• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN KESEHATAN LANJUT USIA DI POSDAYA ONTOSENO PUTON, TRIMULYO, JETIS, BANTUL, YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERDAYAAN KESEHATAN LANJUT USIA DI POSDAYA ONTOSENO PUTON, TRIMULYO, JETIS, BANTUL, YOGYAKARTA."

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN KESEHATAN LANJUT USIA DI POSDAYA ONTOSENO PUTON, TRIMULYO, JETIS, BANTUL, YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh: Rimawati NIM 12413244030

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Seseorang yang telah memiliki kesehatan pastinya memiliki harapan, dan ia yang memiliki harapan pasti akan memiliki segalanya

(Arab)

(6)

vi PERSEMBAHAN

Terima kasih atas pertolongan Allah SWT skripsi ini saya persembahkan untuk:

Kedua orangtua yang selalu memberikan segalanya demi kesuksesan anak-anaknya

Ilmi yang menjadi tanggung jawab saya sebagai kakak untuk memberikan teladan yang baik

Teman-teman Pendidikan Sosiologi B 2012 yang sudah menemani belajar selama kurang lebih 4 tahun

Dr. Amika Wardana sebagai pembimbing yang selalu membimbing dan selalu sabar menuntun saya demi menghasilkan skripsi yang bagus

Keluarga Besar Posdaya Ontoseno terutama pihak-pihak yang bersedia berbagi informasi kepada peneliti sehingga membantu peneliti dalam

memperoleh data

Programmer lanjut usia di Puskesmas Jetis 1 dan instruktur senam di senam lanjut usia Posdaya Ontoseno yang sudah bersedia meluangkan waktunya

(7)
(8)

viii

Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno

Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta

Oleh:

Rimawati dan Dr. Amika Wardana

rimawati2@gmail.com ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan kesehatan untuk warga lanjut usia di Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) Ontoseno serta manfaat dan dampaknya dalam pemeliharaan kesehatan warga berusia lanjut di Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta. Berdasarkan data-data yang terkumpul dari lapangan diperoleh informasi bahwa pasca gempa Bantul 2006 banyak bantuan datang ke Puton yang termasuk wilayah terdampak bencana cukup parah untuk membantu korban dan memulihkan kondisi fisik dan sosial masyarakat, termasuk pelayanan sosial-kesehatan pasca-trauma bencana untuk warga lanjut usia. Selanjutnya, diprakarsai oleh penggerak sosial lokal di Puton Soraya Isfandiari Posdaya Ontoseno yang bertujuan melakukan pemberdayaan sosial-kesehatan bagi warga lanjut usia. Pemberdayaan kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno memiliki 2 aktivitas yaitu senam lanjut usia dan Posyandu lanjut usia yang bernama Arum Ndalu. Senam lanjut usia dibedakan menjadi 3 macam yaitu, senam mingguan, senam bulanan, dan senam tahunan. Sedangkan Posyandu Arum Ndalu dilaksanakan satu kali dalam satu bulan. Berbagai aktivitas pemberdayaan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan oleh Posdaya Ontoseno membawa beberapa dampak positif yang dirasakan oleh anggotanya, diantaranya yaitu kesehatan lanjut usia terpelihara, jalinan silaturahmi antar-lanjut usia lebih erat, dan peningkatan partisipasi sosial lanjut usia.

(9)

ix

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 12

A. Kajian Pustaka ... 12

1. Mendefinisikan Lanjut Usia Secara Akademik... 12

2. Gerontologi dan Gejala Penuaan Masyarakat ... 15

3. Penuaan dan Tantangan Lanjut Usia ... 22

4. Lanjut Usia di Indonesia ... 29

5. Demografi Lanjut Usia di Indonesia ... 35

6. Pemberdayaan Lanjut Usia di Indonesia ... 40

B. Penelitian Relevan ... 65

C. Kerangka Pikir ... 68

BAB III METODE PENELITIAN ... 71

A. Bentuk Penelitian ... 71

B. Lokasi Penelitian ... 72

C. Waktu Penelitian ... 72

D. Teknik Pengumpulan Data ... 72

E. Pemilihan dan Penentuan Informan ... 73

F. Validitas Data ... 74

(10)

x

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 79

A. Deskripsi Data ... 79

1. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 79

2. Deskripsi Informan... 80

3. Pembentukan dan Perkembangan Posdaya ... 84

4. Pembentukan Posdaya Ontoseno ... 87

5. Struktur Kepengurusan Posdaya Ontoseno ... 90

6. Aktivitas Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno ... 93

7. Dampak Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno ... 114

BAB V KESIMPULAN ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(11)

xi DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Proyeksi Angka Harapan Hidup Indonesia Periode 2010-2035 ... 36

Tabel 2. Proyeksi Angka Harapan Hidup Yogyakarta Periode 2010-2035 .. 36

Tabel 3. Proyeksi Proporsi Penduduk Indonesia Umur 60+ (Lanjut Usia)

Periode 2010-2035 (Dalam %) ... 37

Tabel 4. Proyeksi Proporsi Penduduk Yogyakarta Umur 60+ (Lanjut Usia)

Periode 2010-2035 (Dalam %) ... 37

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia)

Tahun 2015 ... 38

Tabel 6. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun 2015 ... 39

(12)

xii DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

Bagan 1. Kerangka Pikir ... 70

(13)

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran:

1. Lembar Observasi

2. Lembar Wawancara

3. Hasil Observasi

4. Keterangan Kode Hasil Wawancara

5. Hasil Wawancara

6. Surat Keterangan Izin Penelitian Kabupaten Bantul

7. Surat Keterangan Izin dari Fakultas

8. SK Pembimbing

9. SK Penguji

10.Kartu Bimbingan Tugas Akhir

11.Daftar Hadir Posyandu Arum Ndalu 2015

(14)

14 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kegiatan dan pengaruh

dari pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia di Yogyakarta. Dengan

menganalisis salah satu posdaya di Yogyakarta, yang berangkat dari

pelbagai sumber empiris menjelaskan bahwa Yogyakarta merupakan

provinsi dengan angka harapan hidup paling tinggi di Indonesia, sekaligus

provinsi yang memiliki posdaya terbanyak penelitian ini diharapkan

mendapatkan hasil yang mendalam tentang pemberdayaan kesehatan lanjut

usia di salah satu posdaya di Yogyakarta, yaitu Posdaya Ontoseno,

Pedukuhan Puton Desa Trimulyo Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.

Posdaya Ontoseno dijadikan sebagai objek penelitian karena memiliki

prestasi yang cemerlang, yaitu menjadi juara nasional lomba posdaya

pada tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Yayasan Damandiri, yaitu

payung dari kegiatan posdaya.

Suyono (2007) sebagai penggagas sekaligus pendiri posdaya

menjelaskan bahwa posdaya merupakan forum silaturahmi, advokasi,

komunikasi, informasi, edukasi, dan sekaligus bisa dikembangkan menjadi

wadah koordinasi kegiatan penguatan fungsi-fungsi keluarga secara

terpadu. Silaturahmi, advokasi, komunikasi, penyebaran informasi, dan

edukasi tersebut tercipta ketika antar-warga saling bertemu dalam suatu

kegiatan yang dinaungi oleh Posdaya dan melakukan berbagai kegiatan

(15)

15 Maka Posdaya sebagi hasil dari revitalisasi Posyandu diharapkan

bisa menjadi suatu pemberdayaan yang menjadi milik masyarakat dan bisa

menampung berbagai masukan untuk mengembangkan keluarga agar

mampu melaksanakan delapan fungsi utamanya, yaitu fungsi agama, cinta

kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan

lingkungan. Sasaran dari kegiatannya pun disesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat, seperti balita, remaja, dewasa, lanjut usia dan lain-lain.

Lanjut usia dipilih menjadi subjek penelitian karena beberapa

alasan. Survey BPS (2004) menyatakan, jika dilihat dari proporsinya

terhadap total penduduk, jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas (lanjut

usia) mengalami peningkatan dari sekitar 4,5% (5,3 juta jiwa) pada tahun

1971 menjadi 7,1% (14,4 juta jiwa) pada tahun 2000. Bahkan pada tahun

2020, diproyeksikan proporsinya akan mencapai 11,3% (28,8 juta jiwa).

Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki era “penduduk

berstruktur tua” (dikutip dari Suardiman, 2011).

