• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Naskah Akademik Peraturan Daerah Provinsi Bali Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD

BALI

2015

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

PROVINSI BALI

TENTANG

PENYELENGGARAAN KETERTIBAN

UMUM DAN KETENTRAMAN

MASYARAKAT

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

KERJA SAMA

SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

PROVINSI BALI

PUSAT PERANCANGAN HUKUM |

(2)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

BALI TENTANG PENYELENGGARAAN

KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN

MASYARAKAT

TIM PENELITI

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana.,SH.,MH Dr. I Ketut Wirawan.,SH.,MH.

I Ketut Sudiarta, SH., MH.

Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH. A.A. Istri Ari Atu Dewi., MH.

PEMERINTAH PROVINSI BALI BEKERJA SAMA DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015

PUSAT PERANCANGAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar

(3)

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang_undang Dasar 1945. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia dalam tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 J UUD 1945

Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat. Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar >> i

Daftar Isi >> ii

Daftar Gambar >> iii

Daftar Tabel >> iv

BAB I. PENDAHULUAN >>> 1

A. Latar Belakang >>> 1

B. Identifikasi Masalah >>> 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

>>> 6

D. Metode Penelitian >>> 8

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 12

A. Kajian Teoritis >>> 12

B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma >>> 15

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>> 18 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan

Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya

Terhadap Beban Keuangan Daerah >>> 22 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT >>> 24 A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>> 24 B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan

Peraturan Perundang-undangan Yang Lain >>> 26 C. Rencana Pengaturan Dari Pemerintah

Provinsi Bali Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

(5)

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

>>> 31

A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis. >>> 31 B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan

Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

>>> 36

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI TENTANG

PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

>>> 40

A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 40 B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>> 42

BAB VI PENUTUP >>>52

A. RANGKUMAN >>>52

B. SARAN >>>55

DAFTAR PUSTAKA

DDAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

>>>56 >>>57 LAMPIRAN

1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. 2. Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Kewengan Satpol PP dalam menjaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

>>> 4

Tabel 2: Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013 >>> 18

Tabel 3: Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2014

>>> 18

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu. Dalam hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia.

Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen man is a social and politcal being artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai mahluk sosial itu selalu berorganisasi. Kehidupan dalam kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masing-masing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of

social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan

masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.

(8)

menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia dalam tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 J UUD 1945 yang mengatur bahwa :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dalam suatu masyarakat demokratis.

Dalam Pasal 28 ayat (2) ditegaskan kewajiban setiap orang untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Tujuan pembatasan adalah untuk menjamin pembatasan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dalam suatu masyarakat yang demokratis.

(9)

Satpol PP, di Provinsi Bali diatur dalam Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali. Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali mengatur :

Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyelenggarakan fungsi :

a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta perlindungan masyarakat;

b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepela Daerah

c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah;

d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau aparatur lainnya;

Seiring dengan perkembangan dinamika dan kebutuhan masyarakat, maka pengaturan ini dirasakan harus dituangkan dalam Peraturan Daerah. Adanya dasar kewenangan Satpol PP dalam melakukan penegakan terhadap Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 255 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(1)Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkanPerda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

(2)Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan:

a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;

c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan

(10)

Dalam Lampiran bagian E Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat dalam UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Juga Mengatur tentang Kewenangan Satpol PP Dalam Menjaga Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Kewenangan Provinsi diatur dalam Lampiean E UU No 23 Tahun 2014 sebagaimana dilampirkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 1 : Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Serta Perlindungan Masyarakat

No Sub Urusan

Pemerintah

Pusat Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota

1 Ketenteraman Sumber : Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota E. Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Serta

Perlindungan Masyarakat

(11)

a. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

b. Penegakan Perda Provinsi dan peraturan gubernur. c. Pembinaan PPNS provinsi.

Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa :

(1) SOP Satpol PP meliputi:

a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah;

b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa;

d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;

e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting; dan

f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli.

Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi ditetapkan oleh gubernur.

