokonsentrasi,hipoproteinemia dan efusi cairan pada rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan/shock berat maka volume plasma dapat berkurang sampai kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Renjatan hipovolemia ini bila tidak ditangani segera akan berakibat anoksia jaringan,asidosis metabolic sehingga terjadi pergeseran ion kalsium dari intraseluler ke extraseluler. Mekanisme ini diikuti oleh penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling sehingga lebih memperberat kondisi renjatan/shock.
Selain itu kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi secara adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh:
- Trombositopenia hebat,dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dna mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
- Gangguan fungsi trombosit
- Kelainan system koagulasi,masa tromboplastin partial,masa protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin normal,beberapa factor pembekuan menurun termasuk factor ,V,VII,IX,X,dan fibrinogen.
-DIC /Desiminata Intravakuler Coagulasi
Pada masa dini DBD peranan DIC tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan perembesan plasma,namun apabila penyakit memburuk sehingga terjadi renjatan dan asidosis metabolic maka renjatan akan mempercepat kejadian DIC sehingga peranannya akan menonjol.
Renjatan dan DIC salig mempengaruhi sehingga kejadian renjatan yang irreversible yang disertai perdarahan hebat disemua organ vital dan berakhir dengan kematian.
16 2.6 Manifestasi Klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam, manifestasi perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain virus. Berikut ini adalah bagan manifestasi infeksi virus dengue: Infeksi virus dengue Asimtomatik Simtomatik Demam yang tak Demam dengue Demam berdarah jelas penyebabnya dengue (sindrom virus) (kebocoran plasma) Tanpa Dengan Perdarahan perdarahan DBD tanpa DBD dengan syok syok (SSD) Demam dengue Demam Berdarah.
2.7 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2- 7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena.
Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku;
tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah. Universitas Sumatera Utara
17 2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml) b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih. 3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5 Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( < 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
2.7.1 Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi dengue, meliputi :
1. Pengumpulan Spesimen Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan, penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Persyaratan dari jenis spesimen, cara penyimpanan dan pengiriman dapat dilihat pada tabel berikut ini:
2. Jenis spesimen 3. Waktu pengambilan 4. Penyimpanan 5. Pengiriman
Spesimen darah Akut (S1) 0-5 hari setelah onset -700 C dry-ice Spesimen darah Konvelesen (S2 & S3) 2-3 minggu setelah awitan -200 C beku/es Jaringan Secepatnya setelah meninggal -700
18
C dry-ice Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah spesimen akut.
Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen adalah 10 hari.
Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan dengan 2 cara : a. dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus). Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter paper terisi darah rata. Darah dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari ditusuk). Kertas saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari 3 bulan. Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan tersebut.
b. dengan serum darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar 1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu -200 C sebelum dikirim ke laboratorium.
2. Isolasi Virus Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.
3. Uji Serologis Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi untuk penderita DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada Universitas Sumatera Utara pemeriksaan serologi penderita DBD dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya. Apapun jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum diantara fase akut dan fase pemulihan.
Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini harus mencakup keempat serotipe dengue.
19 2.8 Pencegahan
2.8.1 Pencegahan Primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
1. Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah :
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa. HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Rumah yang Diperiksa
b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Container Yang Diperiksa c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah Jumlah Rumah Yang Diperiksa Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa. ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100% Jumlah Rumah Yang Diperiksa Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada
20
100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah.
2. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti.
Secara garis besar ada 3 Cara pengendalian vektor yaitu:
a. Pengendalian Cara Kimiawi Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
b. Pengendalian Hayati / Biologik Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
c. Pengendalian Lingkungan Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari..
21 3.Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.
4. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasilhasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu
1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
22 2.8.2 Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :
1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut. Universitas Sumatera Utara
3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.
2.9 Penatalaksaan
Penanganan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
1. Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi : a. Istirahat total di tempat tidur.
b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.
c. Berikan makanan lunak
d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres, antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal karena dapat menyebabkan perdarahan.
