• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOTORAN TERNAK SAPI PADA PROSES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH KOTORAN TERNAK SAPI PADA PROSES"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOTORAN TERNAK SAPI PADA PROSES

DEKOMPOSISI BERBAGAI JENIS SAMPAH DAUN YANG BERASAL DARI WILAYAH KAMPUS UNHAS

Nur Indah sari Arbit1, Fahruddin2, Asadi Abdullah2 Fakultas Perikanan, Universitas Cokroaminoto Makassar Jurusan Biologi,Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Email: adinda.2013@gmail.com

ABSTRAK

Telah dilakuan penelitian “Pengaruh Kotoran Ternak Sapi Pada Proses Dekomposisi Jenis Sampah Daun Yang Berasal Dari Wilayah Kampus Unhas”. Kotoran ternak sapi digunakan sebagai bioaktivator pada proses pengomposan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dekomposisi dari jenis sampah daun dengan penggunaan kotoran sapi sebagai bioaktivator dengan melihat rasio C/N, temperatur, pH, penurunan volume sampah.dan laju dekomposisi. Penelitian ini menggunakan ki hujan Samanea saman (jacq.) merr., dengan penambahan kotoran sapi 20% sebagai biokatalisator. Pengamatan dilakukan kurang lebih 30 hari, parameter yang diamati seperti suhu, pH, laju dekomposisi, penurunan volume, dan rasio c/n. Terdiri dari 6 perlakuan dengan 3 kali ulangan, pada perlakuan penambahan kotoran sapi 20%.. Hasil penelitian menunjukkan feses sapi dapat meningkatkan proses dekomposisi.

(2)

PENDAHULUAN Permasalah an sampah di kota-kota besar akhir-akhir ini tetap menjadi persoalan serius bagi negara yang sedang berkembang

termasuk Indonesia.

Beberapa kota besar di Indonesia mengalami

masalah yang sama, hingga kini belum dapat ditangani secara tuntas, volume sampah setiap hari justru semakin meningkat, untuk itu seluruh komponen

masyarakat

diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam pengelolaan sampah, paling tidak untuk mengurangi

volumenya (Nonci, 2009).

Kandunga n bahan organik yang tinggi dalam kompos sangat penting untuk memperbaiki kondisi tanah. Berdasarkan hal tersebut dikenal dua peranan kompos yakni soil conditioner dan soilameliorator. Soil conditioner

yaitu peranan kompos dalam memperbaiki struktur tanah, terutama tanah kering. Sedangkan soil ameliorator berfungsi dalam memperbaiki kemampuan tukar kation dalam tanah (Prayugo, 2007).

Adanya aktivitas

mikroorganisme dan terbentuknya asam organik pada proses

dekomposisi menyebabkan daya larut unsur N, P, K, dan Ca menjadi lebih tinggi sehingga berada dalam bentuk tersedia bagi pertumbuhan tanaman. Selain

itu, jika

dibandingkan dengan pupuk anorganik,

kandungan unsur hara kompos lebih lengkap karena mengandung unsur hara makro, sekaligus unsur hara mikro. Unsur hara mikro sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Berbeda dengan pupuk anorganik yang hanya mengandung beberapa unsur

hara (Simamora, & Salundik, 2006).

Umumnya pengomposan dilakukan dalam timbunan. Di daerah kering atau pada masa kering, pengomposan juga dilakukan di lubang-lubang yang teduh. Kualitas bahan baku yang baik dan penanganan yang tepat menentukan kualitas kompos yang dihasilkan. Dengan

mencampur mineral-mineral tambahan,

misalnya debu batuan, fosfat batuan, pupuk urea atau kapur, kandungan nutrien dalam kompos dapat ditingkatkan (Reijntjes, 1999).

Ki Hujan

Samanea saman

(Jacq.) Merr.

Ki hujan, pohon hujan, atau trembesi Samanea

saman (Jacq.}

Merr. merupakan tumbuhan pohon besar, tinggi, dengan tajuk yang sangat melebar. Tumbuhan ini pernah populer sebagai tumbuhan peneduh.

Perakarannya yang

sangat meluas membuatnya kurang populer karena dapat merusak jalan dan bangunan di sekitarnya.