Banyaknya peranan penting yang merukan salah satu bentuk

kewenangan Satpol PP Provinsi Bali harus dibarengi dengan adanya

pengaturan tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat di Provinsi Bali. Tidak adanya pengaturan yang digunakan

sebagai pedoman oleh pemangku kepentingan akan menimbulkan dampak

hukum dengan adanya banyak pelanggaran terhadap penegakan hukum

terkait dengan penegakan Peraturan Daerah. Disamping itu dengan tidak

(12)

Umum dan Ketentraman Masyarakat dan Ketentraman Masyarakat Bali,

juga mengakibatkan tindakan Satpol PP tidak berlandaskan pada adanya

dasar hukum sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang

penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga sangat

perlu disusun Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan

Ketertiban UmumDan Ketentraman Masyarakat

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat) masalah pokok:

1. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

2. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

3. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

4. Belum optimalnya pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah di

daerah.

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH

AKADEMIK

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dirumuskan sebagai berikut:

(13)

2. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

3. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat sebagai dasar untuk memastikan objek dan subjek Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , serta struktur dan bentuk Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

4. Melakukan pengkajian hukum untuk memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan dalam melakukan koordinasi dengan Satpol PP yang ada di seluruh Bali.

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah sebagai pedoman dalam :

a. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

c.

d.

Pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

(14)

1.4. METODE

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik - digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.1

D.1 Jenis Penelitian.

Dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian yaitu : 2 a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal,

mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitatif.

b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris, mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris.

Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian ini, maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan penelitian hukum normative. Dalam beberapa kajian jenis penelitian seperti ini juga disebut dengan penelitian dogmatik.3 Dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer ( primary sources or authorities ) bahan-bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan bahan hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.

1 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, h. 177-178.

2 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia Jakarta, 1985, h. 9.

(15)

D.2. MetodePendekatan.

Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan ( comparative approach ), pendekatan histories (

historical approach ), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan

pendekatan kasus ( case approach).4 Dalam penelitian ini digunakan

beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statute

approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan pendekatan konsep

hukum ( conceptual approach ).

Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan dalam UU Pemda.

Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ) dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai pendelegasian kewenangan sesuai dengan penelitian ini.5 Disamping itu digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan penrapan hukum dalam suatu waktu yang tertentu.

D.3. Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.6 Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi

4 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, h. 93-137.

5 Ibid, h. 19.

(16)

Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada peraturan perundang-undangan.

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, termasuk di dalamnya kamus dan ensiklopedia.

D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.

1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum

Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif.7 Pada tahap deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.8 Lebih lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :

The relation berween a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is

7 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember h. 33.

(17)

directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that

the given facts sre either covered by it or not.9

( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain )

Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi :10

1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan ( biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini mengikat umum ;

2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ; 3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan penafsiran yang

diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.

Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik, penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum.

Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundang-undangan yang lain.

Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum.

9 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles, h. 111.

(18)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Ketertiban berasal dari kata tertib yang berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan ketertiban yaitu peraturan atau keadaan serba teratur baik. Ketertiban adakalanya diartikan sebagai “ketertiban, kesejahteraan, dan keamanan”, atau disamakan dengan Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, atau sinonim dari istilah

“keadilan”. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia mengibaratkan lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api.11 Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini,

maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut Sudargo

Gautama mengatakan bahwa lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ini digunakan jika pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing .

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat berhubungan secara harmoni dengan individu lain sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan aturan yang disebut Hukum. Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kemanfaatan, ada yang menyatakan kepastian hukum.

(19)

Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan utama yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar

Kusumaatmadja “Ketertiban” adalah tujuan pokok dan pertama dari segala

hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok

(fundame ntal) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,

ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya untuk mencapai ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Di setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Dengan adanya pengaturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan menjadi lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan adanya ketertiban itulah terselenggara kehidupan di dunia dan alam semesta ini. Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula bersifat subjektif. Norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah norma yang bersifat moral dan tidak dapat memberikuan ukuran atau patokan yang memadai.