23
e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
2. Penatalaksanaan pada pasien syok :
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal Hemoglobin : Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah Nilai normal Hematokrit : Anak-anak : 33 – 38 vol % Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol % Wanita dewasa : 37 – 43 vol % c. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah.
c.Terapi oksigen harus selalu diberikan pada semua pasien syok.Dianjurkan pemberian oksigen dengan menggunakan masker.
d.Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan setiap pasien syok,terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).Tranfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi pendarahan ynag nyata.Penurunan hematocrit tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan darah segar adalah untuk meningkatkan konsentrasi sel darah merah.Palsma segar adalah untuk meningkat konsentrasi sel darah merah.Plasma segar atau suspense thrombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan pendarahan massif.Pemeriksaan hematologi seperti PT,PTT, dan FDP berguna untuk menentukan berat ringannya DIC.
e.Pemantauan tanda vital dan kadar hematocrit harus dimonitor dan dievaluasi secra teratur untuk menilai hasil pengobatan.Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemantaun adalah:
i.Nadi,tekanan darah,respirasi dan temperature harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering sampai syok teratasi.
ii.Kadar hematocrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil.
24
iii.Setiap pasien harus mempunyai formulai pemantauan mengenai jenis cairan,jumlah dan tetesan,untuk menentukan apakah cairan sudah mencukupi.
iv. Jumlah dan frekuensi diuresis (normal diuresis 2-3 ml/kg/BB/jam).
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok berulang, kegagalan pernafasan akibat edema paru atau kolaps paru, efusi pleura, acssites, ensefalopati dengue, kegagalan jantung dan sepsis.
2.11 Prognosis
Secara umumnya, prognosis dengue syok sindrom adalah buruk.Tetapi tergantung dari beberapa faktor seperti lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya syok yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian infus dimulai, panas selama renjatan dan tanda-tanda serebral.
25 BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : PDSPS
Tanggal Lahir / Umur : 15 Desember 2012 / 4 tahun Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Alamat : Denpasar
Tanggal MRS : 24 Agustus 2016
3.2 Heteroanamnesis Keluhan Utama:
Tangan dan kaki dingin
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien dibawa ke Instalasi Rawat Darurat Anak dengan keluhan tangan dan kaki terasa dingin.Sebelumnya pasien dikatakan,demam syok,sore sekitar jam 15:00 WITA dengan suhu 37ºC dan pasien telah diberikan obat penurun panas.Pasien dikatakan berasa lemas dan sejak 2 hari lalu.Keluhan gusi berdarah mulai muncul sejak 2 hari yang lalu.Pasien dikatakan kurang mengkonsumsi air sejak sakit.
Riwayat Pengobatan :
Sebelum dibawa ke RSUP Sanglah, pasien sempat masuk rumah sakit di RS Kasih Ibu Tabanan sejak tanggal 23 Augustus 2016 pagi dengan demam dan diberikan obat penurun panas. Pada tanggal 23 Agustus 2016 sore, jam 15:00 WITA pasien dibawa ke RS Bhakti Rahayu dikatakan tangan dan kakinya dingin dan lemas dan diberikan cairan RL 150 cc.
26 Riwayat Penyakit Terdahulu :
Mual muntah,mimisan dan gusi berdarah disangkal.Pasien dikatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat atopi dalam keluarga pasien disangkal. Riwayat penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.
Riwayat Penyakit Pribadi/Sosial/Lingkungan:
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Adik pasien dikatakan sehat.Tetangga pasien dikatakan ada yang terkena demam berdarah dan dirawat di ruangan intensif.
Riwayat Persalinan:
Pasien lahir dengan normal dibantu oleh bidan dengan berat badan lahir 3300 gram dan panjanng badan lahir dikatakan lupa. Lingkar kepala dikatakan lupa. Pada saat lahir pasien tidak segera menangis.