Menurut Cicih (2005) jumlah penduduk lanjut usia yang semakin

meningkat menyebabkan ketergantungan terhadap penduduk usia

produktif ikut meningkat (dikutip dari Suardiman, 2011). Artinya, semakin

besar jumlah penduduk lanjut usia maka semakin besar pula beban yang

harus ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-59 tahun). Ada

pelbagai versi untuk menggolongkan lanjut usia. Versi dari Pemerintah

Indonesia menyebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang berusia

(16)

16 akademik terdapat tiga cara mengelompokkan lanjut usia, yaitu lanjut usia

muda (young old), lanjut usia tua (old-old), dan lanjut usia tertua (oldest

old).

Secara kronologis yang termasuk ke dalam young old adalah

orang yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, biasanya lanjut usia ini

masih tergolong aktif, vital, dan bugar, sehingga lanjut usia muda biasanya

masih bisa melakukan pekerjaannya. Sedangkan yang termasuk ke dalam

old-old yaitu orang yang berusia 75 tahun ke atas, dan yang termasuk ke

dalam oldest old adalah orang yang berusia 85 tahun ke atas. Oldest old

biasanya memiliki kecenderungan yang lemah, tidak bugar, dan memiliki

kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia, 2008; Santrock,

2002). Cara lain untuk mengelompokkan lanjut usia secara akademik yaitu

menggunakan usia fungsional, ialah seberapa baik seseorang berfungsi

dalam lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain

seusianya (Papalia, 2008: 845).

Meningkatnya jumlah lanjut usia tidak hanya menyebabkan

ketergantungan pada penduduk usia produktif, melainkan juga menuntut

perhatian dari pelbagai pihak mulai dari pemerintah sampai masyarakat.

Perhatian dari pemerintah tercermin dari adanya pelbagai program

pemberdayaan, seperti Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT), Usaha

Ekonomi Produktif (UEP), Home care, Day care, Bantuan Sosial melalui

(17)

17 Program-program tersebut tidak selamanya berjalan mulus, ada

saatnya timbul suatu ketegangan misalnya, program UEP yang

diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Di Yogyakarta program ini

mendapat dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)

dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Namun dukungan

dana dari APBD Yogyakarta tidak selalu dialokasikan setiap tahun

anggaran, buktinya pada tahun 2011 APBD mengalokasikan dana sebesar

Rp. 79.898.000 sementara tahun 2012 justru turun menjadi Rp.

65.000.000 dan pada tahun 2013 sama sekali tidak ada alokasi untuk

program UEP lanjut usia. Selanjutnya pada tahun 2014 dialokasikan

sebanyak Rp. 172.540.075 (Dinsos DIY, 2014: 135). Ketegangan lain

muncul ketika pengalokasian bantuan UEP belum didasarkan atas data

persebaran populasi lanjut usia yang bekerja, hal ini terjadi di Yogyakarta

dan akibatnya jumlah penerima UEP kurang proporsional (Dinsos DIY,

2014: 135).

Ketegangan program dari pemerintah untuk lanjut usia tidak

berhenti disitu saja. Pada 2012 program home care di Yogyakarta

mengalami kekacauan pendanaan. Sebenarnya sumber dana dari program

ini berasal dari APBN dan APBD. Anggaran yang bersumber dari APBN

dialokasikan untuk membiayai home care yang dilaksanakan oleh Panti

Sosial Tresna Werdha (PSTW). Sementara dana dari APBD Pemerintah

Yogyakarta digunakan untuk penyelenggaraan home care pada unit kerja

(18)

18 pada 2012 PSTW sudah tidak lagi menyelenggarakan home care karena

sudah tidak ada alokasi dana dari APBN (Dinsos DIY, 2014: 120).

Pelbagai ketegangan yang menghambat terselenggaranya

pemberdayaan lanjut usia mengindikasikan bahwa perhatian dan fasilitas

dari pemerintah masih kurang. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan

negara maju, misalnya saja Jepang. Di Jepang Pada tahun 2010

diproyeksikan dari 54 triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 23

triliun (42%) diberikan kepada lanjut usia. Sedangkan untuk tahun 2025,

diperkirakan jumlah dana kesehatan berusaha terus ditingkatkan, dari 104

triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 56 triliun yen (54%) akan

diberikan kepada lanjut usia. Dari jumlah tersebut terlihat lebih dari

setengah dana kesehatan nasional diberikan kepada lanjut usia. Artinya

peningkatan jumlah lanjut usia menjadi tanggungjawab pemerintah (Elsy,

2012: 107).

Keterbatasan dari Pemerintah Indonesia bukan berarti membuat

lanjut usia hanya bisa pasif dan tidak berdaya. Sekarang banyak

bermunculan upaya untuk memberdayakan lanjut usia baik yang dilakukan

oleh Pemerintah Daerah maupun pihak swasta, ini menunjukkan adanya

kepedulian pelbagai pihak terhadap lanjut usia. Pelbagai kegiatan

pemberdayaan yang sudah ada diantaranya Rumah Sehat Lanjut Usia,

Posyandu Lanjut Usia, Posdaya, dan lain-lain. Perkembangan posdaya bisa

dibilang cukup signifikan dan paling menonjol jika dibandingkan dengan

(19)

19 posdaya sudah terbentuk dan dikembangkan secara meluas di tidak kurang

dari 83 Kabupaten/ Kota yang tersebar di 12 provinsi yang meliputi

seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Lampung,

Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung. Terlebih lagi banyak

keinginan dan permintaan dari masyarakat terutama dari Pemerintah

Daerah Kabupaten/ Kota, untuk mendapatkan sosialisasi dan pelatihan

serta mengadakan peninjauan lapangan tentang posdaya. (Suyono, 2009:

1). Sampai sekarang program ini masih terus bergulir di masyarakat,

ditambah jumlah posdaya yang semakin bertambah menunjukkan bahwa

program ini diterima oleh masyarakat.

Sebagian besar tujuan dari kegiatan pemberdayaan lanjut usia di

atas bergerak dalam hal kesehatan, karena kesehatan merupakan masalah

paling umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan lain yang

harus dihadapi lanjut usia, misalnya tantangan ekonomi, sosial, dan

psikologis (Suardiman, 2011: 9). Adanya harapan bahwa lanjut usia ingin

tetap sehat, mandiri, aktif, dan berfungsi dalam masyarakat adalah hal

yang wajar, namun dibalik harapan tersebut tantangan kesehatan

merupakan masalah yang paling dirasakan oleh lanjut usia, karena terjadi

kemunduran sel-sel akibat proses penuaan, yang mengakibatkan

kelemahan organ, kemunduran fisik, dan munculnya pelbagai penyakit

khususnya yang bersifat degeneratif (Suardiman, 2011: 13).

Oleh karena itu pemberdayaan lanjut usia khususnya dalam hal

(20)

20 seberapa baik seseorang berfungsi dalam lingkungan fisik dan sosial

dibandingkan dengan orang lain seusianya. Misal, seseorang yang berusia

90 tahun namun tetap memiliki kesehatan yang prima bisa jadi berfungsi

lebih muda dibandingkan orang berusia 65 tahun yang tidak sehat

(Papalia, 2008: 845). Selain itu pemberdayaan kesehatan juga ditujukan

agar lanjut usia tetap mandiri, berdaya guna, dan mengurangi

ketergantungan terhadap keluarga maupun masyarakat. Pendidikan

(nonformal), interaksi sosial antara lanjut usia dengan keluarga dan

masyarakat juga turut diperhatikan demi turut mengurangi ketergantungan

tersebut.

Fenomena yang telah dipaparkan tersebut berusaha dibahas oleh

penulis untuk menguji sejauh mana pengaruh pemberdayaan kesehatan

bagi lanjut usia yang dibentuk oleh masyarakat. Penulis mencoba

menganalisisnya melalui penelitian dalam skripsi dengan judul

Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno Puton,

Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat

diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Indonesia memasuki era “penduduk berstruktur tua”. Hal ini menuntut

perhatian dan pemberdayaan dari semua pihak, karena jika tidak

diberdayakan berpotensi menimbulkan ketergantungan terhadap

(21)

21 2. Semakin besar jumlah penduduk lanjut usia maka semakin besar pula

beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-59

tahun).

3. Beberapa program pemberdayaan dari Pemerintah Indonesia untuk

lanjut usia tidak berjalan mulus, misalnya Usaha Ekonomi Produktif

(UEP) yang persebaran penerimanya tidak proporsional, dan home

care yang mengalami kekacauan pendanaan.

