20 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Peran
Menurut Soekanto (2002), peran adalah aspek kedudukan individu atau komunitas dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan fungsinya, ketika mereka telah menjalankan kewajibannya maka ia disebut telah menjalankan peranan. Lalu dalam badan organisasi, hak dan kewajiban tersebut biasanya dibagi kepada tiap anggota sesuai dengan karakteristiknya, pembagian hak dan kewajiban itu pun tidak menghilangkan fungsi atau peranan dari badan organisasi tersebut.
Selain itu Soekanto membagi peran menjadi 3 golongan, yaitu : 1. Peran Aktif
Peran aktif adalah suatu kedudukan seseorang untuk menjadi aktifis seperti pejabat/pemerintah, pengurus keorganisasian dan sebagainya.
2. Peran Pasif
Peran pasif adalah suatu kedudukan seseorang untuk tidak memberikan sumbangan pendapat dan hanya menjalankan hak dan kewajibannya saja
3. Peran Partisipasif
Peran partisipasif adalah kedudukan seseorang untuk memberikan sumbangan pendapat atau ide sehingga berguna untuk meningkatkan peranan kelompok/organisasi mereka
Dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji bagaimana peranan yang dijalankan oleh Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) dalam memberdayakan ekonomi perempuan di Kabupaten Sragen dari tahun 2018 sampai 2019, selain itu penulis juga akan menganalisis apakah kegiatan atau upaya yang dijalankan oleh YSKK sudah sesuai dengan fungsi dan kewajibannya sehingga bisa disimpulkan bahwa YSKK menjalankan perannya atau tidak.
2.2 Non-Governmental Organization (NGO)
Menurut Karns (2020), Non-Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) adalah suatu kumpulan individu atau sekelompok orang yang membentuk organisasi atau lembaga secara sukarela, di mana mereka tidak terikat dengan pemerintah mana pun. LSM dibentuk untuk memberikan pelayanan ke masyarakat
21
serta mendukung kebijakan publik. Selain itu menurut Karns, LSM menangani isu atau masalah berkaitan dengan seluruh masalah kemanusiaan seperti masalah hak asasi manusia, perlindungan, bantuan bencana, pemberdayaan dan bantuan pembangunan.
Walaupun LSM tidak terikat dengan pemerintah mana pun, LSM tetap diberikan sumbangan dana dari pemerintah selain itu mereka juga mendapat sumbangan dana dari organisasi internasional, sumbangan pribadi (kelompok anggota atau masyarakat), dan sumber sumbangan lainnya.
LSM memiliki beberapa fungsi, pertama mereka dapat menyediakan informasi dan keahlian kepada pemerintah dan organisasi lainnya terkait masalah yang sesuai dengan fokus kajian mereka. Fungsi kedua, mereka dapat melakukan advokasi terhadap suatu kebijakan tertentu. Fungsi ketiga, mereka memantau perkembangan hak asasi manusia dan pelaksanaan peraturan atau kebijakan tertentu. Fungsi terarkhir, LSM mengamati dan berpartisipasi dalam pertemuan yang terkait penyelesaian masalah, pengalokasian sumber daya dan negosisasi terkait pembentukan norma; prinsip; perjanjian mau pun konvensi.
(Karns, 2020).
Dari beberapa fungsi di atas, World Bank (1995) membagi LSM menjadi dua jenis yaitu LSM Operasional dan LSM Advokasi. LSM operasional yaitu LSM yang berfokus untuk merancang desain dan implementasi terhadap proyek pembangunan sedangkan LSM advokasi yaitu LSM yang berfokus untuk membela dan mempromosikan suatu isu tertentu serta mempengaruhi kebijakan yang berkaitan dengan hal tersebut. Namun ada juga LSM yang memiliki kedua kategori itu.
Seperti penjelasan di atas, Karns menjelaskan bahwa NGO atau LSM dibentuk dengan tujuan dan fungsi tertentu. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana partisipasi YSKK sebagai salah satu LSM, penulis akan meneliti tujuan dan apa saja fungsi dibentuknya YSKK dalam pemberdayaan ekonomi perempuan di Kabupaten Sragen yang sesuai dengan penjelasan Karns sebelumnya mengenai definisi NGO.
