• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar AlamPangandaran Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar AlamPangandaran Jawa Barat"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG

DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN

JAWA BARAT

YOHAN HENDRATMOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat“ adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

(3)

ABSTRACT

YOHAN HENDRATMOKO. Study of Cohabitation Long-tailed Macaque and Silver Leaf Monkey in Pangandaran Nature Reserve, West Java. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and YANTO SANTOSA.

This study searched degree of space utilization and dietary overlap between long-tailed macaque (Macaca fascicularis) and silver leaf monkey (Trachypithecus

auratus) was conducted in Pangandaran Nature Reserve (PNR). The aim of the study

is 1). to estimate the niche overlap in space utilization between long-tailed macaque and silver leaf monkey and, 2). to estimate the degree of dietary overlap between long-tailed macaque and silver leaf monkey. This research also evaluated food-niche differentiation among these cohabiting primates and how niche separation influence interspecific relationships.

Collecting data was conducted by using focal animal sampling based on sex and age structure. Field data was collected from January to April 2009 by direct observation. Tools used in research consisted of digital map of PNR, binoculars, digital camera, phi-ban, hagameter, GPS receiver, stopwatch, and tallysheet.

This research found that cohabiting primates’ home range overlap is 54,10% and vertical stratification overlap is 17,38% with Simplified Morista’s Index 0,58. Moreover, this research found that dietary overlap between them is 48,45% with Simplified Morista’s Index 0,47.

(4)

YOHAN HENDRATMOKO.Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan YANTO SANTOSA.

Informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar. Studi primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung. Penelitian ini bertujuan untuk 1). mengkaji besarnya tumpang tindih penggunaan ruang dan, 2). mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan jenis tumbuhan pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran (CAP).

Penelitian yang berlangsung dari Bulan Januari sampai dengan Bulan April 2009 ini juga menyajikan derajat asosiasi interspesifik antara monyet ekor panjang dengan lutung berdasarkan Indeks Jaccard. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara terstruktur dengan petugas lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu focal animal sampling pada 28 individu dalam 4 koloni monyet ekor panjang dan 22 individu dalam 4 koloni lutung di CAP. Unit contoh penelitian ini adalah pohon yang digunakan oleh monyet ekor panjang, lutung dan digunakan oleh keduanya. Alat dan bahan yang digunakan antara lain peta CAP, 1 buah kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah hagameter, 1 buah GPSreceiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buahphi ban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol alkohol 70%, kertas koran, sasak, 1 buah gunting, label gantung, alat tulis,tally sheet, bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak Arcview 3.3 dan SPSS

16.0for Windows.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kohabitasi antara monyet ekor panjang dengan lutung dengan tumpang tindih wilayah jelajah sebesar 54,10% dan tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal yaitu 17,38% dengan Indeks Morisita sebesar 0,58. Terdapat kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan yaitu 48,45% dengan Indeks Morisita sebesar 0,47.

Kata kunci : Kohabitasi, relung, monyet ekor panjang, lutung, Cagar Alam

(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN

JAWA BARAT

YOHAN HENDRATMOKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Penelitian : Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat

Nama : Yohan Hendratmoko

NRP : E351070101

Mayor : Konservasi Biodiversitas Tropika

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA

NIP. 196602211991031001 NIP. 131430800

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan

Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof.Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

NIP. 194802081980011001 NIP. 195604041980111002

(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat” ini. Penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada tesis ini diuraikan tentang besarnya tumpang tindih penggunaan ruang baik secara vertikal maupun horizontal dan kesamaan pemanfaatan spesies tumbuhan pakan monyet ekor panjang dengan lutung di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat. Selain itu disajikan pula perbedaan relung dan pengaruh pemisahan relung terhadap asosiasi interspesifik diantara kedua primata yang berkohabitasi tersebut.

Selanjutnya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Departemen Kehutanan atas ijin dan beasiswanya. Untuk teman seperjuangan (Andi, Pak Aswan, Dewi, Glen, Imanudin, Bu Meri, Bu Rosa, Tedi, Toto dan Bu Yayuk) terima kasih atas guyonan dan kelakarnya. Semoga potongan-potongan puzzle yang telah kita susun bersama menjadi sebuahmozaikyang apik dan harmonis dalam ikatan keluarga besar Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Angkatan I. Kepada Pak Sopwan, Bu Irma dan Pak Ismail terima kasih untuk bantuannya serta untuk Bi Uum terima kasih atas segelas kopinya yang menyegarkan.

Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih kepada Babe “Ketua Panti Asuhan” sekeluarga di Pangandaran yang telah sudi menampung penulis selama pengambilan data lapangan. Kepada teman-teman di Resort Pangandaran (Pak Yana, Pak Syamsudin, Pak Asep Wawan, Pak Kusnadi, Pak Rahmat, Mas Yudi dan Mas Encek) terima kasih atas persahabatannya, kapan FC lagi?. Untuk Pak Kusai terima kasih banyak telah setia mendampingi penulis “menggembala” monyet ekor panjang dan lutung.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi dan Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA atas waktu, masukan, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan tesis ini.

(10)

sederhana dalam sebuah perbedaan. Kepada orang tuaku tercinta Bapak Haryandoko (Alm) dan Ibu Kas Setyanah serta adik-adik tersayang, terima kasih banyak atas dukungan dan doa yang selalu diberikan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2009

Penulis,

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1978 di Desa Piyono, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Haryandoko (Alm) dan Ibu Kas Setyanah. Pada tahun 1990 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Piyono-Purworejo, tahun 1993 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Grabag-Purworejo. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri I Purworejo dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Gadjah Mada. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2001.

Sejak tahun 2002 sampai sekarang penulis bekerja di Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Pada tahun 2007 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika.

(12)

(i)

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

D. Kerangka Pemikiran ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Taksonomi dan Morfologi ... 6

B. Habitat ... 8

C. Penyebaran ... 10

D. Teritori dan Wilayah Jelajah ... 12

E. Pakan ... 13

F. Perilaku dan Kohabitasi ... 16

III. KONDISI UMUM WILAYAH ... 21

A. Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan ... 21

B. Kondisi Fisik Kawasan ... 22

1. Topografi ... 22

2. Geologi dan Tanah ... 22

3. Iklim ... 23

4. Hidrologi ... 23

5. Aksesibilitas ... 23

C. Ekosistem dan Kondisi Biologis Kawasan ... 24

1. Ekosistem ... 24

2. Kondisi Biologis ... 24

IV. METODE PENELITIAN ... 26

A. Lokasi dan Waktu ... 26

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 26

C. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 26

D. Metode Pengumpulan Data ... 26

1. Penggunaan Ruang ... 27

2. Tumbuhan Sumber Pakan ... 28

3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi ... 28

E. Analisis Data ... 29

1. Penggunaan Ruang ... 29

2. Derajat Asosiasi dan Tumpang Tindih Relung ... 30

(13)

(ii)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Penggunaan Ruang ... 32

1. Penggunaan Ruang secara Horizontal ... 32

2. Penggunaan Ruang secara Vertikal ... 40

3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi ... 61

B. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan... 63

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(14)

(iii)

No Halaman

1. Luas wilayah jelajah setiap koloni monyet ekor panjang di CAP... 33

2. Ukuran populasi masing-masing koloni monyet ekor panjang ... 33

3. Luas wilayah jelajah setiap koloni lutung di CAP... 36

4. Ukuran populasi masing-masing koloni lutung ... 37

5. Luas tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung... 39

6. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang pada pohon berdasarkan frekuensi... 46

7. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang pada pohon ... 47

8. Posisi ketinggian aktivitas harian lutung pada pohon berdasarkan frekuensi... 55

9. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas lutung pada pohon ... 55

10. Pengasuhan bersama anak lutung dalam koloni... 60

11. Persentase posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung pada strata tajuk berdasarkan frekuensi... 60

12. Rata-rata peubah pohon bersama antara monyet ekor panjang dengan lutung ... 63

13. Persentase bentuk tajuk dan keberadaan pakan pohon yang digunakan antara monyet ekor panjang dengan lutung... 64

(15)

(iv)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Morfologi monyet ekor panjang ... 6