Namanya berasal dari air yang sering menetes dari tajuknya karena kemampuannya menyerap air tanah yang kuat serta kotoran dari tonggeret yang tinggal di pohon (Wikipedia, 2009).

Bungur Lagerstromeia

speciosa Pers.

(Jacq.) Merr.

Pohon, tinggi dapat mencapai 45 m, umumnya antara 25-30 meter, bercabang-cabang. Batang berwarna cokelat pucat sampai merah cokelat.

Perbungaan berupa malai, berwarna ungu. Tumbuh di tanah gersang dan subur pada hutan atau tanaman pelindung tepi jalan pada dataran 1-900 m dpl. Kandungan kimia: Tanin; Alkaloid; Saponin; Terpena; Glukosa

(3)

Angsana

Pterocarpus indicus.

Pohon yang terkadang menjadi raksasa rimba, tinggi hingga 40m dan gemang mencapai 350cm. Batang sering beralur atau berbonggol;

biasanya dengan akar papan (banir). Tajuk lebat serupa kubah, dengan cabang-cabang yang merunduk hingga dekat tanah. Pepagan (kulit kayu) abu-abu kecoklatan,

memecah atau serupa sisik halus, mengeluarkan getah bening kemerahan apabila dilukai.Daun majemuk menyirip gasal, panjang 12-30 cm. Anak daun 5-13, berseling pada poros daun, bulat telur hingga agak jorong, 6-10 × 4-5 cm, dengan pangkal bundar

dan ujung

meruncing, hijau terang, gundul, dan tipis (Wikipedia, 2009).

Kotoran ternak sapi

Kandungan unsur hara dalam

kotoran ternak yang penting untuk tanaman antara lain unsur nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Ketiga unsur inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman. Masing-masing unsur hara tersebut memiiki fungsi yang berbeda dan saling melengkapi bagi tanaman. Dengan demikian,

pertumbuhan menjadi optimal (Setiawan, 2008).

METODE PENELITIAN 1. Pembuatan

Kotak

Pengomposan

Kotak pengomposan dibuat dengan ukuran panjang 25 cm, lebar 25 cm dan tinggi 40 cm. Kotak ini terbuat dari kerangka

balok dan

dipasangkan

dinding dari papan dengan dibuat celah untuk sirkulasi udara. Kotak

pengomposan dibuat sebanyak 12 buah.

2. Tahap

Pengomposan

Pembuatan kompos dengan

melalui beberapa tahap seperti berikut: kampus Unhas yakni daun ki hujan Samanea saman (jacq.) speciosa pers dikumpulkan dan

dimasukkan ke dalam karung atau wadah sejenisnya untuk diangkut ke lokasi pengomposan. 2. Dilakukan

pemilahan pada bahan-bahan dedaunan kemudian dikeringkan sampai benar-benar kering. 3. Dilakukan

pencacahan pada daun-daun yang terlalu besar atau dan cepat terdekomposisi .

4. Masing-masing jenis bahan organik daun yang telah dicacah

kemudian ditimbang dan dicampur dicampur lalu dimasukkan kedalam kotak-kotak

pengomposan dan dibiarkan terdekomposisi

selama 4

minggu atau 30 hari, dan tiap 5 hari dilakukan pembalikan untuk aerasi dan membuang panas

berlebihan. Pengomposan dihentikan saat kompos terlihat matang dengan parameter yang terlihat dari warna, tekstur, bau, suhu kompos, dan pH (Maradhy, 2009).

(4)

air ke dalam timbunan material

organik, karena diusahakan jangan sampai kering.

6. Waktu pengamatan kurang lebih 1 bulan lamanya dengan melihat tingkat hujan Samanea saman hujan Samanea saman + Feses sapi sapi 20%

P3= Daun angsana Pterocarpus

indicus + Feses sapi 20%

3. Analisis Hasil

sampai selesainya pengomposan dilakukan beberapa pengukuran pada tumpukan sampah organik yang dilakukan pada setiap 5 hari yang meliputi

pengukuran suhu

dan pH.

Pengukuran Laju dekomposisi dan penurunan volume sampah organik dilakukan setiap 7 hari, sedangkan

rasio C/N

dilakukan

pengukuran pada akhir

pengomposan.