(20)

adalah anarki, dan kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikit lebih rendah dari norma, hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai norma sopan-santun yang mencerminkan etika seseorang.

Sesuatu yang bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita mengenal hukum alam, itulah aturan yang bekerja di alam semesta. Ketertiban alam semesta dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama artinya Hukum Tertib Kosmis. Sesungguhnya, di dalam segenap bidang kehidupan berlaku aturan dan ketertiban. Ketertiban itu pulalah yang dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan hukum-hukum di dalamnya sebagai bidangnya.

Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas, antara sukses dan gagal. Oleh karena itu aturan sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian, ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin, sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.

(21)

B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.12

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang -undangan yang baik”, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

(22)

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yang dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dan

b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan untuk melakukan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:

(23)

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan

dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.

Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan

(24)

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pengaturan tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , yakni:

1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat.

2. secara politis dapat diterima oleh pemerintah, pemangku kepentingan dan masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

c. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN

Berdasarkan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa Polisi Pamong Praja berwenang:

a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

(25)

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali diatur :

Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyelenggarakan fungsi :

a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta perlindungan masyarakat;

b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepela Daerah

c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah;

d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau aparatur lainnya;

Di Provinsi Bali pelaksanaan tugas Satpol PP didasarkan pada Keputusan Gubernur Bali No 2383/05/HK/2013 tentang Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan Daerah dan Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS. Penegakan Peraturan Daerah dan pemberdayaan PPNS yang menitik beratkan penegakan pada :

1. Penegakan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali

(26)

3. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun2000 tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan bermotor

4. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2000 tentang Larangan Menaikkan Layan-Layang dan Permainan Sejenis di Bandara Ngurah Rai dan sekitarnya

5. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pengeluaran Ternak Potong Sapi

6. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup 8. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Penanggulangan HIV / AIDS

9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa

10. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah

11. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah

12. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata

13. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang

14. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies

15. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilyah Provinsi Bali 2009-2029

16. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata

(27)

18. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2011 tentang tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal

23. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 tentang 2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2 : Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013

No Peraturan Daerah Jumlah

Sasaran

tentang Retribusi Angkutan Orang Dengan Kendaraan Umum

(28)

Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun 2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini

Tabel 3 :Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2014

No Peraturan Daerah Total

1. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah Provinsi Bali

-

2. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun 2000 tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan Bermotor Bekas

236

3. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2003 tentang Pengeluaran Ternak Sap Potong Bali

-

4. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta

- tentang Pengendalian dan Peredaran Minuman Beralkohol

1

Total 294

Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan Pemberdayaan PPNS, Seksi Penegakan Hukum Bidang Ketentraman dan ketertiban Satuan polisi Pamong Praja provinsi Bali Tahun 2014.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP

MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH

Dalam lingkup pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , terdapat dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi:

a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

(29)

c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan;

e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

f. Ketenagaan; g. Kekayaan; dan h. Sanksi.

Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pengaturan yang bersifat dinamis dalam bentuk pelaksanaan fungsi dan dalam bentuk pelaksanaan koordinasi.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, dengan adanya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ini berdampak terhadap beban keuangan daerah dan juga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat melalui penegakan Peraturan Daerah. Penegakan dilakukan terhadap pelanggaran ketentuan Perda yang dapat diketahui melalui :

1. Laporan dari masyarakat, lembaga, instansi maupun institusi. 2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja hasil dari patrol wilayah 3. Diketahui langsung oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(30)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA

Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Adanya dasar kewenangan pengaturan menujukkan pendelegasian keweangan dalam pembentukan peraturan daerah. Terkait dengan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Pemerintah belum memiliki dasar hukum untuk melakukan pelaksanaan kegiatan dimaksud. Berdasarkan Pasal 255 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(2)Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

(3)Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan:

a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;

c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.