4. Muncul program pemberdayaan lanjut usia yang dirintis oleh

masyarakat sebagai bentuk perhatian kepada lanjut usia.

5. Posdaya menjadi salah satu program pemberdayaan yang kemajuannya

cukup signifikan karena jumlahnya bertambah drastis.

6. Kesehatan menjadi tantangan paling umum dirasakan oleh lanjut usia.

7. Pemberdayaan kesehatan ditujukan agar lanjut usia tetap mandiri,

berdaya guna, dan mengurangi ketergantungan terhadap keluarga

maupun masyarakat.

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut,

maka penulis akan menitikberatkan permasalahan tentang aktivitas dan

pengaruh pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia di Posdaya Ontoseno

(22)

22 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah, dan

pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka diperoleh

rumusan masalah pada penelitian yaitu:

1. Bagaimana aktivitas Posdaya Ontoseno dalam melakukan

pemberdayaan kesehatan lanjut usia?

2. Bagaimana pengaruh adanya pemberdayaan kesehatan bagi kesehatan

lanjut usia di Posdaya Ontoseno?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin

dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui aktivitas Posdaya Ontoseno dalam melakukan

pemberdayaan kesehatan lanjut usia.

2. Untuk mengetahui pengaruh adanya pemberdayaan kesehatan bagi

kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara

teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Bermanfaat bagi perkembangan ilmu Sosiologi, khususnya

(23)

23 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pemahaman kepada pembaca mengenai pemberdayaan lanjut usia

melalui posdaya

c. Digunakan sebagai ajang berpikir kritis, analitis, dalam

mengembangkan teknik/ metode penelitian sosial.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengaplikasikan

ilmu pengetahuan yang didapatkan selama menempuh studi

Pendidikan Sosiologi ke dalam karya nyata. Penelitian ini juga

dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan

pemberdayaan kesehatan lanjut usia

b. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi

dan memberikan wawasan tambahan tentang pemberdayaan

kesehatan lanjut usia.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam

pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini diharapkan bisa

memberikan informasi empiris pada masyarakat tentang

(24)

24 d. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber

informasi bagi warga Universitas Negeri Yogyakarta mengenai

(25)

25 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Pustaka

1. Mendefinisikan Lanjut Usia Secara Akademik

Proses menua merupakan sesuatu yang alami dan dialami

oleh semua makhluk hidup. Sedangkan lanjut usia merupakan istilah

untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Suardiman, 2011: 1).

Ada beberapa jenis penuaan diantaranya yaitu penuaan primer dan

sekunder. Penuaan primer yaitu proses kemunduran tubuh secara

gradual yang tak terhindarkan dan dimulai dari masa awal kehidupan

selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang lakukan untuk

menundanya (Papalia, 2008: 845). Jadi penuaan primer merupakan

penuaan yang tidak bisa dicegah dan terus berlangsung. Sedangkan

yang dimaksud penuaan sekunder yaitu penuaan yang disebabkan oleh

hasil penyakit, kecelakaan, dan kesalahan tertentu yang sebenarnya

bisa dihindari dan dikontrol (Papalia, 2008:845).

Ilmuan sosial dan ahli perkembangan yang mempelajari

tentang penuaan menyebutkan terdapat tiga kelompok lanjut usia yaitu

lanjut usia muda (young old), lanjut usia tua (old-old), dan lanjut usia

tertua (oldest old). Secara kronologis yang termasuk ke dalam young

old adalah orang yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, biasanya

lanjut usia ini masih tergolong aktif, vital, dan bugar, sehingga lanjut

usia muda biasanya masih bisa melakukan pekerjaannya. Sedangkan

(26)

26 atas, dan yang termasuk ke dalam oldest old adalah orang yang berusia

85 tahun ke atas. Oldest old biasanya memiliki kecenderungan yang

lemah, tidak bugar, dan memiliki kesulitan dalam mengelola aktivitas

keseharian (Papalia, 2008; Santrock, 2002).

Ketiga klasifikasi di atas bukanlah satu-satunya cara untuk

mengelompokkan lanjut usia menurut ilmu sosial dan ahli

perkembangan. Masih ada cara lain untuk mengelompokkan lanjut usia

menurut ilmu sosial, yaitu menggunakan usia fungsional. Usia

fungsional merupakan seberapa baik seseorang berfungsi dalam

lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain seusianya.

Misalnya, seseorang yang berusia 90 tahun namun tetap memiliki

kesehatan yang prima bisa jadi berfungsi lebih muda dibandingkan

orang berusia 65 tahun yang tidak sehat (Papalia, 2008: 845).

Lanjut usia berkaitan erat dengan pelbagai penurunan, salah

satunya yaitu penurunan intelektual. Hal ini sangat berimbas pada

dunia usaha karena pendapat tersebut dipakai sebagai alasan untuk

memberhentikan seseorang yang sudah lanjut (Haditono, 2006: 339).

Intelektual atau kecerdasan seseorang berkaitan dengan inteligensi.

Setidaknya inteligensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fluit

intelligence (suatu inteligensi yang berhubungan dengan faktor

pembawaan dan fungsi fisik)dan cristalizedintelligence (berhubungan

dengan kebudayaan dan hasil pelajaran sepanjang hidup yang

(27)

27 mengalami kemunduran setelah mencapai puncaknya pada usia 30 atau

40 tahun, sedangkan cristalizedintelligence bisa tetap bertahan sampai

seseorang memasuki masa lanjut usia (Haditono, 2006: 340), di mana

menurut Lavinson masa lanjut usia atau dewasa akhir adalah ketika

seseorang berusia 60 tahun atau lebih (Haditono, 2006: 329).

Horn dan Donaldson (1980) menganggap kemunduran

inteligensi merupakan hal yang realistis, khususnya bagi seseorang

yang mulai memasuki usia 50 tahun. Sedangkan Schale berpendapat

bahwa perubahan intelektual seseorang terjadi ketika ia memasuki usia

akhir 50 tahun/ awal 60 tahun, karena menurutnya perubahan

intelektual dan kemunduran keterampilan yang terjadi pada seseorang

yang belum mencapai usia 60 tahun adalah sebuah patologi dan tidak

normal sedangkan di atas usia 80 tahun biasanya terjadi kemunduran

pada kebanyakan orang (Haditono, 2006: 340-341).

Horn dan Donaldson (1980) mengakui adanya perbedaan

yang besar pada inteligensi seseorang dengan orang yang lain, dan

menurut Baltes hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: fenomena

inteligensi mempunyai banyak dimensi (multidimensional), proses

berkembangnya tidak sama pada semua orang, tingkatan berfungsinya

dan berkembangnya intelektual seseorang berbeda-beda, dan arah jalan

serta tingkat perkembangan yang telah dicapai bisa saja berubah

(dikutip dari Haditono, 2006). Sedangkan Papalia (2006: 856)

(28)

28 otak yang berkaitan dengan inteligensi biasanya bersifat rendah dan

hanya membuat sedikit perbedaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

penurunan inteligensi pada lanjut usia merupakan sesuatu yang wajar,

namun hal ini tidak bisa disamaratakan, karena penurunan inteligensi

antara satu lanjut usia dengan lanjut usia yang lain berbeda-beda.

2. Gerontologi dan Gejala Penuaan Masyarakat

Kajian mengenai lanjut usia menjadi hal yang banyak

diperbincangkan, ini disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia

yang semakin kesini semakin memasuki era penduduk berstruktur tua.

Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penurunan tingkat

kelahiran dan kematian yang berpengaruh pada kondisi demografis

penduduk, serta pembangunan nasional yang peduli pada peningkatan

kesejahteraan sosial dan kesehatan yang ditandai dengan peningkatan

status gizi, layanan kesehatan, kemajuan teknologi di bidang

kesehatan, peningkatan pendidikan, yang berpengaruh pada

meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk

(Suardiman, 2011: 5).

Meningkatnya angka harapan hidup juga menandakan bahwa

masa tua penduduk Indonesia menjadi semakin panjang. Data statistik

menunjukkan bahwa meningkatnya angka harapan hidup berpengaruh

pada jumlah penduduk lanjut usia. Menteri Kependudukan/ Kepala

BKKBN (1999) menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki aging

(29)

29 lanjut usianya telah jauh berada di atas patokan penduduk berstruktur

tua yakni 7%, antara lain Daerah Istimewa Yogyakarta (12,5%), Jawa

Timur (9,46%), Jawa Tengah (8,9%), dan Sumatera Barat (7,98%)

(dikutip dari Suardiman, 2011).

