• Tidak ada hasil yang ditemukan

) PENYEBAB PENYAKIT BELANG PADA CABAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ") PENYEBAB PENYAKIT BELANG PADA CABAI"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

annuum L.): KERAGAMAN ISOLAT DAN STRATEGI

PENGENDALIANNYA MELALUI INDUKSI

VARIASI SOMAKLONAL

IFA MANZILA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Chilli Veinal

Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang pada Cabai (Capsicum annuum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal” adalah karya saya sendiri, dengan arahan Komisi

Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir setiap topik disertasi ini.

Bogor,12 April 2011

IFA MANZILA NIM: A461060091

(3)

IFA MANZILA Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) the causal agent of

mottle diseases on Chilli Pepper (Capsicum annuum L.): Isolates diversity and its control strategy through induction of somaclonal variation. Supervised by SRI

HENDRASTUTI HIDAYAT, IKA MARISKA, SRIANI SUJIPRIHATI

Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) is one of important viruses infecting chilli pepper plant. It was reported that ChiVMV infection may cause 50% to 100% yield losses. The virus has a very wide host range and strain diversity. The aim of this research are to characterize biological variation of ChiVMV and to obtain plant resistance source via somaclonal variation through induced mutation. Six isolates of ChiVMV was collected from different geographical region of chilli pepper production area. Based on their infection on 10 genotypes of chilli pepper, it was indicated that they have differences in virulence level and symptom type. Isolate collected from Cikabayan, Bogor, Jawa Barat (ChiVMV CKB) was able to infect all 10 genotypes with severe symptoms showing mottle, vein banding, leaf cramping and malformation. Analysis of coat protein gene indicated that ChiVMV isolates collected in this study can be differentiated into 3 groups although they have close relationship with other strains of ChiVMV published earlier in GeneBank. However, further analysis of amino acid revealed that ChiVMV CKB has different motif of octapeptide compared to other strains. The most virulent strain, ChiVMV CKB, was used for evaluation of somaclonal plants produced by in vitro propagation combined with induced mutation using EMS. Twenty somaclonal plants showed resistant response to ChiVMV infection and potential to be used as genetic resources to develop resistant plant.

Key words: Capsicum annuum, Chilli veinal mottle potyvirus, Somaclonal variation.

(4)

IFA MANZILA. Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit

Belang Pada Cabai (Capsicum annum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal. Dibimbing oleh SRI

HENDRASTUTI HIDAYAT, IKA MARISKA, SRIANI SUJIPRIHATI.

Chilli veinal mottle potyvirus adalah salah satu virus utama yang menyerang tanaman cabai. Walaupun keberadaannya di Indonesia tergolong baru, namun penyebarannya dapat ditemukan hampir disetiap pertanaman cabai. Infeksi ChiVMV dapat mengakibatkan penurunan hasil 50% hingga 100%. Untuk mengatasi terjadinya ledakan penyakit, menggunakan varietas yang tahan terhadap virus merupakan salah satu alternatif. Namun sampai saat ini belum diperoleh varietas cabai tahan ChiVMV. Bila sumber gen ketahanan terhadap virus masih terbatas, maka salah satu upaya peningkatan sumber gen ketahanan tersebut dapat dilakukan melalui induksi keragaman somaklonal yang dikombinasi dengan induksi mutasi.

Penelitian dilakukan pada Juli 2007 sampai Desember 2009 dengan tujuan : 1) mendapatkan informasi mengenai keragaman isolat ChiVMV yang menginfeksi tanaman cabai (Capsicum annuum) pada sentra produksi cabai di Indonesia berdasarkan variasi biologi dan molekuler, 2) mendapatkan informasi tingkat virulensi ChiVMV dan respon beberapa galur cabai terhadap infeksi ChiVMV, 3) mendapatkan varian somaklonal tanaman cabai melalui induksi dengan ethyl methane sulfonate (EMS), 4) mendapatkan tanaman varian somaklonal tanaman cabai yang tahan terhadap ChiVMV. Penelitian di lakukan di laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Cimanggu Bogor dan Laboratorium Virologi Tumbuhan serta rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat ChiVMV yang diperoleh dari beberapa daerah di Indonesia memiliki tingkat virulensi dan menimbulkan gejala yang berbeda. Isolat Cikabayan dan Nusa Indah mampu menginfeksi semua genotipe cabai uji dengan masa inkubasi tercepat 3 hari pada genotipe Jatilaba, Titsuper dan Beauty Bell; sementara isolat Karadenan dan Tanah Datar hanya mampu menginfeksi berturut-turut 4 dan 5 genotipe cabai uji. Walaupun ada perbedaan kisaran inang, tetapi variasi gejala yang muncul diantara keempat isolat didominasi gejala belang hijau gelap, penebalan tulang daun, daun berkerut, dan malformasi. Enam isolat ChiVMV (Belung, Karadenan, Cikabayan, Nusa Indah, Tanah Datar dan Gayo Barat) yang menimbulkan gejala berbeda selanjutnya dipilih untuk mempelajari variasi molekuler yang ada berdasarkan gen selubung protein (CP). Hasil perunutan nukleotida CP-ChiVMV menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut mempunyai tingkat kesamaan sekuen CP-ChiVMV berkisar antara 87% sampai 99% dengan ChiVMV lainnya (GeneBank) dengan variabilitas diantara strain-strain ChiVMV berkisar antara 0,02% sampai 0,48%. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut merupakan strain virus yang sama. Analisis kekerabatan berdasarkan gen CP menunjukkan bahwa ChiVMV dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Kelompok yang pertama terdiri dari ChiVMV Karadenan (KR), ChiVMV Belung (BL) dan ChiVMV Pataruman (GeneBank

(5)

ChiVMV Tanah Datar (TD), ChiVMV Nusa Indah (NI), ChiVMV Gayo Barat (GB), dan ChiVMV Taiwan (GeneBank DQ854948). Ketiga kelompok tersebut memiliki jarak genetik terdekat berturut-turut yaitu (0,05 sampai 0,06), (0,05) dan (0,02 sampai 0,48). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan gejala yang tidak terlalu nyata diantara isolat-isolat ChiVMV berhubungan dengan tingkat variabilitas gen selubung protein yang rendah. Berdasarkan analisis asam amino isolat ChiVMV CKB memiliki susunan asam amino yang sangat berbeda dengan isolat ChiVMV lainnya. Asam amino pada isolat ChiVMV CKB, motif octapeptide-nya telah termutasi secara total menjadi motif EMETEVPQ; sedangkan pada CP ChiVMV BL dan KR hanya termutasi menjadi TQEEDTER. Apakah mutasi motif octapeptide pada CP ChiVMV CKB menyebabkan isolat ChiVMV CKB menjadi virulen, masih perlu dikaji secara mendalam.

Pemanfaatan teknik kultur in vitro yang dikombinasikan dengan induksi mutagen EMS adalah upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan memperoleh tanaman yang tahan terhadap ChiVMV. Upaya tersebut dilakukan karena relatif lebih aman dan murah. Hasil perlakuan EMS menunjukkan bahwa persentase kematian eksplan akan meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi EMS dan semakin panjangnya waktu perendaman eksplan. Perlakuan EMS terhadap lima genotipe uji yaitu Jatilaba, ICPN12 no.4, PBC495, Helem dan Gelora, memperlihatkan respon yang berbeda terhadap persentase kematian jaringan. Pada perendaman 15, 30, dan 60 menit dengan konsentrasi EMS 0,25% jaringan yang mati berturut-turut berkisar antara 10% sampai 36%, 10% sampai 46%, dan 30% sampai 80%; pada konsentrasi EMS 0.5% berturut turut adalah 30% sampai 80%, 30% sampai 97% dan 49% sampai 96%; sedangkan pada konsentrasi EMS 1% dengan masa perendaman yang sama seperti di atas kematian jaringan berkisar antara 58% sampai 100%. Berdasarkan persentase jaringan tanaman yang hidup, nilai LC50 diperoleh pada konsentrasi EMS 0,5%

dengan waktu perendaman 60 menit. Pada perlakuan tersebut, genotipe PBC495 dan Gelora masih memiliki kemampuan bertahan hidup sampai 40%. Eksplan tunas terminal yang diberi perlakuan EMS 0,5% selama 60 menit memperlihatkan respon yang berbeda terhadap inisiasi tunas. Waktu inisiasi tunas untuk genotipe PBC495 dan Gelora cenderung lebih cepat dengan perlakuan EMS, tetapi respon berbeda terjadi pada Jatilaba. Secara umum tidak ada perbedaan untuk rata-rata tinggi tunas antara genotipe yang diberi perlakuan EMS dengan perlakuan tanpa EMS. Rata-rata jumlah tunas cenderung lebih tinggi untuk genotipe PBC495 dan Gelora yang diberi perlakuan EMS 0,5% dengan waktu perendaman 60 menit. Pada eksplan genotipe Jatilaba, PBC 495 dan Gelora inisiasi tunas terjadi berturut-turut 10, 7 dan 6 minggu setelah tanam. Tunas yang terbentuk berdasarkan jumlah, tinggi, serta kualitas tunas yang rendah berhubungan dengan lamanya waktu yang diperlukan pada saat inisiasi tunas terjadi. Pada konsentrasi EMS 0,5% dan masa perendaman 60 menit jumlah tunas yang dihasilkan dari masing-masing eksplan Jatilaba, PBC495 dan Gelora berturut-turut 2,56±1,47; 4,93±2,62; 6,44±0,95. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh pemberian 0,5% EMS dengan masa perendaman 60 menit bersifat acak. Perlakuan dapat bersifat positif, yaitu waktu inisiasi tunas lebih cepat dan jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan kontrol. Perlakuan dapat pula bersifat

(6)

Tanaman yang berhasil diaklimatisasi dan dapat bertahan hidup adalah tanaman mutan somaklon dari genotipe Gelora. Tanaman mutan somaklon tersebut mampu menghasilkan buah dan benih cabai. Penampilan tanaman mutan somaklon tidak jauh berbeda dengan tanaman normal. Walaupun demikian kedua tanaman mutan somaklon cenderung memiliki tinggi tanaman dan tinggi cabang yang lebih rendah dibandingkan tanaman normal.