2. Morfologi lutung ... 7

3. Peta sebaran lutung di Pulau Jawa ... 11

4. Peta CA-TWA Pangandaran ... 21

5. Peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang... 35

6. Peta wilayah jelajah koloni lutung... 38

7. Peta tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung ... 40

8. Persentase penggunaan pohon untuk beraktivitas monyet ekor panjang... 42

9. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Cihaur berdasarkan kelas umur... 43

10. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Goa Cirengganis berdasarkan kelas umur... 43

11. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir Putih Utara berdasarkan kelas umur... 44

12. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir Putih Selatan berdasarkan kelas umur ... 45

13. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang berdasarkan koloni ... 46

14. Aktivitas sosial monyet ekor panjang ... 48

15. Lutung istirahat ... 48

16. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang ... 49

17. Monyet minum air sungai ... 50

18. Monyet menggendong anak... 50

19. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian monyet ekor panjang berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin ... 50

20. Persentase penggunaan pohon untuk beraktivitas lutung... 51

21. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Cihaur berdasarkan kelas umur... 52

22. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung koloni Goa Cirengganis berdasarkan kelas umur... 52

(16)

(v)

Selatan berdasarkan kelas umur ... 54

25. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian lutung berdasarkan koloni... 54

26. Lutung makan daun kopeng... 57

27. Lutung istirahat ... 57

28. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian lutung ... 58

29. Rata-rata persentase waktu aktivitas harian lutung berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin ... 59

30. Pengasuhan bersama anak lutung... 59

31. Kiara karet digunakan lutung bersama monyet ekor panjang ... 64

32. Kipapeteh digunakan lutung bersama monyet ekor panjang... 64

33. Buah kikores ... 65

34. Buah tangoli... 65

35. Monyet makan bunga dan buah laban... 67

36. Buah jejerukan ... 67

37. Aktivitas gerak dan istirahat lutung di tanah... 69

38. Pengambilan data analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung... 69

39. Daun dan pucuk kondang... 70

40. Buah kimokla... 70

41. Pohon ketapang tertekan ... 73

(17)

(vi)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Analisis vegetasi wilayah jelajah monyet ekor panjang ... 86 2. Analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung …………... 88 3. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang

dengan lutung pada pohon... 91 4. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan makan

pada monyet ekor panjang... 92 5. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan makan

pada monyet ekor panjang... 93 6. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan sosial

pada monyet ekor panjang... 94 7. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan istirahat

pada monyet ekor panjang... 95 8. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan sosial

pada monyet ekor panjang... 96 9. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas istirahat dengan sosial

pada monyet ekor panjang... 97 10. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan makan

pada lutung... 98 11. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan istirahat

pada lutung... 99 12. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas gerak dengan sosial

pada lutung... 100 13. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan istirahat

pada lutung... 101 14. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas makan dengan sosial

pada lutung... 102 15. Analisis beda rata-rata posisi ketinggian aktivitas istirahat dengan sosial

pada lutung... 103 16. Analisis vegetasi pada daerah tumpang tindih wilayah jelajah monyet

ekor panjang dengan lutung... 104 17. Penghitungan tumpang tindih posisi ketinggian aktivitas monyet ekor

panjang dan lutung pada pohon... 107 18. Daftar spesies tumbuhan pakan monyet ekor panjang dan lutung... 109 19. Penghitungan kesamaan tumbuhan pakan antara monyet ekor panjang

(18)

(vii)

21. Analisis vegetasi tingkat semai kawasan Cagar Alam Pangandaran... 122

22. Analisis vegetasi tingkat pancang kawasan Cagar Alam Pangandaran... 124

23. Analisis vegetasi tingkat tiang kawasan Cagar Alam Pangandaran ... 126

24. Analisis vegetasi tingkat pohon kawasan Cagar Alam Pangandaran... 127

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nilai yang terkandung pada ekologi satwaliar adalah pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam suatu komunitas. Teori relung menyatakan bahwa spesies yang berkohabitasi beradaptasi untuk menghindari atau mengurangi persaingan interspesifik dalam memanfaatkan sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Akan tetapi hal tersebut masih sulit dipelajari, misalnya mekanisme pembagian sumberdaya dan bagaimana pengaruh persaingan interspesifik terhadap relung suatu spesies (Walter 1991). Meskipun sulit, ketertarikan pada teori relung mendorong banyaknya penelitian tentang bagaimana perbedaan eksploitasi sumberdaya dalam

suatu komunitas oleh spesies-spesies berkohabitasi. Spesies-spesies yang

berkohabitasi membagi sumberdaya seperti dalam bentuk perbedaan pemanfaatan ruang dalam habitat (Vrcibradic & Rocha 1996), metode pencarian pakan (Slater 1994), pemilihan pakan (Luiselliet al. 1998), dan pola aktivitas (Wright 1989).

Primata adalah subyek penting dalam mempelajari relung karena kemudahan dalam mengumpulkan data perilaku makan dan strategi pencarian pakan secara detail dan lama. Studi tentang primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung (Ungar 1995). Spesies primata membedakan pakannya seperti frugifory dan folyvory (Clutton-Brock & Harvey 1977), namun sering juga perbedaan pakan karena alasan lainnya. Sebagai contoh, buah-buahan dipilih primata berdasarkan kemasakannya, ukuran, keasaman dan komposisi kimiawinya (Ungar 1995). Selain itu ukuran tubuh juga menjadi faktor penting dalam pemilihan pakan (Kay 1984)

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Trachypithecus

auratus) adalah spesies yang berkohabitasi di Cagar Alam dan Taman Wisata

(20)

sedikit (Connell 1983). Oleh karena itu penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung di CAP sangat penting dilakukan. Data dan informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar (Singh et al. 2000) dan pengelolaan

kawasan konservasi secara menyeluruh (integrated). Pengelolaan kawasan

konservasi secara menyeluruh lebih menguntungkan daripada pengelolaan secara parsial, diantaranya yaitu keuntungan secara ekologi, ekonomi dan manajemen (Forsythet al.2000).

B. Tujuan

Penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP, Jawa Barat bertujuan untuk:

a) Menduga besarnya tumpang tindih penggunaan ruang antara monyet ekor panjang dengan lutung,

b) Menduga tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengelolaan kawasan konservasi CA TWA Pangandaran dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk :

a). Pembinaan habitat monyet ekor panjang dan lutung,

b). Perancangan pengelolaan kawasan konservasi CA dan TWA Pangandaran untuk melestarikan spesies dan populasi berbagai jenis satwaliar.

D. Kerangka Pemikiran

(21)

3

Kohabitasi yang berlangsung lama akan menimbulkan terjadinya proses seleksi alami yang mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas. Akibat selanjutnya adalah terjadinya pemisahan relung (Pianka 1988). Kohabitasi memaksa spesies beradaptasi terhadap lingkungannya untuk mengurangi atau menghindari persaingan interspesifik pada sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan peran fungsional pada komunitas, serta posisi di dalam gradien suhu, kelembaban, pH, tanah dan keadaan lainnya disebut relung ekologi (Odum 1971). Grinnell (1928) menyatakan bahwa tidak mungkin dua spesies yang hidup bersama pada suatu habitat dapat menempati relung ekologi yang identik dalam waktu yang lama. Fleagle (1978) menyatakan bahwa relung ekologi kebanyakan merupakan pemanfaatan mikrohabitat oleh suatu spesies yang disebut relung ruang (spatial

niche). Studi tentang ekologi satwaliar dipandang penting karena membandingkan

segala hal yang berhubungan dengan makanan dan perilaku spesies yang berkohabitasi pada kondisi lingkungan yang mirip (Porter 2001).

Penelitian ini berusaha mengukur besarnya tumpang tindih penggunaan ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung. Kohabitasi menyebabkan kedua primata ini akan menghindari persaingan atau meningkatkan efisiensi pada area tumpang tindih penggunaan ruang dan kesamaan tumbuhan sumber pakan dengan cara segregasi relung. Pada kasus ini, pemisahan relung dapat menurunkan tingkat kompetisi dan meningkatkan kesempatan kedua primata yang berkohabitasi ini untuk memanfaatkan area tumpang tindih wilayah jelajah tersebut (Garcia & Arroyo 2005).

