PEMBERDAYAAN KESEHATAN LANJUT USIA DI POSDAYA ONTOSENO PUTON, TRIMULYO, JETIS, BANTUL, YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh: Rimawati NIM 12413244030
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL
v MOTTO
Seseorang yang telah memiliki kesehatan pastinya memiliki harapan, dan ia yang memiliki harapan pasti akan memiliki segalanya
(Arab)
vi PERSEMBAHAN
Terima kasih atas pertolongan Allah SWT skripsi ini saya persembahkan untuk:
Kedua orangtua yang selalu memberikan segalanya demi kesuksesan anak-anaknya
Ilmi yang menjadi tanggung jawab saya sebagai kakak untuk memberikan teladan yang baik
Teman-teman Pendidikan Sosiologi B 2012 yang sudah menemani belajar selama kurang lebih 4 tahun
Dr. Amika Wardana sebagai pembimbing yang selalu membimbing dan selalu sabar menuntun saya demi menghasilkan skripsi yang bagus
Keluarga Besar Posdaya Ontoseno terutama pihak-pihak yang bersedia berbagi informasi kepada peneliti sehingga membantu peneliti dalam
memperoleh data
Programmer lanjut usia di Puskesmas Jetis 1 dan instruktur senam di senam lanjut usia Posdaya Ontoseno yang sudah bersedia meluangkan waktunya
viii
Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno
Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta
Oleh:
Rimawati dan Dr. Amika Wardana
rimawati2@gmail.com ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan kesehatan untuk warga lanjut usia di Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) Ontoseno serta manfaat dan dampaknya dalam pemeliharaan kesehatan warga berusia lanjut di Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta. Berdasarkan data-data yang terkumpul dari lapangan diperoleh informasi bahwa pasca gempa Bantul 2006 banyak bantuan datang ke Puton yang termasuk wilayah terdampak bencana cukup parah untuk membantu korban dan memulihkan kondisi fisik dan sosial masyarakat, termasuk pelayanan sosial-kesehatan pasca-trauma bencana untuk warga lanjut usia. Selanjutnya, diprakarsai oleh penggerak sosial lokal di Puton Soraya Isfandiari Posdaya Ontoseno yang bertujuan melakukan pemberdayaan sosial-kesehatan bagi warga lanjut usia. Pemberdayaan kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno memiliki 2 aktivitas yaitu senam lanjut usia dan Posyandu lanjut usia yang bernama Arum Ndalu. Senam lanjut usia dibedakan menjadi 3 macam yaitu, senam mingguan, senam bulanan, dan senam tahunan. Sedangkan Posyandu Arum Ndalu dilaksanakan satu kali dalam satu bulan. Berbagai aktivitas pemberdayaan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan oleh Posdaya Ontoseno membawa beberapa dampak positif yang dirasakan oleh anggotanya, diantaranya yaitu kesehatan lanjut usia terpelihara, jalinan silaturahmi antar-lanjut usia lebih erat, dan peningkatan partisipasi sosial lanjut usia.
ix
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 12
A. Kajian Pustaka ... 12
1. Mendefinisikan Lanjut Usia Secara Akademik... 12
2. Gerontologi dan Gejala Penuaan Masyarakat ... 15
3. Penuaan dan Tantangan Lanjut Usia ... 22
4. Lanjut Usia di Indonesia ... 29
5. Demografi Lanjut Usia di Indonesia ... 35
6. Pemberdayaan Lanjut Usia di Indonesia ... 40
B. Penelitian Relevan ... 65
C. Kerangka Pikir ... 68
BAB III METODE PENELITIAN ... 71
A. Bentuk Penelitian ... 71
B. Lokasi Penelitian ... 72
C. Waktu Penelitian ... 72
D. Teknik Pengumpulan Data ... 72
E. Pemilihan dan Penentuan Informan ... 73
F. Validitas Data ... 74
x
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 79
A. Deskripsi Data ... 79
1. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 79
2. Deskripsi Informan... 80
3. Pembentukan dan Perkembangan Posdaya ... 84
4. Pembentukan Posdaya Ontoseno ... 87
5. Struktur Kepengurusan Posdaya Ontoseno ... 90
6. Aktivitas Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno ... 93
7. Dampak Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno ... 114
BAB V KESIMPULAN ... 130
A. Kesimpulan ... 130
B. Saran ... 134
DAFTAR PUSTAKA ... 135
xi DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Proyeksi Angka Harapan Hidup Indonesia Periode 2010-2035 ... 36
Tabel 2. Proyeksi Angka Harapan Hidup Yogyakarta Periode 2010-2035 .. 36
Tabel 3. Proyeksi Proporsi Penduduk Indonesia Umur 60+ (Lanjut Usia)
Periode 2010-2035 (Dalam %) ... 37
Tabel 4. Proyeksi Proporsi Penduduk Yogyakarta Umur 60+ (Lanjut Usia)
Periode 2010-2035 (Dalam %) ... 37
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia)
Tahun 2015 ... 38
Tabel 6. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun 2015 ... 39
xii DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
Bagan 1. Kerangka Pikir ... 70
xiii DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran:
1. Lembar Observasi
2. Lembar Wawancara
3. Hasil Observasi
4. Keterangan Kode Hasil Wawancara
5. Hasil Wawancara
6. Surat Keterangan Izin Penelitian Kabupaten Bantul
7. Surat Keterangan Izin dari Fakultas
8. SK Pembimbing
9. SK Penguji
10.Kartu Bimbingan Tugas Akhir
11.Daftar Hadir Posyandu Arum Ndalu 2015
14 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kegiatan dan pengaruh
dari pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia di Yogyakarta. Dengan
menganalisis salah satu posdaya di Yogyakarta, yang berangkat dari
pelbagai sumber empiris menjelaskan bahwa Yogyakarta merupakan
provinsi dengan angka harapan hidup paling tinggi di Indonesia, sekaligus
provinsi yang memiliki posdaya terbanyak penelitian ini diharapkan
mendapatkan hasil yang mendalam tentang pemberdayaan kesehatan lanjut
usia di salah satu posdaya di Yogyakarta, yaitu Posdaya Ontoseno,
Pedukuhan Puton Desa Trimulyo Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.
Posdaya Ontoseno dijadikan sebagai objek penelitian karena memiliki
prestasi yang cemerlang, yaitu menjadi juara nasional lomba posdaya
pada tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Yayasan Damandiri, yaitu
payung dari kegiatan posdaya.
Suyono (2007) sebagai penggagas sekaligus pendiri posdaya
menjelaskan bahwa posdaya merupakan forum silaturahmi, advokasi,
komunikasi, informasi, edukasi, dan sekaligus bisa dikembangkan menjadi
wadah koordinasi kegiatan penguatan fungsi-fungsi keluarga secara
terpadu. Silaturahmi, advokasi, komunikasi, penyebaran informasi, dan
edukasi tersebut tercipta ketika antar-warga saling bertemu dalam suatu
kegiatan yang dinaungi oleh Posdaya dan melakukan berbagai kegiatan
15 Maka Posdaya sebagi hasil dari revitalisasi Posyandu diharapkan
bisa menjadi suatu pemberdayaan yang menjadi milik masyarakat dan bisa
menampung berbagai masukan untuk mengembangkan keluarga agar
mampu melaksanakan delapan fungsi utamanya, yaitu fungsi agama, cinta
kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan
lingkungan. Sasaran dari kegiatannya pun disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat, seperti balita, remaja, dewasa, lanjut usia dan lain-lain.
Lanjut usia dipilih menjadi subjek penelitian karena beberapa
alasan. Survey BPS (2004) menyatakan, jika dilihat dari proporsinya
terhadap total penduduk, jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas (lanjut
usia) mengalami peningkatan dari sekitar 4,5% (5,3 juta jiwa) pada tahun
1971 menjadi 7,1% (14,4 juta jiwa) pada tahun 2000. Bahkan pada tahun
2020, diproyeksikan proporsinya akan mencapai 11,3% (28,8 juta jiwa).
Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki era “penduduk
berstruktur tua” (dikutip dari Suardiman, 2011).