Evaluasi ketahanan untuk tanaman mutan somaklon dilakukan berturut-turut terhadap 245 dan 243 benih mutan somaklonl 1 (M1.1) dan mutan somaklon 2 (M1.2) yang dipilih secara acak. Setelah inokulasi ChiVMV, jumlah tanaman bergejala pada populasi M1.1 adalah 229 tanaman, sedangkan pada populasi M1.2 adalah 223 tanaman. Persentase tanaman terinfeksi dari kedua populasi mutan somaklon tersebut berturut turut adalah 95,5% dan 91,7%, sedangkan tanaman yang tidak memperlihatkan gejala atau toleran berturut-turut adalah 6,5% dan 8,23%. Konfirmasi melalui deteksi DAS-ELISA menunjukkan bahwa jumlah tanaman terinfeksi pada masing-masing tanaman mutan somaklon lebih tinggi dibandingkan hasil pengamatan berdasarkan gejala. Hasil deteksi dengan ELISA memastikan bahwa 20 dari total 488 tanaman cabai uji berasal dari 2 mutan somaklon tidak terinfeksi ChiVMV. Hasil tersebut menunjukkan adanya fenomena gejala lemah atau gejala laten. Dengan demikian ke 20 tanaman tersebut digolongkan tahan ChiVMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan didalam meningkatkan perluasan varietas melalui perakitan tanaman yang memiliki sifat unggul lainnya.

Kata kunci: Capsicum annuum, Chilli veinal mottle potyvirus, induksi mutasi,

keragaman biologi, keragaman molekuler.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

annuum L.): KERAGAMAN ISOLAT DAN STRATEGI

PENGENDALIANNYA MELALUI INDUKSI

VARIASI SOMAKLONAL

IFA MANZILA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr Ir Endang Nurhayati, MS Dr Ir Dewi Sukma, MSi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr Ir Yusdar Hilman, MS Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr

(10)

Penyakit Belang pada Cabai (Capsicum annuum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal

Nama Mahasiswa : IFA MANZILA

NIM : A461060091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati, MS Ketua Anggota

Dr Ir Ika Mariska, MSc, APU Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat dan rahmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul ”Chilli Veinal Mottle Potyvirus

(ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang pada Cabai (Capsicum annum L.): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya melalui Induksi Variasi Somaklonal” dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat MSc selaku Ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati MS, dan Dr Ir Ika Mariska MSc, APU selaku anggota komisi pembimbing, atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran , serta dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian(BB-BIOGEN), yang telah menugaskan dan memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan, serta pimpinan dan staf bendahara Badan Litbang Pertanian yang telah membantu mempermudah penyaluran dana pendidikan penulis.

Kepada Ketua Kelompok Peneliti Biokimia BB-BIOGEN, yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Kepada Kepala Program Penelitian Badan Litbang Pertanian dalam proyek Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang berjudul

INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL UNTUK MENDAPATKAN GALUR CABAI (Capsicum annuum L.) TAHAN CHILLI VEINAL MOTTLE POTYVIRUS.

Kepada Ketua Kelompok Peneliti Biologi Seluler dan Jaringan BB-BIOGEN beserta Staf dan Kepala Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman Faperta IPB yang telah memberi izin dan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian dan mengerjakan sebagian dari proyek penelitian yang dibiayai dana KKP3T penulis juga mengucapkan terima kasih.

(12)

Kepada Dr Ir Endang Nurhayati MSc dan Dr Ir Dewi Sukma MSi yang telah berkenan untuk menjadi penguji pada ujian sidang tertutup penulis mengucapkan terima kasih.

Kepada Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi dan semua staf dosen IPB penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diberikan,

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman Laboratorium Virologi, Tuti Susanti Legiastuti, Dr I Gede Rai Maya Temaja, Dr Jumsu Trisno, Irwan Lakani MSi, Rika MSi, Rita Noveriza MSc, Sri Budi Utami Sp, Devi Agustina MSi, Fitrianingrum Sp, Wawan MSi, Endang Opriana MSi, Latifah MSi, Mila MSi, Putri Sp, Damayanti Sp, Ani Rahmini MSi, Adik-adik mahasiswa S1, Pak Emput. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman PS Entomologi-Fitopatologi terutama kepada Dr Yusmani; Dr N Usyati, Dr Rita Harni, Dr. Iwa Munara, Samsudin MSi, Efi Taufik MSi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Tri Puji Prayitno MSc, Dr I Made Samudera, Dr Chairani, Yadi Suryadi MSc, Alina Ahdiyah MSi.

Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada yang tercinta, Ayahanda Abdul Aziz (Alm), Ibunda H. Siti Zubaidah, dan semua kakak, adik-adik, keponakan atas segala pengertian, dorongan, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ananda tersayang Muhamad Alif Nadhirahman dan Daniella Ridha Artanti atas segala dorongan semangat, pengertian, kasih sayang, motivasi dan inspirasi selama penulis menempuh studi.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 12 April 2011

(13)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 02 Januari 1965 dari pasangan Bapak Abdul Aziz (Alm) dan ibu Hj. Siti Zubaidah. Penulis merupakan putri ke empat dari delapan bersaudara.

Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Negeri 38 Jakarta dan pada tahun yang sama masuk Universitas Nasional Jakarta Jurusan Biologi. Tahun 1987 penulis mendapat gelar Sarjana Biologi. Di tahun yang sama penulis diterima bekerja di Pusat Pengembangan Agribisnis (Konsultan). Sejak tahun 1993, penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Kelti Fitopatologi yang sekarang berganti nama menjadi Kelti Biokimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor, Jawa Barat. Tahun 1996 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains di Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BB-BIOGEN. Tahun 1999 penulis lulus dan mendapat gelar Magister Sains (M.Si). Di tahun yang sama penulis menikah dan dikaruniai dua orang anak putra dan putri, Muhamad Alif Nadhirahman Nugroho (10 tahun) dan Daniella Ridha Artanti Nugroho (8 tahun). Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) pada program studi Entomologi dan Fitopatologi Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Penulis saat ini bekerja sebagai staf peneliti di Kelompok Peneliti Biokimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN) Bogor, sejak tahun 1993 sampai sekarang.

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xvi

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ...………... 1

Tujuan Penelitian ………... 4

Hipotesis ………... 5

Diagram alur ruang lingkup penelitian ………... 6

Daftar Pustaka ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

Karakter Molekuler Chilli Veinal Mottle Potyvirus ... Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ... Gejala infeksi ChiVMV pada tanaman cabai ... 9 12 13 Kisaran Inang dan Mekanisme Penularan ChiVMV ... 14

Deteksi dan Karakterisasi Virus ... 14

Ketahanan Tanaman terhadap ChiVMV ... 16

Pembentukan Variasi Somaklonal ... 18

Penyebab Variasi Somaklonal ... 21

Mutasi Secara Fisik dan Kimia ... 21

Variasi Somaklonal untuk mendapatkan Resistensi terhadap Penyakit... Pemanfaatan dan Penerapan Variasi Somaklonal... 24 25 Daftar Pustaka ... 26

III. VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT Chilli Veinal Mottle Potyvirus PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.): ... 32 Abstrak ... 32

Abstract ... 33

Pendahuluan ... 34

(15)

Hasil ... 38

Pembahasan ... 44

Simpulan dan Saran... 46

Daftar Pustaka ... 47

IV.

