Dinamika Peran Madrasah
Dalam Memajukan Pendidikan Di Indonesia
Oleh : Drs. H. Didi Juhaedi, M.Pd
Kata Kunci
Madrasah, Pesantren, Model Pendidikan Islam, Azyumardi Azra, UU no 20 tahun 2003, ilmu-ilmu agama.
Abstrak
Peran madrasah sangat signifikan dalam perjalanan kemajuan Indonesia. Madrasah lahir dari
pengembangan sistem pendidikan pesantren yang merupakan pendidikan tertua di negeri ini.
Terbitnya SKB 3 Menteri, pesantren tidak lagi memiliki hak untuk mewarnai madrasah secara
khusus, karena madrasah sudah menjadi kewenangan pemerintah untuk mengelolanya. Posisi madrasah yang semakin ”sekuler” lebih nampak dengan kelahiran UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai lembaga pendidikan Islam, madrasah mengalami
kegamangan dalam menjalankan fungsinya. Apakah tetap memelihara ciri keislaman dengan
ilmu-ilmu agama, atau mengikuti persaingan dengan SMA mengejar prestasi kelulusan UN dan
kompetisi jumlah lulusan yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Kesimpulan, madrasah harus tetap didorong untuk menjadi lembaga pendidikan yang sinergis antara pelajaran umum
dan ilmu-ilmu agama.
Drs. H. Didi Juhaedi, M.Pd adalah dosen pada Fakultas Agama Islam Universitas Wiralodra Indramayu; mendapat gelar M.Pd dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat ini memiliki perhatian pada dinamika pesantren dan kependidikan Islam. E-mail : didijuhaedi@yahoo.com
A. PENDAHULUAN
Madrasah sebagai bagian dari komunitas pendidikan di Indonesia sudah memberikan perannya yang sangat besar dalam perjalanan kemajuan Indonesia. Tidak hanya di era pembangunan, tetapi jauh di era sebelum kemerdekaan. peran
Risâlah, Vol.1. No.1, Desember 2014(1 - 6)
1
madrasah adalah multi dimensi baik di bidang ideologi, sosial, budaya, ekonomi,
politik dan lainnya. Hal ini wajar karena madrasah sebagai pengembangan sistem pendidikan di lembaga pendidikan yang lebih tua yaitu pesantren, telah terbukti menjadi tempat yang dinamis bagi pergulatan pemikiran keislaman di Indonesia, yang berimplikasi pada kehiduapn sosial kemasyarakatan.
Sejak saat kelahirannya sampai saat ini, madrasah tidak pernah sepi dari perbincangan. Kalau awalnya madrasah menjadi perbincangan di antara para pemikir dan praktisi pendidikan pesantren terkait dengan kepatutannya sebagai
lembaga pengembangan pendidikan pesantren, saat ini madrasah diperbincangkan dari sisi kapabilitasnya sebagai lembaga pendidikan modern.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengilhami pendidikan madrasah, pada awalnya sangat anti sistem pendidikan klasikal seperti sekolah.
Maka adalah wajar, ketika madrasah hadir (yang notabene membawa identitas sekolah) tidak semua pesantren meresponnya dengan proporsional.
Sementara saat ini, madrasah diperbincangkan berkaitan kapabilitasnya untuk memenuhi standar pendidikan di Indonesia terkini sesuai dengan 8
standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Seperti telah dimaklumi, Badan Standarisasi Pendidikan Nasional telah menyusun 8 standar pendidikan yang harus dipenuhi oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Pada sisi yang lain, para pegiat pendidikan Islam mengeluhkan tentang semakin pudarnya identitas
keIslaman madrasah saat ini.
Berbagai kondisi, tuntutan dan kendala yanag berkaitan dengan keberadaan madrasah itu seperti menjadikannya di simpang jalan.