2.3 Teori Gender oleh Sara Hlupekile Longwe
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa gender menurut Sara Hlupekile Longwe dalam Women’s Empowerment Framework. Menurut Longwe, kerangka kerja ini dimaksudkan untuk membantu perencana dalam mencari tahu apa artinya pemberdayaan dan kesetaraan perempuan dalam praktiknya, dan untuk menilai secara kritis sejauh mana intervensi pembangunan mendukung pemberdayaan ini. Longwe mendefinisikan bahwa pemberdayaan perempuan itu dapat memungkingkan wanita untuk mengambil tempat
22
yang sama dengan pria, dan untuk berpartisipasi secara merata dalam proses pengembangan/pembangunan untuk mencapai kontrol atas faktor-faktor produksi secara setara dengan pria.
Dalam kerangka Longwe, pembangunan berarti memungkinkan orang untuk mengambil alih kehidupan mereka sendiri, dan keluar dari kemiskinan; kemiskinan dipandang timbul bukan karena kurangnya produktivitas, tetapi karena ada penindasan (diskriminasi, marjinalisasi dan sebagainya) dan eksploitasi. Kerangka kerja Longwe didasarkan pada lima gagasan 'tingkat/dimensi pemberdayaan' yang berbeda di bidang kehidupan sosial atau ekonomi apa pun menentukan tingkat pemberdayaan perempuan.
Kerangka Kerja Longwe juga memungkinkan penegak dan pemberdaya gender untuk menganalisis tingkat komitmen organisasi pembangunan terhadap kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Mereka mengidentifikasi terlebih dahulu 'tingkat kesetaraan' mana yang ditangani oleh pihak intervensi tertentu, dan kedua dengan menilai 'tingkat pengakuan' isu perempuan mana yang ada dalam tujuan proyek atau pembangunan.
Berikut adalah 2 tingkatan pemberdayaan menurut Longwe : 2.3.1 Level of Quality
Tingkat kesetaraan ini dimaksudkan bahwa apabila intervensi pembangunan berfokus pada tingkat yang lebih tinggi, ada kemungkinan lebih besar juga pemberdayaan perempuan akan meningkat daripada proyek yang hanya berfokus pada tingkat yang lebih rendah. Longwe pun membagi tingkatan ini menjadi 5 detail, yaitu :
a. Welfare
Tingkat welfare (kesejahteraan) adalah adanya keseteraan bagi perempuan dalam mencapai sumber daya seperti pasokan makanan, pendapatan dan layanan medis
b. Access
Tingkat access (akses) adalah kesetaraan bagi perempuan terhadap akses kepemilikan faktor-faktor produksi dan berbagai layanan publik (contohnya pelatihan, kredit, kepemilikan tanah)
c. Conscientisation
Tingkat conscientisation (kesadaran), yang dimaksud pada tingkat ini yaitu adanya kesadaran terhadap perempuan dan laki-laki tentang perbedaan antara sex (jenis kelamin) dan gender, bahwa terdapat persepsi pembagian peran
23
gender yang berasal dari budaya dan dapat diubah. Dari kesadaran tersebut, diharapkan adanya kesetaraan terhadap pembagian peran di kehidupan masyarakat dan proses pembangunan yang adil
d. Participation
Tingkat participation (patisipasi) adalah kesetaraan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan hingga administrasi
e. Control
Tingkat control (kontrol) adalah kesetaraan terhadap laki-laki dan perempuan terhadap kontrol faktor-faktor produksi dan distribusi
Gambar 1. Piramida Pemberdayaan Longwe
(Sumber : March dkk, 1999)
Longwe menggambarkan 5 tingkatan dari level of quality ke dalam bentuk piramida, menurutnya tingkatan-tingkatan ini saling berkaitan satu sama lain.
Longwe menjelaskan bahwa apabila tingkat kesetaraan terhadap perempuan itu meningkat karena adanya kesetaraan dalam mendapatkan efek pembangunan (kesejahteraan), kesetaraan dalam kemudahan memperoleh akses dan kesadaran masyarakat untuk mencapai kesetaraan bagi perempuan maka perempuan itu semakin berdaya artinya perempuan semakin dapat berpartisipasi aktif dan mendapatkan kontrol dalam proses pembangunan seperti pengambilan keputusan dan sebagainya. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh upaya pemberdayaan terhadap perempuan dalam perencanaan pembangunan, Longwe membuat beberapa level di bawah ini.