Perubahan struktur umur penduduk berpengaruh tidak hanya

pada aspek demografis saja, melainkan juga terhadap kehidupan sosial,

ekonomi, dan psikologi secara keseluruhan. Struktur kebutuhan

penduduk juga berubah, seperti kebutuhan akan pendidikan,

perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan sebagainya.

Kebutuhan-kebutuhan yang semula diperuntukkan penduduk muda

pada akhirnya akan banyak dialokasikan untuk penduduk tua. Ada

kecenderungan jumlah dan persentase penduduk lanjut usia akan

melebihi jumlah dan persentase penduduk balita.

Gejala peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang

mengakibatkan penuaan masyarakat ini tidak hanya terjadi di

Indonesia saja, melainkan dialami oleh negara lain. Kuroda (1991)

menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk lanjut usia di seluruh dunia

akan berjalan cepat, terutama pada abad 21, yang akan menjadi “Era

Lanjut Usia” (dikutip dari Suardiman, 2011). Inilah yang

menyebabkan kajian tentang lanjut usia di era sekarang semakin

banyak.

Pembahasan mengenai pelbagai hal tentang lanjut usia

(30)

30 satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari kehidupan orang lanjut

usia dimana kajiannya mencakup aspek-aspek biologis, psikologis,

sosial, kultural, fisiologis, ekonomi, dan lain-lain (Hardjomarsono,

2011; Indriana, 2012; Hooyman, 2014). Para ahli gerontologi

menjelaskan bahwa terdapat 4 tahap yang berbeda dalam proses

penuaan, yaitu:

a. Penuaan kronologis

Penuaan ini didasarkan pada perhitungan umur seseorang.

Cara yang mudah untuk mengidentifikasi seseorang sudah

tergolong tua atau belum adalah melalui usia kronologis, usia yang

didasarkan pada umur kalender atau umur dari ulang tahun terakhir

(Suardiman: 2011: 3). Usia kronologis tidak selalu berhubungan

dengan biologis, fisik, psikologis, dan sosial seseorang. Sehingga

ketika seseorang dikatakan tua secara kronologis maka belum tentu

secara biologis, fisik, psikologis, maupun sosial ia juga sudah tua.

b. Penuaan biologis

Penuaan ini mengacu pada perubahan fisik yang

mengurangi efisiensi sistem kerja organ, seperti paru-paru, jantung,

dan sistem peredaran darah. Tipe penuaan biologis dapat

ditentukan dengan mengukur efisiensi dan kemampuan fisik

(31)

31 c. Penuaan psikologis

Penuaan psikologis meliputi perubahan yang terjadi

dalam proses sensorik, persepsi, kepribadian, dan kemampuan

kognitif (memori, belajar, kecerdasan) (Hooyman, 2011: 2).

d. Penuaan sosial

Penuaan ini mengacu pada perubahan peran pada individu

yang berhubungan dengan keluarga, teman, maupun masyarakat

(Hooyman, 2011: 2). Biasanya peran lanjut usia di masyarakat

akan digantikan dengan generasi muda, sehingga hal ini

menyebabkan lanjut usia mengalami perubahan peran.

Pada kajian tentang gerontologi terdapat beberapa teori

mengenai penuaan. Di bawah ini ada beberapa teori penuaan dalam

studi gerontologi, yaitu:

a. Teori aktivitas/ Activity theory of aging

Teori ini dipopulerkan oleh Neugarten, inti teorinya

menjelaskan agar lanjut usia berhasil maka ia harus tetap seaktif

mungkin dan bisa berpartisipasi dalam masyarakat. Semakin tua

seseorang maka ia akan memelihara hubungan sosial, baik fisik

maupun emosionalnya. Teori ini mendukung agar lanjut usia tetap

dilibatkan dalam pelbagai kegiatan (Feldman, 2010; Suardiman,

(32)

32 b. Teori kontinuitas/ Continuity theory

Teori ini diungkapkan oleh pakar gerontologi yaitu

Robert Atchley (1989) yang menekankan bahwa orang perlu

memelihara satu hubungan antara masa lalu dan masa kini. Dalam

hal ini aktivitas menjadi hal yang penting bukan demi dirinya

sendiri melainkan untuk representasi yang berkesinambungan dari

suatu gaya hidup (dikutip dari Suardiman, 2011). Sehingga

meskipun seseorang sudah memasuki masa lanjut usia sebenarnya

ia masih membutuhkan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya sering

ia lakukan agar kontinuitas nya tetap terjaga.

c. Teori pengunduran diri/ Disengangement theory

Teori ini secara formal diajukan oleh Cumming dan

Henry pada tahun 1961. Teori ini berpendapat bahwa semakin

tinggi usia manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh

semakin mundurnya interaksi sosial, fisik, psikologis dan emosi

dengan kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak bisa

lagi memenuhi tuntutan dari masyarakat. Namun, penarikan juga

memberikan tujuan yang penting bagi lanjut usia yaitu,

memberikan kesempatan untuk meningkatkan introspeksi diri pada

waktu hidup, karena semuanya pasti akan berakhir dengan

(33)

33 d. Teori interaksi sosial/ Social exchange theory

Teori ini menjelaskan bahwa lanjut usia bertindak sesuai

dengan apa yang dihargai oleh masyarakat. Simmons (1945)

mengemukakan bahwa kemampuan lanjut usia untuk menjalin

interaksi sosial merupakan kemampuannya untuk mempertahankan

status sosialnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap bisa

diterima dan dihargai dalam kehidupan bermasyarakat (dikutip dari

Hardywinoto, 1999).

e. Teori perkembangan/ Development theory

Teori ini menjelaskan bagaimana proses menjadi tua,

namun teori ini tidak menjelaskan cara menjadi tua yang

diinginkan atau seharusnya. Pokok-pokok dari teori perkembangan

yaitu (Hardywinoto, 1999: 50):

1) Masa tua merupakan masa dimana lanjut usia merumuskan

semua masa kehidupannya.

2) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan

sosial yang baru, seperti halnya pensiun maupun kehilangan

pasangan hidup.

f. Teori stratifikasi usia/ Age stratification theory

Teori ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis lanjut

usia secara perorangan, karena stratifikasi merupakan sesuatu yang

(34)

34 kelompok lanjut usia yang bersifat makro. Pokok-pokok dari teori

ini yaitu (Hardywinoto, 1999: 51):

1) Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat

2) Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok terutama

kelompok lanjut usia. Seseorang yang sudah memasuki masa

lanjut usia maka ia akan banyak mengalami perubahan.

Misalnya saja, kehilangan pekerjaan atau pensiun, mengalami

sarang kosong dimana anak-anaknya pergi dan tidak tinggal

bersama dengannya lagi karena sudah berkeluarga atau bekerja

di luar kota, dan kehilangan pasangan hidup.

3) Terdapatnya pengalokasian peran diantara penduduk.

Penduduk yang sudah memasuki masa lanjut usia biasanya

akan mengalami perubahan peran yang drastis karena

peran-peran dalam masyarakat digantikan oleh generasi muda.

Meskipun demikian lanjut usia harus tetap mendapatkan peran

dalam masyarakat, hal ini ditujukan agar mereka tetap merasa

dibutuhkan dan tidak diasingkan oleh masyarakat.

3. Penuaan dan Tantangan Lanjut Usia

Sejalan dengan bertambahnya usia maka kondisi fisik

maupun nonfisik akan mengalami penurunan, hal tersebut wajar

dialami oleh semua makhluk hidup. Siklus yang dialami makhluk

(35)

35 menjadi tua, menderita pelbagai penyakit, penurunan pelbagai fungsi

tubuh, dan akhirnya meninggal dunia.

Adanya harapan bahwa lanjut usia ingin tetap sehat, mandiri,

dan aktif merupakan hal yang wajar, namun dibalik harapan tersebut

tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi

lanjut usia. Suardiman (2011) mengatakan bahwa tantangan yang pada

umumnya dihadapi oleh lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi

empat hal, yaitu:

a. Tantangan ekonomi

Lanjut usia ditandai dengan menurunnya produktivitas

kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama.

Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan yang kemudian

terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti

sandang, pangan, papan, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan sosial

(Suardiman, 2011: 9). Pada sebagian lanjut usia, karena kondisinya

yang tidak memungkinkan, berarti masa tua tidak produktif lagi

dan berkurang atau bahkan tidak memiliki penghasilan. Padahal

disisi lain lanjut usia dihadapkan pada pelbagai kebutuhan yang

semakin meningkat, seperti kebutuhan akan makanan dan gizi

seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perawatan bagi

yang menderita penyakit ketuaan, kebutuhan sosial dan rekreasi.

Hal ini dapat dianalisis menggunakan teori pengunduran

(36)

36 sebelumnya bekerja dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri

ketika ia sudah memasuki masa lanjut usia maka bisa jadi

penghasilan tersebut tidak ada lagi atau berkurang yang disebabkan

oleh pelbagai faktor, seperti pensiun, kondisi fisik yang tidak

memungkinkan lagi untuk bekerja, dan lain-lain.

Terlebih lagi dalam teori pengunduran diri dijelaskan

keterkaitan lanjut usia dengan emosi kehidupan dunia akan

semakin berkurang. Hal ini sejajar dengan yang diungkapkan oleh

Hurlock (2004) apabila pendapatan orang lanjut usia secara drastis

berkurang maka minat untuk mencari uang tidak lagi berorientasi

pada apa yang ingin mereka beli dan untuk membayar simbol

status, tetapi untuk sekedar menjaga kemandirian mereka (dikutip

dari Suardiman, 2011). Sehingga penurunan ekonomi pada lanjut

usia merupakan hal yang umum terjadi, karena selain mereka

sudah memasuki masa lanjut usia orientasi merekapun bukan lagi

pada kehidupan duniawi, namun menghadapi kematian.

b. Tantangan sosial

Memasuki masa tua ditandai dengan berkurangnya

kontak sosial, baik dengan anggota keluarga, anggota masyarakat,

maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja

karena pensiun. Di samping itu kecenderungan meluasnya keluarga

inti atau keluarga batih daripada keluarga luas juga akan

(37)

37 nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat

individualistik, berpengaruh bagi para lanjut usia yang kurang

mendapat perhatian, sehingga sering tersisih dari kehidupan

masyarakat dan terlantar. Kurangnya kontak sosial ini tidak sejalan

dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang dalam

hidupnya selalu membutuhkan kehadiran orang lain (Suardiman,

2011: 12).

Menghadapi kenyataan ini perlu dibentuk

kelompok-kelompok lanjut usia yang memiliki kegiatan mempertemukan

anggotanya agar kontak sosial berlangsung. Kontak sosial ini

berguna bagi lanjut usia agar memiliki kesempatan untuk saling

bertukar informasi, saling belajar dan saling bercanda. Kontak

sosial akan mendatangkan perasaan senang yang tidak dapat

dipenuhi bila ia dalam keadaan sendirian. Oleh karena itu upaya

mempertemukan sesama lanjut usia, meninggalkan kebiasaan

bahwa lanjut usia sebagai penunggu rumah perlu untuk dilakukan.

Ancok (1993) menyatakan bahwa upaya menghimpun kelompok

lanjut usia dalam wadah kegiatan, memungkinkan mereka berbagi

rasa dan menikmati hidup (dikutip dari Suardiman, 2011).

Tantangan ini dapat dianalisis menggunakan teori

pengunduran diri. Teori ini berpendapat bahwa semakin tinggi usia

manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh semakin

(38)

38 kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak bisa lagi

memenuhi tuntutan dari masyarakat, selain itu mereka juga sudah

memasuki waktu untuk istirahat dan introspeksi diri, sehingga hal

ini memungkinkan lanjut usia kehilangan perannya dalam

masyarakat dan digantikan dengan yang lebih muda. Mundurnya

interaksi sosial bagi lanjut usia juga bisa disebabkan karena

ketidakmampuan fisik sehingga membuat mereka susah keluar dan

menemui orang-orang. Namun pelbagai studi juga mengungkapkan

bahwa lanjut usia sering kali menghindari kesempatan untuk

meningkatkan hubungan sosial dan lebih puas dengan jaringan

sosial yang lebih kecil (keluarga) (Papalia, 2008: 930).

c. Tantangan kesehatan

Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan di

Indonesia salah satunya adalah meningkatnya usia harapan hidup

manusia. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan diikuti

dengan meningkatnya permasalahan kesehatan, seperti masalah

kesehatan indera pendengaran dan penglihatan. Pada lanjut usia

terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang berakibat

pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya pelbagai

macam penyakit terutama penyakit degeneratif (Suardiman, 2011:

13). Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan

(39)

39 pemerintah karena masing-masing penyakit memerlukan dukungan

dana atau biaya.

Masa tua ditandai oleh penurunan fungsi fisik dan rentan

terhadap penyakit. Kerentanan terhadap penyakit ini disebabkan

oleh menurunnya fungsi pelbagai organ tubuh. Diperlukan

pelayanan kesehatan terutama untuk kelainan degeneratif demi

meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lanjut usia.

Terlebih lagi masalah kesehatan adalah masalah yang paling

dirasakan oleh lanjut usia.

Tantangan ini bisa dianalisis menggunakan teori

pengunduran diri, dimana yang dimaksud dengan pengunduran

disini adalah kemampuan fisik yang semakin berkurang atau

kemunduran biologis. Departemen Kesehatan RI (1998)

menyatakan bahwa kemunduran tersebut dapat terlihat dari

pelbagai gejala, yaitu kulit yang mulai mengendur, rambut mulai

beruban, gigi mulai tanggal, pengindraan mulai berkurang, mudah

lelah, gerakan menjadi lamban, dan kerampingan tubuh menjadi

menghilang (dikutip dari Suardiman, 2011). Hal tersebut

disebabkan oleh proses penuaan yang wajar dialami oleh lanjut

usia.

d. Tantangan psikologis

Tantangan psikologis yang dihadapi oleh lanjut usia pada

(40)

40 ketidakberdayaan, perasaan tidak berguna, kurang percaya diri,

ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lanjut usia yang

miskin, post power syndrome dan sebagainya. Kebutuhan

psikologis merupakan kebutuhan akan rasa aman yang terdiri dari

kebutuhan akan keselamatan, keamanan, kemantapan,

ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, kecemasan,

kekalutan, dan lain-lain. Selanjutnya ada juga kebutuhan akan rasa

memiliki dan dimiliki, kebutuhan akan kasih sayang, serta

kebutuhan akan aktualisasi diri (Suardiman, 2011: 15). Tantangan

ini bisa dianalisis menggunakan teori pengunduran diri. Di mana

yang semakin mundur adalah kondisi psikologis para lanjut usia.

Terlebih lagi lanjut usia adalah golongan yang rentan mengalami

sarang kosong yaitu ditinggal oleh pasangan atau anaknya. Hal ini

bisa membuat keadaan psikologis lanjut usia semakin menurun.

Semua tantangan di atas memang cocok untuk dianalisis

menggunakan teori pengunduran diri, ini dikarenakan teori ini

memandang bahwa pengunduran diri merupakan hal yang umum

dalam tahap penuaan. Selain itu kesadaran akan terjadinya

kemunduran pada fisik, ekonomi, kesehatan, sosial, psikologis, dan

kesadaran akan semakin dekatnya dengan kematian membuat

lanjut usia menarik diri dari kehidupan sebelumnya. Pengunduran

diri juga bisa disebabkan karena masyarakat tidak lagi memberikan

(41)

41 melainkan diikuti dengan introspeksi dan penurunan emosi

terhadap kehidupan dunia (Papalia, 2008: 909).

Selain beberapa tantangan di atas Suardiman (2011)

menambahkan bahwa lanjut usia memiliki tantangan yang lain,

yaitu penurunan kondisi fisik, kesepian, merasa tidak berguna, dan

hilangnya kemandirian. Departemen Sosial Indonesia juga

menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh lanjut usia.

Menurut Departemen Sosial Indonesia ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh lanjut usia, yaitu: ketiadaan sanak keluarga, kerabat, dan masyarakat lingkungan yang dapat memberikan bantuan tempat tinggal dan penghidupan, kesulitan bagi lanjut usia untuk berinteraksi dengan keluarga, tidak ada jaminan ekonomi dari keluarga, kebutuhan hidup lanjut usia yang tidak terpenuhi, adanya perbedaan nilai antara generasi tua dan muda, dan berkurangnya pelayanan dari keluarga untuk para lanjut usia (Ihromi, 2004: 202).