ANALISIS GEN SELUBUNG PROTEIN Chilli Veinal

Mottle Potyvirus DARI BEBERAPA DAERAH DI

INDONESIA

49 Abstrak ... 49

Abstract ... 50

Pendahuluan ... 51

Bahan dan Metode ... 52

Hasil ... 56

Pembahasan ... 65

Simpulan dan Saran... 69

Daftar Pustaka …... 70

V. INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TUNAS DAN AKAR CABAI (Capsicum annuum L.) MELALUI KULTUR IN VITRO... 74 Abstrak ... 74

Abstract ... 75

Pendahuluan ... 76

Bahan dan Metode ... 77

Hasil ... 80

Pembahasan ... 80

Simpulan dan Saran... 88

(16)

VI. PENGARUH PERLAKUAN Ethyl Methane Sulfonate PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KETAHANANNYA TERHADAP Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)

91

Abstrak ... 91

Abstract ... 92

Pendahuluan ... 93

Bahan dan Metode ... 94

Hasil ... 97

Pembahasan ... 97

Simpulan dan Saran... 106

Daftar Pustaka ... 106 VII. PEMBAHASAN UMUM ...

Daftar Pustaka ……….

109 113 VIII. SIMPULAN DAN SARAN UMUM...

115

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman 2.1 Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom

Potyvirus ...

10

3.1

3.2

Deteksi beberapa virus pada tanaman cabai yang berasal dari beberapa sentra produksi tanaman cabai dengan metode DAS-ELISA ... Deskripsi gejala tanaman yang terinfeksi ChiVMV secara tunggal dari beberapa lokasi penanaman cabai ...

39

40

3.3 Deskripsi isolat ChiVMV yang digunakan dalam pengujian virulensi ...

40

3.4 Hasil inokulasi ChiVMV isolat Cikabayan pada 10 genotipe cabai ……….

42

3.5 Hasil inokulasi ChiVMV isolat Nusa Indah pada 10 genotipe cabai ………

42

3.6 Hasil inokulasi ChiVMV isolat Tanah Datar pada 10 genotipe cabai ………..……….

43

3.7 Hasil inokulasi ChiVMV isolat Karadenan pada 10 genotipe cabai ……….

43

4.1 Isolat-isolat Chilli veinal mottle potyvirus asal Indonesia dan beberapa virus asal Asia (GeneBank) yang digunakan dalam analisis CP- ChiVMV………..………...

55

4.2

4.3

Deskripsi gejala isolat-isolat ChiVMV yang berasal dari Karadenan (KR), Cikabayan (CKB), Tanah Datar (TD), Nusa Indah (NI), Belung (BL) dan Gayo Barat (GB) ...

Ukuran panjang gen CP beberapa isolat ChiVMV ...

56

58 4.4 Tingkat kesamaan isolat ChiVMV yang berasal dari beberapa

daerah di Indonesia berdasarkan runutan nukleotida gen Coat protein ...

58

4.5 Tingkat kesamaan 9 isolat ChiVMV berdasarkan runutan asam amino seelubung protein ...

(18)

4.6 Motif CK2I-phospholylation site pada CP ChiVMV berdasarkan analysis menggunakan MyHits ExPASy...

64

5.1 Pembentukan kalus dari eksplan daun muda cabai genotype Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MSdengan tiga taraf konsentrasi BAP ………..….……….……….

81

5.2 Pembentukan kalus dari eksplan hipokotil cabai genotipe Gelora,Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf

konsentrasi BAP ………..…….………

82

5.3 Pembentukan kalus dari eksplan ujung akar cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 pada media MS dengan tiga taraf konsentrasi BAP…..…….. ……….………..……….

83

5.4 Pembentukan kalus embriogenik dari kalus cabai cv Gelora, Sudra dan Chili 109 yang ditanam pada media induksi kalus embriogenik dengan tiga taraf konsentrasi 2,4D ………

84

5.5 Waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, serta jumlah daun yang terbentuk pada kalus yang berasal dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora, Sudra, dan Chili 109 yang ditanam pada tiga media regenerasi yang mengandung tiga taraf konsentrasi BAP ………..………

86

5.6

6.1

Respon pembentukan akar pada tunas yang berasal dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora dan Chili 109 terhadap dua taraf konsentrasi NAA yang berbeda …..……….. Pengelompokan tipe ketahanan tanaman berdasarkan reaksi terhadap infeksi ChiVMV...

87

97

6.2 Pengaruh konsentrasi EMS dan waktu perendaman terhadap kematian jaringan eksplan cabai ………

99

6.3 Waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, dan jumlah daun yang terbentuk pada eksplan tunas terminal Jatilaba, PBC495 dan Gelora yang ditanam pada media MS +.BAP 5 mg l-1 + TDZ 0,5

mg l-1*) ………..

101

6.4 Karakter varian morfologi pada tanaman mutan somaklon (M1.1 dan M1.2) hasil induksi mutasi dengan EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit ...

101

6.5 Karakter buah yang dihasilkan oleh tanaman mutan somaklonal hasil induksi mutasi dengan EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit ...

(19)

6.7 Penapisan dan evaluasi respon mutan somaklon cabai hasil kombinasi induksi mutasi dengan EMS dan ketahananya terhadap ChiVMV ………...

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. 1

2. 1

Diagram alur penelitian ”Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal” ……….. Organisasi genom potyvirus...

6

10 3. 1 Variasi gejala infeksi beberapa isolat ChiVMV pada Tanaman

cabai paprika genotipe Beauty Bell ...

41

4. 1 Berbagai tipe belang pada permukaan daun tanaman cabai paprika genotipe Beauty Bell yang terinfeksi ChiVMV ...

56

4. 2 Hasil amplifikasi cDNA ChiVMV isolat Indonesia dengan metode RT-PCR menggunakan primer ChiVMV F Ind dan ChiVMV R Ind ...

57

4. 3 Analisis filogenetika 12 isolat ChiVMV yang berasal dari beberapa daerah yang berbeda di Indonesia dan Asia (GeneBank) ...

59

4. 4 Analisis homologi asam amino CP-ChiVMV yang berasal dari Cikabayan, Jawa Barat (ChiVMV CKB), Karadenan, Jawa Tengah (ChiVMV KR), Belung, Jawa Timur (ChiVMV BL), Nusa Indah, Kalimantan Selatan(ChiVMV NI), Tanah Datar, Sumatra Barat (ChiVMV TD) dan Gayo Barat, Aceh Tengah (ChiVMV GB). ………..

62

4. 5 Motif protein yang terdapat pada CP-ChiVMV berdasarkan analisis MYHits ExPASy………...

63

4. 6 Analisis filogenetika asam amino CP-ChiVMV yang berasal dari Jawa Barat (Cikabayan), Jawa Tengah (Karadenan), Jawa Timur (Belung), Kalimantan Selatan (Nusa Indah), Sumatra Barat (Tanah Datar), Aceh Tengah (Gayo Barat) terhadap isolat Indonesia dan Asia yang ada pada GeneBank (Cikabayan2, Pataruman dan Taiwan)...

65

5. 1 Pertumbuhan kalus dari eksplan daun muda cabai genotipe Gelora pada media MS+2,4- D +Thidiazuron 0,1mg/l …..……...

(21)

5. 2 Perkembangan kultur cabai varietas Gelora mulai dari eksplan hingga pembentukan tunas………..

87 a

6. 1 A: Kecambah cabai merah berumur 21 hari yang dipakai sebagai sumber eksplan dari genotipe gelora, B: Ujung tunas terminal ………..

95

6. 2 Respon eksplan genotipe cabai‘Gelora‘terhadap perlakuan berbagai konsentrasi EMS dengan waktu perendaman 60 menit A) 0.25%, B) 0.5%, C) 1% ...

98

6. 3 Aklimatisasi planlet cabai setelah perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 60 menit...

102

6. 4 Tanaman mutan somaklon genotipe Gelora…………...……… 103

6. 5 Buah cabai yang dipanen dari tanaman mutan somaklon …….... 104

6. 6 Penapisan dan evaluasi tanaman mutan somaklonal cabai terhadap infeksi ChiVMV ………..…..………..

105

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perunutan DNA yang berasal dari 12 isolat ChiVMV Indonesia dan

Asia (Gene Bank) menunjukkan nukleotida yang identik ………..

(22)

Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annun L.) merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Menurut data Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura (2009) luas panen cabai merupakan luas panen terbesar diantara tanaman sayuran lainnya yaitu 103.837 ha. Tanaman tersebut ditanam di seluruh provinsi di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang cukup baik sehingga mendapat prioritas untuk dikembangkan.

Produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah yaitu 6,72 ton/ha apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang dapat mencapai 12,99 ton/ha. Produksi nasional cabai dari tahun 2003 sampai tahun 2009 mengalami penurunan yaitu berturut-turut 774.408 dan 668.970 ton (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Padahal permintaan cabai nasional terus meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya rata-rata konsumsi cabai dan meningkatnya jumlah penduduk.