2.3.2 Level of recognition of women's issues
Dalam tingkatan kedua Longwe menegaskan menilai tingkat pemberdayaan perempuan yang ditangani melalui pembangunan bukanlah hal yang satu-satunya penting. Karena penting juga untuk mengidentifikasi dan menetapkan apa sajakah
Kontrol Partisipasi Kesadaran
Akses Kesejahteraan
24
isu-isu perempuan yang diabaikan atau belum diakui. Longwe menggunakan definisi tentang 'isu-isu perempuan', yang berarti semua masalah yang berkaitan dengan kesetaraan perempuan dalam peran sosial atau ekonomi apa pun, dan melibatkan tingkat kesetaraan (kesejahteraan, akses, konsiliasi, partisipasi, kontrol). Dengan kata lain, masalah yang menjadi 'isu perempuan' ketika melihat hubungan antara pria dan wanita, daripada hanya pada peran gender tradisional.
Longwe mengidentifikasi tiga tingkat pengenalan yang berbeda tentang isu-isu perempuan dalam desain proyek pemberdayaan :
a. Negative Level
Pada level negatif tidak ada keterlibatan isu perempuan di dalam suatu perencanaan pembangunan/program/kegiatan, justru menganggap jika mengangkat isu perempuan hanya akan merugikan proyek
b. Neutral Level
Pada level netral terdapat pengakuan isu-isu perempuan dalam perencanaan pembangunan namun intervensi itu pun tidak menjadikan kehidupan lebih baik dan tidak lebih buruk
c. Positive Level
Pada level positif terdapat keterlibatan isu perempuan di dalam perencanaan pembangunan, dan pembangunan tersebut mampu meningkatkan kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki
Pada penjelasan oleh Longwe di atas tentang lima dimensi pemberdayaan yang mana digambarkan ke dalam bentuk piramida dapat dijadikan sebagai alat analisa bagaimanakah proses upaya pembangunan yang dilakukan oleh YSKK dalam memberdayakan perempuan di Kabupaten Sragen secara ekonomi ini berpengaruh pada peningkatan kesetaraan serta partisipasi perempuan di Kabupaten Sragen terkait sumbangsih pendapatan karena apabila perempuan di wilayah itu mendapatkan kesetaraan untuk meningkatkan kapabilitasnya maka meningkat pula keberdayaan mereka untuk menghasilkan pendapatan mereka sehingga mereka pun dapat terhindar dari kemiskinan.
Kemudian penulis akan menarik kesimpulan analisa dari proses upaya pembangunan YSKK untuk memberdayakan ekonomi perempuan di Kabupaten Sragen ini apakah benar- benar memperhatikan masalah ketidaksetaraan perempuan atau tidak dengan level of recognition of women's issues seperti penjelasan di atas.
25 2.4 Konsep Pengembangan Masyarakat
Menurut Jim Ife (2008) dalam bukunya Community Development : Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, community development atau pengembangan masyarakat adalah suatu upaya untuk mendorong masyarakat dalam meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat dituntut harus dapat menentukan apa yang mereka butuhkan dan bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan supaya kebutuhan itu terpenuhi. Maka dari itu masyarakat harus berkembang dan mampu mengarahkan dirinya. Selain pengembangan masyarakat berguna untuk mendorong kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan, upaya ini juga bertujuan untuk membangun struktur negara yang lebih sejahtera dan adil.
Dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat ada hal-hal yang perlu dilibatkan yaitu integritas dan kesadaran. Integritas sangat diperlukan pada saat proses pengembangan masyarakat menemukan hambatan, setiap anggota masyarakat harus memiliki peluang untuk berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan yang dapat berguna untuk keberlanjutan kelompok. Sedangkan kesadaran, setiap anggota masyarakat pelaku pengembangan harus sadar bahwa mereka telah mengalami penindasan/ketimpangan/ketidaksetaraan dari hasil legitimasi atau sitem yang ada sehingga mereka mengalami ketidakberdayaan. Kesadaran perlu ditingkatkan supaya membangun tindakan untuk membuat perubahan. Kesadaran biasa didapatkan dari adanya pengalaman personal yang kemudian didialogkan kepada masyarakat lainnya (berbagi pengalaman) sehingga kesadaran kolektif terbentuk kemudian menghadirkan peluang untuk melakukan tindakan nyata yang menuju perubahan itu. Pelaksanaan pengembangan masyarakat juga harus dilaksanakan secara damai (tanpa kekerasan) dan melalui pendekatan konsesus, maknanya adalah masyarakat tidak boleh mendapatkan tekanan apa pun ketika mereka berproses untuk pengembangan diri mereka dan masalah yang dihadapi harus diselesaikan melalui kesepakatan bersama dalam bentuk negosiasi dan voting supaya menciptakan solusi tanpa menyebabkan perpecahan. Jadi pengembangan masyarakat bukan sekedar sekumpulan individu yang berupaya memenuhi kebutuhan yang sama namun juga melibatkan interaksi yang kuat di dalamnya. (Ife & Tesoriero, 2008)
Ife menyatakan dalam proses pengembangan masyarakat, keadaan di sekitar juga penting untuk diperhatikan seperti adanya pengaruh globalisasi. Ia menjelaskan globalisasi saat ini didominasi oleh urusan ekonomi, agenda-agenda internasional lainnya dianggap
26
tidak lebih penting daripada agenda ekonomi global bahkan dianggap apabila agenda ekonomi global berjalan baik maka agenda lainnya juga mengikuti. Hal itu juga mempengaruhi sikap pemerintah negara, bahwa mereka memprioritaskan kebijakan- kebijakan untuk kepentingan global. Globalisasi ekonomi menurut Ife nyatanya tidak menguntungkan bagi semua orang, ada banyak masyarakat yang termarjinalkan atau terpinggirkan akibat dari tuntutan standar SDM yang lebih tinggi, mereka yang tidak memiliki ketrampilan atau tingkat pendidikan yang tinggi maka akan menambah jumlah pengangguran dan jatuh ke masalah kemiskinan. Globalisasi ekonomi kemudian juga menyebabkan globalisasi kebudayaan, hal ini dikarenakan kapitalis global memanfaatkan fenomena globalisasi untuk memasarkan produk mereka, Ife menyatakan apabila seseorang ingin menjadi bagian dari masyarakat global maka orang tersebut akan cenderung mengonsumsi, berpakaian dan berbahasa seperti masyarakat internasional lainnya, sehingga globalisasi kebudayaan tersebut mempengaruhi perilaku dan identitas lokal masyarakat.
Sebagai tanggapan atas bentuk globalisasi ekonomi dan budaya, Ife menyebutkan terdapat ‘lokalisasi’. Lokalisasi sebagai bentuk tanggapan globalisasi ekonomi ditunjukkan seperti melalui pembangunan bisnis lokal yang dibentuk oleh kelompok- kelompok dengan membangun program yang berpotensi menghasilkan income, kemudian terdapat koperasi dan sebagainya. Sedangkan lokalisasi sebagai bentuk tanggapan globalisasi kebudayaan ditunjukkan dengan cara penanaman kembali tradisi-tradisi lokal, bahasa lokal dan lainnya. Disini menurut Ife, lokalisasi menjadi ancaman sekaligus peluang. Hal itu menjadi ancaman karena lokalisasi memungkinkan seseorang mengalami pengucilan dan rasisme. Di sisi lain lokalisasi dapat menjadi peluang karena lokalisasi mampu menciptakan peluang untuk masyarakat melakukan pengembangan. Peluang ini menjadi sangat diuntungkan terutama untuk kaum-kaum yang termarjinalkan akibat dari dampak globalisasi ekonomi di atas. Mengutip Martin dan Schumann, mereka menyatakan lokalisasi menghadirkan potensi lebih besar bagi pengembangan masyarakat pada saat ekonomi global tidak stabil maka upaya lokalisasi yang telah dilakukan masyarakat (dari bisnis lokal dan lainnya) menjadi lebih mampu dikembangkan, pada akhirnya lokalisasi berbasis masyarakat tersebut berkelanjutan.