Sumberdaya yang terbatas mendorong kedua primata yang berkohabitasi ini bergantian untuk memanfaatkannya secara efektif dan efisien. Oleh karena itu untuk pemanfaatan sumberdaya oleh kedua primata ini maka dilakukan

pengamatan langsung dengan metode focal animal sampling. Metode ini

(22)
(23)

13

Taman Nasional Alas Purwo pada Resor Rowobendo adalah 27,71 ha, Trianggulasi 23,64 ha dan Pura Giri Salaka 20,84 ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP relatif lebih kecil.

2. Lutung

Luas wilayah jelajah lutung di TWAP adalah 4,7–8,8 ha (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa 1992) sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002), luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2,78–6,67 ha atau rata-rata 3,46 ha. Berdasarkan hal tersebut maka luas wilayah jelajah lutung di TWAP mengalami penurunan. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah jelajah lutung di kawasan hutan jati Jawa Tengah sebesar 32-43 ha (Djuwantoko 1994) maka luas wilayah jelajah lutung tersebut sangatlah kecil.

E. Pakan

Primata membedakan pakannya dalam secara luas seperti frugivory dan folivory (Cluton Brock & Harvey 1977) namun sering kali lebih detil. Sebagai contoh buah-buahan mungkin dipilih sebagai pakan karena tingkat kemasak-kannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi (Ungar 1995), ukuran butiran dan penyebarannya (Peres 1996). Ukuran tubuh juga menjadi faktor utama dalam pemilihan pakan. Satwa bertubuh kecil yang membutuhkan pakan berenergi tinggi cenderung lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa yang bertubuh besar yang memerlukan pakan berenergi rendah cenderung memakan dedaunan (Kay 1984).

1. Monyet Ekor Panjang

Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivora daripada lutung. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & Mc Neely 1977). Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea

mays). Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa

yang bersifat frugivore–omnivore karena memakan buah Sonneratia spp. dan

(24)

Menurut Lucas & Corlett (1998), monyet ekor panjang dapat membantu penyebaran biji tumbuhan tetapi tergantung dari morfologi biji dan buah itu sendiri. Buah yang berdaging dengan lebar biji sekitar 3-4 mm akan tertelan, karena mulutnya tidak dapat merasakan biji tersebut. Biji yang tercampur dengan dagingnya akan dikunyah dan dimuntahkan setelah bersih. Daun yang umum dimakan oleh monyet ekor panjang di Suaka Alam Bukit Timah Singapura adalah

Moraceae (Artocarpus elasticus, Ficus spp. dan Streblus elongatus),

Anacardiaceae (Gluta walichii), Polygalaceae (Xantophyllum maingayi), Rubiaceae (Urophyllum spp.) dan Symplococaceae (Symplocos fasciculata).

Jenis tumbuhan yang tergolong sering dimakan oleh monyet ekor panjang di

Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum), songgom (Melanorhoea

walichii), butun (Barringtonia asiatica), waru (Hibiscus tiliaceus), jambu

klampok (Eugenia cymosa), ketapang (Terminalia catapa), kiampelas (Ficus

ampelas), kopeng (Ficus variegata) dan kiara (Ficus glomerata). Dari jenis-jenis

tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Barringtonia asiatica), sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang (Santosa 1996). Menurut Yeager (1976), urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun dan bunga.

Jenis pohon yang sering dimakan buahnya oleh monyet ekor panjang adalah

Ganua molucana, Diospyros maingayi, Licania splendes, Eugenia sp. dan

Lophopetalum javanicum dengan total konsumsi sekitar 86%, kemudian sebagai

(25)

15

2. Lutung

Jenis pakan lutung terdiri dari 66 jenis tumbuhan, 50% daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga (Supriatna & Hendras 2000). Pakan lutung di CAP 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5– 27% buah mentah dan 10–12% buah masak. Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993).

Menurut Kool (1992, 1993) separuh pakan sub spesiesT. auratus sondaicus terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati (Tectona

grandis) merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka.

Bebuahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Menurut Goltenboth (1976)

dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar

keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Kool (1993), spesies

tumbuhan penting sumber pakan lutung di CAP adalah Ficus sinuata, Ficus

sumatrana dan Vitex pinnata. Namun demikian di CAP wisatawan sering

memberikan pakan yang tidak semestinya pada lutung (Watanabeet al. 1996). Pada komunitas dimana terdapat spesies yang berkohabitasi, seperti monyet ekor panjang dan lutung di CAP, maka terjadi persaingan yang intensif untuk mendapatkan pakan. Seleksi alami mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas dan pada akhirnya terjadi pemisahan relung (Pianka 1988)

Pada beberapa primata, persaingan intraspesifik dalam mencari pakan berkembang dengan bertambahnya ukuran kelompok melalui persaingan campur tangan/gangguan (Isbell 1991). Terdapat sedikit data yang tersedia tentang pengaruh persaingan eksploitasi pada spesies yang berkohabitasi (Connell 1981). Teori relung memprediksi bahwa persaingan makan akan mencapai titik tertinggi pada saat makanan kurang dan spesies primata juga akan menunjukkan banyaknya jenis pakan yang berbeda selama periode ini (Schoener 1974).

(26)

gerak (Clutton-Brock & Harvey 1977), namun pada Callimico goeldii, Saguinus

fuscicollis dan S. labiatusmengungkapkan bahwa perbedaan anatomi

menyebab-kan perbedaan dalam adaptasi pencarian mamenyebab-kan yang ditunjukmenyebab-kan dalam jenis pakannya (Fleagle et al. 1997). Perbedaan morfologis tangan diantara spesies callitrichine direfleksikan dalam bentuk perbedaan strategi dalam pencarian pakan (Bicca-Marques 1999).

F. Perilaku dan Kohabitasi

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978).

Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdayahabitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial.

(27)

17

kelompok. Aldrich-Blake (1980) menyatakan bahwa monyet ekor panjang adalah primata pemakan buah, sering berada di tajuk pohon, hidup berkelompok dan menguasai suatu daerah kecil dekat sungai pada ketinggian kurang dari 300 mdpl. Jumlah individu dalam koloni monyet ekor panjang yaitu 29 ekor (Rowe 1996) sedangkan menurut Sularso (2004) yaitu 39 ekor.

Sistem perkawinan/kekerabatan pada primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi, dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Membandingkan dua spesies yang secara ekologi mirip namun berbeda ukuran tubuh dan perilaku sosialnya sangat membantu untuk mengetahui pengaruh kebutuhan energi atau dominasi dalam strategi pencarian dan pembagian pakan (Fedrianiet al. 2000). Sistem hierarki dan teritorialisme pada primata menyebabkan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). Pada komunitas dimana satwa berkohabitasi maka terjadi interaksi diantaranya (sympatric).Sympatricadalah keadaan dimana suatu populasi spesies bertemu dan mengalami tumpang tindih (overlap) daerah jelajahnya (Caughley 1984). Tumpang tindih dapat terjadi interaksi ruang, waktu dan sumberdaya dalam suatu habitat. Sebagai contoh adalah interaksi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP.

Mekanisme koeksistensi spesies menjadi isu utama dalam ekologi

komunitas (Begon et al. 1990). Koeksistensi spesies ini diharapkan dapat

(28)

sumberdaya yang sama dan terbatas (Basset 1995). Berdasarkan teori pencarian pakan optimal, Brown (1989) melakukan pendekatan dengan menguji dua spesies yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dan terbatas akhirnya mengetahui bagaimana mekanisme koeksistensi terjadi. Hal tersebut memperkuat pendapat Martin (1986) yang menyatakan bahwa perbedaan pemanfaatan sumberdayaoleh spesies yang berkoeksistensi merupakan refleksi yang berbeda dalam sejarah evolusi. Pada spesies yang berkohabitasi mungkin juga tidak terjadi asosiasi pada skala temporal sehingga tidak terjadi koeksistensi (Kronfeld-Schor & Dayan 2003). Pemisahan relung secara temporal terjadi pada skala diurnal dimana pemisahan puncak aktivitas spesies pesaing pada waktu yang berbeda dalam satu hari (Gutman & Dayan 2005). Pemisahan relung temporal tersebut dapat menyebabkan pemisahan relung antar spesies yang membutuhkan habitat mirip, meskipun hal tersebut secara sejarah kurang mendapat perhatian daripada pemisahan habitat atau preferensi pakan (Schoener 1974).