Beberapa faktor penyebab turunnya produksi cabai secara nasional adalah berkurangnya luas panen, belum tepatnya cara bercocok tanam, belum berimbangnya pemupukan dan sukarnya mendapatkan benih yang bermutu dan murah. Selain faktor-faktor di atas, rendahnya produksi cabai nasional juga diakibatkan oleh adanya gangguan hama dan penyakit (Duriat et al. 1996). Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (2009) mencatat beberapa penyakit penting pada tanaman cabai diantaranya adalah antraknosa, bercak daun Cercospora, bercak Phytophthora, layu Fusarium, layu bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Hasil beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa virus utama yang menyerang tanaman cabai dan hampir ditemukan di setiap pertanaman cabai adalah Geminivirus, Cucumber mosaic virus (CMV) dan Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) (Sulandari et al. 2006, Taufik et al. 2005, Trisno et al. 2009)

Infeksi ChiVMV menjadi penting karena prevalensi penyakit yang disebabkan oleh virus ini dari waktu ke waktu mengalami peningkatan dan kerugian yang ditimbulkannya cukup besar. Di Malaysia, ChiVMV dapat mereduksi hasil sampai 60% dan menurunkan kualitas buah (Ong 1995).

(23)

Dilaporkan oleh AVRDC (2003) bahwa kehilangan hasil akibat infeksi ChiVMV bisa mencapai 100%. Hasil survei yang dilakukan Taufik et al. (2005) memperkuat bukti penyebaran ChiVMV yang sangat luas di Indonesia. Infeksi virus tersebut dapat ditemukan pada setiap pertanaman cabai yang diamati di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan walaupun kejadian penyakit berbeda-beda untuk setiap tempat.

Tanaman cabai yang terinfeksi, pada daunnya akan memperlihatkan gejala belang-belang hijau gelap, dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis. Gejala yang disebabkan oleh ChiVMV bervariasi tergantung pada inang, strain virus, waktu infeksi dan kondisi lingkungan. (CABI 2005). Infeksi yang terjadi pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buah yang lebih sedikit dan lebih kecil (Shah dan Khalid 2001).

ChiVMV termasuk jenis virus yang sulit dikendalikan antara lain karena virus ini ditularkan oleh serangga vektor yaitu Aphid spp. secara non persisten. Penyebaran virus ini terjadi dalam waktu yang cepat dikarenakan oleh aktifitas serangga vektor. Disamping itu ChiVMV juga memiliki kisaran inang yang cukup luas. Selain menginfeksi Capsicum annuum, ChiVMV dilaporkan menginfeksi C. frutescens, Lycopersicon esculentum, Solanum melongena, Datura stramonium, Nicotiana spp, dan Chenopodium spp. (Green et al. 1999).

Usaha pengendalian penyakit belang pada cabai yang disebabkan oleh ChiVMV sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan karena tidak ada bahan kimia yang dapat diaplikasikan secara langsung untuk mengendalikan virus tersebut. Pengendalian umumnya dilakukan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi sumber inokulum dengan cara mencabut tanaman-tanaman yang telah menunjukkan gejala serangan virus, melakukan pergiliran tanaman, dan pemberantasan gulma yang dapat menjadi inang alternatif virus, dan mengendalikan perkembangan serangga vektor dengan menggunakan pestisida. Cara-cara pengendalian tersebut terkadang tidak efektif karena proses penularan virus dapat terjadi dengan cepat mengingat kutu daun dapat menularkan virus ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah penggunaan pestisida akan meninggalkan residu pestisida pada

(24)

buah dan membahayakan, mencemari lingkungan serta membutuhkan biaya yang besar. Dengan demikian penggunaan varietas tahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengendalikan virus karena metode ini relatif lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan metode pengendalian yang lain (Dolores 1998) .

Beberapa pendekatan dalam melakukan perakitan varietas tahan virus dapat dilakukan diantaranya adalah pendekatan konvensional, rekayasa genetik dan melalui pemanfaatan kultur in vitro yang dikombinasi dengan induksi mutasi menggunakan mutagen kimia. Pendekatan konvensional untuk pengembangan varietas tahan virus memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah sumber gen ketahanan terhadap virus masih belum ditemukan pada koleksi plasma nutfah cabai di Indonesia. Selain itu, kultivar tahan yang dihasilkan melalui pemuliaan konvensional seringkali mudah terpatahkan karena perubahan genetik dari virus yang cepat akibat adanya rekombinasi dan adanya variasi genetik yang tinggi dari virus. Kultivar tahan yang dihasilkan mungkin hanya spesifik untuk strain atau isolat tertentu. Bila sumber gen ketahanan terhadap virus sangat terbatas, maka diperlukan pendekatan lain seperti pemanfaatan teknik kultur in vitro untuk mendapatkan varian somaklonal. Teknik ini banyak dilakukan karena selain dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak, juga dapat menghasilkan keragaman somaklonal. Keragaman somaklonal dapat dilakukan melalui beberapa perlakuan, diantaranya melalui perlakuan zat pengatur tumbuh (ZPT), subkultur berulang dengan periode kultur in vitro yang panjang (Ahloowalia 2004). Keragaman genetik melalui kultur in vitro dapat ditingkatkan apabila dikombinasikan dengan perlakuan mutagen fisik dan kimiawi (Girija dan Dhanavel 2009). Pemanfaatan teknik tersebut adalah upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan memperoleh gen baru yang lebih luas (Mattjik 2005). Sifat ketahanan tanaman terhadap beberapa cekaman biotik seperti misalnya cendawan, virus dan bakteri telah dapat diperbaiki dengan pendekatan ini.

Di dalam pengembangan tanaman cabai tahan virus, adanya informasi tentang keragaman genetik virus akan dapat bermanfaat dalam hal pemilihan lokasi yang spesifik untuk genotipe terhadap isolat-isolat tertentu, sehingga ledakan penyakit dapat diatasi. Selain itu, informasi mengenai tingkat virulensi

(25)

suatu strain virus yang menginfeksi tanaman cabai perlu diketahui sehingga dapat diambil langkah-langkah pengendaliannya. Isolat-isolat ChiVMV di India, Vietnam, Taiwan, dan China telah berhasil diidentifikasi secara molekuler. Di Indonesia, keragaman genetik ChiVMV berdasarkan perunutan basa DNA belum banyak dilaporkan. Usaha identifikasi melalui teknik hibridisasi asam nukleat dan PCR telah dirintis oleh beberapa peneliti (Taufik 2006; Opriana 2009). Namun demikian, informasi yang lebih mendalam mengenai urutan DNA dari ChiVMV yang ada di Indonesia untuk menunjukkan adanya keragaman genetik diantara ChiVMV belum pernah dilakukan.

Dalam rangka pengembangan genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV telah dilakukan penelitian berjudul “ Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum): Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal” melalui tahapan survey ChiVMV, isolasi dan karakterisasi strain ChiVMV, induksi mutasi, dan evaluasi ketahan tanaman mutan somaklon (Gambar 1.1)

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh informasi tentang sebaran ChiVMV pada pertanaman cabai di beberapa sentra produksi di Indonesia melalui survey dan deteksi menggunakan metode Double antibody sandwich – Enzyme linked immunosorbend assay (DAS-ELISA) dan Polymerase chain reaction (PCR). 2. Mendapatkan informasi tentang tingkat virulensi isolat-isolat ChiVMV

terhadap 10 genotipe cabai.

3. Mengetahui keragaman gen selubung protein beberapa isolat-isolat ChiVMV Indonesia.

4. Mendapatkan varian somaklon tanaman cabai melalui teknik kombinasi antara kultur in vitro dan induksi dengan ethyl methane sulfonate (EMS) yang memiliki sifat ketahanan terhadap ChiVMV.

(26)

Hipotesis

1. ChiVMV telah menyebar di beberapa sentra produksi cabai di Indonesia diantaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Aceh Tengah.

2. Isolat-isolat ChiVMV memiliki tingkat virulensi yang berbeda terhadap 10 genotipe cabai tanaman uji.

3. Strain-strain ChiVMV di Indonesia memiliki keragaman pada gen selubung proteinnya

4. Teknik kultur in vitro dapat meningkatkan keragaman somaklonal tanaman

5. Variasi somaklonal yang dikombinasikan dengan mutagen kimia ethyl methane sulphonate pada tunas terminal dapat menghasilkan genotipe baru dengan karakter agronomis dan sifat ketahanan terhadap ChiVMV yang berbeda.