Menurut Cicih (2005) jumlah penduduk lanjut usia yang semakin
meningkat menyebabkan ketergantungan terhadap penduduk usia
produktif ikut meningkat (dikutip dari Suardiman, 2011). Artinya, semakin
besar jumlah penduduk lanjut usia maka semakin besar pula beban yang
harus ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-59 tahun). Ada
pelbagai versi untuk menggolongkan lanjut usia. Versi dari Pemerintah
Indonesia menyebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang berusia
16 akademik terdapat tiga cara mengelompokkan lanjut usia, yaitu lanjut usia
muda (young old), lanjut usia tua (old-old), dan lanjut usia tertua (oldest
old).
Secara kronologis yang termasuk ke dalam young old adalah
orang yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, biasanya lanjut usia ini
masih tergolong aktif, vital, dan bugar, sehingga lanjut usia muda biasanya
masih bisa melakukan pekerjaannya. Sedangkan yang termasuk ke dalam
old-old yaitu orang yang berusia 75 tahun ke atas, dan yang termasuk ke
dalam oldest old adalah orang yang berusia 85 tahun ke atas. Oldest old
biasanya memiliki kecenderungan yang lemah, tidak bugar, dan memiliki
kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia, 2008; Santrock,
2002). Cara lain untuk mengelompokkan lanjut usia secara akademik yaitu
menggunakan usia fungsional, ialah seberapa baik seseorang berfungsi
dalam lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain
seusianya (Papalia, 2008: 845).
Meningkatnya jumlah lanjut usia tidak hanya menyebabkan
ketergantungan pada penduduk usia produktif, melainkan juga menuntut
perhatian dari pelbagai pihak mulai dari pemerintah sampai masyarakat.
Perhatian dari pemerintah tercermin dari adanya pelbagai program
pemberdayaan, seperti Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT), Usaha
Ekonomi Produktif (UEP), Home care, Day care, Bantuan Sosial melalui
17 Program-program tersebut tidak selamanya berjalan mulus, ada
saatnya timbul suatu ketegangan misalnya, program UEP yang
diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Di Yogyakarta program ini
mendapat dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Namun dukungan
dana dari APBD Yogyakarta tidak selalu dialokasikan setiap tahun
anggaran, buktinya pada tahun 2011 APBD mengalokasikan dana sebesar
Rp. 79.898.000 sementara tahun 2012 justru turun menjadi Rp.
65.000.000 dan pada tahun 2013 sama sekali tidak ada alokasi untuk
program UEP lanjut usia. Selanjutnya pada tahun 2014 dialokasikan
sebanyak Rp. 172.540.075 (Dinsos DIY, 2014: 135). Ketegangan lain
muncul ketika pengalokasian bantuan UEP belum didasarkan atas data
persebaran populasi lanjut usia yang bekerja, hal ini terjadi di Yogyakarta
dan akibatnya jumlah penerima UEP kurang proporsional (Dinsos DIY,
2014: 135).
Ketegangan program dari pemerintah untuk lanjut usia tidak
berhenti disitu saja. Pada 2012 program home care di Yogyakarta
mengalami kekacauan pendanaan. Sebenarnya sumber dana dari program
ini berasal dari APBN dan APBD. Anggaran yang bersumber dari APBN
dialokasikan untuk membiayai home care yang dilaksanakan oleh Panti
Sosial Tresna Werdha (PSTW). Sementara dana dari APBD Pemerintah
Yogyakarta digunakan untuk penyelenggaraan home care pada unit kerja
18 pada 2012 PSTW sudah tidak lagi menyelenggarakan home care karena
sudah tidak ada alokasi dana dari APBN (Dinsos DIY, 2014: 120).
Pelbagai ketegangan yang menghambat terselenggaranya
pemberdayaan lanjut usia mengindikasikan bahwa perhatian dan fasilitas
dari pemerintah masih kurang. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan
negara maju, misalnya saja Jepang. Di Jepang Pada tahun 2010
diproyeksikan dari 54 triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 23
triliun (42%) diberikan kepada lanjut usia. Sedangkan untuk tahun 2025,
diperkirakan jumlah dana kesehatan berusaha terus ditingkatkan, dari 104
triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 56 triliun yen (54%) akan
diberikan kepada lanjut usia. Dari jumlah tersebut terlihat lebih dari
setengah dana kesehatan nasional diberikan kepada lanjut usia. Artinya
peningkatan jumlah lanjut usia menjadi tanggungjawab pemerintah (Elsy,
2012: 107).
Keterbatasan dari Pemerintah Indonesia bukan berarti membuat
lanjut usia hanya bisa pasif dan tidak berdaya. Sekarang banyak
bermunculan upaya untuk memberdayakan lanjut usia baik yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah maupun pihak swasta, ini menunjukkan adanya
kepedulian pelbagai pihak terhadap lanjut usia. Pelbagai kegiatan
pemberdayaan yang sudah ada diantaranya Rumah Sehat Lanjut Usia,
Posyandu Lanjut Usia, Posdaya, dan lain-lain. Perkembangan posdaya bisa
dibilang cukup signifikan dan paling menonjol jika dibandingkan dengan
19 posdaya sudah terbentuk dan dikembangkan secara meluas di tidak kurang
dari 83 Kabupaten/ Kota yang tersebar di 12 provinsi yang meliputi
seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Lampung,
Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung. Terlebih lagi banyak
keinginan dan permintaan dari masyarakat terutama dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/ Kota, untuk mendapatkan sosialisasi dan pelatihan
serta mengadakan peninjauan lapangan tentang posdaya. (Suyono, 2009:
1). Sampai sekarang program ini masih terus bergulir di masyarakat,
ditambah jumlah posdaya yang semakin bertambah menunjukkan bahwa
program ini diterima oleh masyarakat.
Sebagian besar tujuan dari kegiatan pemberdayaan lanjut usia di
atas bergerak dalam hal kesehatan, karena kesehatan merupakan masalah
paling umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan lain yang
harus dihadapi lanjut usia, misalnya tantangan ekonomi, sosial, dan
psikologis (Suardiman, 2011: 9). Adanya harapan bahwa lanjut usia ingin
tetap sehat, mandiri, aktif, dan berfungsi dalam masyarakat adalah hal
yang wajar, namun dibalik harapan tersebut tantangan kesehatan
merupakan masalah yang paling dirasakan oleh lanjut usia, karena terjadi
kemunduran sel-sel akibat proses penuaan, yang mengakibatkan
kelemahan organ, kemunduran fisik, dan munculnya pelbagai penyakit
khususnya yang bersifat degeneratif (Suardiman, 2011: 13).
Oleh karena itu pemberdayaan lanjut usia khususnya dalam hal
20 seberapa baik seseorang berfungsi dalam lingkungan fisik dan sosial
dibandingkan dengan orang lain seusianya. Misal, seseorang yang berusia
90 tahun namun tetap memiliki kesehatan yang prima bisa jadi berfungsi
lebih muda dibandingkan orang berusia 65 tahun yang tidak sehat
(Papalia, 2008: 845). Selain itu pemberdayaan kesehatan juga ditujukan
agar lanjut usia tetap mandiri, berdaya guna, dan mengurangi
ketergantungan terhadap keluarga maupun masyarakat. Pendidikan
(nonformal), interaksi sosial antara lanjut usia dengan keluarga dan
masyarakat juga turut diperhatikan demi turut mengurangi ketergantungan
tersebut.
Fenomena yang telah dipaparkan tersebut berusaha dibahas oleh
penulis untuk menguji sejauh mana pengaruh pemberdayaan kesehatan
bagi lanjut usia yang dibentuk oleh masyarakat. Penulis mencoba
menganalisisnya melalui penelitian dalam skripsi dengan judul
Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno Puton,
Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat
diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Indonesia memasuki era “penduduk berstruktur tua”. Hal ini menuntut
perhatian dan pemberdayaan dari semua pihak, karena jika tidak
diberdayakan berpotensi menimbulkan ketergantungan terhadap
21 2. Semakin besar jumlah penduduk lanjut usia maka semakin besar pula
beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-59
tahun).