Salah satu teori relung menyatakan bahwa ketika dua atau lebih spesies yang berkohabitasi, dalam memanfaatkan habitat dan pakan serta mempengaruhi struktur komunitas tidak akan mutlak mirip/sama (Diamond 1978). Pemilihan relung adalah pemanfaatan suatu habitat yang tidak dikuasai oleh pesaing interspesiknya (Boughman et al. 2005). Misalnya, penggunaan ruang secara vertikal pada satwa yang berkohabitasi berupa pembagian strata tajuk dalam beraktivitas disebabkan karena agresivitas salah satu atau lebih spesies tersebut (Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000). Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut pada kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung pada kawasan konservasi CAP.

(29)

19

biotik yang sama, dan c). salah satu atau kedua spesies memiliki afinitas terhadap yang lainnya, baik atraksi maupun repulsi (Ludwig & Reynold 1988).

Asosiasi tersebut bisa bersifat menguntungkan, merugikan atau tidak berpengaruh bagi anggotanya. Keeratan hubungan spesies yang terdapat secara bersama-sama dalam suatu komunitas disebut kohabitasi spesies. Kohabitasi spesies dalam suatu habitat menggunakan sumberdayayang ada secara bersama dan terdapat beberapa kesamaan. Nilai ukuran kesamaan penggunaan sumberdayaoleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan

(resemblance function) adalah ukuran kesamaan atau ketidaksamaan antar unit

contoh dalam kaitannya dengan komposisi spesies atau antar spesies dalam penggunaan sumberdaya (Krebs 1989).

Faktor utama yang dapat mempengaruhi hubungan tropis interspesifik spesies dan potensi pembagian sumberdayapakan antara lain kelimpahan pakan, ukuran tubuh, dan sistem perkawinan/kekerabatannya (misalnya pada perilaku

teritorial). Kelimpahan pakan berkaitan langsung dengan kemampuan

menghabiskan dan tingkat persaingan eksploitasi antar individu. Kemudian berkurangnya kesamaan relung pakan terjadi apabila sumberdaya berkurang dan dibutuhkan pengorbanan yang lebih besar (May 1973). Ukuran tubuh berpengaruh pada kekuatan masing-masing spesies. Ukuran tubuh yang besar bermanfaat dalam melawan pesaing interspesifiknya (Shelley et al. 2004) tetapi juga menjadi kelemahan ketika sumberdaya pakan terpatas, karena tubuh yang besar memerlukan pakan yang lebih banyak (Julien-Laferriere 1999). Oleh karena itu maka pembagian pakan berdasarkan ukuran tubuh mangsa mungkin saja terjadi pada spesies yang berbeda ukuran tubuh, dimana diharapkan semakin besar ukuran pakan semakin besar pula ukuran tubuh predatornya (Martiet al.1993).

(30)
(31)

 

 

 

BAB

 

II

 

TINJAUAN

 

PUSTAKA

 

(32)

A. Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan

Kawasan Cagar Alam Pangandaran (CAP) menyatu dengan Taman Wisata Alam Pangandaran (TWAP) merupakan semenanjung kecil yang terletak dipantai selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit antara dua teluk selebar±200 meter.

Gambar 4. Peta CA-TWA Pangandaran

Secara administratif pemerintahan CAP dan TWAP berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, sedangkan secara geografis kawasan CA dan TWAP terletak pada koordinat 108°39′05” - 108°40′48” Bujur Timur dan 7°42′03“ - 7°43′48” Lintang Selatan dengan sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangandaran, sebelah timur dengan Teluk Pangandaran, sebelah selatan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Parigi.

(33)

22

tahun 1934 dilakukan penunjukan kawasan Pananjung Pangandaran seluas 457 ha menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan GB No. 19 Stbl 669 yang dikeluarkan oleh Director Van Scomishe Zoken, tanggal 7 Desember 1934.

Pada tahun 1961 dilakukan perubahan status dari Suaka Margasatwa

menjadi CAP seluas ± 457 ha berdasarkan SK Mentan No.34/KMP/1961, tanggal

20 April 1961 dengan ditemukannya bunga Rafflesia padma. Pada tahun 1978

terjadi perubahan fungsi sebagian kawasan CAP menjadi TWA seluas 37,7 ha, sehingga luas CAP menjadi 419,3 ha, berdasarkan SK Mentan No. 170/Kpts/Um/1978 tanggal 10 Maret 1978. Pada tahun 1990 dilakukan Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar CA dan TWAP seluas 470 ha menjadi Cagar Alam Laut. Berdasarkan SK Menhut No.225/Kpts-II/1990 tanggal 8 Mei 1990 (BKSDA 2006).

B. Kondisi Fisik Kawasan 1. Topografi

Topografi kawasan CAP mulai dari landai sampai berbukit kecil dengan ketinggian tempat antara 0 sampai dengan 139 m dari permukaan laut. Keadaan fisiografi berbukit di temukan dibagian utara CAP, memanjang di sepanjang perbatasan wilayah tersebut mulai dari Ciborok (Barat) sampai Cirengganis (Timur), keadaan bukit tersebut dalam bentuk tonjolan–tonjolan batu karang terjal dan terpisah-pisah.

2. Geologi dan Tanah

Pembentukan Semenanjung Pangandaran bersamaan dengan terbentuknya dataran Pulau Jawa, yakni pada periode miocene. Kondisi ini ditandai dengan batuan breccia dan susunan kapur yang terdapat pada bagian pantai. Susunan miocene ini tertutup oleh karang dan endapan aluvial yang berasal dari laut, endapan tersebut terdiri dari pasir dan tanah yang kondisinya hampir menutupi seluruh areal pantai CAP.

(34)

aluvial terdapat di antara pantai sebelah utara semenanjung yang berbentuk karang-karang terjal.

3. Iklim

Kawasan CAP berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson termasuk ke dalam Type A dan mempunyai curah hujan rata–rata 3.196 mm/tahun dengan suhu berkisar 25°–30°C dan kelembaban udara antara 80–90%. Musim basah atau hujan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat/ barat laut, sedangkan musim kering terjadi pada bulan Juli sampai dengan September selama periode musim angin tenggara.

4. Hidrologi

Dalam Kawasan CAP terdapat 2 (dua) buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 500 m – 2 km. Sungai terbesar adalah Sungai Cikamal yang mempunyai muara di pantai barat dan Sungai Cirengganis yang bermuara di pantai timur. Selain itu dalam kawasan CAP juga terdapat air terjun.

5. Aksesibilitas

CAP relatif mudah dicapai lewat jalan raya dari beberapa kota, antara lain dari:

a) Jakarta (400 km) Bandung (223 km), Tasikmalaya (108 km) dan dari Ciamis (92 km) Jalan tersebut secara umum sudah memadai dan juga terdapat trayek angkutan, namun untuk kelancaran arus wisata perlu beberapa pengembangan. b) Cirebon (291 km) dengan rute: Cirebon – Kuningan – Panawangan – Kawali –

Ciamis – Banjar – Banjarsari – Pangandaran.

c) Jawa Tengah: Purwokerto/Cilacap – Majenang – Karang Pucung - Banjar – Banjarsari – Pangandaran atau Purwokerto/Cilacap – Karang Pucung – Sidareja – Kali Pucang – Pangandaran.

(35)

24

C. Ekosistem dan Kondisi Biologis Kawasan 1. Ekosistem

Kawasan CAP mempunyai beberapa tipe ekosistem, antara lain:

a). Ekosistem pantai didominasi oleh butun Barringtonia asiatica, ketapang

Terminalia cattapa, nyamplung Calophylum inophyllum, pandan Pandanus

tectorius.

b). Ekosistem hutan dataran rendah, didominasi oleh jenis labanVitex pubescens, kondang Ficus variegata, marong Cratoxylon formosum, kisegel Dilenia

excelsa.

c). Ekosistem hutan tamanan, didominasi oleh jati Tectona grandis dan mahoni

Swietenia macrophyla.