Riwayat Nutrisi:
ASI : 3 bulan
Susu formula : mulai 3 bulan dengan frekuensi on demand/hari Bubur tim : 6 bulan dengan frekuensi 3 kali sehari
Nasi tim : 12 bulan dengan frekuensi 3 kali sehari Makanan dewasa : 18 bulan dengan frekuensi 3 kali sehari Riwayat Perkembangan:
Menegakkan kepala : sejak umur 4 bulan Membalik badan : sejak 5 bulan
Duduk : 24 bulan
Merangkak : 12 bulan
27
Berdiri : 30 bulan
Berjalan : 30 bulan
Bicara : belum bisa bicara Riwayat Imunisasi :
Pasien melakukan pemberian imunisasi sebagai berikut BCG : 1 kali
Polio : 4 kali Hepatitis B : 4 kali DPT-Hib-HB : 3 kali Campak : 1 kali
3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present :
Keadaan Umum : tampak sakit berat Kesadaran : menurun E4V4M3 Nadi : 130 kali/menit, isi cukup Laju napas : normal
Tax : 37oC
SpO2 : 93 %
Status general
Kepala : normal,lingkar kepala 38 cm Wajah : wajah dismorfik (-)
Mata : pucat -/-, ikterus -/- , THT
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (+),
Tenggorok : faring (sulit dievalusasi), T1/ T1 hiperemis (-),
Bibir : sianosis (+)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-) Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
28 Jantung
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Paru-paru
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, Ronkhi +/+, Wheezing +/+
Aksila : pembesaran kelenjar (-) Abdomen
Inspeksi : distensi (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi : nyeri tekan (+)
Hepar : teraba 3cm di bawah arc costa dextra dan 3cm dibawah proscecus xyphoideus, tepi rata, tajam, kenyal
Lien : tidak teraba pembesaran Perkusi : timpani
Kulit : sianosis (-)
Genitalia : tidak ada kelainan Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : hangat - - edema - -
- - - -
CRT 2 detik
29 3.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Lengkap (24 Agustus 2016)
2.Pemeriksaan Kimia Klinik (24 Agustus 2016)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
pH 07.50 7.35 – 7.45 Tinggi
pCO2 24.00 mmHg 35.00 - 45.00
pO2 145.60 mmHg 80.00 - 100.00 Tinggu
Beecf 1.4 mmol/L -2 – 2
HCO3- 18.3 mmol/L 22.00 – 26.00
SO2c 99.1 % 95% - 100%
TCO2 33.20 mmol/L 24.00 – 30.00 Tinggi
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
#BASO 0.28 103µL 0,00-0,10 Tinggi
RBC 5.39 106µL 4,10 – 5,30 Tinggi
Hemoglobin 14.77 g/dL 12,00-16,00
Hematokrit 45.51 % 36,00-49,00
Platelet 14.62 103µL 140,00-440,00 Rendah
MCV 77.2 fL 78,00-102,00
MCH 25.05 Pg 25,00-35,00
MCHC 32.07 g/dL 31,00-36,00
RDW 22.05 % 11,60-18,70 Tinggi
30 2. Pemeriksaan Elektrolit (24 Agustus 2016)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
Natrium 07.50 mEq/L 135-145 Rendah
Kalium Calcium Chlorida
24.00 6,51 100,1
mEq/L mg/dl mEq/L
3,6-5,8 9-11.5 98-110
Tinggi
Albumin 1,14 Gr/dl 4,0-5,8
____________________________________________________________________
3.5 Diagnosis Klinis
Dengue Syok Sindrom dengan Renjatan Dekompensata
3.6 Diagnosis Gizi Gizi baik
3.7 Rencana kerja (plan of care)
No Daftar Masalah Rencana Intervensi Target 1 Dengue Syok Sindrom
Dekompensata
Koloid HES 10ml/kg/jam
Pemeriksaan gula
darah,darah tepi,fungsi hati,elektrolit,albumin
Syok teratasi secepatnya
2 Demam Antipiretik 10ml/kgBB/jam Demam teratasi kurang dari 4 jam
___________________________________________________________________
31 3.8 Penatalaksanaan
Planing Terapi :
- Intubasi dengan ETT no 4 kedalaman 12 cm - Ventilator tekanan positif
- Rawat ruang intensif anak (PICU)
- Kebutuhan cairan 1150 milimeter per hari - Infus HES 10ml/kgBB/jam
- Paracetamol 10ml/kg/BB/jam
3.9 KIE
- Menjelaskan kepada ibu saat ini kondisi anak demam dengan suhu yang tinggi dan tidak stabil sewaktu-waktu dapat terjadi perburukan bahkan menyebabkan kematian
- Akan dilakukan pemasangan infus yang membantu mengembalikan cairan yang hilang - Direncanakan pemeriksaan darah dan pemeriksaan lainnya.
- Rencana anak akan dirawat diruang intensif untuk perawatan dan pengawasan ketat
32 BAB IV PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan demam berdarah dengue melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan dan merupakan pasien rujukan dari luar Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien dengan keluhan demam sejak 5 hari yang lalu dengan suhu tinggi 36-38.5 Cº dengan badannya terasa lemas bersamaan keluhan tangan dan kakinya terasa dingin sejak. Konsumsi air pasien menurun sejak mengalami sakit tersebut.