6. Terdapat perbedaan sifat ketahanan terhadap ChiVMV pada tanaman hasil variasi somaklonal

(27)

Gambar 1. 1. Diagram alur penelitian“ Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum):

Keragaman Isolat dan Strategi Pengendaliannya Melalui Induksi Variasi Somaklonal”

Mutan somaklon yang tahan ChiVMV

Evaluasi tanaman mutan somaklon untuk karakter Agronomis (M0) Optimasi dan evaluasi berbagai konsentrasi dan lama perendaman mutagen EMS pada beberapa eksplan genotipe cabai

Uji Virulensi isolat ChiVMV terhadap 10 genotipe cabai

Regenerasi planlet dari tunas ganda yang telah diperlakukan mutagen EMS

Evaluasi Tanaman M1 terhadap infeksi strain ChiVMV yang paling virulen

Survei sebaran ChiVMV di beberapa sentra produksi cabai di Jawa, Sumbar, Kalsel, Aceh Tengah

Studi regenerasi kalus dan tunas terminal membentuk tunas adventif dan tunas ganda dalam media kultur in vitro

Isolasi, deteksi & karakterisasi ChiVMV menggunakan ELISA, teknik RT-PCR dan perunutan asam nukleat

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia BS, Prakash J, Savangikar VA, Savangikar C. 2004. Plant tissue culture. International Atomic Energy Agency. Austria. P. 3-10

AVRDC. 2003. AVRDC Progress Report 2002. Shanhua, Tainan, Taiwan. Hlm 182

[CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2005. Chilli veinal mottle virus. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. London: CABI Publish. [DBPH] Direktorat Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura RI. 2009.

Luas panen, rata-rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta

[Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura 2009. Luas Pertanaman Cabai Merah. (http:www.deptan.go.id/ditlinhorti/da-its-2009 (5 Maret 2010)

[Ditjen Hort] Direktorat Jendral Hortikultura. 2009. Perkembangan luas panen sayuran tahun 2003-2009. http://www.deptan.go.id [25 Desember 2010]. Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNET II

Final Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.

Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. TeknologiProduksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 1-3

Girija M, Dhanavel D. 2009. Mutagenic effectiveness and efficiency of gamma rays Ethyl Methane Sulfonate and their combined treatments in Cowpea (Vigna ungiculata L. Walp). Glob J of Mol Scien 4(2):68-75.

Green SK, Hiskias Y, Lesemann DE, Vetten HJ, 1999. Characterization of chilli veinal mottle virus as a potyvirus distinct from pepper veinal mottle virus. Petria 9(3):332.

Mattjik NA. 2005. Peran Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Hlm 102.

Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC. Shah H, Khalid S. 2001. Sceening of exotic Pepper Lines Against Local Isolate

of Chilli veinal mottle potyvirus. On Line Journal of Biological Sciences 1(11):1078-1080. Asian Network for Scientific Information. [21 Agustus 2005].

(29)

Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Hayati 13:1-6

Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survey infeksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152.

Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Manti I, Habazar T. 2009. Interaksi infeksi campuran ChiVMV dan Geminivirus dalam menimbulkan penyakit kuning keriting cabai. Seminar SEMIRATA BKS-PTN wil. Barat, Serang 13-16 April 2009.

(30)

Karakter Molekuler Chilli Veinal Mottle Potyvirus

Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) adalah salah satu virus penyebab penyakit pada tanaman cabai. Virus tersebut pertamakali diisolasi oleh Burnett pada tahun 1947 dari Capsicum annuum di Malaysia. Partikel virus berbentuk batang lentur dengan panjang sekitar 750 nm dan diameter kira-kira 12 nm (International Taxonomy on Committee of Viruses, 2002). ChiVMV termasuk dalam kelompok atau genus Potyvirus (famili Potyviridae) dengan genom berupa RNA utas tunggal berorientasi positif (+ ssRNA) berukuran 9711 nukleotida (nt) (Fauquet et al. 2005). Genus Potyvirus sendiri termasuk kelompok virus yang paling banyak menyerang tanaman, yaitu mencapai lebih dari 100 jenis virus ( Ong 1995).

Potyvirus memiliki selubung protein yang berfungsi untuk penularan melalui kutu daun, pergerakan virus dari sel ke sel dan pergerakan virus secara sistemik, pembentukan selubung virus, dan replikasi virus (Tabel 2. 1) (Urcuqui-Inchima et al. 2001). Menurut Moury et al. (2005), ChiVMV dapat dibedakan dari Pepper veinal mottle virus berdasarkan runutan asam amino selubung protein. Tingkat kesamaan runutan asam amino kedua jenis virus tersebut hanya mencapai 80%, sedangkan antara strain yang berbeda dalam spesies yang sama mempunyai tingkat kesamaan mencapai 83%-99% (Fauquet et al. 2005).

Genom Potyvirus mempunyai satu open reading frame (ORF) yang mengkode 340-350 KDa prekursor poliprotein. Translasi RNA Potyvirus dimulai dari kodon awal AUG pada posisi nukleotida 145-147 dari ujung 5’ genom Potyvirus, kodon stop terletak pada nukleotida ke 9525- 9589 dari ujung 3’ genom Potyvirus dan diikuti oleh sekuen poliadenilasi (poly A) (Gambar 2.1).

(31)

Tabel 2. 1. Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom Potyvirus*)

Protein Fungsi protein

P1 Proteinase; yang diduga berperan dalam perpindahan virus dari sel ke sel

Hc-Pro Sarana /media penularan virus dengan bantuan serangga kutu daun P3 Fungsi sebenarnya belum diketahui dengan pasti, tetapi

kemungkinannya berperan dalam replikasi virus

CI Replikasi genom

CP Selubung protein, yang berhubungan dengan penularan melalui serangga vektor, dan perpindahan virus dari sel ke sel.

NIa-VPg VPg (protein yang menempel pada ujung 5’RNA untuk permulaan sintesis RNA)

Nia-Pro Proteinase major

Nib Replikasi genom (RNA dependent RNA polymerase/RdRp)

6K1&6K2 Belum diketahui dengan pasti, kemungkinannya berhubungan dengan replikasi RNA; mengatur fungsi translokasi Nia nuclear

*

Sumber : Uncuqui-Inchima et al. (2001)

Gambar 2. 1. Organisasi genom potyvirus (Shukla et al. 1994)

Ekspresi genom Potyvirus terjadi melalui translasi poliprotein dari genom virus. Poliprotein kemudian mengalami pemotongan dalam sitoplasma menjdi protein fungsional dan struktural sesuai dengan gen yang disandikannya. Pemotongan poliprotein dilakukan dengan protease yang terjadi selama dan sesudah translasi. Protease yang memotong poliprotein juga disandikan oleh gen yang terdapat dalam genom Potyvirus.

Poliprotein yang diekspresikan oleh genom virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Tabel 2.1) (Hull 2002). Protein inklusi yang berbentuk silindris (CI) dan protein selubung (CP) digunakan oleh virus untuk pergerakan dari satu sel inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga diperlukan untukpergerakan

(32)

virion protein dalam jaringan vaskuler melalui interaksi dengan Hc-Pro pada domain C- dan N- terminalnya. Selain berperan di dalam perpindahan virus pada jaringan vaskuler, HC-Pro juga berfungsi menekan mekanisme pertahanan tanaman menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing (pembungkaman RNA). Viral genome-linked protein (VPg) yang berada pada ujung 5’ genom virus adalah protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal dari protein inklusi inti (NIa) dan terpisah secara autokalatik dari domain C-proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan secara kovalen dengan ujung 5’ RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu asam amino tirosin yang terletak di bagian N-proximal. Keberadaan VPg sangat diperlukan untuk proses infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E) (Schaad et al. 2000), dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik (Leornard et al. 2000) Dalam genom Potyvirus terdapat daerah yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Daerah yang conserved adalah daerah Hc-Pro dan Nib. Daerah yang bervariasi adalah P1, P3, dan CP. Protein P3 merupakan daerah yang conserved di antara strain (Eleman et al. 1997) .

Replikasi virus yang mempunyai genom +ssRNA terjadi melalui beberapa tahap, yaitu 1) virus masuk ke dalam sitoplasma tanaman inang, 2) komponen virus akan terpisah antara selubung protein dan asam nukleat, 3) RNA virus bergabung dengan ribosom tanaman inang dan sintesis polimerase untuk replikasi RNA, sehingga dihasil untai negatif RNA, 4) sintesis untai RNA positif dan mRNA protein selubung menggunakan untai RNA negatif sebagai cetakannya, 5) pembentukan subunit protein selubung dalam jumlah besar, dan 6) virion terbentuk melalui penggabungan antara untai positif RNA dengan protein

(33)

selubung. Selanjutnya virus menyebar ke sel sekelilingnya melalui plasmodesmata.

Keragaman genetik pada genus Potyvirus telah banyak dilakukan berdasarkan gen-gen yang terlibat didalam pembentukan selubung protein dan daerah 3’UTR. Daerah tersebut diketahui merupakan daerah yang bervariasi diantara kelompok Potyvirus. Shukla dan Ward (1988) menggunakan runutan asam amino selubung protein (CP) untuk menilai hubungan kekerabatan berbagai virus dalam kelompok Potyvirus. Hasil kajian tersebut menunjukkan virus-virus yang berbeda mempunyai kesamaan runutan asam amino CP 38% hingga 71%, sedangkan untuk strain dari virus yang sama tingkat kesamaannya mencapai 90% sampai 99%.Demikian pula hasil analisis runutan nukleotida 3’UTR strain-strain Peanut stripe virus (PStV) menunjukkan bahwa strain virus tersebut mempunyai kesamaan antara 97,9% sampai 100% (Akin 2002). Penelitian mengenai keragaman pada tingkat molekuler berdasarkan runutan nukleotida sistron penyandi selubung protein dan 3’ UTR dilakukan pula oleh Tsai et al. (2008) pada ChiVMV, dimana tingkat kesamaan asam amino dan runutan nukleotida isolat ChiVMV di Asia termasuk Indonesia masing-masing berkisar 94,8% dan 89,5%.

Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

Selain faktor agronomis yang dapat menghambat produksi cabai, gangguan hama dan penyakit juga menjadi masalah yang utama di dalam budidaya tanaman cabai. Prabaningrum dan Moekasan (1996) melaporkan berbagai hama yang dapat menyerang tanaman cabai seperti kutu daun (Myzus persicae Sulz), Thrips (Thrips parvisipinus Karny), ulat daun (Helicoverpa armigera Hubner), kepik (Empoasca lybica (de Bergevin dan Zanon)), lalat buah (Bactrocera dorsalis Hendel), ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) dan

(34)

tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks). Direktorat Jendral Perlindungan Tanaman Hortikultura (2009) mencatat beberapa penyakit penting pada tanaman cabai diantaranya adalah antraknosa, bercak daun Cercospora, busuk Phytophthora, layu Fusarium, layu bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus seperti Pepper veinal mottle virus(PMMV) , Genimivirus, Cucumber mosaic virus (CMV). Potato virus Y (PVY), Tobacco mosaic virus (TMV).

Gejala Infeksi ChiVMV pada Tanaman Cabai

Menurut Ong (1995) virus ini pertama kali dilaporkan oleh Burnett pada tahun 1947 pada Capsium annum di Malaysia. Selanjutnya virus ini telah menyebabkan penyakit dibanyak negara Asia dimana cabai ditanam secara komersial. Di Indonesia, keberadaan ChiVMV telah dilaporkan oleh Duriat et al. (1989). Gejala yang timbul karena infeksi ChiVMV pada tanaman cabai sangat bervariasi, tergantung pada strain virus, umur tanaman pada waktu terinfeksi, dan lingkungan. Umumnya gejala yang ditimbulkan pada tanaman cabai sangat nyata terlihat pada daun. Daun yang terinfeksi oleh ChiVMV menampakkan gejala belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis (Ong 1995; Sulyo et al. 1995; Chiemsombat dan Kittipakorn 1996).

Daun-daun yang terinfeksi secara umum menjadi kerdil dan mengalami malformasi. Kadang-kadang buah juga dipengaruhi sehingga menjadi belang-belang atau distorsi sehingga produksi dan kualitasnya menjadi rendah (Shah dan Khalid 2001).

(35)

Kisaran Inang dan Mekanisme Penularan ChiVMV

Beberapa penulis melaporkan tanaman yang dapat menjadi inang bagi ChiVMV diantaranya adalah Nicotiana tabacum, N. benthamiana, Physalis minima, P. floridana, C. annum, C. frutescens, N. glutinosa. Nicandra physalodes, Solanum melongena dan S. aethiopicum (Womdim et al. 2001).

ChiVMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, penyambungan dan serangga vektor seperti A.craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, M. persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan R. maydis secara non persisten, tetapi tidak dapat ditularkan melalui biji (Ong et al. 1979). Infeksi ChiVMV pada tanaman cabai terjadi secara sistemik pada seluruh fase pertumbuhan tanaman.

Deteksi dan Karakterisasi ChiVMV

Deteksi dan karakterisasi ChiVMV pada tanaman cabai, dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan pengamatan gejala, menggunakan teknik serologi molekuler seperti Enzyme linked immunosorbent assays (ELISA) dan Reverse Transcriptase-Polymerase chain reaction (RT-PCR) serta perunutan nukleotida dan asam amino (Tsai et al. 2008). Deteksi melalui pengamatan gejala terkendala adanya kemungkinan tanaman terinfeksi lebih dari satu virus atau terinfeksi virus secara campuran. Serodiagnosis merupakan cara deteksi virus dengan memanfaatkan reaksi antara antigen dan antibodi (Agrios 2005). Metode ini mempunyai banyak keuntungan antara lain cepat, tepat dan dapat digunakan untuk karakterisasi virus serta untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu virus. Metode tersebut dilakukan karena gejala penyakit dari lapang kadang-kadang meragukan sehingga sulit dilakukan identifikasi yang jelas tentang virus yang menyebabkan penyakit tersebut (Hull 2002).

(36)

Teknik serologi dengan metode ELISA untuk mendeteksi keberadaan ChiVMV telah banyak digunakan. Hasil deteksi dengan metode tersebut menunjukkan bahwa teknik DAS-ELISA cukup sensitif yaitu mampu mendeteksi ChiVMV sampai pengenceran 1:1000 (Opriana, 2009).

Teknik RT-PCR digunakan untuk virus yang memiliki tipe genom RNA. Enzim transkriptase balik (reverse trancriptase) yang digunakan dalam RT-PCR adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan sebagai cetakan didalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer. RT-PCR adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman seperti ChiVMV, Chysanthemum B carlavirus (CVB) (Tsai et al. 2008; Ram et al. 2005 ).

Analisis perunutan nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan yang tidak kalah penting didalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus. Dari hasil analisis perunutan nukleotidan dan asam amino dapat diketahui tingkat kesamaan nukleotida dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun strain-strain dari virus yang sama (Shukla et al 1994). Analisis tersebut digunakan sebagai pelengkap proses deteksi dan karakterisasi virus. Teknik yang selama ini dilakukan adalah menggunakan inang diferensial, serologi, dan RT-PCR dimana masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Inang diferensial atau tanaman indikator merupakan salah satu cara untuk mengarakterisasi masing-masing isolat berdasarkan kesesuaian pada suatu inang. Selain itu dapat juga digunakan untuk mengetahui virulensi masing-masing isolat tersebut. Pada awal perkembangan ilmu virologi penggunaan inang diferensial menjadi salah satu metode yang rutin digunakan untuk mendeteksi dan mengarakterisasi virus tanaman.

(37)

Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologi memerlukan waktu yang cukup lama karena harus mempersiapkan tanaman inang indikator, tetapi biaya yang dikeluarkannya tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksian virus atau indexing, dibandingkan dengan kajian biologi, sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil positif dengan metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Moury et al. 2005). Hanya saja metode ini pun masing-masing menemukan kendala, dimana metode RT-PCR tidak dapat membedakan virus pada kelompokan virus yang sama atau tidak dapat mengetahui variabilitas yang terjadi diantara strain-strain virus itu sendiri.

Ketahanan Tanaman terhadap ChiVMV

Sistem pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen secara umum terjadi melalui satu atau beberapa cara, yaitu struktural maupun reaksi biokimia. Ketahanan secara struktural adalah bentuk penghambatan fisik oleh tanaman yang mengakibatkan patogen tidak dapat melakukan penetrasi dan berkembang, sedangkan ketahanan secara biokimia, yaitu tanaman menghasilkan senyawa yang bersifat toksik, atau menghambat pertumbuhan patogen (Agrios 2005).

Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu menghambat replikasi virus dan penyebaran virus di dalam tanaman (Fraser 2000). Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus pada sel tertentu sehingga tidak menyebar ke sel lainnya (Hull 2002). Respon tanaman inang terhadap infeksi suatu virus dapat dikelompokan ke dalam tanaman dengan respon rentan dan tahan. Tanaman inang

(38)

yang rentan dicirikan oleh adanya gejala yang jelas dan replikasi virus yang tinggi, sementara respon inang yang tahan terdiri atas imun, agak tahan, toleran dan hipersensitif. Imun dicirikan oleh tidak adanya gejala dan ketidakmampuan virus untuk bereplikasi. Toleran dicirikan oleh adanya gejala dan replikasi virus namun tidak mempengaruhi kehilangan hasil. Hipersensitif ditunjukkan oleh adanya gejala khas (lesio lokal) (Fraser 2000).