Dari praktik global dan lokal di atas menunjukkan bahwa ada hal-hal dari kepentingan global yang menyebabkan pemerintah terbatas dalam membuat keputusan maka tidak mampu mengatasi tiap masalah di kehidupan masyarakat sehingga menimbulkan rasa inisiatif yang semakin besar untuk melaksanakan pengembangan masyarakat. Hal tersebut
27
selaras dengan tujuan pengembangan masyarakat mengenai pemberdayaan.
Pemberdayaan dalam tulisan Ife yaitu upaya untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang mengalami kerugian/ketidakmampuan. Pemberdayaan selalu berupaya agar masyarakat memperoleh kontrol atau kekuasaan. Ife menyebutkan bahwa terdapat delapan jenis kekuasaan yang dipertimbangkan dalam pemberdayaan :
1. Kekuasaan atas pilihan pribadi dan peluang hidup
Masyarakat berhak untuk menentukan jalan hidup yang mereka kehendaki, dan terhindar dari kemiskinan karena sistem yang ada terkadang menghambat mereka untuk memilih bagaimana mereka memilih hal-hal untuk masa depan mereka
2. Kekuasaan untuk mempertahankan HAM
Melalui pemberdayaan, masyarakat dapat menegakkan hak-hak mereka seperti hak untuk berpartisipasi dengan menyampaikan pendapat dalam proses pembangunan 3. Kekuasaan atas definisi kebutuhan
Seperti pada pernyataan di atas tentang definisi pengembangan masyarakat, pemberdayaan juga mendorong masyarakat supaya dapat memenuhi kebutuhannya dengan memperoleh kebebasan untuk mendapatkan akses dan informasi
4. Kekuasaan atas gagasan
Pemberdayaan mendorong masyarakat supaya memiliki kekuasaan untuk mampu mempertahankan gagasannya sendiri dan tidak terpengaruh terhadap gagasan di luar 5. Kekuasaan atas lembaga-lembaga
Menurut Ife, terkadang masyarakat di hambatkan dengan lembaga-lembaga seperti lembaga pendidikan; kesehatan dan lainnya. Pemberdayaan diharapkan mampu memberikan kekuasaan terhadap seseorang untuk mempengaruhi lembaga-lembaga tersebut supaya lebih mudah untuk diakses atau dijangkau
6. Kekuasaan atas sumber daya
Masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan biasanya relatif lebih sulit untuk mengakses sumber daya yang tersedia, apabila mereka memiliki kekuasaan maka peluang mereka lebih besar untuk menikmati pemanfaatan atas sumber daya
7. Kekuasaan atas kegiatan ekonomi
Tanpa kekuasaan, masyarakat memiliki akses terbatas dalam memperoleh faktor- faktor produksi. Pemberdayaan memberi kesempatan masyarakat untuk memperoleh faktor-faktor produksi seperti meningkatkan keterampilan guna mengembangkan usaha atau memperoleh penghasilan, faktor distribusi dan pemasaran
28 8. Kekuasaan atas reproduksi
Kontrol terhadap masalah reproduksi merupakan bagian dari isu feminis, setiap perempuan juga berhak untuk memperoleh kekuasaan dalam mengontrol reproduksi, kontrol reproduksi bukan hanya mengenai melahirkan dan menyusui melainkan juga tentang mengasuh anak. Jika perempuan memiliki kontrol reproduksi maka perempuan juga memperoleh kesetaraan dalam masalah perawatan reproduksi
Seperti penjelasan di atas, pengembangan masyarakat di era globalisasi sangat penting dan menjadi peluang bagi masyarakat. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana proses pengembangan masyarakat dari kelompok perempuan di Kabupaten Sragen, globalisasi dan ketimpangan gender yang dihadapi oleh kelompok perempuan tersebut tentu menciptakan tantangan sekaligus peluang bahwa pengembangan diri perlu untuk dilakukan dalam upaya untuk pemberdayaan. Menurut Ife pemberdayaan akan mengarahkan masyarakat untuk memperoleh kekuasaan, hal ini berlaku juga kepada penelitian yang akan penulis lakukan terkait pemberdayaan ekonomi, kelompok perempuan di Kabupaten Sragen jika mampu untuk memberdayakan dirinya secara ekonomi maka seperti penjelasan sebelumnya yaitu mereka mendapatkan kekuasaan untuk mengontrol atau menguasai faktor-faktor produksi seperti keterampilan untuk menghasilkan pendapatan. Apabila mereka berdaya secara ekonomi, seperti Ife katakan bahwa tujuan dari pengembangan masyarakat yaitu menuju negara yang lebih sejahtera dan adil akan tercapai.