Sebelum masuk RSUP Sanglah, pasien sempat MRS di RS kasih ibu Tabanan sejak 22 Agustus 2016 dan RS Bhakti Rahayu pada 23 Agustus 2016 dan telah diberikan obat penurun panas dan diberikan cairan RL 150 cc.. Menurut teori, pasien dengan demam berdarah dengue tidak akan akan menunjukkan gejala, atau hanya menunjukkan gejala ringan (seperti demam biasa), dan setelah beberapa hari akan menimbulkan gejala seperti sakit kepala (biasanya di belakang mata);
ruam; nyeri otot dan nyeri sendi, perdarahan ringan membran mukus mulut dan hidung.[5][7] Demam itu sendiri cenderung akan berhenti (pulih) kemudian terjadi lagi selama satu atau dua hari yang ditemukan dalam pasien ini. Pasien di kategorikan dalam dengue syok sindrom karena sesuai dengan kriteria WHO, dimana yang ditemukan pada anamnesis pasien yang sesuai dengan kriteria dengue syok syndrome atau diklasifikasikan sebagai demam dengue berdarah derajat IV apabila mengalami renjatan yang sangat parah sehingga tekanan darah dan detak jantungnya tidak dapat dirasakan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapatkan keadaan umum tampak sakit berat dengan kesadaran menurun, , suhu pasien 37oC dan saturasi oksigen 93%. Dari pemeriksaan status general didapatkan napas normal, auskultasi paru ditemukan suata bronkovesikular, rhonki ada dan wheezing tidak ada,ditemukan gusi berdarah, ditemukan distensi abdomen, nyeri tekan,hepatomegali dan ascites. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dan sesuai dengan teori yang telah dibahas dalam tinjauan pustaka dalam mendukung diagnosis demam dengue berdarah adalah ditemukannya demam dengan suhu tinggi yang hilang timbul, sakit kepala (biasanya di belakang mata); ruam; nyeri otot dan sendi, perdarahan ringan membran mukus mulut dan hidung. Sedangkan hasil pemeriksaan fisik yang mendukung dalam penegakkan diagnosis
33
demam dengue berdarah derajat IV menurut WHO adalah adanya demam tinggi, hasil tourniquet positif serta mual muntah dan dari hasil pemeriksaan palpasi,percusi,auskultasi didapatkan nyeri tekan pada abdomen dan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan tourniquet. Hasil pemeriksaan laboratorium yang diperoleh adalah leukopenia (WBC
< 5000 cells/mm3) dengan lymphocytosis, sel darah merah yang sedikit meningkat disertai dengan sedikit peningkatan hematokrit, dan paltelet berkurang. Berdasarkan teori, adapun hasil pemeriksaan penunjang pada pasien yang diperoleh sesuai dengan pada umumnya adalah ditemukannya leukopenia (WBC < 5000 cells/mm3) dengan lymphocytosis, dengan peningkatan hemotocrit (> 20%). Sehingga dari hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan sangat mendukung diagnosis demam dengue syok syndrome sesuai dengan kriteria WHO.
Pada pasien ini, terjadi tangan dan kaki terasa dingin yang ditandai dengan demam selam 5 hari dan nyeri badan pada pasien. Hal ini sangat mungkin terjadi pada pasien dengan dengue syo syndrome, terutama dengan karakteristik dengue syok syndrome. Keadaan ini telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bagian komplikasi dari dengue syok syndrome. Permeabilitas pembuluh darah yang menurun dan hipovolumia memburuk akan mengakibatkan syok.Ini biasanya menjasi pada hari ke 4 dan hari ke 5 penyakit,didahului dengan tanda-tanda peringatan.Selama syok tahap awal,mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah sistolik dan mengakibatkan tarkikardia dan vasokonstriksi perifer pengurangan perfusi kulit seperti ektremitas yang dingin dan dan waktu pengisisan kapiler yang lambat.Tekanan diastolik biasanya akan naik mendekati tekanan sistolik dan tekanan nadi menyempit sebagai akibat peningkatan resistensi vaskular perifer.Pasien dengan syok dengue umumnya tetap sadar.syok hipotensi berkepanjangan dan hipoksia dapat menyebabkan kegagalan multi organ pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pasien.
Pasien dengue syok syndrome membutuhkan penanganan darurat dan akses ke perawatan intensif.Sesuai dengan ini,pasien ini telah dirawat di instalasi rawat darurat anak.Menurut teori,penanganan pasien dengan syok dimulai dengan cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik 5-10mg/kg/jam selama satu jam dan pasien ini telah diberikan koloid HES 10ml/kg/jam setara 130 ml/jam supaya syok dapt diatasi dengan secepat mungkin.Selain itu,pemberian
34
antipiretik 10mg/kg/jam juga disarankan untuk mengatasi gejala demam dan sesuai dengan ini,pasien telah diberikan 130 mg supaya demam dapat teratasi kurang dari 4 jam.