B. SEJARAH DAN PERAN MADRASAH
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari rahim pesantren
pada awalnya mengemban misi pendidikan pesantren dengan “kemasan berbeda”.
Artinya, kehadirannya adalah sebgai pesantren yang berwajah baru. Fatah syukur
dalam Ismail (2002:241) menulis bahwa kemunculan pesantren wajah baru dalam
bentuk madrasah itu dimungkinkan karena dua sebab pertama, karena ketidak puasan terhadap sempitnya pembahasan kelimuan pada pendidikan di pesantren,
pendidikan Belanda yang memberikan akses pendidikan lebih luas sejak abad 20
kepada warga pribumi setelah sebelumnya pendidikan adalah barang mewah yang hanya dinikmati segelintir warga tertentu dari ras tertentu.
Karena merupakan pengembangan dari sistem pesantren, maka isi pendidikan madrasah tidak jauh berbeda dengan pesantren, tetapi ada
pengembangan dalam bentuk metode belajar, penerapan kelas, gradasi, cara berpakaian dan pengembangan materi pembelajarannya. Artinya meskipun muatan Agama Islam sangat kental dalam praktek pendidikannya, tetapi muncul
sombol-simbol non kepesantrenan. Hal inilah yang memungkinkan rasa ketidak nyamanan bagi penyelenggarara pesantren kebanyakan yang menganggap ada
pencampur adukkan pendidikan pesantren yang ”suci” dengan pendidikan
sekolah yang ”kafir”. Simbol-simbol pesantren mulai hilang dalam pendidikan
madrasah, sementara simbol-simbol ”kafir” malah diterapkan di dalamnya. Seperti pakaian, model komunikasi, metode pembelajaran sampai konsep kelulusan di dalamnya.(untuk mengetahui lebih dalam tentang simbol-simbol pesantren dan tradisinya, lihat buku Zamaksari Dzofir ;Tradisi Pesantren). Terlepas dari fakta
bahwa tidak semua pesantren mengakui madrasah sebagai model pendidikan Islam, madrasah berkembang dengan cukup pesat. Bahkan menjadi lembaga alternatif bagi sebagian keluarga muslim dalam mendidik putera-puterinya. Hal ini karena madrasah dianggap memberikan dua dimensi kehidupan keilmuan
muslim antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi (hal yang dianggap oleh sebagian pesantren sebagai pencampuradukan pendidikan).
C. MADRASAH DI SIMPANG JALAN
Hubungan madrasah dengan konsep pendidikan pesantren semakin jauh terpisah dengan terbitnya SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) Nomor 3 tahun 1975, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk membina baik secara
pendidikan Nasional dan pemberlakuan kurikulum tahun 1994 yang
mengganggap madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional dengan sebutan sekolah umum berciri khas agama. Tentang hal itu, Azyumardi Azra menulis (2002:71) bahwa madrasah mengalami penguatan posisi sekaligus pemberatan beban. Penguatan posisi menurut Azra karena madrasah dianggap
sama dengan SMA, bahkan memiliki keistimewaan dalam keunggulan materi keagamaan atau SMA plus. Tapi dengan keadaan iu, madrasah juga mengalami penambahan beban yang semakin berat, karena masih menurut Azra, di samping
harus memberikan kurikulum umum secaara penuh, madrasah juga harus tetap memelihara kekhasannya dalam bidang ilmu-ilmu Agama. Padahal, madrasah masih menghadapi kendala berupa rendahnya kualitas sumber daya yang dimiliki baik dari sisi manusia, sarana maupun lainnya. Posisi madrasah yang semakin
”sekuler” lebih nampak dengan kelahiran UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Yang terjadi berikutnya, madrasah mengalami kegamangan dalam menjalankan fungsinya. Apakah tetap memelihara ciri keislaman dengan
ilmu-ilmu agama, atau mengikuti persaingan dengan SMA mengejar prestasi kelulusan UN dan kompetisi jumlah lulusan yang diterima di Perguruan tinggi negeri. Kegamangan madrasah itu diekspresikan Agus sholeh (dalam Soewito;2005:227) apabila memelihara kebiasaan lama, maka madrasah dianggap status quo dan
terbelakang, meskipun akan memuaskan secara emosional dan romantisme masa lalu. Sementara apa bila mengadopsi perkembangan baru, maka madrasah kehilangan akar historis pendiriannya. Keadaan ini berakibat madrasah sulit berkonsentrasi memilih prioritas. Semantara pada sisi yang lain, SMA yang
dikelola dengan birokrsi yang lebih pendek oleh pemerintah kabupaten/kota, berlari cepat meningkatkan kualitasnya.