2.5 Liberalisme Institusional Menurut Robert O Keohane & Joseph Nye
Teori liberalisme institusional pertama kali dikemukakan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye pada tahun 1970-an, ada empat ciri khas dari liberalisme institusional yang dikemukakan oleh mereka yaitu terdapat interaksi antar aktor lintas negara dimana aktor negara dan aktor non negara (LSM dan sebagainya) memiliki interaksi serta hubungan, ciri kedua yaitu tidak ada masalah yang paling diprioritaskan yang mana artinya semua masalah menjadi bagian dari perhatian bersama, ciri ketiga yaitu tidak melulu membahas politik tinggi melainkan juga politik rendah dan ciri terakhir yaitu menurunkan keterlibatan militer sebagai dalam pembentukan kebijakan. Keohane berpendapat bahwa liberalisme intitusional lebih menjunjung keuntungan negara dengan memaksimalkan kerja sama di dalam negara itu sendiri dan multirateralisme. Keohane juga menyampaikan bahwa rezim internasional dalam perspektif liberalisme institusional itu harus memuat norma, prinsip,
29
dan aturan yang mengkaji segala bentuk hak asasi manusia sehingga para individu atau kelompok yang terpinggirkan ikut menjadi bagian dari perhatian pemerintah atau aktor pembuat kebijakan. (Keohane & Nye, 1977)
Selain dari pemikiran Keohane sendiri, dalam artikel yang ia tulis pada tahun 2011 Keohane mengutip pemikiran dari E.H.Carr tentang liberalisme institusional. Carr menyampaikan bahwa liberalisme institusional itu memiliki tujuan untuk mempromosikan kesejahteraan manusia; keamanan manusia dan kebebasan manusia, maka penggunaan kekuasaan dalam membangun negara seharusnya menggunakan konsep dasar untuk tujuan-tujuan tersebut. Carr mengkritik pemikiran tentang “harmony of interest from liberalism” pada abad ke-19 yang menyatakan liberalisme kala itu berusaha untuk mendorong pluralisme dalam ekonomi dan politik dan mempromosikan kerjasama internasional, bagi Carr liberalisme itu bukanlah bersifat pluralisme melainkan multikulturalimse dan berdasarkan oleh kerjasama atau intervensi domestik. Di dalam liberalisme institusional juga percaya adanya ketergantungan ekonomi pada politik namun sangat menentang harmony interest. Liberalisme institusional tidak bergantung pada ekonomi internasional, mereka lebih memprioritaskan kapitalisme swasta dan intervensinisme domestik karena bagi Carr apabila memprioritaskan ekonomi internasional maka hanya akan mendatangkan kesejahteraan bagi organisasi internasional daripada kesejahteraan negara. Kemudian di dalam pemerintahan, rakyat harus ikut memerintah karena akan lebih progesif dan efektif namun perlu memerintah melalui institusi supaya lebih dapat mengontrol diri. (Keohane, 2012)
Dari perspektif di atas tentang liberalisme intitusional, Keohane menyampaikan jika liberalisme jenis ini mengedepankan interaksi di dalam negera (seperti aktor non negara), selain itu perspektif ini mempromosikan kesejahteraan dan kebebasan manusia yang mana selaras dengan penelitian ini bahwa terdapat interaksi di dalam negara yang ditunjukkan pada Yayasan Satu Karsa Karya sebagai LSM atau salah satu aktor non negara yang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan Kabupaten Sragen.