4. Uji hasil

Pengomposan Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan terhadap beberapa parameter, yaitu: a. Derajat

Keasaman (pH) Derajat agar penguraian berlangsung cepat, pH dalam tumpukan kompos tidak boleh terlalu rendah (Suryati, 2009).

b. Temperatur Temperatur yang berkisar

antara 30 - 60oC

menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC

akan membunuh sebagian

mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup.

Suhu yang

tinggi juga akan membunuh gulma (Isroi, 2008).

c. Pengukuran Laju

Dekomposisi Laju

dekomposisi didefinisikan sebagai proses penguraian suatu bahan (cepat/lambat) menjadi bahan

lain yang

berbeda berat maupun volume dari bahan dasarnya. Laju dekomposisi sampah organik dihitung dengan rumus William

dan Gray

(Patrianingsih, 2000 dalam

maradhy, 2009) sebagai berikut:

Keterangan:

R : Laju

dekomposisi Wo : Berat

kering pada waktu To

W1 : Berat Kering pada waktu T1

T :

Waktu dekomposis i

d. Penurunan volume sampah Aktivitas

mikroorganisme sangat berperan dalam

menjadikan sampah organik menjadi lebih halus sehingga menyebabkan volume kompos menurun.

e. Rasio C/N

Rasio C/N

adalah

perbandingan jumlah karbon

C dengan

Nitrogen N dalam satu bahan. Rasio

C/N yang

efektif untuk proses

pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1 (Isroi, 2009).

(5)

Data yang diperoleh dari pengukuran,

dianalisis menggunakan UNIANOVA (Univariate

Analysis of Variance) dengan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan dengan 3 kali ulangan pada perlakuan

penambahan kotoran sapi 20%.

HASIL DAN

PEMBAHASAN Penelitian ini mempelajari

tentang aplikasi campuran feses ternak sapi sebagai bioaktivator pada proses

dekomposisi sampah organik yang bersumber dari wilayah kampus UNHAS.

Proses dekomposisi dilakukan selama 30 hari, dan dilakukan

pengamatan

karakteristik fisika kimia seperti suhu , pH, penurunan volume kompos, laju dekomposisi dan kandungan rasio c/n.

1. Suhu

Hasil penelitian

menunjukkan

pada awal

pengomposan

rata-rata suhu

meningkat, lama kelamaan suhu menurun . Pada awal dekomposisi atau hari ke-0 rata-rata suhu pada perlakuan A1, B1 dan C1 adalah 28,11 oC dan

perlakuan A0, B0 dan C0 memiliki suhu rata-rata 27,67 oC. pada hari

ke-5 suhu proses dekomposisi meningkat yang menandakan proses

dekomposisi telah berjalan, yaitu sekitar 28-31oC.

Rata-rata suhu pada perlakuan A1, B1 dan C1 adalah 30,55 oC dan

perlakuan A0, B0 dan C0 memiliki suhu rata-rata 28,66oC. Suhu

tertinggi 31oC pada

perlakuan C1 yaitu campuran daun angsana dengan 20% feses sapi, sedangkan suhu terendah pada C0 tanpa penambahan aktivator.

Perubahan suhu dengan

pengamatan setiap

lima hari

selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 5 Tabel 5.

Hasil pengukuran suhu selama proses pengomposan diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5.

Perubahan suhu dekomposisi sampah organik dengan perlakuan Daun ki hujan Samanea saman tanpa pemberian bioaktivator

(kontrol) (A0), Daun ki hujan Samanea saman + Feses sapi 20% (A1), Daun bungur Lagerstromeia speciosa tanpa pemberian

bioaktivator

(kontrol) (B0), Daun bungur Lagerstromeia speciosa + Feses sapi 20% (B1), Daun angsana Pterocarpus

indicus tanpa

pemberian bioaktivator

(kontrol) (C0), Daun angsana Pterocarpus

indicus + Feses sapi 20% (C1).

2.pH

Hasil penelitian menunjukkan pada pengomposan nilai pH lama kelamaan akan berubah mendekati pH netral sesuai dengan pH tanah. Nilai pH pada hari ke-0 untuk semua perlakuan A adalah 6 dan semua perlakuan dari B dan C adalah 5. Perubahan pH pada masing-masing perlakuan disajikan pada Lampiran 6 dan Tabel 6.