3. Beberapa program pemberdayaan dari Pemerintah Indonesia untuk
lanjut usia tidak berjalan mulus, misalnya Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) yang persebaran penerimanya tidak proporsional, dan home
care yang mengalami kekacauan pendanaan.
4. Muncul program pemberdayaan lanjut usia yang dirintis oleh
masyarakat sebagai bentuk perhatian kepada lanjut usia.
5. Posdaya menjadi salah satu program pemberdayaan yang kemajuannya
cukup signifikan karena jumlahnya bertambah drastis.
6. Kesehatan menjadi tantangan paling umum dirasakan oleh lanjut usia.
7. Pemberdayaan kesehatan ditujukan agar lanjut usia tetap mandiri,
berdaya guna, dan mengurangi ketergantungan terhadap keluarga
maupun masyarakat.
C. Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut,
maka penulis akan menitikberatkan permasalahan tentang aktivitas dan
pengaruh pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia di Posdaya Ontoseno
22 D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah, dan
pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka diperoleh
rumusan masalah pada penelitian yaitu:
1. Bagaimana aktivitas Posdaya Ontoseno dalam melakukan
pemberdayaan kesehatan lanjut usia?
2. Bagaimana pengaruh adanya pemberdayaan kesehatan bagi kesehatan
lanjut usia di Posdaya Ontoseno?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui aktivitas Posdaya Ontoseno dalam melakukan
pemberdayaan kesehatan lanjut usia.
2. Untuk mengetahui pengaruh adanya pemberdayaan kesehatan bagi
kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Bermanfaat bagi perkembangan ilmu Sosiologi, khususnya
23 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pemahaman kepada pembaca mengenai pemberdayaan lanjut usia
melalui posdaya
c. Digunakan sebagai ajang berpikir kritis, analitis, dalam
mengembangkan teknik/ metode penelitian sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengaplikasikan
ilmu pengetahuan yang didapatkan selama menempuh studi
Pendidikan Sosiologi ke dalam karya nyata. Penelitian ini juga
dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan
pemberdayaan kesehatan lanjut usia
b. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi
dan memberikan wawasan tambahan tentang pemberdayaan
kesehatan lanjut usia.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini diharapkan bisa
memberikan informasi empiris pada masyarakat tentang
24 d. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber
informasi bagi warga Universitas Negeri Yogyakarta mengenai
25 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Pustaka
1. Mendefinisikan Lanjut Usia Secara Akademik
Proses menua merupakan sesuatu yang alami dan dialami
oleh semua makhluk hidup. Sedangkan lanjut usia merupakan istilah
untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Suardiman, 2011: 1).
Ada beberapa jenis penuaan diantaranya yaitu penuaan primer dan
sekunder. Penuaan primer yaitu proses kemunduran tubuh secara
gradual yang tak terhindarkan dan dimulai dari masa awal kehidupan
selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang lakukan untuk
menundanya (Papalia, 2008: 845). Jadi penuaan primer merupakan
penuaan yang tidak bisa dicegah dan terus berlangsung. Sedangkan
yang dimaksud penuaan sekunder yaitu penuaan yang disebabkan oleh
hasil penyakit, kecelakaan, dan kesalahan tertentu yang sebenarnya
bisa dihindari dan dikontrol (Papalia, 2008:845).
Ilmuan sosial dan ahli perkembangan yang mempelajari
tentang penuaan menyebutkan terdapat tiga kelompok lanjut usia yaitu
lanjut usia muda (young old), lanjut usia tua (old-old), dan lanjut usia
tertua (oldest old). Secara kronologis yang termasuk ke dalam young
old adalah orang yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, biasanya
lanjut usia ini masih tergolong aktif, vital, dan bugar, sehingga lanjut
usia muda biasanya masih bisa melakukan pekerjaannya. Sedangkan
26 atas, dan yang termasuk ke dalam oldest old adalah orang yang berusia
85 tahun ke atas. Oldest old biasanya memiliki kecenderungan yang
lemah, tidak bugar, dan memiliki kesulitan dalam mengelola aktivitas
keseharian (Papalia, 2008; Santrock, 2002).
Ketiga klasifikasi di atas bukanlah satu-satunya cara untuk
mengelompokkan lanjut usia menurut ilmu sosial dan ahli
perkembangan. Masih ada cara lain untuk mengelompokkan lanjut usia
menurut ilmu sosial, yaitu menggunakan usia fungsional. Usia
fungsional merupakan seberapa baik seseorang berfungsi dalam
lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain seusianya.
Misalnya, seseorang yang berusia 90 tahun namun tetap memiliki
kesehatan yang prima bisa jadi berfungsi lebih muda dibandingkan
orang berusia 65 tahun yang tidak sehat (Papalia, 2008: 845).
Lanjut usia berkaitan erat dengan pelbagai penurunan, salah
satunya yaitu penurunan intelektual. Hal ini sangat berimbas pada
dunia usaha karena pendapat tersebut dipakai sebagai alasan untuk
memberhentikan seseorang yang sudah lanjut (Haditono, 2006: 339).
Intelektual atau kecerdasan seseorang berkaitan dengan inteligensi.
Setidaknya inteligensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fluit
intelligence (suatu inteligensi yang berhubungan dengan faktor
pembawaan dan fungsi fisik)dan cristalizedintelligence (berhubungan
dengan kebudayaan dan hasil pelajaran sepanjang hidup yang
27 mengalami kemunduran setelah mencapai puncaknya pada usia 30 atau
40 tahun, sedangkan cristalizedintelligence bisa tetap bertahan sampai
seseorang memasuki masa lanjut usia (Haditono, 2006: 340), di mana
menurut Lavinson masa lanjut usia atau dewasa akhir adalah ketika
seseorang berusia 60 tahun atau lebih (Haditono, 2006: 329).
Horn dan Donaldson (1980) menganggap kemunduran
inteligensi merupakan hal yang realistis, khususnya bagi seseorang
yang mulai memasuki usia 50 tahun. Sedangkan Schale berpendapat
bahwa perubahan intelektual seseorang terjadi ketika ia memasuki usia
akhir 50 tahun/ awal 60 tahun, karena menurutnya perubahan
intelektual dan kemunduran keterampilan yang terjadi pada seseorang
yang belum mencapai usia 60 tahun adalah sebuah patologi dan tidak
normal sedangkan di atas usia 80 tahun biasanya terjadi kemunduran
pada kebanyakan orang (Haditono, 2006: 340-341).
Horn dan Donaldson (1980) mengakui adanya perbedaan
yang besar pada inteligensi seseorang dengan orang yang lain, dan
menurut Baltes hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: fenomena
inteligensi mempunyai banyak dimensi (multidimensional), proses
berkembangnya tidak sama pada semua orang, tingkatan berfungsinya
dan berkembangnya intelektual seseorang berbeda-beda, dan arah jalan
serta tingkat perkembangan yang telah dicapai bisa saja berubah
(dikutip dari Haditono, 2006). Sedangkan Papalia (2006: 856)
28 otak yang berkaitan dengan inteligensi biasanya bersifat rendah dan
hanya membuat sedikit perbedaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penurunan inteligensi pada lanjut usia merupakan sesuatu yang wajar,
namun hal ini tidak bisa disamaratakan, karena penurunan inteligensi
antara satu lanjut usia dengan lanjut usia yang lain berbeda-beda.
2. Gerontologi dan Gejala Penuaan Masyarakat
Kajian mengenai lanjut usia menjadi hal yang banyak
diperbincangkan, ini disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia
yang semakin kesini semakin memasuki era penduduk berstruktur tua.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penurunan tingkat
kelahiran dan kematian yang berpengaruh pada kondisi demografis
penduduk, serta pembangunan nasional yang peduli pada peningkatan
kesejahteraan sosial dan kesehatan yang ditandai dengan peningkatan
status gizi, layanan kesehatan, kemajuan teknologi di bidang
kesehatan, peningkatan pendidikan, yang berpengaruh pada
meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk
(Suardiman, 2011: 5).