Untuk mendapatkan kultivar yang tahan terhadap patogen seorang pemulia tanaman biasanya melakukan seleksi atau skrining terhadap beberapa kultivar yang berasal dari koleksi plasma nutfah, kultivar komersial, spesies liar sekerabat, spesies lain dalam satu genus, atau genus lain. Hasil seleksi diperoleh genotipe yang tahan terhadap patogen yang akan dihibridisasi dengan tetua yang mempunyai sifat unggul lainnya seperti produksi yang tinggi. Untuk memindahkan sifat tahan ke tetua yang mempunyai sifat produksi tinggi dapat dilakukan metode back cross atau silang balik selama beberapa kali sehingga diperoleh individu yang mempunyai sifat atau karakter yang tahan terhadap patogen namun memiliki sifat tetua ulang (recurent parents) (Mangoendidjojo 2003)

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sampai saat ini belum diperoleh genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV (Taufik 2005). Walaupun demikian di Indonesia juga telah dilakukan pengujian ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap ChiVMV namun, terdapat genotipe cabai yang potensial untuk digunakan di dalam program pemuliaan untuk dikembangkan menjadi kultivar baru yang tahan. Salah satu diantaranya adalah genotipe LV 3633-R asal Indonesia menunjukkan ketahanan terhadap semua isolat ChiVMV (Chiemsombat dan Kittipaqkorn 1996). Di Indonesia juga telah dilakukan pengujian ketahanan

(39)

beberapa genotipe cabai terhadap ChiVMV namun, hasil yang diperoleh masih sedikit (Millah 2007; Latifah 2007). Oleh karena itu diperlukan teknik lain yang memungkinkan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit, yaitu melalui variasi somaklonal.

Pembentukan Variasi Somaklonal

Kultur in vitro atau kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik (Gunawan 1988). Teknik ini seringkali dapat menginduksi terjadinya keragaman genetik pada populasi tanaman yang dihasilkan. Oleh karena itu, keragaman genetik yang terjadi akibat kultur in vitro disebut keragaman somaklonal (variation somaclonal) (Larkin dan Scowcroft 1981). Saat ini banyak penelitian yang menekankan pentingnya variasi somaklonal untuk perbaikan tanaman hortikultura. Variasi yang muncul selama proses kultur in vitro disebut variasi somaklonal dan merupakan variasi yang umum terjadi antar tanaman yang berasal dari kultur jaringan atau kultur sel. Menurut Ahloowalia (2001), variasi somaklonal yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan. Perubahan tersebut diantaranya adalah defisiensi klorofil, aneuploidi, resistensi terhadap penyakit atau kadang-kadang muncul variasi yang sebelumnya tidak pernah ada di alam. Variasi dapat juga terjadi pada sifat seperti tinggi tanaman, luas daun, panjang daun, ketebalan batang, vigor, pembungaan, fertilitas dan hasil.

Variasi somaklonal akan berguna jika: (1) menambah komponen varian dengan variasi yang tidak terdapat di alam, (2) mengubah satu atau beberapa sifat dari kultivar yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik terutama pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau spesies yang menyerbuk sendiri. Variasi

(40)

somaklonal akan dibatasi penggunaannya jika perubahan yang terjadi terlalu jauh dari harapan atau terlalu drastis dan mengubah banyak gen.

Untuk menghasilkan tanaman somaklonal dengan suatu karakter baru maka perlu diketahui faktor-faktor kritis yang mempengaruhi variasi somaklonal. Faktor-faktor tersebut adalah (1) genotipe, (2) lingkungan kultur (zat pengatur tumbuh), (3) sumber eksplan, dan (4) lama fase kalus dan lama durasi kultur (Arous et al. 2001). Genotipe merupakan faktor penting di dalam menimbulkan variasi somaklonal, karena genotipe dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi dan frekuensi variasi somaklonal yang terjadi. Christopher dan Rajam (1999) mencatat frekuensi keragaman genotipe yang tinggi terjadi pada beberapa kultivar cabai Capsicum praetermissum, C. baccatum dan C. annuum cvs. G4.

Menurut Fratini dan Ruiz (2002) banyak bukti menunjukkan variasi somaklonal dipengaruhi oleh pemilihan zat pengatur tumbuh terutama berhubungan dengan jumlah konsentrasi yang ditambahkan dalam media. Zat pengatur tumbuh sitokinin sering digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk mendapatkan multiplikasi yang tinggi. Sitokinin terbagi dua kelompok yaitu sitokinin alami dan sintetis. Sitokinin alami (endogen) adalah zeatin dan sitokinin sintetis adalah N6-Benzyl amino purine (BAP) dan Furfuryl acetic acid (kinetin). Berdasarkan struktur kimia, sitokinin adalah turunan adenine (BAP, kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). TDZ dan BAP mempunyai respon fisiologi yang sama, yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan, organ serta biosintesis klorofil (Gaba 2005). Keefektifan BAP dan TDZ dalam menginduksi multiplikasi tunas berbeda-beda bergantung pada jenis tanamannya. Pada tanaman cabai konsentrasi optimal BAP dan TDZ untuk menginduksi tunas adventif adalah 3 mg/l dan 0,5 mg/l (Khan et al. 2006),

(41)

pada tanaman Coffea arabica L. dan C. canephora perlakuan 7 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas per eksplan hampir sama dengan perlakuan 2 mg/l TDZ tetapi persentase eksplan membentuk tunas pada perlakuan TDZ lebih tinggi dibandingkan perlakuan BAP (Giridhar et al. 2004). Selain keduanya, zat pengatur tumbuh 2,4 D adalah termasuk zat pengatur tumbuh yang sering kali mengakibatkan variabilitas kromosom. Konsentrasi 2,4 D yang berpengaruh terhadap peningkatan variabilitas pada tanaman horseradish (Amoracia rusticana L.) adalah 0,1 µM yang dikombinasikan dengan 0, 0,1, dan 1,0 µM BA. Bila konsentrasi 2,4D lebih dari 0,1 µM kalus tidak beregenerasi (Yuliadi 2008). Dalam perbanyakan in vitro, sesungguhnya hampir selalu diperoleh planlet yang di luar tipe yang biasanya dibuang. Setelah penelitian mengenai variasi somaklonal dimulai dan dirasakan manfaatnya dalam pemuliaan tanaman maka justru yang di luar tipe ini yang menjadi perhatian. Setiap spesies berbeda jenis dan frekuensi variasinya dan setiap kultivar atau genotipe pada spesies yang samapun berbeda variasi somaklonnya. Mekanisme terjadinya keragaman somaklonal diantaranya disebabkan oleh perubahan genetik spesifik, misalnya mutasi titik (single nucleotide changes), perubahan jumlah kopi gen tertentu, aktivasi transposable elemen, perubahan jumlah kromosom, chromosomal rearrangements, dan metilasi DNA. Metilasi diketahui meningkatkan frekuensi mutasi CG ke AT (Keappler dan Philip 1993).

Penggunaan keragaman somaklonal memiliki kelemahan. Keragaman yang ditimbulkan tidak dapat diprediksi di alam. Dengan menggunakan kultur jaringan mungkin keragaman variasi genetik atau epigenetik dapat diinduksi, namun terjadinya keragaman epigenetik lebih banyak terjadi dari pada keragaman genetik (Jain 2001).

(42)

Penyebab Variasi Somaklonal

Penyebab munculnya variasi somaklonal ada dua yaitu variasi genetik yang memang sudah ada dalam eksplan dan variasi induksi atau variasi epigenetik yang muncul selama fase kultur in vitro. Variasi genetik bersifat stabil baik melalui perbanyakan seksual dan aseksual, sedangkan variasi epigenetik tidak stabil dan berpotensi dapat balik (reversible) (Keappler et al. 2000). Timbulnya keragaman genetik selama proses in vitro dipengaruhi oleh faktor internal maupun ekstenal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi frekuensi munculnya variasi somaklonal dalam kultur in vitro adalah genotipe tanaman induk, sumber eksplan yang digunakan, umur jaringan dan tingkat ploidi, sedangkan faktor eksternal adalah konsentrasi berbagai komponen media pertumbuhan, jumlah subkultur, dan konsentrasi zat pengatur tumbuh serta proses regenerasinya (Nwauzoma et al. 2002; Jayasankar 2005). Mutasi gen merupakan mutasi yang paling diharapkan terjadi dalam pemuliaan yang menggunakan variasi somaklonal, karena mutasi gen hanya akan merubah sifat tertentu yang dikendalikan gen tersebut. Menurut Arnim (2005) mutasi gen bisa terjadi di tingkat DNA (perubahan satu basa), di tingkat protein (perubahan kode triplet untuk asam amino), atau dapat terjadi mutasi ke arah liarnya dan bahkan dapat terjadi mutasi balik.

Mutasi Secara Fisik dan Kimia

Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman. Teknik mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro dan metode molekuler akan menyediakan metode yang kuat untuk meningkatkan keragaman somaklonal (Ahloowalia et al. 2004). Mutagenesis adalah keseluruhan proses yang menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi yang spontan atau yang

(43)

diinduksi dengan agen penginduksi mutasi (mutagen). Mutasi buatan dimaksudkan untuk mendapatkan keragaman genetik yang tercermin dari mutan-mutan yang dihasilkan. Selanjutnya mutan-mutan-mutan-mutan yang memiliki karakter yang dikehendaki diseleksi secara langsung dan diperbanyak secara vegetatif atau mutan tersebut diserbuk sendiri untuk menstabilkan karakter mutan tersebut (Poehlman 1996).