Hurlock (1993) juga menyatakan adanya beberapa

tantangan umum bagi lanjut usia, yaitu: (1) melemahnya kondisi

fisik sehingga menyebabkan lanjut usia bergantung dengan orang

lain; (2) status ekonomi yang berubah. Misalnya kehilangan

pekerjaan karena pensiun; (3) menentukan kondisi hidup baru yang

disesuaikan dengan perubahan ekonomi dan kondisi fisik; (4)

mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang

telah meninggal atau pergi jauh atau cacat; (5) mengembangkan

kegiatan baru untuk mengisi waktu luang; (6) belajar

memperlakukan anak yang sudah besar selayaknya orang dewasa

(42)

42 direncanakan untuk orang lanjut usia; (8) mulai menikmati

kegiatan khusus lanjut usia yang diikuti dan memiliki kemauan

untuk mengganti kegiatan lama yang berat dengan kegiatan yang

lebih cocok dengan usia dan kondisi fisiknya. Pelbagai kegiatan

yang ditujukan untuk lanjut usia sangatlah bermanfaat karena itu

bisa membuat mereka tidak merasa kesepian dan merasa masih

dihargai oleh masyarakat; dan (9) menjadi “korban” atau

dimanfaatkan oleh penjual obat bahkan penjahat karena lanjut usia

dianggap tidak sanggup lagi mempertahankan diri (dikutip dari

Suardiman, 2011).

4. Lanjut Usia di Indonesia

a. Mendefinisikan Lanjut Usia Di Indonesia

Lanjut usia adalah istilah untuk tahap akhir dari proses

penuaan yang dialami oleh makhluk hidup. Usia tua juga bisa

dikatakan sebagai periode penutup dalam rentang hidup seseorang

yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari

periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari

waktu yang penuh dengan manfaat (Jahja, 2011). Ada dua

pendekatan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi kapan

seseorang dikatakan tua, kedua pedekatan itu adalah pendekatan

biologis dan pendekatan kronologis. Untuk memahami kedua

pendekatan tersebut maka harus tahu terlebih dahulu mengenai usia

(43)

43 ditinjau dari kemampuan fisik atau biologis seseorang, sedangkan

usia kronologis yaitu usia seseorang yang ditinjau dari hitungan

umur dalam angka. Cara yang paling mudah untuk mengetahui

seseorang dikatakan tua atau tidak adalah menggunakan usia

kronologis yang didasarkan pada umur kalender (Suardiman, 2011:

3).

Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 13 Tahun 1998

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah

seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan di negara maju

seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swedia, dan beberapa

negara Eropa lainnya yang angka harapan hidup penduduknya

lebih tinggi daripada negara-negara berkembang menggunakan

batasan usia 65 tahun sebagai batas terbawah untuk kelompok

penduduk lanjut usia. Hal ini berbeda dengan beberapa negara di

Asia termasuk Indonesia yang menggunakan batas lanjut usia 60

tahun ke atas (Hanum, 2008; Suardiman, 2011). Biro Pusat

Statistik (BPS) juga memberikan batasan yang sama untuk

menyebut lanjut usia, yaitu 60 tahun ke atas (Hardjomarsono,

2011: 4).

Semakin tua umur seseorang pasti diikuti dengan pelbagai

perubahan dan penurunan fungsi organ tubuh, ini merupakan hal

wajar yang dialami semua makhluk hidup, sehingga tidak menutup

(44)

44 membutuhkan pelayanan yang lebih dalam pelbagai aspek,

terutama kesehatan. Seiring dengan semakin berkembangnya dunia

kesehatan di Indonesia yang ditunjukkan dengan semakin

berkurangnya angka fertilitas dan kesejahteraan yang semakin

meningkat turut mendorong semakin tingginya angka harapan

hidup manusia Indonesia dan jumlah lanjut usia di Indonesia

bertambah. Wara K. (2003) menjelaskan bahwa proporsi lanjut

usia terbesar di Indonesia ada di Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY), yaitu 13,72% dari jumlah penduduk DIY (dikutip dari

Suardiman, 2011). Harapan hidup tertinggi juga ada di DIY yaitu

mencapai 74,3 tahun (BPS, 2013: 34).

Meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia

akan berpengaruh terhadap pelbagai aspek kehidupan terkait

dengan penurunan pada kondisi fisik, psikis, dan sosial. Penurunan

kondisi fisik akan membawa ke kondisi yang rawan terhadap

penyakit, sehingga hal ini menuntut adanya peningkatan pelayanan

pada pelbagai aspek. Kusumoputro (BPS, 2006) menyebutkan

bahwa proses menua adalah sesuatu yang alami disertai penurunan

fisik, psikologis, maupun sosial yang saling terkait satu sama lain.

Artinya, penurunan fisik akan mempengaruhi penurunan psikis

maupun sosial, sementara penurunan psikis akan mempengaruhi

fisik dan sosial, serta sebaliknya (dikutip dari Suardiman, 2011).

(45)

45 usia di Indonesia harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan

bagi mereka, baik layanan kesehatan, psikis, maupun sosial.

Pelbagai penurunan yang ada pada diri lanjut usia

memungkinkan mereka terdiskriminasi dalam kehidupan

sehari-hari, sehingga hal ini menuntut perlindungan dari pelbagai pihak.

Perihal yang berkenaan dengan perlindungan dan hak-hak lanjut

usia diatur dalam pasal 5 ayat 1, disebutkan bahwa lanjut usia

mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Selain itu di Pasal 6 ayat 1 menyatakan,

bahwa lanjut usia mempunyai kewajiban yang sama dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari

ayat-ayat tersebut jelas bahwa lanjut usia memiliki hak dan kewajiban

yang sama dengan warga negara lain (Suardiman, 2011: 4).

Adanya pasal perlindungan tersebut diharapkan agar lanjut usia

tetap mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat

lainnya tanpa adanya intimidasi atau perilaku lain yang

memojokkan lanjut usia.

b. Nilai Positif Lanjut Usia di Indonesia

Segala sesuatu pasti ada nilai positif dan negatifnya,

seperti halnya menjadi tua. Tidak melulu usia tua diidentikkan

dengan pelbagai hal negatif dan segala penurunan baik fisik, sosial,

ekonomi, maupun psikologis. Memang benar ketika seseorang

(46)

46 selain pelbagai perubahan dan penurunan tersebut ada juga

pelbagai nilai positif yang dimiliki lanjut usia, khususnya lanjut

usia di Indonesia. Berikut ini beberapa nilai positif tersebut:

1) Dihormati atau dipatuhi. Dalam masyarakat Jawa, setiap orang

tua mengajarkan kepada anak untuk menghormati dan

mematuhi (ngajeni) orang tua. Anak wajib mengikuti petunjuk

baik yang diberikan oleh orang tua dengan patuh dan

menggunakan bahasa yang sopan. Hal ini dapat dilihat pada

saat lebaran, di mana anak melakukan sungkeman atau

memohon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat.

Selain itu orang tua juga menjadi pepundhen atau orang yang

sangat dihormati oleh generasi muda baik anak ataupun orang

disekitarnya. Hal ini selain menjadi nilai positif bagi lanjut usia

juga menjadi tantangan bagi mereka, karena diperlukan

introspeksi diri apakah ia sudah layak dihormati dan apakah

segala sikapnya sudah baik (Suardiman, 2011: 223).

2) Selain adanya pandangan bahwa yang muda harus

menghormati yang tua, penghormatan ini juga dikarenakan

adanya pandangan hidup orang Timur yang melihat bahwa

lanjut usia merupakan pemberi restu. Jika seseorang berani

melecehkan lanjut usia maka hidupnya akan sengsara dan

(47)

47

3) Local Wisdom/ kearifan lokal. Lanjut usia sering dikaitkan

dengan pengetahuannya tentang kearifan lokal. Kearifan lokal

sering disebut juga budaya “lama”, “kuno”, atau “ketinggalan”.