Pada hari ke-5 proses dekomposisi sampah organik mengalami

penurunan pH pada proses pengomposan perlakuan A1 yaitu 5,33 dan C0 penurunan pHnya

sebesar 4.

Sedangkan pada perlakuan A0 tidak mengalami

(6)

rata-rata

peningkatan nilai pH pada perlakuan B0, B1 dan C1 adalah 5,89.

Nilai

peprubahan pH per 5 hari disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6.

Perubahan pH dekomposisi sampah organik dengan perlakuan Daun ki hujan Samanea saman tanpa pemberian

bioaktivator

(kontrol) (A0), Daun ki hujan Samanea saman + Feses sapi 20% (A1), Daun bungur

Lagerstromeia speciosa tanpa pemberian

bioaktivator

(kontrol) (B0), Daun bungur

Lagerstromeia speciosa + Feses sapi 20% (B1), Daun angsana Pterocarpus

indicus tanpa pemberian

bioaktivator

(kontrol) (C0), Daun angsana Pterocarpus indicus + Feses sapi 20% (C1).

3. Penurunan Volume sampah

organik hasil dekomposisi

Hasil penelitian menunjukkan terjadinya

penurunan volume tiap minggu oleh semua perlakuan. Volume tumpukan pada hari ke-0 adalah 25.000 cm3.

Nilai perubahan penurunan volume sampah organik per 7 hari disajikan pada Lampiran 7 Tabel 7.

Pada

minggu I

perlakuan A0 dan

B0 belum

mengalami

perubahan, volume tetap 25.000 cm3

sedangkan pada perlakuan A1 terjadi penurunan volume menjadi 7.777,08 cm3 dan

B1 menjadi

8.054,16 cm3.

Perlakuan C0 volume pada minggu I yaitu 8.125 cm3 dan C1

turun menjadi 7.708,33 cm3.

Penurunan volume 23750 cm3

terjadi pada perlakuan A0 di minggu II dan A1 menjadi 7.360,41 cm3. Pada

perlakuan B0 penurunan

volumenya 8.125 cm3 dan B1

penurunannya mencapai 7.562,5 cm3, sedangkan

perlakuan C0 penurunannya mencapai 5.833,33 cm3 dan C1

mencapai 5.416,66 cm3.

Pada

minggu terakhir pengomposan, penurunan volume sampah organik pada perlakuan A0 sebesar 5.000 cm3

dan A1 sebesar 4.854,16 cm3.

Penurunan volume perlakuan B0 sebesar 7.291,66 cm3 dan B1 sebesar

6.458,33 cm3,

sedangkan pada perlakuan CO terjadi penurunan sebesar 3.125 cm3

dan C1 sebesar 2.916,66 cm3.

Rata-rata

penurunan berat awal limbah tiap 7 hari selama 5 minggu proses dekomposisi

disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7.

Perubahan

penurunan volume sampah organik dengan perlakuan Daun ki hujan Samanea saman tanpa pemberian bioaktivator

(kontrol) (A0), Daun ki hujan Samanea saman + Feses sapi 20% (A1), Daun bungur Lagerstromeia speciosa tanpa pemberian

bioaktivator

(kontrol) (B0), Daun bungur Lagerstromeia speciosa + Feses sapi 20% (B1), Daun angsana Pterocarpus

indicus tanpa

pemberian bioaktivator

(kontrol) (C0), Daun angsana Pterocarpus

(7)

4. Laju Dekomposisi

Hasil penelitian

menunjukkan laju dekomposisi pada awal pengomposan meningkat lama kelamaan sampai akhir

pengomposan laju dekomposisi menurun. Laju dekomposisi selama empat minggu dapat dilihat pada Gambar 8. Laju tertinggi pada minggu pertama

yaitu pada

perlakuan C1 mencapai 0,93 g/hari dan laju terendah pada perlakuan B0 yaitu daun bungur tanpa penambahan bioaktivator hanya 0,58 gr/hari. Laju dekomposisi mulai berkurang pada minggu ke-2 dan ke-3. Pada akhir masa dekomposisi yaitu pada minggu ke-4 laju terendah 0,12 g/hari pada B0 dan tertinggi 0,45 g/hari pada perlakuan C1. Penurunan laju dekomposisi disajikan pada Lampiran 8 Tabel 8.