Sesuai dengan penjelasan di atas tentang liberalisme institusional memprioritaskan ekonomi lokal daripada internasional untuk kesejahteraan negara, ini dapat menjadi kajian analisa tentang bagaimana pemberdayaan ekonomi perempuan di Kabupaten Sragen ikut menjadi bagian dari ekonomi lokal dari proses pemberdayaan mereka yang dilakukan dengan YSKK yang mana hal tersebut mampu mendatangkan keuntungan untuk mereka sendiri bukan keuntungan internasional seperti yang ditentang dalam perspektif itu.
30 2.6 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini penulis menentukan tiga penelitian terdahulu yang mana digunakan untuk membantu penulis dalam menyusun dan menganalisis hasil penelitian.
Penelitian terdahulu yang dipilih adalah penelitian yang menyangkut dengan peran YSKK dalam pemberdayaan, pemberdayaan ekonomi terhadap perempuan Kabupaten Sragen dan penelitian yang berkaitan dengan peran NGO dalam pemberdayaan ekonomi perempuan.
Penelitian terdahulu yang dipilih, yaitu :
No Nama
Peneliti
Judul Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
1. Saidur Rahman
NGO Roles in Economic Empowerment
of Rural Women:
Experiences in Bangladesh
Lembaga BRAC
memainkan peran dalam memberdayakan ekonomi perempuan desa melalui program kredit mikronya di mana digunakan oleh perempuan-perempuan untuk membuka usaha kecil. Program kredit mikro dari BRAC selain memberdayakan
perempuan secara ekonomi, BRAC juga mencoba mengubah gaya hidup perempuan di Jhikargachha Upazilla supaya lebih baik.
• Menggunakan NGO sebagai aktor
pemberdayaan terhadap perempuan
• Sektor
pemberdayaan berfokus pada bidang ekonomi
• Pemberdayaan di daerah Bangladesh
• Lembaga pelaku pemberdayaan adalah BRAC
2. Rizky Nur Rachmawati
Strategi Komunikasi Yayasan Satu
Karsa Karya dalam Upaya Pemberdayaan
Masyarakat Marginal
Strategis komunikasi
YSKK dalam
pemberdayaan melalui koperasi dengan beberapa tahap yaitu pemilihan komunikator, penentuan sasaran/target
pemberdayaan,
penyusunan konteks untuk dikomunikasikan dan penentuan media komunikasi. Dari pemberdayaan yang dilakukan YSKK, terdapat pengaruhnya terhadap warga Watusigar yaitu adanya peningkatan jumlah SDM, peningkatan
• YSKK dipilih sebagai subjek penelitian
• Konteks YSKK dalam perannya terhadap
pemberdayaan masyarakat
• Lokasi
penelitian di Watusigar
• Topiknya
berfokus pada strategi
komunikasi saja, sedangkan penelitian ini berfokus pada peran YSKK keseluruhan
31
keterampilan masyarakat dalam dunia wirausaha dan kemudahan dalam mengakses modal usaha 3. Chusniatun,
Absori, Retno Woro Kaesi, Nurul Mutmainnah, dan Djumali
Pemberdayaan Perempuan
Melalui Pemanfaatan Sumber Daya
Alam di Kecamatan
Karang Malang Kabupaten
Sragen
Tim Sibermas UMS dan UINBA melaksanakan program pemberdayaan perempun Kecamatan Karangmalang dengan beberapa tahap yaitu pertama sosialisasi dengan kelompok perempuan tani di Desa Kedungwaduk dan
Desa Guwarejo.
Kemudian penanaman tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan baku produksi di lahan kosong supaya bahan baku yang dapat dimanfaatkan lebih bervariasi.
Penyuluhan dan pelatihan di kedua desa diadakan dalam beberapa kali waktu dan beberapa jenis pelatihan, seperti pelatihan pembuatan sirup jahe, pengelolahan minuman instan, peningkatan kemampuan marketing dan sebagainya.
• Pemberdayaan ditujukkan untuk perempuan
• Sektor
pemberdayaan pada ekonomi
• Ada campur tangan lembaga non negara dalam pemberdayaan
• Lokasi
pemberdayaan di Kabupaten
Sragen
• Lembaga yang terlibat adalah Tim Sibermas UMS dan UINBA
Pada penelitian terdahulu pertama penulis menjadikan sebagai acuan untuk melihat bagaimana peran Non-Governmental Organization mampu memberdayakan perempuan dalam bidang ekonomi, sama halnya dengan penulis dalam penelitian ini akan meneliti peran YSKK sebagai NGO yang dipilih dalam memberdayakan perempuan di Kabupaten Sragen secara ekonomi.