Para lanjut usia merupakan orang yang sudah memiliki

pengalaman hidup panjang bahkan mereka memahami,

menghayati, dan menjadi pelaku bagi pelbagai kearifan lokal

sehingga mereka bisa menjadi narasumber mengenai nilai-nilai

tradisional yang terdapat dalam kearifan lokal yang sudah

mulai dilupakan oleh generasi muda. Dalam hal inilah lanjut

usia diharapkan bisa menjadi subjek yang lebih memahami

hal-hal yang berkaitan dengan kearifan lokal (Suardiman, 2011:

166), sehingga ia bisa menjadi guru bagi masyarakat

disekitarnya.

4) Menempati hierarkhis yang tinggi dalam masyarakat. Geertz

(1961) menjelaskan bahwa semua hubungan dalam masyarakat

teratur secara hierarkhis, keteraturan ini bernilai pada diri

seseorang dan orang tersebut waajib mempertahankannya agar

ia bisa membawa diri sesuai dengan harapan masyarakat

(dikutip dari Suardiman, 2011). Secara hierarkhis lanjut usia

memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada anak, sehingga

anak wajib mematuhi orang tuanya.

5) Kematangan emosi. Kematangan emosi bisa membawa

(48)

48 dengan sendirinya melainkan perlu perjalanan dan pengalaman

hidup yang panjang. Sehingga dengan semakin bertambahnya

usia seseorang kematangan emosi akan semakin terbentuk.

Maka tidak heran jika lanjut usia pandai menasehati, hal ini

dikarenakan ia sudah menjalani hidup sejak dulu dan juga

kematangan emosinya sudah terbentuk.

5. Demografi Lanjut Usia di Indonesia

Keberhasilanpembangunan yang telah dilaksanakan terutama

dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial berpengaruh pada

meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk. Ini berarti

masa tua penduduk Indonesia semakin panjang dan jumlah lanjut usia

akan semakin banyak. Angka harapan hidup penduduk Indonesia

(Laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode

2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Angka harapan

hidup terendah ada di Provinsi Sulawesi Barat yaitu 62,8 tahun,

sedangkan harapan hidup tertinggi ada di Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) yaitu 74,3 tahun. Namun pada akhir periode proyeksi (tahun

2030 - 2035) angka-angka tersebut berubah menjadi 66,8 tahun dan

75,4 tahun untuk provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi (BPS,

2013: 32). Lebih jelasnya lihat tabel proyeksi angka harapan hidup di

(49)

49 Tabel 1. Proyeksi Angka Harapan Hidup Indonesia Periode

2010-2035

Tabel 2. Proyeksi Angka Harapan Hidup Yogyakarta Periode 2010-2035

Tabel di atas menunjukkan selalu terjadi peningkatan tren

angka harapan hidup di Indonesia dan Yogyakarta dari tahun ke tahun.

Peningkatan tersebut juga diikuti dengan semakin bertambahnya

jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia Maupun di Yogyakarta.

Lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:

Tabel 3. Proyeksi Proporsi Penduduk Indonesia Umur 60+ (Lanjut Usia) Periode 2010-2035 (Dalam %)

(50)

50 Tabel 4. Proyeksi Proporsi Penduduk Yogyakarta Umur 60+

(Lanjut Usia) Periode 2010-2035 (Dalam %)

Tahun Jumlah (%)

Tabel di atas menunjukkan selalu terjadi peningkatan tren

jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia dan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) dari tahun ke tahun. Di Daerah Istimewa

Yogyakarta jumlah penduduk lanjut usia paling banyak terdapat di

Kabupaten Gunung Kidul sebanyak 17,79% dari 755. 744 jiwa

penduduk Gunung Kidul. Sedangkan jumlah penduduk lanjut usia

paling sedikit terdapat di Kota Yogyakarta yaitu 12,02% dari 408.823

jiwa penduduk Kota Yogyakarta (Kependudukan Biro Tata

Pemerintahan Setda DIY, 2015). Jumlah penduduk lanjut usia di

Kabupaten Bantul, Kecamatan Jetis, dan Desa Trimulyo dapat dilihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia) Tahun 2015

Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015

(51)

51 Total penduduk Kabupaten Bantul Tahun 2015 adalah

919.440 jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 125.286 jiwa. Hal

ini berarti jumlah penduduk lanjut usianya adalah 13,63% dari total

penduduk Kabupaten Bantul. Jika dibandingkan dengan tahun 2014

hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk lanjut usia,

karena di tahun 2014 hanya terdapat 13,10% penduduk lanjut usia di

Kabupaten Bantul (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY,

2015).

Penyebaran jumlah penduduk lanjut usia paling besar di

Kabupaten Bantul terdapat di Kecamatan Kretek dengan jumlah lanjut

usia 18,30% dari 31.101 jiwa penduduk Kretek. Sedangkan jumlah

lanjut usia paling sedikit terdapat di Kecamatan Banguntapan dengan

jumlah lanjut usia 10,52% dari 107.318 jiwa penduduk Banguntapan

(Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).

Tabel 6. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun 2015

Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015

Total penduduk Kecamatan Jetis Tahun 2015 adalah 57.573

jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 7.893 jiwa Hal ini bisa

diartikan bahwa jumlah lanjut usia di Kecamatan Jetis adalah 13,70%

(52)

52 menunjukkan adanya peningkatan, karena pada tahun 2014 jumlah

penduduk lanjut usia di Kecamatan Jetis adalah 13,31%

(Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).

Penyebaran jumlah penduduk lanjut usia paling besar di

Kecamatan Jetis terdapat di Desa Sumber Agung dengan jumlah lanjut

usia sebanyak 14,64% dari 15.326 jiwa penduduk Desa Sumber

Agung. Sedangkan jumlah lanjut usia paling sedikit terdapat di Desa

Trimulyo dengan jumlah penduduk lanjut usia 12,04% dari 18.003

jiwa penduduk Trimulyo (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan

Setda DIY, 2015).

Tabel 7. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Desa Trimulyo Tahun 2015

Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015

Total penduduk Desa Trimulyo Tahun 2015 adalah 18.003

jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 2.168 jiwa. Hal ini bisa

diartikan bahwa jumlah lanjut usia di Desa Trimulyo adalah 12,04%

dari total penduduknya. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini

menunjukkan adanya penurunan. Pada tahun 2014 jumlah penduduk

lanjut usia berjumlah 12,03% dari total penduduk Desa Trimulyo

(53)

53 6. Pemberdayaan Lanjut Usia di Indonesia

Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia menuntut

perhatian yang lebih besar dari pelbagai pihak. Di negara maju

perhatian terhadap lanjut usia sudah cukup baik, karena pemerintah

memberikan santunan yang relatif cukup kepada para lanjut usia.

Misalnya saja di Jepang, pada tahun 2010 diproyeksikan dari 54 triliun

yen dana kesehatan nasional sebanyak 23 triliun (42%) diberikan

kepada lanjut usia. Sedangkan untuk tahun 2025, diperkirakan jumlah

dana kesehatan berusaha terus ditingkatkan, dari 104 triliun yen dana

kesehatan nasional sebanyak 56 triliun yen (54%) akan diberikan

kepada lanjut usia. Dari jumlah tersebut terlihat lebih dari setengah

dana kesehatan nasional diberikan kepada lanjut usia. Artinya

peningkatan jumlah lanjut usia menjadi tanggungjawab dari

pemerintah (Elsy, 2012: 107). Bahkan di negara maju seperti Jepang

dan Belanda lanjut usia merupakan salah satu simbol status dan masa

di mana mereka menikmati sisa hidupnya secara terjamin (Suardiman,

2011: 22). Selain itu setiap pelancong di Jepang yang akan check in

hotel sering kali ditanyai usia mereka untuk meyakinkan bahwa jika

mereka termasuk ke dalam lanjut usia maka akan diberikan pelayanan

khusus dan berbeda (Papalia, 2008: 842).

Seakan berbanding terbalik dengan negara maju, di negara

berkembang seperti Indonesia, jaminan sosial penduduk lanjut usia

(54)

54 atau anggota keluarga lainnya. Berdasarkan hal ini pemberdayaan bagi

lanjut usia sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungannya

tersebut (Suardiman, 2011: 27). Pemberdayaan lanjut usia mengacu

pada upaya mengembangkan potensi individu maupun kelompok

penduduk lanjut usia sehingga mereka dapat meningkatkan

kemampuannya dalam pelbagai aktivitas baik sosial, ekonomi, maupun

politik.