Meningkatnya angka harapan hidup juga menandakan bahwa
masa tua penduduk Indonesia menjadi semakin panjang. Data statistik
menunjukkan bahwa meningkatnya angka harapan hidup berpengaruh
pada jumlah penduduk lanjut usia. Menteri Kependudukan/ Kepala
BKKBN (1999) menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki aging
29 lanjut usianya telah jauh berada di atas patokan penduduk berstruktur
tua yakni 7%, antara lain Daerah Istimewa Yogyakarta (12,5%), Jawa
Timur (9,46%), Jawa Tengah (8,9%), dan Sumatera Barat (7,98%)
(dikutip dari Suardiman, 2011).
Perubahan struktur umur penduduk berpengaruh tidak hanya
pada aspek demografis saja, melainkan juga terhadap kehidupan sosial,
ekonomi, dan psikologi secara keseluruhan. Struktur kebutuhan
penduduk juga berubah, seperti kebutuhan akan pendidikan,
perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan sebagainya.
Kebutuhan-kebutuhan yang semula diperuntukkan penduduk muda
pada akhirnya akan banyak dialokasikan untuk penduduk tua. Ada
kecenderungan jumlah dan persentase penduduk lanjut usia akan
melebihi jumlah dan persentase penduduk balita.
Gejala peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang
mengakibatkan penuaan masyarakat ini tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, melainkan dialami oleh negara lain. Kuroda (1991)
menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk lanjut usia di seluruh dunia
akan berjalan cepat, terutama pada abad 21, yang akan menjadi “Era
Lanjut Usia” (dikutip dari Suardiman, 2011). Inilah yang
menyebabkan kajian tentang lanjut usia di era sekarang semakin
banyak.
Pembahasan mengenai pelbagai hal tentang lanjut usia
30 satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari kehidupan orang lanjut
usia dimana kajiannya mencakup aspek-aspek biologis, psikologis,
sosial, kultural, fisiologis, ekonomi, dan lain-lain (Hardjomarsono,
2011; Indriana, 2012; Hooyman, 2014). Para ahli gerontologi
menjelaskan bahwa terdapat 4 tahap yang berbeda dalam proses
penuaan, yaitu:
a. Penuaan kronologis
Penuaan ini didasarkan pada perhitungan umur seseorang.
Cara yang mudah untuk mengidentifikasi seseorang sudah
tergolong tua atau belum adalah melalui usia kronologis, usia yang
didasarkan pada umur kalender atau umur dari ulang tahun terakhir
(Suardiman: 2011: 3). Usia kronologis tidak selalu berhubungan
dengan biologis, fisik, psikologis, dan sosial seseorang. Sehingga
ketika seseorang dikatakan tua secara kronologis maka belum tentu
secara biologis, fisik, psikologis, maupun sosial ia juga sudah tua.
b. Penuaan biologis
Penuaan ini mengacu pada perubahan fisik yang
mengurangi efisiensi sistem kerja organ, seperti paru-paru, jantung,
dan sistem peredaran darah. Tipe penuaan biologis dapat
ditentukan dengan mengukur efisiensi dan kemampuan fisik
31 c. Penuaan psikologis
Penuaan psikologis meliputi perubahan yang terjadi
dalam proses sensorik, persepsi, kepribadian, dan kemampuan
kognitif (memori, belajar, kecerdasan) (Hooyman, 2011: 2).
d. Penuaan sosial
Penuaan ini mengacu pada perubahan peran pada individu
yang berhubungan dengan keluarga, teman, maupun masyarakat
(Hooyman, 2011: 2). Biasanya peran lanjut usia di masyarakat
akan digantikan dengan generasi muda, sehingga hal ini
menyebabkan lanjut usia mengalami perubahan peran.
Pada kajian tentang gerontologi terdapat beberapa teori
mengenai penuaan. Di bawah ini ada beberapa teori penuaan dalam
studi gerontologi, yaitu:
a. Teori aktivitas/ Activity theory of aging
Teori ini dipopulerkan oleh Neugarten, inti teorinya
menjelaskan agar lanjut usia berhasil maka ia harus tetap seaktif
mungkin dan bisa berpartisipasi dalam masyarakat. Semakin tua
seseorang maka ia akan memelihara hubungan sosial, baik fisik
maupun emosionalnya. Teori ini mendukung agar lanjut usia tetap
dilibatkan dalam pelbagai kegiatan (Feldman, 2010; Suardiman,
32 b. Teori kontinuitas/ Continuity theory
Teori ini diungkapkan oleh pakar gerontologi yaitu
Robert Atchley (1989) yang menekankan bahwa orang perlu
memelihara satu hubungan antara masa lalu dan masa kini. Dalam
hal ini aktivitas menjadi hal yang penting bukan demi dirinya
sendiri melainkan untuk representasi yang berkesinambungan dari
suatu gaya hidup (dikutip dari Suardiman, 2011). Sehingga
meskipun seseorang sudah memasuki masa lanjut usia sebenarnya
ia masih membutuhkan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya sering
ia lakukan agar kontinuitas nya tetap terjaga.
c. Teori pengunduran diri/ Disengangement theory
Teori ini secara formal diajukan oleh Cumming dan
Henry pada tahun 1961. Teori ini berpendapat bahwa semakin
tinggi usia manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh
semakin mundurnya interaksi sosial, fisik, psikologis dan emosi
dengan kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak bisa
lagi memenuhi tuntutan dari masyarakat. Namun, penarikan juga
memberikan tujuan yang penting bagi lanjut usia yaitu,
memberikan kesempatan untuk meningkatkan introspeksi diri pada
waktu hidup, karena semuanya pasti akan berakhir dengan
33 d. Teori interaksi sosial/ Social exchange theory
Teori ini menjelaskan bahwa lanjut usia bertindak sesuai
dengan apa yang dihargai oleh masyarakat. Simmons (1945)
mengemukakan bahwa kemampuan lanjut usia untuk menjalin
interaksi sosial merupakan kemampuannya untuk mempertahankan
status sosialnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap bisa
diterima dan dihargai dalam kehidupan bermasyarakat (dikutip dari
Hardywinoto, 1999).
e. Teori perkembangan/ Development theory
Teori ini menjelaskan bagaimana proses menjadi tua,
namun teori ini tidak menjelaskan cara menjadi tua yang
diinginkan atau seharusnya. Pokok-pokok dari teori perkembangan
yaitu (Hardywinoto, 1999: 50):
1) Masa tua merupakan masa dimana lanjut usia merumuskan
semua masa kehidupannya.
2) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan
sosial yang baru, seperti halnya pensiun maupun kehilangan
pasangan hidup.
f. Teori stratifikasi usia/ Age stratification theory
Teori ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis lanjut
usia secara perorangan, karena stratifikasi merupakan sesuatu yang
34 kelompok lanjut usia yang bersifat makro. Pokok-pokok dari teori
ini yaitu (Hardywinoto, 1999: 51):
1) Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat
2) Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok terutama
kelompok lanjut usia. Seseorang yang sudah memasuki masa
lanjut usia maka ia akan banyak mengalami perubahan.
Misalnya saja, kehilangan pekerjaan atau pensiun, mengalami
sarang kosong dimana anak-anaknya pergi dan tidak tinggal
bersama dengannya lagi karena sudah berkeluarga atau bekerja
di luar kota, dan kehilangan pasangan hidup.
3) Terdapatnya pengalokasian peran diantara penduduk.
Penduduk yang sudah memasuki masa lanjut usia biasanya
akan mengalami perubahan peran yang drastis karena
peran-peran dalam masyarakat digantikan oleh generasi muda.
Meskipun demikian lanjut usia harus tetap mendapatkan peran
dalam masyarakat, hal ini ditujukan agar mereka tetap merasa
dibutuhkan dan tidak diasingkan oleh masyarakat.