Pada penelitian terdahulu kedua sama halnya dengan penelitian yaitu akan menganalisis bagaimana peran YSKK dalam upaya pemberdayaan masyarakat bidang ekonomi namun yang membedakan adalah target penelitian ini menjurus kepada kelompok perempuan di Kabupaten Sragen. Penelitian terdahulu ini penulis jadikan acuan untuk menganalisis
32
peran YSKK dalam proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat terkait dengan langkah-langkah atau strategis mereka yang mereka upayakan.
Sedangkan pada penelitian terdahulu ketiga meneliti bagaimana NGO berperan dalam pemberdayaan ekonomi perempuan di Kabupaten Sragen namun pemilihan NGO-nya berbeda. Maka, penelitian terdahulu ini akan penulis jadikan acuan dalam menganalisis peran sebuah NGO (YSKK) dalam pemberdayaan ekonomi perempuan di Kabupaten Sragen selama 2018-2019.
2.7 Kerangka Pikir
Pembagian Peran Gender
Liberalisme Institusional Intervensi Non-Governmental
Organization
(Yayasan Satu Karsa Karya 2018-2019)
Teori Gender Sara Hlupekile Longwe Pemberdayaan Ekonomi
Perempuan Kab.Sragen
Kesejahteraan Ekonomi Perempuan Kab.Sragen
Diskriminasi, subordinasi dan stigma
Perempuan Sragen Rentan Sosial Ekonomi
33
Akibat adanya pembagian peran gender yang membatasi perempuan pada peran-peran tertentu di dalam masyarakat akibat dari kebudayaan atau tradisi seperti pelekatan pada sumur, dapur, dan kasur sehingga menyebabkan perempuan mengalami masalah subordinasi, stigma dan diskriminasi karena dianggap bahwa perempuan kurang cocok untuk berpartisipasi dalam kegiatan produktifitas dan lebih baik berada di kegiatan reproduksi perawatan (seperti mengasuh) maka adanya ketimpangan-ketimpangan gender yang terjadi dalam sektor pembangunan seperti yang dialami oleh perempuan di Kabupaten Sragen. Hal itu dapat menyebabkan mereka rentan sosial dan ekonomi karena mengalami ketidakadilan untuk berpartisipasi atau dapat disebut tidak ada keberdayaan.
Ketimpangan yang mereka alami menjadi urgensi yang bukan hanya wacana bagi pemerintah setempat melainkan perlu melibatkan berbagai pihak seperti Non Governmental Organization atau LSM, dalam hal ini penulis menempatkan YSKK sebagai subjek karena mereka juga memiliki program pemberdayaan ekonomi perempuan yang berfokus di Kabupaten Sragen. Keterlibatan YSKK sebagai aktor non negara ke dalam aksi mempromosikan kesejahteraan perempuan Kabupaten Sragen selaras dengan perspektif liberalisme institusional, begitu pula selaras dengan teori gender Sara Longwe dalam keterlibatan isu perempuan dalam suatu rencana pembangunan. Upaya mempromosikan kesejahteraan perempuan tersebut dalam tulisan ini dilaksanakan melalui pemberdayaan terhadap perempuan. Pemberdayaan perempuan dalam hal ini adalah mengenai peningkatan keberdayaan perempuan di sektor ekonomi yang mana kemudian dalam proses pemberdayaan itu penulis akan menganalisis dengan teori gender menurut Sara Hlupekile Longwe untuk melihat sejauh mana intervensi dari YSKK dalam memberdayakan perempuan Kabupaten Sragen di sektor ekonomi selama kurun waktu 2018-2019. Aksi pemberdayaan ekonomi perempuan Kabupaten Sragen jika dilaksanakan dengan baik maka mereka akan mendapatkan kesejahteraan karena kesetaraan mereka sebagai perempuan meningkatkan dan kondisi perekonomian menjadi lebih baik seperti tujuan yang sama antara liberalisme institusional dan teori gender Sara Longwe.