(31)

a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah

Pengaturan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat

Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa :

(1) SOP Satpol PP meliputi:

a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah;

b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa;

d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;

e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting; dan

f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli.

g. Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi ditetapkan oleh gubernur.

(32)

2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali, yang menjadi Kewenangan Provinsi Bali. Merupakan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi: t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat selain dengan adanya kewenangan yang bersifat lintas kabupaten kota juga terkait dengan kewenangan pengaturan di kawasan civic centre .

Pengaturan terkait dengan civic centre diatur dalam Pasal 1 Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar yang mengatur bahwa kawasan civic centre Niti Mandala berlokasi di Denpasar dengan batas :

a. Sebelah utara : Jalan Letda Tantular dan Cok Agung Tresna; b. Sebelah Timur : Jalan Prof Moh Yamin;

c. Sebelah Selatan : Jalan Raya Puputan;

d. Sebelah Barat : Jalan Raya Puputan dan Letda Tantular.

Mengingat pentingnya posisi Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik.

B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Materi Pokok Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang hendak diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Tabel 4. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.

Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN

(33)
(34)
(35)

c.pelaksanaan

Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, PP Satpol PP dan Pedoman Organisasi dan Pedoman Tata Kerja Satpol PP

C. RENCANA PENGATURAN DARI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI

BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

(36)

urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya Kesejahteraan.

(37)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN

FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika, yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.13

Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan

(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.14

Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat

13 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147.

(38)

serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.15

Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu adalah:

1.Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia maupun hubungan-hubungan diantara mereka.

2.Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi kehidupan mereka.

3.Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau

(39)

petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan diberlakukan.16

Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:

1.Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

2.Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. 3.Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,

keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh sistem politik masing-masing.17

Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu dengan yang lainnya.18 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk

16 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109.

17 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), h. 43.

(40)

bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.19

Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia. Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011 memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

(41)

Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis, dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 57 UU No 12/2011, yang menentukan:

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis

mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut:

1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

(42)

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan berikut:

Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN

KETENTRAMAN MASYARAKAT

Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

(43)

Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

2.Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan.

3.Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.

Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia

(44)

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.

Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat daerah bukan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis bahwa Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus mampu menjamin pemerataan kesempata Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan pembentukan Perda ini adalah sebagai landasan hukum Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Provinsi Bali.

Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan

(45)

Dalam kaitannya dengan penyusunan Rancangan Peraturan daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat mendasarkan pada landasan keberlakuan sebagai berikut :

a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

( landasan filosofis)

b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum;

(landasan sosiologis)

c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

(46)

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN

Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid

S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.20 Pada

tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda

Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der

wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, Attamimi mengatakan :

“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan undang-undang”.21

Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri secara berjenjang dan berbeda-beda.22 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan

20 A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, h. 193-194. 21 Ibid.

(47)

berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam Peraturan Presiden.23

Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.24 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan. Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan pengertian atau definisi ; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi ; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan berdekatan secara berurutan.

Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah:

A. JUDUL

B. PEMBUKAAN

1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

23 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, h 62.

Gambar

Tabel 1 : Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan
Tabel 2 : Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013
Tabel 3 :Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

Kewenangan DPRD Provinsi Bali dalam pembentukan peraturan daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang

Bahwa di Kabupaten Badung telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum, yang secara garis besar telah mengatur

Maksud penyusunan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kearsipan adalah menjamin keselamatan atas informasi terekam tentang perjalanan sejarah Kabupaten Malinau

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2014 Nomor 14)

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat

Penulis menyadari sepenuhnya penulisan skripsi ini yang berjudul “implementasi Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Pasal 17 Ayat 2 Tahun 2014 Tentang

Pasca perubahan arah pengaturan otonomi daerah melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang

Dari 4 (empat) instansi yang terkait dengan persoalan ketentraman dan ketertiban masyarakat (TNI, POLDA, PEMDA, dan Desa Pakraman beserta jajarannya), maka yang diharapkan