D. MENENTUKAN PRIORITAS
bidang pembelajaran umum. Yang penting dalam hal ini menurut Agus Sholeh
(ibid: 227) pengelola madrasah harus memiliki visi dan misi yang tegas sehingga tidak terseret tarik menarik arus kepentingan. Malik Fajar (seperti dikutip Agus Sholeh dalam Soewito:2005) mensyaratkan 4 hal untuk kemajuan pendidikan
Islam. Pertama, kejelasan cita-cita dengan langkah-langah yang operasional dalam
mewujudkan cita-cita pendidikan Islam. Kedua, memberdayakan lembaga dengan
penataan kembali sistemnya. Ketiga, meningkatkan dan memperbaiki manajeman.
Keempat , peningkatan mutu sumber daya manusianya.
Dengan langkah-langkah itu, madrasah mampu menjalankan muti fungsinya dengan baik dan siap bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Tidak harus madrasah memilih antara Pendidikan Agama atau umum. Keduanya
bisa seiring berjalan dengan baik. Apalagi, keadaan tidak memungkinkan bagi madrasah untuk memilih. Pilihan telah ditetapkan undang-undang yang
mengamanatkan madrasah menjadi lembaga pendidikan super.
Pada kenyataannya, kebangkitan madrasah juga sudah terjadi di banyak
negara. Mesir yang pernah mengalami ”nasioalisasi ”madrasah. Turki yang pernah
menskulerkan madrasah, saat ini juga mengalami ephoria kebangkitan madrasah. Azyumardi Azra di Harian Republika (18 nopember 2004) menulis bahwa kebangkitan madrasah tidak hanya di negara-negara di atas, tetapi juga jauh menyebar ke India, Pakistan bahkan Afrika . khusus untuk Indonesia, menurut
Azra, perkembangan madrasahnya dikagumi Profesor dale Erickelman seorang ahli antropologi Amerika terkemuka yang menjadi ketua Asosiasi Kajian Timur Tengah dan Afrika Utara, sebagai sinergisnya antara kebijakan pemerintah dalam
menjaga kelangsungan hidup madrasah dan langkah menjembatani ideologi Islam
dengan Pancasila sebagai common platformnya bangsa Indonesia.
E. KESIMPULAN
Madrasah harus tetap eksis sebagai sebuah lembaga pendidikan. Madrasah juga harus tetap didorong untuk menjadi lembaga pendidikan yang sinergis antara
madrasah mengangkat dirinya sebagai penjaga pilar-pilar keilmuan secara
komprehensif. Jangan pedulikan siapa pengelolanya, jangan terjebak dalam kontrovesi pusat atau daerah, yang lebih penting, bagaimana kita mengelolanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Sm.dkk : Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Yogyakarta. 2002.
Prof. Suyanto, P H.d : Dinamika Pendidikan Nasional, Pusat Studi Agama dan
Peradaban, Jakarta. 2006.
Prof. Suwito & Fauzan, MA : Sejarah Sosial Pendidikan Islam,Pranda Media, Jakarta, 2005.
Prof. Dr. Azyumardi Azra : Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Kompas media Nusantara, Jakarta. 2002.
Harian Republika, 18 Nopember 2004, Jakarta.