Gambar 8.

Perubahan laju dekomposisi sampah organik dengan perlakuan Daun ki hujan Samanea saman tanpa pemberian bioaktivator

(kontrol) (A0), Daun ki hujan Samanea saman + Feses sapi 20% (A1), Daun bungur Lagerstromeia speciosa tanpa pemberian

bioaktivator

(kontrol) (B0), Daun bungur Lagerstromeia speciosa + Feses sapi 20% (B1), Daun angsana Pterocarpus

indicus tanpa

pemberian bioaktivator

(kontrol) (C0), Daun angsana Pterocarpus

indicus + Feses sapi 20% (C1).

d. Rasio C/N

Hasil akhir dari kegiatan dekomposisi sampah organik adalah terjadinya penguraian bahan-bahan organik menjadi karbon (C organik) dan nitrogen yang nantinya untuk memperoleh nilai rasio C/N. seperti pada tabel 7. Tabel 4. Nilai rasio

C/N hasil

dekomposisi sampah organik

Perlakuan

Kandungan Bahan Organik Wakley &

Black C (%)

A0 4,03

A1 3,95

B0 5,23

B1 3,31

C0 11,21

C1 12,49

Hasil dari penelitian ini menunjukkan nilai kandungan C organik tertinggi

dari hasil

penelitian terdapat pada perlakuan C1 (12,49%), disusul perlakuan C0, B0, A0, A1, B1 yaitu sekitar 3,31-11,21 % dan paling rendah terdapat pada perlakuan B1 (3,31%).

Kandungan

nitrogen tertinggi hasil pengukuran

juga terlihat pada perlakuan C1 sebesar 0,90%, disusul dengan perlakuan C0, A1, A0, B0 dan B1 yaitu sekitar 0,11-0,55%.

Nilai rasio C/N dari hasil penelitian ini menunjukkan pada perlakuan A0 sebesar 28,78 dan A1 sebesar 24,68. Nilai sebesar 37,35 ditunjukkan oleh perlakuan B0 dan sebesar 30,09 pada perlakuan B1. Hasil nilai rasio C.N sebesar 20,38 ditunjukkan oleh perlakuan C0 dan perlakuan C1 sebesar 13,87.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari semua perlakuan

memperlihatkan kemampuan

dekomposisi yang berbeda-beda. Pada B0 menghasilkan kemampuan yang lebih rendah dari perlakuan lainnya, sedangkan C1 dapat disebut sebagai perlakuan yang memberikan hasil yang lebih baik berdasarkan parameter fisika

(8)

kandungan bahan organik hasil dekomposisi.

Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat

kematangan

kompos, di

samping

kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan

efek yang

merugikan pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang jika dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya

persaingan bahan nutrien antara tanaman dan mikroorganisme tanah. Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Nonci, 2009). perlakuan, suhu pada hari pertama rata-rata berkisar 28,16oC ini

menandakan awal dimulainya proses dekomposisi.

Peningkatan suhu maksimum selama proses

dekomposisi mencapai 31oC

terlihat pada hari

ke-5 untuk

prlakuan C1 yaitu campuran sampah organik daun angsana dengan 20% feses sapi Sedangkan suhu minimum rata-rata terlihat pada perlakuan kontrol. Tidak tercapainya temperatur yang tinggi karena pada kontrol tidak ada penambahan aktivator yang memicu terjadinya dekomposisi (Maradhy, 2009).

Suhu akan meningkat sejalan dengan proses penguraian bahan organik, selama pengomposan dicapai suhu sekitar 27 – 31oC

dan dapat

dipertahankan sampai hari ke-10. Menurut Isroi & Yuliarti, 2009 Temperatur yang berkisar 30 – 50oC

menunjukkan aktivitas

pengomposan yang cepat.