3. Penuaan dan Tantangan Lanjut Usia
Sejalan dengan bertambahnya usia maka kondisi fisik
maupun nonfisik akan mengalami penurunan, hal tersebut wajar
dialami oleh semua makhluk hidup. Siklus yang dialami makhluk
35 menjadi tua, menderita pelbagai penyakit, penurunan pelbagai fungsi
tubuh, dan akhirnya meninggal dunia.
Adanya harapan bahwa lanjut usia ingin tetap sehat, mandiri,
dan aktif merupakan hal yang wajar, namun dibalik harapan tersebut
tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi
lanjut usia. Suardiman (2011) mengatakan bahwa tantangan yang pada
umumnya dihadapi oleh lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi
empat hal, yaitu:
a. Tantangan ekonomi
Lanjut usia ditandai dengan menurunnya produktivitas
kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama.
Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan yang kemudian
terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan sosial
(Suardiman, 2011: 9). Pada sebagian lanjut usia, karena kondisinya
yang tidak memungkinkan, berarti masa tua tidak produktif lagi
dan berkurang atau bahkan tidak memiliki penghasilan. Padahal
disisi lain lanjut usia dihadapkan pada pelbagai kebutuhan yang
semakin meningkat, seperti kebutuhan akan makanan dan gizi
seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perawatan bagi
yang menderita penyakit ketuaan, kebutuhan sosial dan rekreasi.
Hal ini dapat dianalisis menggunakan teori pengunduran
36 sebelumnya bekerja dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri
ketika ia sudah memasuki masa lanjut usia maka bisa jadi
penghasilan tersebut tidak ada lagi atau berkurang yang disebabkan
oleh pelbagai faktor, seperti pensiun, kondisi fisik yang tidak
memungkinkan lagi untuk bekerja, dan lain-lain.
Terlebih lagi dalam teori pengunduran diri dijelaskan
keterkaitan lanjut usia dengan emosi kehidupan dunia akan
semakin berkurang. Hal ini sejajar dengan yang diungkapkan oleh
Hurlock (2004) apabila pendapatan orang lanjut usia secara drastis
berkurang maka minat untuk mencari uang tidak lagi berorientasi
pada apa yang ingin mereka beli dan untuk membayar simbol
status, tetapi untuk sekedar menjaga kemandirian mereka (dikutip
dari Suardiman, 2011). Sehingga penurunan ekonomi pada lanjut
usia merupakan hal yang umum terjadi, karena selain mereka
sudah memasuki masa lanjut usia orientasi merekapun bukan lagi
pada kehidupan duniawi, namun menghadapi kematian.
b. Tantangan sosial
Memasuki masa tua ditandai dengan berkurangnya
kontak sosial, baik dengan anggota keluarga, anggota masyarakat,
maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja
karena pensiun. Di samping itu kecenderungan meluasnya keluarga
inti atau keluarga batih daripada keluarga luas juga akan
37 nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat
individualistik, berpengaruh bagi para lanjut usia yang kurang
mendapat perhatian, sehingga sering tersisih dari kehidupan
masyarakat dan terlantar. Kurangnya kontak sosial ini tidak sejalan
dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang dalam
hidupnya selalu membutuhkan kehadiran orang lain (Suardiman,
2011: 12).
Menghadapi kenyataan ini perlu dibentuk
kelompok-kelompok lanjut usia yang memiliki kegiatan mempertemukan
anggotanya agar kontak sosial berlangsung. Kontak sosial ini
berguna bagi lanjut usia agar memiliki kesempatan untuk saling
bertukar informasi, saling belajar dan saling bercanda. Kontak
sosial akan mendatangkan perasaan senang yang tidak dapat
dipenuhi bila ia dalam keadaan sendirian. Oleh karena itu upaya
mempertemukan sesama lanjut usia, meninggalkan kebiasaan
bahwa lanjut usia sebagai penunggu rumah perlu untuk dilakukan.
Ancok (1993) menyatakan bahwa upaya menghimpun kelompok
lanjut usia dalam wadah kegiatan, memungkinkan mereka berbagi
rasa dan menikmati hidup (dikutip dari Suardiman, 2011).
Tantangan ini dapat dianalisis menggunakan teori
pengunduran diri. Teori ini berpendapat bahwa semakin tinggi usia
manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh semakin
38 kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak bisa lagi
memenuhi tuntutan dari masyarakat, selain itu mereka juga sudah
memasuki waktu untuk istirahat dan introspeksi diri, sehingga hal
ini memungkinkan lanjut usia kehilangan perannya dalam
masyarakat dan digantikan dengan yang lebih muda. Mundurnya
interaksi sosial bagi lanjut usia juga bisa disebabkan karena
ketidakmampuan fisik sehingga membuat mereka susah keluar dan
menemui orang-orang. Namun pelbagai studi juga mengungkapkan
bahwa lanjut usia sering kali menghindari kesempatan untuk
meningkatkan hubungan sosial dan lebih puas dengan jaringan
sosial yang lebih kecil (keluarga) (Papalia, 2008: 930).
c. Tantangan kesehatan
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan di
Indonesia salah satunya adalah meningkatnya usia harapan hidup
manusia. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan diikuti
dengan meningkatnya permasalahan kesehatan, seperti masalah
kesehatan indera pendengaran dan penglihatan. Pada lanjut usia
terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang berakibat
pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya pelbagai
macam penyakit terutama penyakit degeneratif (Suardiman, 2011:
13). Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan
39 pemerintah karena masing-masing penyakit memerlukan dukungan
dana atau biaya.
Masa tua ditandai oleh penurunan fungsi fisik dan rentan
terhadap penyakit. Kerentanan terhadap penyakit ini disebabkan
oleh menurunnya fungsi pelbagai organ tubuh. Diperlukan
pelayanan kesehatan terutama untuk kelainan degeneratif demi
meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lanjut usia.
Terlebih lagi masalah kesehatan adalah masalah yang paling
dirasakan oleh lanjut usia.
Tantangan ini bisa dianalisis menggunakan teori
pengunduran diri, dimana yang dimaksud dengan pengunduran
disini adalah kemampuan fisik yang semakin berkurang atau
kemunduran biologis. Departemen Kesehatan RI (1998)
menyatakan bahwa kemunduran tersebut dapat terlihat dari
pelbagai gejala, yaitu kulit yang mulai mengendur, rambut mulai
beruban, gigi mulai tanggal, pengindraan mulai berkurang, mudah
lelah, gerakan menjadi lamban, dan kerampingan tubuh menjadi
menghilang (dikutip dari Suardiman, 2011). Hal tersebut
disebabkan oleh proses penuaan yang wajar dialami oleh lanjut
usia.
d. Tantangan psikologis
Tantangan psikologis yang dihadapi oleh lanjut usia pada
40 ketidakberdayaan, perasaan tidak berguna, kurang percaya diri,
ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lanjut usia yang
miskin, post power syndrome dan sebagainya. Kebutuhan
psikologis merupakan kebutuhan akan rasa aman yang terdiri dari
kebutuhan akan keselamatan, keamanan, kemantapan,
ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, kecemasan,
kekalutan, dan lain-lain. Selanjutnya ada juga kebutuhan akan rasa
memiliki dan dimiliki, kebutuhan akan kasih sayang, serta
kebutuhan akan aktualisasi diri (Suardiman, 2011: 15). Tantangan
ini bisa dianalisis menggunakan teori pengunduran diri. Di mana
yang semakin mundur adalah kondisi psikologis para lanjut usia.
Terlebih lagi lanjut usia adalah golongan yang rentan mengalami
sarang kosong yaitu ditinggal oleh pasangan atau anaknya. Hal ini
bisa membuat keadaan psikologis lanjut usia semakin menurun.
Semua tantangan di atas memang cocok untuk dianalisis
menggunakan teori pengunduran diri, ini dikarenakan teori ini
memandang bahwa pengunduran diri merupakan hal yang umum
dalam tahap penuaan. Selain itu kesadaran akan terjadinya
kemunduran pada fisik, ekonomi, kesehatan, sosial, psikologis, dan
kesadaran akan semakin dekatnya dengan kematian membuat
lanjut usia menarik diri dari kehidupan sebelumnya. Pengunduran
diri juga bisa disebabkan karena masyarakat tidak lagi memberikan
41 melainkan diikuti dengan introspeksi dan penurunan emosi
terhadap kehidupan dunia (Papalia, 2008: 909).