35 BAB V SIMPULAN
36
Diagnosis dengue s
DENGUE SYOK SINDROM
Oleh :
Shobana Raveendran (1202006214)
Pembimbing :
dr. Putu Kurniayanta,Sp.An
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FK UNUD/RSUP SANGLAH 2016
KATA PENGANTAR
37
yok sindrom ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan anamnesis akan nampak gejala demam,lemas,gusi berdarah.Pemeriksaan fisik yang ditemukan keadaan umum tampak sakit berat dengan kesadaran menurun, suhu pasien 37oC dan saturasi oksigen 93%. Dari pemeriksaan status general didapatkan napas normal, auskultasi paru ditemukan suata bronkovesikular, rhonki ascites,demam tinggi, hepatomegali, acsites, , suara bronkovesikular, rhonki dan. Untuk pemeriksaan penunjang yang kerap dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan kimia elektrolit dan albumin. Pada umumnya pada pemeriksaan laboratorium diperoleh adalah leukopenia (WBC < 5000 cells/mm3) dengan lymphocytosis, sel darah merah yang sedikit meningkat disertai dengan peningkatan hematokrit, dan paltelet berkurang. WHO menggunakan kriteria gejala klinis berupa demam dengue diikuti lebih dari 2 gejala iaitu nyeri kepala,muntah,nyeri perut,nyeri otot,rash mungkin disertai dengan menisfestasi pendarah berupa ujian torniquet positif atau pendarahan spontan, sedangkan demam berdarah dengue gejala klinis harus disertai dengan manifestasi pendarahan baik dengan uji tourniquet positif dan atau pendarahn spontan,terbukti terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dengan nilai hematokrit maksimal> 44% hiyung trombosit minimal
≤100,000mm³.Dengue syok sndrome pula demam harus berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk,hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun,yaitu pada hari sakit ke 3-7.Biasanya ditemukan kegagalan perederan darah,kullit terasa dingintampak lesu,gelisah,sianosis sekitar mulutnadi menjadi cepat.Pasien juga akan mengeluh nyeri di perut sesaat sebelum syok seringkli karena pendarahan gastrointestinal.Disamping kegagalan sirkulasi syok ditandai oleh nadi lembut,cepat,kecil sampai tidak dapt diraba.Tekanan nadi menurun sampai 20mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.Secara umumnya, dengue syok sindrom ini dapat membahayakan keadaan pasien sehingga membutuhkan perotolongan emergensi. Oleh karena itu, penyakit dengue syok sindrom dipandang remeh dan tidak bisa besikap lalai dalam memgambil langkah-langkah pencegahan.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmadi,U.F., 2001. Perubahan Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI.
Anies. 2006.
2. http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm
3. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta: Alex Media Komputindo. Ansyari. 2004. Faktor Resiko Kejadian Filariasis di Desa Tanjung Bayur Pontianak. Asri Maharani, Bagus Febrianto, Sapto P, Widiarti., 2006.
4. Prober.Charles G.Ilmu Kesehatan Anak NELLSON jilid 2,edisi bahasa Indonesia edisi 15,Jakarta 2000
5. Studi Faktor Resiko Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, Rinbinkes. BPVRP. Salatiga, Chahaya, I. 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia, Digitized by USU Gigital Library. Medan Darmadi, I.
2007.
6. Sri Rezeki H.H.,HIndraIrawan.2000 Demam Berdarah Dengue,Jakarta:Bali Penerbit FKUI.Halamn 16-17
7. Strategi Penanggulangan Penyakit Malaria Dengan Pendekatan Faktor Resiko di Daerah Endemis Kabupaten Aceh Utara. Tesis S2. Universitas Sumatera Utara. Medan Depkes R.I., 2007. Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, DIT. JEN. PP & PL. Jakarta 2006.
8. Pedoman Promosi Kesehatan Dalam Eliminasi Filariasis, DitJen PP&PL. Jakarta 2005.
9. Pedoman Penentuan Dan Evaluasi Daerah Endemis Filariasis. DitJen PP&PL. Jakarta 2003.
10. Modul Pemberantasan Vektor, DitJen PPM&PL. Jakarta 2002. Penilaian Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor.
11. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan .1999.
39
12. Profil Kesehatan Labuhan Batu Selatan. Sumatera Utara Dinkes SUMUT, 2011. Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2010. Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 2010.