Mutasi buatan merupakan mutasi yang sengaja dilakukan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Mutasi buatan ini biasanya diinduksi secara fisik, kimia dan biologi. Berbagai unsur fisik seperti suhu, cahaya dengan gelombang tertentu (sinar x, y) dapat mengakibatkan mutasi. Bahan kimiawi yang mengandung senyawa yang bersifat mutagen diantaranya etil metan sulfonat (EMS), dietil sulfat (dES), nitroso etil urea (ENH), nitroso metil urea (MNH), dan etilenamin (EI) (Van Harten 1998).

Kelebihan penggunaan agen mutagenik kimia adalah (1) sebagian besar mutasi yang terjadi merupakan mutasi titik; (2) kerusakan kromosom lebih kecil, dan (3) mutasi terjadi dengan frekuensi tinggi. Kelemahannya adalah (1) penetrasi jaringan multisel seringkali sulit, (2) reproduksibilitas rendah, dan (3) agen mutagenik kimia sangat berbahaya karena bersifat karsinogenik (Van Harten 1998).

Perlakuan dengan mutagen fisik dapat menimbulkan pengaruh pada generasi pertama yaitu (1) kerusakan dan menyebabkan kematian jaringan (letal), (2) steril, (3) khimera. Kerusakan yang diakibatkan radiasi ini diantaranya kerusakan fisiologis, kerusakan kromosom (mutasi kromosom), kerusakan sitoplasma (mutasi sitoplasma). Menurut Ahloowalia et al. (2004) dan Hussien et al. (2008) radiasi pengion dapat memutus rantai kromosom pada tempat tertentu

(44)

sehingga dapat merubah struktur kromosom (delesi, inversi, duplikasi dan translokasi). Radiasi juga dapat merusak benang-benang spindel yang berfungsi menarik kromosom ke kutub-kutubnya pada fase metafase dalam proses mitosis sehingga akan merubah jumlah kromosom dan dapat menyebabkan euploidi dan aneuploidi.

Ethyl methane sulfonate (EMS) termasuk senyawa alkil yang mempunyai potensi tinggi sebagai mutagen yang efisien untuk tanaman. Penggunaan EMS ini lebih sering dilakukan karena mudah didapat, harganya murah dan tidak toksik bagi jaringan tanaman yang di beri perlakuan EMS(Van Harten 1998; Nasir 2002). EMS (CH3SO2OC2H5) adalah suatu alcylating agent. Gugus alkil bereaksi dengan

DNA dengan cara mengalkilasi gugus fosfat dan basa purin serta basa pirimidin yang seringkali terjadi jika reaksi melibatkan basa nitrogen pada DNA. Alcylating agent seperti EMS sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan air. Oleh karena itu larutan EMS harus selalu dibuat segar, artinya begitu dibuat langsung digunakan, tidak boleh disimpan. Reaksi dengan air merupakan suatu reaksi hidrolisis yang mengakibatkan EMS tidak lagi bersifat mutagenik. Konsentrasi EMS yang dibutuhkan untuk setiap tanaman berbeda-beda tergantung dari tanaman dan jenis eksplan yang digunakan. Pada tanaman cabai, krisan, ubijalar, anggur, dan kacang-kacangan konsentrasi EMS yang dapat digunakan berturut turut adalah 0,5%, 0,77% , 0,04% dan 0,25-0,5% (Jabeen dan Mirza 2004; Luan et al. 2007; Singh et al 2007; Svetleva dan Crino 2005). Tanaman yang diperlakukan EMS akan mempelihatkan defisiensi klorofil dan variasi genetik umumnya lebih tinggi (Poerba 2004).

(45)

Variasi Somaklonal untuk mendapatkan Resistensi terhadap Penyakit

Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman. Induksi mutasi merupakan suatu cara untuk memperoleh mutan-mutan yang diharapkan membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada banyak tanaman yang diperbanyak secara vegetatif induksi mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro merupakan salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan hasil tanaman, namun hambatan yang sering dijumpai pada tanaman berbiak vegetatif adalah timbulnya kimera setelah perlakuan mutagen fisik maupun kimia (Linberger 2007).

Pemanfaatan fenomena variasi somaklonal dalam pemuliaan mula-mula dilakukan dengan mendorong terjadinya varian atau keragaman somaklonal. Selanjutnya dilakukan seleksi terhadap somaklonal yang memiliki sifat-sifat tertentu. Keragaman somaklonal dapat diinduksi secara terarah dengan menggunakan suatu media/agen seleksi dalam media kultur atau dengan memberikan kondisi tertentu agar dihasilkan somaklonal-somaklonal yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan misalnya, dapat dilakukan seleksi pada tahapan kultur in vitro dengan menambahkan fusaric acid yang merupakan toksin utama yang dihasilkan oleh Fusarium ke dalam media kultur in vitro. Teknik seleksi pada tanaman kultur in vitro dapat pula dilakukan terhadap patogen lainnya, seperti bakteri dan virus (Hwang and Ko 2004; Snikder et al. 2004; Imelda et al. 2000 ). Akan tetapi, untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, seleksi dilakukan pada saat tanaman sudah menjadi planlet dan pengujian dilakukan di rumah kaca.

(46)

Agar efektif, seleksi untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kultur in vitro menghasilkan keragaman yang tinggi. Kedua, metode seleksi terhadap somaklon dengan sifat-sifat yang diinginkan harus dapat dilakukan dengan mudah. Ketiga, perubahan yang terjadi adalah perubahan genetik yang dapat diturunkan pada zuriatnya dan tetap stabil pada waktu tanaman diperbanyak baik secara seksual maupun aseksual (Ahlowalia dan Maluszynski 2001).

Pemanfaatan dan Penerapan Variasi Somaklonal

Variasi somaklonal dapat memberikan kontribusi yang nyata pada pemuliaan tanaman. Walaupun variasi tidak mempengaruhi semua sifat dan tidak selalu menguntungkan di dalam pertanian, tetapi dengan seleksi kemungkinan dapat diperoleh genotipe-genotipe yang berguna dari sumber variasi tersebut. Beberapa contoh pemanfaatan variasi somaklonal adalah peningkatan ketahanan terhadap herbisida klorosulfuran pada tanaman jagung, ketahanan terhadap Erwinia carotovora pv. carotovora pada Zantesdechia spp. (Araceae), toleransi terhadap garam pada ubijalar serta tanaman kedelai toleran aluminium (Hughes 1983; Snijder et al. 2004; Luan et al. 2007; Mariska et al. 2004).

Contoh lain pemanfaatan variasi somaklonal adalah untuk membentuk tanaman genotipe unggul baru pada pisang di Indonesia yang sulit dilakukan karena tingkat ploidi yang tinggi dan steril. Tanaman pisang yang diberi perlakuan radiasi dengan sinar gamma 1000 rad dapat menginduksi sifat ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium (Panama disease) yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlect f.sp. cubesense (Smith et al. 2006, Mariska et al. 2006)

Pada C. annuum (cabai), mutan pertama diperoleh tahun 1972 melalui perlakuan radiasi 135 Gy sinar gamma, 25% EMS selama 5 jam, 0,5% EMS

Gambar

Gambar 1. 1. Diagram alur penelitian“ Chilli Veinal  Mottle Potyvirus (ChiVMV)  Penyebab Penyakit Belang Pada Cabai (Capsicum annum):
Tabel 2. 1. Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom  Potyvirus *)
Tabel 3. 1. Deteksi virus pada tanaman cabai yang berasal dari beberapa sentra   produksi tanaman cabai dengan metode DAS-ELISA
Tabel 3. 2. Deskripsi gejala tanaman yang terinfeksi ChiVMV secara tunggal dari  beberapa lokasi penanaman cabai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa; Kultivar cabai merah yang memiliki ketahanan tinggi terhadap serangan jamur Colletotrichum

Keparahan penyakit pada bibit jabon merah memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit jabon putih, yaitu berturut-turut 16% dan 12%, namun respon spesies bibit

Studi tentang keragaman dan seleksi ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit antraknosa perlu dilakukan guna memeroleh informasi genetik dalam merakit varietas

Percobaan dirancang secara rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan teknik inokulasi Cms dan lima ulangan, yaitu inokulasi dengan (a) merendam ubi benih yang

o Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut (masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri basiler. • Terapi yang

Induksi Ketahanan Tanaman Bawang Merah dengan bakteri rhizoplan indigenos terhadap penyakit hawar daun bakteri ( xanthomonas axonopodis pv allii ). Dalam Loekas

BKB yang mempunyai arti batuk yang berlangsung lebih atau sama dengan 2 minggu dan atau/ berlangsung 3 episode batuk dalam 3 bulan berturut-turut.4 Batuk kronik dan atau berulang

HASIL DAN BAHASAN Hasil Ekstraksi dan Analisis Fitokimia Dari hasil ekstrasi daun serapoh dengan empat jenis pelarut, persentase rendemen yang tertinggi berturut-turut diperoleh dari