2. Kondisi Biologis Kawasan a. Keanekaragaman Flora

Lebih dari 642 jenis tumbuhan hidup di dalam kawasan CAP dari berbagai tingkatan pohon, herba, perdu, tumbuhan bawah, liana, epifit, dan 80 jenis diantaranya merupakan jenis tumbuhan obat. Jenis flora yang terdapat di kawasan CAP antara lain kelompok pohon sebanyak 249 species, perdu 71 species, liana 65 species dan semak 193 species. Terdapat 53 species jenis rumput yang tersebar

hampir diseluruh kawasan terutama mendominasi ketiga lapangan

penggembalaan. Epifit terdapat sebanyak 26 species dan parasit berjumlah 10 species (BKSDA 2006).

Tumbuhan yang paling mendominasi kawasan CAP dan merupakan hutan tanaman yaitu jenisT. grandisdan mahoniS. macrophyllamencapai luas ± 20 ha. Hampir± 30 % dari seluruh kawasan CAP ditutupi oleh hutan sekunder tua yang didominasi oleh V. pubescens, D. excelsa dan C. formosum. Selebihnya terdiri dari hutan primer yang didominasi oleh jenis popohan Buchanania arborescens,

F. variegata, kokosan monyetDysoxylum caulaostachyum(BKSDA 2006).

b. Keanekaragaman Fauna

(36)

perlindungan. Jenis-jenis fauna tersebut yaitu: kelompok mamalia sebanyak 30 jenis, amphybia sebanyak 5 jenis, reptilia sebanyak 16 jenis dan aves sebanyak 99 jenis (BKSDA 2006).

Beberapa satwa yang dapat dijumpai di CAP antara lain kelompok mamalia seperti banteng Bos javanicus, rusa Cervus timorensis, mencek Muntiacus

muntjak, trenggeling Manis javanica, lutung Trachypithecus auratus, monyet

ekor panjang Macaca fascicularis, tando Cynocephalus variegatus, jelarang

Ratufa bicolor. Kelompok aves antara lain kangkareng Antracoceros convexus,

ayam hutan Gallus gallus varius, tulung tumpuk Megalaima lineata. Sedangkan kelompok reptilia antara lain biawak dan berbagai jenis ular (BKSDA 2006).

c. Keunikan

Salah satu jenis flora langka dan juga dapat dikatakan unik yang hidup di CAP adalah bunga raflesia Rafflesia padma. Bunga ini pertama kali ditemukan di CAP oleh Mr. Apelman pada tahun 1939. Penemuan bunga ini telah mengubah status kawasan konservasi dari Suaka Margasatwa menjadi Cagar Alam pada tahun 1961.

R. padma merupakan tumbuhan bersifat endemik parasit sejati pada

tumbuhan liana kibalera Tetrastigma lanceolairu. Oleh karena itu cara yang

paling mudah untuk menemukan kuncup R. padma adalah dengan mencari

tumbuhan inangnya terlebih dahulu. Pada kawasan CAP bunga raflesia ini dapat ditemukan sekitar air terjun dan sekitar Pantai Pasir Putih

(37)

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini berlangsung di CAP pada koordinat 108o

39’05”-108o40’12”BT, 7o42’03”–7o42’36”LS, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dengan pengumpulan data lapangan dilakukan Januari - April 2009 bertepatan dengan pergantian musim penghujan ke musim kemarau.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta CAP, 1 buah kompasShunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah hagameter, 1 buah GPS receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buahphi ban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol alkohol 70%, kertas koran, sasak, 1 buah gunting, label gantung, alat tulis, tally sheet, bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak ArcView 3.3 dan SPSS 16.0for Windowsserta komputer.

C. Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa:

1. Data penggunaan ruang secara vertikal 2. Data penggunaan ruang secara horizontal

3. Karakteristik pohon yang menjadi media penggunaan sumberdaya 4. Daftar tumbuhan sumber pakan monyet ekor panjang dan lutung

Data sekunder berupa : peta digital CAP, daftar jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pakan daritext book, skripsi, tesis, desertasi, jurnal dan laporan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan pengelola kawasan dan studi literatur seperti text book (Ecological Methodology, Principles of Wildlife

Management, Fundamental of Ecology dan lain-lain), data hasil penelitian

(38)

Journal of Primatology, Primatology Today,International Journal of Primatology dan lain-lain).

Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung

(observational approach) di lapangan. Data primer penelitian ini diperoleh dari

hasil observasi semua unit contoh (sampling unit) pada kawasan CAP. Unit contoh untuk penggunaan ruang dan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan adalah pohon yang digunakan monyet ekor panjang yaitu 581 batang, lutung 773 batang dan 77 batang pohon digunakan monyet ekor panjang bersama lutung.

Pengamatan aktivitas satwa menggunakan metode focal animal sampling. Unit contoh pengamatan aktivitas satwa yaitu individu satwa, baik monyet ekor panjang atau lutung, yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin. Data primer yang dikumpulkan meliputi :

1. Penggunaan Ruang

Sebaran spasial yang diperhatikan dalam penelitian ini mencakup penggunaan ruang secara vertikal dan horizontal. Data penggunaan ruang secara vertikal dikumpulkan dengan cara mengukur posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dan lutung pada pohon saat sendirian dan berada secara bersamaan. Pengamatan satwa dilakukan dengan metodefocal animal samplingyaitu pada 4 (empat) koloni monyet ekor panjang yang terdiri atas 28 individu dan 4 (empat) koloni lutung yang terdiri atas 22 individu sesuai dengan kelas umur dan jenis kelamin. Total waktu pengamatan 646,17 jam yang terdiri atas pengamatan monyet ekor panjang selama 360,17 jam dan pengamatan lutung selama 286 jam.

Data yang dikumpulkan meliputi waktu pengambilan data, identitas satwa, posisi ketinggian satwa (m), lama aktivitas (menit), dan peubah pohon

1) Waktu pengumpulan data meliputi hari, tanggal dan kondisi cuaca.

2) Identitas satwa meliputi spesies obyek pengamatan, kelas umur dan jenis kelamin antara lain Anak (A), Muda Jantan (MJ), Muda Betina (MB), Dewasa Jantan (DJ), Dewasa Betina (DB), Tua Jantan (TJ) dan Tua Betina (TB). 3) Posisi ketinggian aktivitas satwa. Data posisi ketinggian aktivitas satwa

(39)

28

yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 18-30 meter, strata C yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 4-18 meter, strata D yaitu terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi 1-4 meter termasuk anakan pohon, palma, herba serta paku-pakuan dan strata E yaitu terdiri dari lapisan tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 meter (Soerianegara & Indrawan 2005).

4) Lama aktivitas. Aktivitas satwa terdiri dari aktivitas berpindah, makan, istirahat (Chiver & Raemakers 1980) dan sosial (social grooming/menelisik) (Chalmers 1980). Aktivitas berpindah meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon (Betrand 1969). Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Selanjutnya, aktivitas istirahat yang diamati meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Sedangkan aktivitas sosial yang diamati meliputi social grooming, kawin, bermain, berkelahi, belajar berkelahi dan belajar kawin.

Data penggunaan ruang secara horizontal dikumpulkan dengan cara mengambil titik koordinat wilayah jelajah monyet ekor panjang atau lutung

dengan menggunakan GPS reciever dalam WGS 84 UTM Zone 49S. Selain itu

juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang, lutung, daerah tumpang tindih wilayah jelajah keduanya serta daerah yang tidak terdapat kedua satwa tersebut.

2. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi

Karakteristik pohon dikumpulkan dari pohon tempat satwa beraktivitas, baik digunakan oleh monyet ekor panjang saja, lutung saja maupun digunakan keduanya. Karakteristik pohon tersebut meliputi peubah tinggi pohon (TP), diameter setinggi dada (DBH), tinggi bebas cabang (TBC), diameter tajuk (DT), tinggi tajuk (TT), bentuk tajuk (BT) dan keberadaan pakan (KP). Bentuk tajuk (BT) dibedakan dalam tujuh bentuk dasar yaitu irregular, vase, oval, pyramidal,

fastigate/columnar, round, weeping (Grey & Deneke 1978). Untuk peubah pohon

(40)

monyet ekor panjang atau lutung, dilakukan dengan penandaan pohon dimana masing-masing koloni diberi tanda yang berbeda.