Selain beberapa tantangan di atas Suardiman (2011)
menambahkan bahwa lanjut usia memiliki tantangan yang lain,
yaitu penurunan kondisi fisik, kesepian, merasa tidak berguna, dan
hilangnya kemandirian. Departemen Sosial Indonesia juga
menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh lanjut usia.
Menurut Departemen Sosial Indonesia ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh lanjut usia, yaitu: ketiadaan sanak keluarga, kerabat, dan masyarakat lingkungan yang dapat memberikan bantuan tempat tinggal dan penghidupan, kesulitan bagi lanjut usia untuk berinteraksi dengan keluarga, tidak ada jaminan ekonomi dari keluarga, kebutuhan hidup lanjut usia yang tidak terpenuhi, adanya perbedaan nilai antara generasi tua dan muda, dan berkurangnya pelayanan dari keluarga untuk para lanjut usia (Ihromi, 2004: 202).
Hurlock (1993) juga menyatakan adanya beberapa
tantangan umum bagi lanjut usia, yaitu: (1) melemahnya kondisi
fisik sehingga menyebabkan lanjut usia bergantung dengan orang
lain; (2) status ekonomi yang berubah. Misalnya kehilangan
pekerjaan karena pensiun; (3) menentukan kondisi hidup baru yang
disesuaikan dengan perubahan ekonomi dan kondisi fisik; (4)
mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang
telah meninggal atau pergi jauh atau cacat; (5) mengembangkan
kegiatan baru untuk mengisi waktu luang; (6) belajar
memperlakukan anak yang sudah besar selayaknya orang dewasa
42 direncanakan untuk orang lanjut usia; (8) mulai menikmati
kegiatan khusus lanjut usia yang diikuti dan memiliki kemauan
untuk mengganti kegiatan lama yang berat dengan kegiatan yang
lebih cocok dengan usia dan kondisi fisiknya. Pelbagai kegiatan
yang ditujukan untuk lanjut usia sangatlah bermanfaat karena itu
bisa membuat mereka tidak merasa kesepian dan merasa masih
dihargai oleh masyarakat; dan (9) menjadi “korban” atau
dimanfaatkan oleh penjual obat bahkan penjahat karena lanjut usia
dianggap tidak sanggup lagi mempertahankan diri (dikutip dari
Suardiman, 2011).
4. Lanjut Usia di Indonesia
a. Mendefinisikan Lanjut Usia Di Indonesia
Lanjut usia adalah istilah untuk tahap akhir dari proses
penuaan yang dialami oleh makhluk hidup. Usia tua juga bisa
dikatakan sebagai periode penutup dalam rentang hidup seseorang
yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari
periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari
waktu yang penuh dengan manfaat (Jahja, 2011). Ada dua
pendekatan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi kapan
seseorang dikatakan tua, kedua pedekatan itu adalah pendekatan
biologis dan pendekatan kronologis. Untuk memahami kedua
pendekatan tersebut maka harus tahu terlebih dahulu mengenai usia
43 ditinjau dari kemampuan fisik atau biologis seseorang, sedangkan
usia kronologis yaitu usia seseorang yang ditinjau dari hitungan
umur dalam angka. Cara yang paling mudah untuk mengetahui
seseorang dikatakan tua atau tidak adalah menggunakan usia
kronologis yang didasarkan pada umur kalender (Suardiman, 2011:
3).
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 13 Tahun 1998
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah
seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan di negara maju
seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swedia, dan beberapa
negara Eropa lainnya yang angka harapan hidup penduduknya
lebih tinggi daripada negara-negara berkembang menggunakan
batasan usia 65 tahun sebagai batas terbawah untuk kelompok
penduduk lanjut usia. Hal ini berbeda dengan beberapa negara di
Asia termasuk Indonesia yang menggunakan batas lanjut usia 60
tahun ke atas (Hanum, 2008; Suardiman, 2011). Biro Pusat
Statistik (BPS) juga memberikan batasan yang sama untuk
menyebut lanjut usia, yaitu 60 tahun ke atas (Hardjomarsono,
2011: 4).
Semakin tua umur seseorang pasti diikuti dengan pelbagai
perubahan dan penurunan fungsi organ tubuh, ini merupakan hal
wajar yang dialami semua makhluk hidup, sehingga tidak menutup
44 membutuhkan pelayanan yang lebih dalam pelbagai aspek,
terutama kesehatan. Seiring dengan semakin berkembangnya dunia
kesehatan di Indonesia yang ditunjukkan dengan semakin
berkurangnya angka fertilitas dan kesejahteraan yang semakin
meningkat turut mendorong semakin tingginya angka harapan
hidup manusia Indonesia dan jumlah lanjut usia di Indonesia
bertambah. Wara K. (2003) menjelaskan bahwa proporsi lanjut
usia terbesar di Indonesia ada di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), yaitu 13,72% dari jumlah penduduk DIY (dikutip dari
Suardiman, 2011). Harapan hidup tertinggi juga ada di DIY yaitu
mencapai 74,3 tahun (BPS, 2013: 34).
Meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia
akan berpengaruh terhadap pelbagai aspek kehidupan terkait
dengan penurunan pada kondisi fisik, psikis, dan sosial. Penurunan
kondisi fisik akan membawa ke kondisi yang rawan terhadap
penyakit, sehingga hal ini menuntut adanya peningkatan pelayanan
pada pelbagai aspek. Kusumoputro (BPS, 2006) menyebutkan
bahwa proses menua adalah sesuatu yang alami disertai penurunan
fisik, psikologis, maupun sosial yang saling terkait satu sama lain.
Artinya, penurunan fisik akan mempengaruhi penurunan psikis
maupun sosial, sementara penurunan psikis akan mempengaruhi
fisik dan sosial, serta sebaliknya (dikutip dari Suardiman, 2011).
45 usia di Indonesia harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan
bagi mereka, baik layanan kesehatan, psikis, maupun sosial.
Pelbagai penurunan yang ada pada diri lanjut usia
memungkinkan mereka terdiskriminasi dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga hal ini menuntut perlindungan dari pelbagai pihak.
Perihal yang berkenaan dengan perlindungan dan hak-hak lanjut
usia diatur dalam pasal 5 ayat 1, disebutkan bahwa lanjut usia
mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Selain itu di Pasal 6 ayat 1 menyatakan,
bahwa lanjut usia mempunyai kewajiban yang sama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari
ayat-ayat tersebut jelas bahwa lanjut usia memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan warga negara lain (Suardiman, 2011: 4).
Adanya pasal perlindungan tersebut diharapkan agar lanjut usia
tetap mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat
lainnya tanpa adanya intimidasi atau perilaku lain yang
memojokkan lanjut usia.
b. Nilai Positif Lanjut Usia di Indonesia
Segala sesuatu pasti ada nilai positif dan negatifnya,
seperti halnya menjadi tua. Tidak melulu usia tua diidentikkan
dengan pelbagai hal negatif dan segala penurunan baik fisik, sosial,
ekonomi, maupun psikologis. Memang benar ketika seseorang
46 selain pelbagai perubahan dan penurunan tersebut ada juga
pelbagai nilai positif yang dimiliki lanjut usia, khususnya lanjut
usia di Indonesia. Berikut ini beberapa nilai positif tersebut:
1) Dihormati atau dipatuhi. Dalam masyarakat Jawa, setiap orang
tua mengajarkan kepada anak untuk menghormati dan
mematuhi (ngajeni) orang tua. Anak wajib mengikuti petunjuk
baik yang diberikan oleh orang tua dengan patuh dan
menggunakan bahasa yang sopan. Hal ini dapat dilihat pada
saat lebaran, di mana anak melakukan sungkeman atau
memohon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat.