Pranarka dan Moelyanto (dalam Priyono, Onny S. &

Pranarka, A.M.W., 1996) menyebutkan, dalam melakukan

pemberdayaan terlebih dahulu perlu dipahami dua hal yaitu power

sebagai bangunan dasar dan empowerment yaitu bangunan di atasnya.

Maka, dalam pemberdayaan lanjut usia potensi objektif mereka

diibaratkan power yang harus dijadikan dasar pemberdayaan (dikutip

dari Suardiman, 2011). Pemberdayaan menempatkan pada potensi apa

yang bisa dikembangkan dan dilakukan oleh lanjut usia, bukan apa

yang diperuntukkan bagi lanjut usia.

a. Peran Pemberdayaan Lanjut Usia

Pemberdayaan bagi lanjut usia menjadi salah satu hal

yang perlu dilakukan karena melalui kegiatan tersebut banyak

manfaat yang dapat diperoleh lanjut usia, diantaranya mereka dapat

berkumpul dengan sesama sehingga rasa kesepian, tidak berguna,

dan kurangnya aktivitas sedikit demi sedikit dapat dihilangkan dari

(55)

55 juga turut menghilangkan pension-stress atau post power syndrome

yang biasanya dirasakan oleh lanjut usia yang sudah berhenti

bekerja karena pensiun, selain itu juga berperan mengembangkan

kreativitas dan inisiatif para lanjut usia sehingga mereka dapat

mengembangkan aktivitas baik sosial, ekonomi, maupun politik

(Suardiman, 2011: 27).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nindria Untarini

mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya.

Judul dari penelitian tersebut adalah Pemberdayaan Lanjut usia

Melalui Aktivitas Kognitif Dan Aktivitas Sosial Sebagai Upaya

Mengatasi Kondisi Fisik Dan Psikologis. Hasil dari penelitian

tersebut adalah pelbagai pelatihan yang berkaitan dengan aktivitas

kognitif dan sosial dapat meningkatkan mutu kehidupan lanjut

usia, membuat mereka lebih mandiri, sehat, dan berdaya guna. Juga

bisa mengurangi rasa sepi, jenuh, bosan, dan mengurangi

kepikunan, sebab otak yang selalu diasah dan digunakan untuk

berfikir akan berfungsi lebih baik. Artinya, kegiatan positif akan

membawa pengaruh positif juga (Untarini, Tt).

Selain memberikan pengaruh positif, pemberdayaan bagi

lanjut usia merupakan bentuk kepedulian serta fasilitas dari

pemerintah dan masyarakat. Memang jika dibandingkan dengan

negara maju fasilitas dari Pemerintah Indonesia untuk lanjut usia

(56)

56 pemberdayaan, seperti diadakannya program ASLUT (Asistensi

Sosial Lanjut Usia), UEP (Unit Ekonomi Produktif), Home Care,

Day Care, Bantuan Sosial melalui LKS Lanjut Usia (Lembaga

Kesejahteraan Sosial), Bedah Kamar Lanjut Usia, dan lain-lain.

Semua program tersebut berasal dari Kementerian Sosial RI yang

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, meningkatkan

kesejahteraan, dan memberdayakan lanjut usia Indonesia.

Keterbatasan fasilitas dari pemerintah untuk lanjut usia Indonesia

bukan berarti mereka hanya bisa pasif dan tidak berdaya. Sekarang

ini banyak bermunculan upaya untuk memberdayakan lanjut usia

baik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun pihak

swasta, ini menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap

lanjut usia. Pelbagai kegiatan pemberdayaan tersebut diantaranya

Rumah Sehat Lanjut Usia, Posyandu Lanjut Usia, Posdaya, dan

lain-lain.

Perkembangan posdaya bisa dibilang cukup signifikan

dan paling menonjol jika dibandingkan dengan program

pemberdayaan yang lain, karena dalam waktu kurang dari 2 tahun

sejak diresmikan, konsep Posdaya telah mendapatkan sambutan

yang luar biasa serta diterima diberbagai tingkatan dan daerah

sebagai suatu gagasan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat di akar rumput. Pada 2008 lebih dari 600 Posdaya

(57)

57 Kabupaten/ Kota yang tersebar di 12 Provinsi. Terlebih lagi banyak

permintaan dari masyarakat khususnya Pemerintah Daerah untuk

mendapatkan sosialisasi tentang Posdaya (Suyono, 2009: 1).

Dipelbagai tempat kegiatan posdaya juga terbukti memberikan

sumbangan yang positif bagi masyarakat, salah satunya yaitu

Posdaya Edelwys di Pedukuhan Serut Palbapang, Bantul.

Berdasarkan penelitian dari Sofyan Tri Untoro, mahasiswa

Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga dengan judul Peran Pos Pemberdayaan Keluarga

(POSDAYA) Edelwys Dalam Menangani Ketahanan Pangan Di

Pedukuhan Serut Palbapang Bantul D.I.Y. Hasil dari penelitian

tersebut adalah adanya peningkatan produksi pangan di Pedukuhan

Serut Palbapang setelah adanya Posdaya. Hasilnya yaitu pada 2012

(410.000 ton), 2013 (422.000 ton), dan 2014 (433.000 ton).

Adanya peningkatan tersebut merupakan tolok ukur keberhasilan

yang dilakukan Posdaya Edelwys (Untoro, 2015).

Posdaya Edelwys selain memberikan sumbangan positif

dalam hal ketahanan pangan juga membantu meningkatkan

kesehatan masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan penelitian

dari Majid Muhammad, mahasiswa Fakultas Dakwah dan

Komunikasi Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga dengan judul

Peran Posdaya Edelwys Dalam Pemberdayaan Kesehatan

(58)

58 dari penelitian tersebut adalah masyarakat Pedukuhan Serut

memiliki tambahan pengetahuan mengenai kesehatan, adanya

kemandirian dan partisipasi warga dalam pemberdayaan kesehatan

(Muhammad, 2014). Dari kedua hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa posdaya yang ada di masyarakat sudah

memberikan kontribusi yang positif.

b. Program Pemberdayaan Lanjut Usia

Kepedulian terhadap lanjut usia merupakan

tanggungjawab bersama, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dari

pelbagai pihak, mulai dari pemerintah sampai masyarakat.

Sekarang ini sudah terdapat banyak jenis pemberdayaan baik yang

dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Berikut ini adalah

pelbagai macam pemberdayaan bagi lanjut usia:

1) Program Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT)

Program ASLUT merupakan salah satu program pusat

dari Kementerian Sosial RI yang telah dilaksanakan sejak tahun

2006 hingga sekarang dan ada di semua provinsi. Namun di

tahun 2006 sampai 2011 program ini bernama JSLU (Jaminan

Sosial Lanjut Usia) dan berganti nama menjadi ASLUT pada

tahun 2012 (Kementerian Sosial RI, 2014: 3). Program ini

bertujuan untuk membimbing, mendampingi, dan mengarahkan

lanjut usia, sehingga diharapkan lanjut usia terdampingi dalam

Gambar

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia) Tahun 2015
Tabel 6. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun
Tabel 7. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Desa Trimulyo Tahun
Gambar 5: Kegiatan sesudah senam
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan dengan metode eksperiman ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis sprayer terhadap udara keluaran yang dihasilkan evaporative cooling yang

Beberapa penelitian tentang likuiditas perbankan Syariah yaitu Sukmana dan Suryaningtyas (2016) yang membandingkan antara bank Syariah dengan bank konvensional, hasil

Namun pada hasil perhitungan LAR ( Loan at Risk ) terlihat bahwa diperoleh hasil 21% yang berarti masuk dalam kategori tidak efektif dengan batas nilai ≥20% yang

Sampai saat ini proses pembinaan yang dilaksanakan oleh CDC terbentuk dalam dua sistem yaitu pembekalan yang diberikan pada saat penyaluran dana bergulir bagi mitra binaan dan

Sedangkan menurut Prastowo, (2011 : 204) bahwa LKS merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas yang berisi materi, ringkasan dan petunjuk-petunjuk

Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk menggunakan faktor eksternal perusahaan sebagai variabel independen yang mempengaruhi nilai perusahaan seperti tingkat suku

Bentuk akuntabilitas ini memang tidak dalam bentuk fisik berupa laporan keuangan atau laporan bentuk lainnya, tetapi secara moral dan spiritual manajemen

Agar orang yang berkunjung ke web anda mau meminta informasi melalui email dari anda, kuncinya adalah anda harus memberikan suatu yang bernilai atau diminati oleh