3. Tumbuhan Sumber Pakan

Data jenis tumbuhan sumber pakan meliputi nama daerah, nama latin, famili dan bagian yang dimakan. Data ini berupa daftar semua tumbuhan yang potensial sebagai sumber pakan monyet ekor panjang atau lutung berdasarkan penelitian sebelumnya yang berupa skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian dan jurnal. Daftar pakan tersebut kemudian dicek ulang dengan pengamatan langsung pada aktivitas makan kedua primata tersebut.

Jenis tumbuhan sumber pakan yang tidak teridentifikasi di lapangan diambil sampelnya dan dibuat herbarium kemudian diidentifikasi di Herbarium Bogoriense Bogor.

E. Analisis Data 1. Penggunaan Ruang

Analisis data penggunaan ruang secara vertikal ini meliputi : a. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas satwa

Data posisi ketinggian satwa yang diperoleh dari observasi unit contoh (pohon) kemudian diolah dengan Independent-Samples T Test. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 = rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung pada pohon tidak berbeda nyata, dan

H1 = rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung pada pohon berbeda nyata.

b. Rara-rata posisi ketinggian setiap aktivitas satwa

Data posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang atau lutung (berpindah, makan, sosial dan istirahat) pada unit contoh (pohon) diolah

dengan Independent-Samples T Test dengan hipotesis yang digunakan

adalah :

(41)

30

H1 = rata-rata posisi ketinggian setiap aktivitas monyet ekor panjang atau lutung pada pohon berbeda nyata.

Titik koordinat unit contoh yang dikumpulkan dengan GPS reciever dalam WGS 84 UTM Zone 49S kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3. Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat

terluar (maximum convex polygon) tempat monyet ekor panjang dan lutung

beraktivitas. Berdasarkan hasil analisis akan diperoleh luas penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah masing-masing koloni monyet ekor panjang dan lutung. Selain itu juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah monyet ekor panjang, wilayah jelajah lutung, daerah tumpang tindih wilayah jelajah dan daerah yang bukan wilayah jelajah keduanya.

2. Derajat Asosiasi dan Tumpang Tindih Relung

Asosiasi interspesifik dihitung dengan menggunakan Indeks Jaccard (JI). Pemilihan Indeks Jaccard dikarenakan indeks ini lebih teliti dan tidak bias baik pada populasi besar maupun kecil (Goodall 1973). Indeks ini mengindikasikan ada tidaknya asosiasi antara monyet ekor panjang dengan lutung. Asosiasi interspesifik yang dihitung meliputi asosiasi jenis tumbuhan sumber pakan, asosiasi penggunaan jenis pohon dan asosiasi posisi ketinggian aktivitas. Indeks Jaccard = 0 berarti tidak ada asosiasi dan jika indeks = 1 berarti terdapat asosiasi maksimal.

a = jumlah unit contoh yang digunakan monyet ekor panjang bersamaan

dengan lutung

b = jumlah unit contoh yang hanya digunakan monyet ekor panjang c = jumlah unit contoh yang hanya digunakan lutung

Perhitungan kesamaan jenis tumbuhan sumber pakan dan tumpang tindih penggunaan ruang secara vertikal dihitung dengan persentase tumpang tindih relung (niche overlap percentage) dan indeks tumpang tindih relung Morisita

(Simplified Morisita’s Index). Pemilihan indeks tumpang tindih relung Morisita

(42)

pengulangan. Persentase tumpang tindih relung dihitung dengan menggunakan

Pjk = persentase tumpang tindih relung antara spesiesjdengan spesiesk

Pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesj

Pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesk

n = jumlah total sumberdaya yang ada

Indeks tumpang tindih relung Morisita (Simplified Morisita’s Index) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

Ch = indeks tumpang tindih relung Morisita antara spesiesjdengan spesiesk

pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesj

pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesiesk

n = jumlah jenis sumberdaya pohon

Tumpang tindih penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah dihitung dengan menggunakan persentase tumpang tindih relung dengan cara menampalkan peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang dengan koloni lutung. Berdasarkan hasil penampalan kedua peta tersebut maka diketahui luas daerah yang tumpang tindih.

3. Karakteristik Pohon Media Kohabitasi

(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penggunaan Ruang

Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini ”mobilitas” dan ”luas” serta ”komposisi daerah jelajah” merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi penggunaan ruang oleh satwaliar (Santosa 1990). Kegiatan primata berupa makan, berpindah, istirahat dan kegiatan sosial lainya sudah terpola dalam kegiatan sehari-hari yang dikenal dengan budget kegiatan.

Parameter pola penggunaan ruang yang paling banyak diteliti adalah: daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan. Wilayah jelajah (home

range) adalah daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan

aktivitas-aktivitas rutin sedangkan teritori merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan secara lebih teratur dibanding bagian lainnya (Chalmers 1980). Penggunaan ruang dalam penelitian ini mencakup penggunaan ruang secara vertikal dan horizontal, dalam hal ini adalah wilayah jelajah.

1. Penggunaan Ruang secara Horizontal a. Monyet Ekor Panjang

(44)

Tabel 1. Luas wilayah jelajah setiap koloni monyet ekor panjang di CAP

No Koloni luas (Ha) Jumlah individu (ekor)

1 Pasir Putih Utara 8,13 44

2 Pasir Putih Selatan 20,48 19

3 Goa Rengganis 17,97 26

4 Cihaur 5,65 16

Jumlah 52,25 105

Rata-rata 13,06 26

Sistem kekerabatan primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Pemisahan area pencarian pakan dapat secara horizontal berupa wilayah jelajah dan secara vertikal berupa perbedaan penggunaan strata tajuk.

Tabel 2. Ukuran populasi masing-masing koloni monyet ekor panjang

No Koloni

Jumlah individu (ekor)

Kelasumurdanjeniskelamin Keterangan

1 PasirPutihUtara 44 4A,14MJ,7MB,5DJ,4DB,6TB,4TJ A= Anak, J =Jantan

2 PasirPutihSelatan 19 2A,3MJ,2MB,4DJ,2DB,2TB,4TJ M=Muda, B=Betina

3 GoaRengganis 26 2A,6MJ,5MB,4DJ,4DB,3TB,2TJ D=Dewasa

4 Cihaur 16 2A,4MJ,3MB,2DJ,1DB,2TB,2TJ T =Jantan

(45)

34

Dengan perilaku satwaliar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan keadaan, baik dari dalam maupun dari luar (Tanudimadja 1978). Hal ini diperkuat pernyataan Bailey (1984) bahwa populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Sistem hierarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial.

Keberadaan individu tua jantan dalam satu koloni monyet ekor panjang berfungsi sebagai ketua koloni (alpha male) yaitu 1 individu, sedangkan individu tua jantan lainnya berfungsi sebagai subordinat alpha male. Dalam primata yang berkoloni peran alpha male paling dominan dalam semua aktivitas dibandingkan individu jantan lainnya.

Koloni Pasir Putih Utara dengan anggota terbanyak yaitu 44 individu mempunyai luas wilayah jelajah 8,13 ha. Aktivitas pengunjung banyak terjadi pada wilayah jelajah koloni Pasir Putih Utara dan Pasir Putih Selatan. Sebagian kebutuhan pakan koloni ini terpenuhi dari aktivitas pengunjung seperti pemberian pakan oleh pengunjung dan sampah. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku makan sehingga menjadi tidak tergantung lagi pada stok pakan alami. Oleh karena itu luas wilayah jelajah koloni Pasir Putih Utara terkecil diantara koloni lainnya, meskipun ukuran koloninya terbesar. Perubahan perilaku makan akibat aktivitas pengunjung berimbas pada luas wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Utara.

Koloni Pasir Putih Selatan beranggotakan 19 individu dan mempunyai wilayah jelajah terluas yaitu 20,48 ha. Aktivitas pengunjung pada wilayah jelajah koloni ini relatif kurang intensif dibandingkan dengan koloni Pasir Putih Utara, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan koloni Goa Cirengganis dan Cihaur. Mencermati ukuran populasi dan luas wilayah koloni ini diketahui bahwa intensitas pengunjung tidak begitu berpengaruh pada perilaku makannya, sehingga masih tergantung pada ketersediaan sumber pakan alami.