Selain itu orang tua juga menjadi pepundhen atau orang yang
sangat dihormati oleh generasi muda baik anak ataupun orang
disekitarnya. Hal ini selain menjadi nilai positif bagi lanjut usia
juga menjadi tantangan bagi mereka, karena diperlukan
introspeksi diri apakah ia sudah layak dihormati dan apakah
segala sikapnya sudah baik (Suardiman, 2011: 223).
2) Selain adanya pandangan bahwa yang muda harus
menghormati yang tua, penghormatan ini juga dikarenakan
adanya pandangan hidup orang Timur yang melihat bahwa
lanjut usia merupakan pemberi restu. Jika seseorang berani
melecehkan lanjut usia maka hidupnya akan sengsara dan
47
3) Local Wisdom/ kearifan lokal. Lanjut usia sering dikaitkan
dengan pengetahuannya tentang kearifan lokal. Kearifan lokal
sering disebut juga budaya “lama”, “kuno”, atau “ketinggalan”.
Para lanjut usia merupakan orang yang sudah memiliki
pengalaman hidup panjang bahkan mereka memahami,
menghayati, dan menjadi pelaku bagi pelbagai kearifan lokal
sehingga mereka bisa menjadi narasumber mengenai nilai-nilai
tradisional yang terdapat dalam kearifan lokal yang sudah
mulai dilupakan oleh generasi muda. Dalam hal inilah lanjut
usia diharapkan bisa menjadi subjek yang lebih memahami
hal-hal yang berkaitan dengan kearifan lokal (Suardiman, 2011:
166), sehingga ia bisa menjadi guru bagi masyarakat
disekitarnya.
4) Menempati hierarkhis yang tinggi dalam masyarakat. Geertz
(1961) menjelaskan bahwa semua hubungan dalam masyarakat
teratur secara hierarkhis, keteraturan ini bernilai pada diri
seseorang dan orang tersebut waajib mempertahankannya agar
ia bisa membawa diri sesuai dengan harapan masyarakat
(dikutip dari Suardiman, 2011). Secara hierarkhis lanjut usia
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada anak, sehingga
anak wajib mematuhi orang tuanya.
5) Kematangan emosi. Kematangan emosi bisa membawa
48 dengan sendirinya melainkan perlu perjalanan dan pengalaman
hidup yang panjang. Sehingga dengan semakin bertambahnya
usia seseorang kematangan emosi akan semakin terbentuk.
Maka tidak heran jika lanjut usia pandai menasehati, hal ini
dikarenakan ia sudah menjalani hidup sejak dulu dan juga
kematangan emosinya sudah terbentuk.
5. Demografi Lanjut Usia di Indonesia
Keberhasilanpembangunan yang telah dilaksanakan terutama
dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial berpengaruh pada
meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk. Ini berarti
masa tua penduduk Indonesia semakin panjang dan jumlah lanjut usia
akan semakin banyak. Angka harapan hidup penduduk Indonesia
(Laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode
2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Angka harapan
hidup terendah ada di Provinsi Sulawesi Barat yaitu 62,8 tahun,
sedangkan harapan hidup tertinggi ada di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) yaitu 74,3 tahun. Namun pada akhir periode proyeksi (tahun
2030 - 2035) angka-angka tersebut berubah menjadi 66,8 tahun dan
75,4 tahun untuk provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi (BPS,
2013: 32). Lebih jelasnya lihat tabel proyeksi angka harapan hidup di
49 Tabel 1. Proyeksi Angka Harapan Hidup Indonesia Periode
2010-2035
Tabel 2. Proyeksi Angka Harapan Hidup Yogyakarta Periode 2010-2035
Tabel di atas menunjukkan selalu terjadi peningkatan tren
angka harapan hidup di Indonesia dan Yogyakarta dari tahun ke tahun.
Peningkatan tersebut juga diikuti dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia Maupun di Yogyakarta.
Lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:
Tabel 3. Proyeksi Proporsi Penduduk Indonesia Umur 60+ (Lanjut Usia) Periode 2010-2035 (Dalam %)
50 Tabel 4. Proyeksi Proporsi Penduduk Yogyakarta Umur 60+
(Lanjut Usia) Periode 2010-2035 (Dalam %)
Tahun Jumlah (%)
Tabel di atas menunjukkan selalu terjadi peningkatan tren
jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) dari tahun ke tahun. Di Daerah Istimewa
Yogyakarta jumlah penduduk lanjut usia paling banyak terdapat di
Kabupaten Gunung Kidul sebanyak 17,79% dari 755. 744 jiwa
penduduk Gunung Kidul. Sedangkan jumlah penduduk lanjut usia
paling sedikit terdapat di Kota Yogyakarta yaitu 12,02% dari 408.823
jiwa penduduk Kota Yogyakarta (Kependudukan Biro Tata
Pemerintahan Setda DIY, 2015). Jumlah penduduk lanjut usia di
Kabupaten Bantul, Kecamatan Jetis, dan Desa Trimulyo dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia) Tahun 2015
Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015
51 Total penduduk Kabupaten Bantul Tahun 2015 adalah
919.440 jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 125.286 jiwa. Hal
ini berarti jumlah penduduk lanjut usianya adalah 13,63% dari total
penduduk Kabupaten Bantul. Jika dibandingkan dengan tahun 2014
hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk lanjut usia,
karena di tahun 2014 hanya terdapat 13,10% penduduk lanjut usia di
Kabupaten Bantul (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY,
2015).
Penyebaran jumlah penduduk lanjut usia paling besar di
Kabupaten Bantul terdapat di Kecamatan Kretek dengan jumlah lanjut
usia 18,30% dari 31.101 jiwa penduduk Kretek. Sedangkan jumlah
lanjut usia paling sedikit terdapat di Kecamatan Banguntapan dengan
jumlah lanjut usia 10,52% dari 107.318 jiwa penduduk Banguntapan
(Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).
Tabel 6. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun 2015
Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015
Total penduduk Kecamatan Jetis Tahun 2015 adalah 57.573
jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 7.893 jiwa Hal ini bisa
diartikan bahwa jumlah lanjut usia di Kecamatan Jetis adalah 13,70%
52 menunjukkan adanya peningkatan, karena pada tahun 2014 jumlah
penduduk lanjut usia di Kecamatan Jetis adalah 13,31%
(Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).
Penyebaran jumlah penduduk lanjut usia paling besar di
Kecamatan Jetis terdapat di Desa Sumber Agung dengan jumlah lanjut
usia sebanyak 14,64% dari 15.326 jiwa penduduk Desa Sumber
Agung. Sedangkan jumlah lanjut usia paling sedikit terdapat di Desa
Trimulyo dengan jumlah penduduk lanjut usia 12,04% dari 18.003
jiwa penduduk Trimulyo (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan
Setda DIY, 2015).
Tabel 7. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Desa Trimulyo Tahun 2015
Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015
Total penduduk Desa Trimulyo Tahun 2015 adalah 18.003
jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 2.168 jiwa. Hal ini bisa
diartikan bahwa jumlah lanjut usia di Desa Trimulyo adalah 12,04%
dari total penduduknya. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini
menunjukkan adanya penurunan. Pada tahun 2014 jumlah penduduk
lanjut usia berjumlah 12,03% dari total penduduk Desa Trimulyo
53 6. Pemberdayaan Lanjut Usia di Indonesia
Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia menuntut
perhatian yang lebih besar dari pelbagai pihak. Di negara maju
perhatian terhadap lanjut usia sudah cukup baik, karena pemerintah
memberikan santunan yang relatif cukup kepada para lanjut usia.
Misalnya saja di Jepang, pada tahun 2010 diproyeksikan dari 54 triliun
yen dana kesehatan nasional sebanyak 23 triliun (42%) diberikan
kepada lanjut usia. Sedangkan untuk tahun 2025, diperkirakan jumlah
dana kesehatan berusaha terus ditingkatkan, dari 104 triliun yen dana
kesehatan nasional sebanyak 56 triliun yen (54%) akan diberikan
kepada lanjut usia. Dari jumlah tersebut terlihat lebih dari setengah
dana kesehatan nasional diberikan kepada lanjut usia. Artinya
peningkatan jumlah lanjut usia menjadi tanggungjawab dari
pemerintah (Elsy, 2012: 107). Bahkan di negara maju seperti Jepang
dan Belanda lanjut usia merupakan salah satu simbol status dan masa
di mana mereka menikmati sisa hidupnya secara terjamin (Suardiman,
2011: 22). Selain itu setiap pelancong di Jepang yang akan check in
hotel sering kali ditanyai usia mereka untuk meyakinkan bahwa jika
mereka termasuk ke dalam lanjut usia maka akan diberikan pelayanan
khusus dan berbeda (Papalia, 2008: 842).
Seakan berbanding terbalik dengan negara maju, di negara
berkembang seperti Indonesia, jaminan sosial penduduk lanjut usia
54 atau anggota keluarga lainnya. Berdasarkan hal ini pemberdayaan bagi
lanjut usia sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungannya
tersebut (Suardiman, 2011: 27). Pemberdayaan lanjut usia mengacu
pada upaya mengembangkan potensi individu maupun kelompok
penduduk lanjut usia sehingga mereka dapat meningkatkan
kemampuannya dalam pelbagai aktivitas baik sosial, ekonomi, maupun
politik.
Pranarka dan Moelyanto (dalam Priyono, Onny S. &
Pranarka, A.M.W., 1996) menyebutkan, dalam melakukan
pemberdayaan terlebih dahulu perlu dipahami dua hal yaitu power
sebagai bangunan dasar dan empowerment yaitu bangunan di atasnya.
Maka, dalam pemberdayaan lanjut usia potensi objektif mereka
diibaratkan power yang harus dijadikan dasar pemberdayaan (dikutip
dari Suardiman, 2011). Pemberdayaan menempatkan pada potensi apa
yang bisa dikembangkan dan dilakukan oleh lanjut usia, bukan apa
yang diperuntukkan bagi lanjut usia.
a. Peran Pemberdayaan Lanjut Usia
Pemberdayaan bagi lanjut usia menjadi salah satu hal
yang perlu dilakukan karena melalui kegiatan tersebut banyak
manfaat yang dapat diperoleh lanjut usia, diantaranya mereka dapat
berkumpul dengan sesama sehingga rasa kesepian, tidak berguna,
dan kurangnya aktivitas sedikit demi sedikit dapat dihilangkan dari
55 juga turut menghilangkan pension-stress atau post power syndrome
yang biasanya dirasakan oleh lanjut usia yang sudah berhenti
bekerja karena pensiun, selain itu juga berperan mengembangkan
kreativitas dan inisiatif para lanjut usia sehingga mereka dapat
mengembangkan aktivitas baik sosial, ekonomi, maupun politik
(Suardiman, 2011: 27).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nindria Untarini
mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya.
Judul dari penelitian tersebut adalah Pemberdayaan Lanjut usia
Melalui Aktivitas Kognitif Dan Aktivitas Sosial Sebagai Upaya
Mengatasi Kondisi Fisik Dan Psikologis. Hasil dari penelitian
tersebut adalah pelbagai pelatihan yang berkaitan dengan aktivitas
kognitif dan sosial dapat meningkatkan mutu kehidupan lanjut
usia, membuat mereka lebih mandiri, sehat, dan berdaya guna. Juga
bisa mengurangi rasa sepi, jenuh, bosan, dan mengurangi
kepikunan, sebab otak yang selalu diasah dan digunakan untuk
berfikir akan berfungsi lebih baik. Artinya, kegiatan positif akan
membawa pengaruh positif juga (Untarini, Tt).
Selain memberikan pengaruh positif, pemberdayaan bagi
lanjut usia merupakan bentuk kepedulian serta fasilitas dari
pemerintah dan masyarakat. Memang jika dibandingkan dengan
negara maju fasilitas dari Pemerintah Indonesia untuk lanjut usia
56 pemberdayaan, seperti diadakannya program ASLUT (Asistensi
Sosial Lanjut Usia), UEP (Unit Ekonomi Produktif), Home Care,
Day Care, Bantuan Sosial melalui LKS Lanjut Usia (Lembaga
Kesejahteraan Sosial), Bedah Kamar Lanjut Usia, dan lain-lain.
Semua program tersebut berasal dari Kementerian Sosial RI yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, meningkatkan
kesejahteraan, dan memberdayakan lanjut usia Indonesia.
Keterbatasan fasilitas dari pemerintah untuk lanjut usia Indonesia
bukan berarti mereka hanya bisa pasif dan tidak berdaya. Sekarang
ini banyak bermunculan upaya untuk memberdayakan lanjut usia
baik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun pihak
swasta, ini menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap
lanjut usia. Pelbagai kegiatan pemberdayaan tersebut diantaranya
Rumah Sehat Lanjut Usia, Posyandu Lanjut Usia, Posdaya, dan
lain-lain.
Perkembangan posdaya bisa dibilang cukup signifikan
dan paling menonjol jika dibandingkan dengan program
pemberdayaan yang lain, karena dalam waktu kurang dari 2 tahun
sejak diresmikan, konsep Posdaya telah mendapatkan sambutan
yang luar biasa serta diterima diberbagai tingkatan dan daerah
sebagai suatu gagasan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di akar rumput. Pada 2008 lebih dari 600 Posdaya
57 Kabupaten/ Kota yang tersebar di 12 Provinsi. Terlebih lagi banyak
permintaan dari masyarakat khususnya Pemerintah Daerah untuk
mendapatkan sosialisasi tentang Posdaya (Suyono, 2009: 1).
Dipelbagai tempat kegiatan posdaya juga terbukti memberikan
sumbangan yang positif bagi masyarakat, salah satunya yaitu
Posdaya Edelwys di Pedukuhan Serut Palbapang, Bantul.
Berdasarkan penelitian dari Sofyan Tri Untoro, mahasiswa
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga dengan judul Peran Pos Pemberdayaan Keluarga
(POSDAYA) Edelwys Dalam Menangani Ketahanan Pangan Di
Pedukuhan Serut Palbapang Bantul D.I.Y. Hasil dari penelitian
tersebut adalah adanya peningkatan produksi pangan di Pedukuhan
Serut Palbapang setelah adanya Posdaya. Hasilnya yaitu pada 2012
(410.000 ton), 2013 (422.000 ton), dan 2014 (433.000 ton).
Adanya peningkatan tersebut merupakan tolok ukur keberhasilan
yang dilakukan Posdaya Edelwys (Untoro, 2015).
Posdaya Edelwys selain memberikan sumbangan positif
dalam hal ketahanan pangan juga membantu meningkatkan
kesehatan masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan penelitian
dari Majid Muhammad, mahasiswa Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga dengan judul
Peran Posdaya Edelwys Dalam Pemberdayaan Kesehatan
58 dari penelitian tersebut adalah masyarakat Pedukuhan Serut
memiliki tambahan pengetahuan mengenai kesehatan, adanya
kemandirian dan partisipasi warga dalam pemberdayaan kesehatan
(Muhammad, 2014). Dari kedua hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa posdaya yang ada di masyarakat sudah
memberikan kontribusi yang positif.
b. Program Pemberdayaan Lanjut Usia
Kepedulian terhadap lanjut usia merupakan
tanggungjawab bersama, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dari
pelbagai pihak, mulai dari pemerintah sampai masyarakat.
Sekarang ini sudah terdapat banyak jenis pemberdayaan baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Berikut ini adalah
pelbagai macam pemberdayaan bagi lanjut usia:
1) Program Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT)
Program ASLUT merupakan salah satu program pusat
dari Kementerian Sosial RI yang telah dilaksanakan sejak tahun
2006 hingga sekarang dan ada di semua provinsi. Namun di
tahun 2006 sampai 2011 program ini bernama JSLU (Jaminan
Sosial Lanjut Usia) dan berganti nama menjadi ASLUT pada
tahun 2012 (Kementerian Sosial RI, 2014: 3). Program ini
bertujuan untuk membimbing, mendampingi, dan mengarahkan
lanjut usia, sehingga diharapkan lanjut usia terdampingi dalam