(46)

dipastikan selalu berada di sekitar Goa Cirengganis meskipun wilayah jelajah hariannya berubah-ubah. Hal ini terjadi karena “pengelola” Goa Cirengganis biasanya memberi pakan koloni ini. Oleh karena itu wilayah sekitar Goa Cirengganis merupakan daerah teritori koloni monyet ekor panjang ini.

Wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang Cihaur bebas dari pengaruh aktivitas pengunjung. Oleh karena itu koloni ini masih liar, perilaku tidak berubah dan tingkat ketergantungan pada sumber pakan alami masih sangat tinggi. Sebaran koloni dan wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP yang diamati disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang

Vegetasi yang terdapat pada wilayah jelajah monyet ekor panjang dianalisis dengan menggunakan metode uji petik pada 2 (dua) lokasi berbeda dengan setiap lokasi terdapat 5 (petak ukur). Analisis vegetasi pada wilayah jelajah menunjukkan bahwa jenis tumbuhan sumber pakan yang disukai monyet ekor

(47)

36

Eupashorium odoratum, harendong Melastoma polyantum, popohan Buchanania

arborescens, jejerukan Acronychya laurifoliamempunyai kerapatan relatif tinggi.

hasil analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

b. Lutung

Penggunaan ruang secara horizontal atau luas wilayah jelajah masing-masing koloni lutung di CAP disajikan pada Tabel 3. Rata-rata wilayah jelajah koloni lutung yang diamati yaitu 10,07 ha.

Tabel 3. Luas wilayah jelajah setiap koloni lutung di CAP

No Koloni luas (Ha) Jumlah individu (ekor)

1 Pasir Putih Utara 8,44 13

2 Pasir Putih Selatan 9,48 10

3 Goa Rengganis 16,09 24

4 Cihaur 6,28 10

Jumlah 40,29 57

Rata-rata 10,07 14

(48)

Tabel 4. Ukuran populasi masing-masing koloni lutung

No Koloni

Jumlah individu

(ekor) Kelasumurdanjeniskelamin Keterangan

1 PasirPutihUtara 13 1MB,2MJ,4DB,1DJ,4TB,1TJ A= Anak, J =Jantan

2 PasirPutihSelatan 10 1MB,1MJ,6DB,1TB,1TJ M=Muda, B=Betina

3 GoaRengganis 24 4A,6MB,3MJ,5DB,1DJ,4TB,1TJ D=Dewasa

4 Cihaur 10 1MJ,6DB,2TB,1TJ T =Jantan

Seperti halnya pada koloni monyet ekor panjang, intensitas aktivitas pengunjung pada wilayah jelajah koloni lutung Pasir Putih Utara dan Selatan tinggi. Pada wilayah jelajah koloni lutung Goa Cirengganis dan Cihaur aktivitas pengunjung relatif tidak ada. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hanya terdapat 1 ekor individu tua jantan yang bertindak sebagaialpha malenamun juga terdapat individu jantan lain sebagai subordinatnya. Hal ini sesuai dengan Kool (1989) namun berbeda dengan Kartikasari (1982). Menurut Kartikasari (1982), dalam suatu koloni lutung hanya terdapat 1 ekor jantan. Pada koloni Goa Cirengganis yang merupakan koloni terbesar, jumlah anggota koloni adalah 24 ekor. Jumlah tersebut berbeda dengan Medway (1970) yang menyatakan bahwa individu anggota koloni lutung budeng antara 6 – 23 ekor. Jumlah anggota koloni tersebut lebih besar dari Rowe (1996) yaitu 13 ekor.

Mencermati data pada Tabel 3 dan Tabel 4 terlihat bahwa ukuran koloni berpengaruh kuat pada luas wilayah jelajah dibandingkan pengaruh perilaku, kerapatan relatif dan frekuensi relatif tumbuhan sumber pakan. Intensitas aktivitas pengunjung yang tinggi, khususnya pada koloni Pasir Putih Utara, tidak merubah perilaku lutung terutama perilaku makan. Aktivitas pengunjung menyebabkan koloni ini relatif tidak begitu takut dengan kehadiran manusia dibandingkan dengan koloni lainnya.

(49)

38

Untuk mengetahui pengaruh vegetasi terhadap wilayah jelajah lutung maka dilakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi pada wilayah jelajah lutung diambil dengan metode uji petik pada 2 (dua) lokasi yang berbeda dengan setiap lokasi terdapat 5 (petak ukur). Tumbuhan sumber pakan yang disukai lutung (Lampiran 17) seperti V. pubescens, bayur Pterospermum javanicum, kiara beas Ficus

sumatrana, kiandong Rhodamnia cinerea dan B. arborescens mempunyai

kerapatan relatif tinggi. Hasil analisis vegetasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Sebaran koloni dan wilayah jelajah koloni lutung yang diamati disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta wilayah jelajah koloni lutung

c. Derajat Asosiasi Penggunaan Ruang secara Horizontal

Nilai ukuran kesamaan penggunaan sumberdaya oleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam

fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan (resemblance function) adalah ukuran

(50)

komposisi spesies atau antar spesies dalam penggunaan sumberdaya (Krebs 1989).

Jumlah pohon yang digunakan untuk aktivitas monyet ekor panjang pada kawasan CAP yaitu sebanyak 581 batang yang terdiri dari 71 jenis, 10 jenis diantaranya hanya digunakan monyet ekor panjang. Jumlah pohon yang digunakan lutung beraktivitas yaitu sebanyak 773 batang yang terdiri dari 84 jenis, 23 jenis diantaranya hanya digunakan oleh lutung. Jumlah jenis pohon yang digunakan bersama adalah 61 jenis. Berdasarkan frekuensi penggunaan jenis pohon yang tersebar pada wilayah jelajah kedua primata tersebut maka diperoleh asosiasi interspesifik menurut Indeks Jaccard yaitu 0,96. Jumlah jenis pohon yang digunakan bersama antara monyet ekor panjang dengan lutung sangat besar, sehingga persaingan interspesifik diantara keduanya juga besar. Hal ini mengindikasikan adanya preferensi kedua primata ini terhadap jenis-jenis pohon tertentu. Indeks Jaccard dipilih karena tidak bias bahkan pada jumlah sampel kecil (n < 10) (Goodall 1973).

d. Tumpang Tindih Relung Penggunaan Ruang secara Horizontal

Besarnya tumpang tindih relung penggunaan ruang secara horizontal diperoleh dengan cara menampalkan wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan wilayah jelajah lutung. Luas tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung rata-rata sebesar 54,10% dengan rincian lengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung

No Daerah tumpang tindih luas

(ha)

Persentase (%)

1 Lutung – Monyet Pasir Putih Utara 5,42 65,39

2 Lutung – Monyet Pasir Putih Selatan 4,43 29,54

3 Lutung – Monyet Goa Rengganis 10,93 64,15

4 Lutung – Monyet Cihaur 2,31 38,75

5 Lutung Cihaur – Monyet Goa Rengganis 1,80 14,83

6 Lutung Pasir Putih Utara – Monyet Pasir Putih Selatan 0,54 3,76

Jumlah 25,43

Rata-rata tumpang tindih 54,10

(51)

40

Gam bar 7. Peta tum pang tindih wilayah jelajah m onyet ekor panjang dengan lutung

Tumpang tindih terbesar terdapat pada koloni monyet ekor panjang Goa Cirengganis dengan koloni lutung Goa Cirengganis dan koloni lutung Cihaur yaitu sebesar 70,84%. Hal ini menunjukkan bahwa 12,73 ha dari 17,97 ha wilayah jelajah monyet ekor panjang Goa Cirengganis digunakan bersama dengan koloni lutung Goa Cirengganis dan lutung Cihaur. Dengan tingkat tumpang tindih wilayah jelajah tersebut maka amatlah sulit untuk membedakan pemisahan wilayah jelajah. Hal ini berbeda dengan Alikodra (1990) yang menyatakan bahwa pada hutan tropis basah terdapat pemisahan penggunaan ruang horizontal dan vertikal yang jelas antara monyet ekor panjang dengan lutung. Namun demikian, jarang sekali monyet ekor panjang dan lutung pada ruang dan waktu yang sama teramati memanfaatkan sumberdaya yang sama pula.

(52)

bagian tumbuhan yang dimakan. Dalam kasus ini, pemisahan relung dapat menurunkan tingkat kompetisi dan meningkatkan kesempatan kedua primata yang berkohabitasi ini untuk memanfaatkan area tumpang tindih wilayah jelajah tersebut (Garcia & Arroyo 2005).

Analisis vegetasi pada area tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung diambil dengan metode uji petik pada 2 (dua) lokasi yang berbeda dengan setiap lokasi terdapat 5 (petak ukur). Dari analisis vegetasi tersebut diperoleh data kerapatan relatif dan frekuensi relatif tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. hasil analisis vegetasi pada area tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjang dengan lutung disajikan pada Lampiran 16.

2. Penggunaan Ruang secara Vertikal

Penggunaan ruang secara vertikal pada satwa yang berkohabitasi biasanya berupa pembagian strata tajuk dalam melakukan aktivitas (Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000). Posisi ketinggian semua aktivitas monyet ekor panjang pada pohon baik sendiri maupun bersama lutung adalah 11,968 m. Data ini sesuai dengan Anwar et al. (1984) dimana posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang pada pohon yaitu antara 10 – 20 m.

Posisi ketinggian semua aktivitas lutung pada pohon baik sendiri maupun bersama monyet ekor panjang adalah 12,821 m. Analisis rata-rata posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang dengan lutung dengan

Independent-Samples T Test menunjukkan hasil berbeda nyata atau H0 ditolak dengan Sig.

2_tailed 0,000 atau < a“(0,025). Analisis rata-rata posisi ketinggian aktivitas

monyet ekor panjang dengan lutung disajikan pada Lampiran 3. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penggunaan ruang secara vertikal antara monyet ekor panjang dengan lutung dalam beraktivitas.

(53)

42

a. Monyet Ekor Panjang

Pada beberapa primata, persaingan intraspesifik dalam mencari makan berkembang dengan bertambahnya ukuran kelompok melalui persaingan campur tangan/gangguan (Isbell 1991). Monyet ekor panjang adalah satwa teresterial dan analisis rata-rata posisi ketinggian aktivitas menunjukkan bahwa monyet ekor panjang cenderung menempati strata tajuk yang lebih rendah daripada lutung. Oleh karena itu aktivitas harian monyet ekor panjang banyak dilakukan pada atau dekat dengan permukaan tanah. Persentase aktivitas harian monyet ekor panjang pada permukaan tanah dengan di pohon berdasarkan waktu disajikan pada Gambar 8 berikut ini.

(54)

Gambar 9. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Cihaur berdasarkan kelas umur

Aktivitas koloni Goa Cirengganis dimulai pada pukul 5.20-5.46 WIB saat cuaca cerah dan berakhir pada pukul 18.10-18.25 WIB. Aktivitas pada permukaan tanah dimulain pada pukul 7.27-10.26 WIB. Keunikan koloni ini yaitu pada sekitar pukul 11.00-13.00 WIB semua anggota koloni berkumpul dan beraktivitas di sekitar Goa Cirengganis. Perilaku ini berlangsung rutin setiap hari, meskipun wilayah jelajah harian yang digunakan berbeda-beda.

(55)

44

Pada awal pengambilan data lapangan koloni ini menggunakan wilayah jelajah di sebelah utara Goa Cirengganis, sedangkan pada akhir pengambilan data lapangan koloni ini menggunakan wilayah jelajah di sebelah selatan Goa Cirengganis. Koloni ini tidak mempunyai pohon sarang yang tetap. Diduga perilaku ini merupakan strategi anti predator dan juga untuk mendekati keberadaan tumbuhan sumber pakan.

Gambar 11. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir Putih Utara berdasarkan kelas umur

Ukuran koloni monyet Pasir Putih Utara merupakan terbesar diantara koloni yang diamati, namun luas wilayah jelajahnya lebih kecil dibandingkan dengan koloni Pasir Putih Selatan dan Goa Cirengganis. Individu anggota koloni ini pada kondisi cuaca cerah memulai aktivitasnya antara pukul 5.20-5.26 WIB dan berakhir sekitar pukul 18.11-18.30 WIB. Aktivitas di tanah koloni Pasir Putih Utara ini dimulai antara pukul 6.17-8.46 WIB. Koloni ini selama pengambilan data lapangan berlangsung diketahui hanya menggunakan satu pohon sarang yaitu

F. sumatrana, teramati sebanyak 2 kali melakukan aktivitas renang/mandi dan

(56)

Berbeda dengan koloni Pasir Putih Utara, koloni monyet ekor panjang Pasir Putih Selatan mempunyai wilayah jelajah paling luas diantara koloni lain yang diamati yaitu 20,48 ha. Aktivitas individu anggota koloni ini pada kondisi cuaca cerah dimulai sekitar pukul 5.20-5.30 WIB dan pada kondisi cuaca mendung sekitar pukul 5.36-5.40 WIB. Aktivitas harian koloni ini berakhir antara pukul 18.10-18.45 WIB. Aktivitas pada permukaan tanah dimulai sekitar pukul 6.41-8.06 WIB. Berbeda dengan koloni tetangganya yaitu koloni Pasir Putih Utara, koloni ini selama pengambilan data lapangan tidak mempunyai pohon sarang yang tetap.

Gambar 12. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang koloni Pasir Putih Selatan berdasarkan kelas umur

(57)

46

Gambar 13. Rata-rata posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang berdasarkan koloni

Posisi ketinggian aktivitas monyet ekor panjang pada pohon baik sendiri maupun bersama lutung berdasarkan frekuensinya disajikan pada Tabel 6. Sebanyak 70,42% aktivitas monyet ekor panjang di pohon berada pada strata C yaitu ketinggian 4 -18 m dari permukaan tanah.

Tabel 6. Posisi ketinggian aktivitas harian monyet ekor panjang pada pohon berdasarkan frekuensi

No Strata Tajuk

Monyet ekor panjang

Sendiri Bersama lutung

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

1 Strata A (>30 m) 0 0 0 0

2 Strata B (18 - 30 m) 238 16,73 24 1,69

3 Strata C (4 - 18 m) 831 58,40 171 12,02

4 Strata D (1 - 4 m) 89 6,25 58 4,08

5 Strata E (0 - 1) 5 0,35 7 0,49

Jumlah 1163 81,73 260 18,27

Gambar

Gambar 4. Peta CA-TWA Pangandaran
Gambar 5. Peta wilayah jelajah koloni monyet ekor panjang
Gambar 6. Peta wilayah jelajah koloni lutung
Gambar 7. Peta tumpang tindih wilayah jelajah monyet ekor panjangdengan lutung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Posisi duduk lutung saat makan yang ditemukan dalam penelitian ini diduga karena ranting pada pohon pakan tersebut mampu untuk menopang tubuh lutung dan sumber

Pada jalur 3, pertemuan paling sering dilakukan oleh lutung jawa pada pagi hari adalah di pohon kiara beas yang merupakan sumber pakan bagi lutung jawa di

Pengumpulan data struktur kelompok monyet ekor panjang menggunakan metode concentration count dengan pengamatan dititikberatkan pada pohon tempat tidur kelompok

Hasil yang diperoleh dewasa jantan monyet ekor panjang kelompok hutan bagian dalam memiliki aktivitas makan yang lebih banyak dibandingkan dengan monyet ekor panjang usia yang

Ada 15 jenis tumbuhan mangrove di HLAK dan kelompok monyet ekor panjang hanya memanfaatkan satu pohon Rhizophora apiculata untuk tidur, dengan ketinggian 16 m

Ada 15 jenis tumbuhan mangrove di HLAK dan kelompok monyet ekor panjang hanya memanfaatkan satu pohon Rhizophora apiculata untuk tidur, dengan ketinggian 16 m

Hasil yang diperoleh dewasa jantan monyet ekor panjang kelompok hutan bagian dalam memiliki aktivitas makan yang lebih banyak dibandingkan dengan monyet ekor

Berdasarkan hasil penelitian, kepadatan populasi monyet ekor panjang tergolong rendah tetapi ukuran populasi setiap kelompok Monyet Ekor Panjang di Zona Pemanfaatan Resort Joben Taman