Pada

penelitian ini suhu yang dicapai selama

pengomposan berkisar 27 – 31oC

ini menunjukkan bahwa mikroba yang aktif adalah mikroba mesofilik, yaitu mikroba yang dapat hidup pada suhu antara 20-35oC (Isroi &

Yuliarti, 2009). Dalam proses pengomposan ini tidak mengalami masa termofilik yaitu masa dimana bakteri termofilik dapat hidup pada suhu yang lebih tinggi dari 50oC,

ini disebabkan penelitian ini dilakukan dalam

skala semi

laboratorium, sehingga volume sampah yang sedikit tidak dapat mencapai suhu termofilik.

Menurut Rasti, et al., (2010) dalam proses

pengomposan hal yang menentukan tingginya suhu adalah nisbah volume timbunan terhadap

permukaan. Makin tinggi volume timbunan

dibanding

permukaan, makin besar isolasi panas dan makin mudah timbunan menjadi panas. Timbunan

yang terlalu dangkal akan kehilangan panas dengan cepat, karena bahan tidak cukup untuk menahan panas dan menghindari pelepasannya.

Pada tahap selanjutnya suhu akan kembali turun secara bertahap mendekati suhu awal

pengomposan. Fase ini disebut

juga fase

pemasakan

kompos, dimana bahan organik akan menjadi senyawa yang stabil.

Metabolism e mikroorganisme dalam tumpukan menimbulkan energi dalam bentuk panas.

Panas yang

ditimbulkan

sebagian akan tersimpan didalam tumpukan dan sebagian lagi terlepas pada proses penguapan atau aerasi. Panas yang terperangkap di dalam tumpukan akan meningkatkan temperature

(9)

Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan

menggunakan oksigen akan menguaraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan

kompos tingkat lanjut yaitu pembentukan komplek liat humus (Maradhy, 2009).

b. pH

Hasil pengamatan pada pH menunjukkan bahwa hari ke-0 perlakuan A pHnya sebesar 6 dan perlakuan B dan C yaitu sebesar 5 sedangkan pada

hari ke-5

mengalami

penurunan pH. Ini disebabkan oleh proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, yang akan oksigen dan

senyawa-senyawa

yang mudah

terdegradasi akan segera

dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik.

Pada hari ke-10 keadaan pH meningkat sampai akhir

pengomposan keadaan pH lama kelamaan menjadi

netral ini

disebabkan mikroba menggunakan asam organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali,

selanjutnya asam organik digunakan mikroba jenis lain hingga derajat keasaman kembali netral (Santoso,

2008 dalam

Maradhy, 2009). Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8-7,4. Proses pengomposan akan menyebabkan terjadinya

perubahan pada bahan organik dan pHnya. Produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH

pada fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya

mendekati netral (Isroi & Yuliarti, 2009).

c. Penurunan volume sampah organik daun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan dari tinggi awal sampah organik. Tinggi tumpukan minggu ke-I sekitrar 2.3125 – 25.000 cm3.

Minggu ke-II penyusutan

tertinggi terjadi pada perlakuan C1 yang menyusut sampai setinggi 1.6250 cm3 dan

penyusutan

terendah terjadi pada perlakuan B0 yang menyusut sampai setinggi 2.4375 cm3 ini

disebabkan karena adanya proses pencernaan oleh mikroorganisme.

Pada

perlakuan A1, B1,

C1 dengan

penambahan aktivator menunjukkan penurunan volume sampah organik

lebih tinggi dibandingkan

aktivator berupa feses sapi terdapat banyak

mikroorganisme

yang dapat

mempercepat dekomposisi. Menurut isroi, 2009 aktivator pengomposan yang berbahan aktif mikroba, seperti bakteri,

actinomicetes dan kapang atau cendawan terbukri dapat menguraikan bahan organik dengan cepat.

d. Laju

dekomposisi

Hasil penelitian

menunjukkan pada minggu ke-I perlakuan A1, B1, dan C1 laju dekomposisinya 0,63 – 0,93 gr/hari sedangkan pada perlakuan A0, B0 dan C0 laju dekomposisinya 0,58-0,75 gr/hari. Ini menunjukkan

bahwa laju

dekomposisi meningkat dengan adanya

(10)

feses sapi. Selama proses

pengomposan laju dekomposisi lama kelamaan

mengalami

penurunan sampai

masa akhir

pengomposan. Pada minggu ke-4 laju dekomposisi pada perlakuan A1, B1, dan C1 yaitu 0,27-0,45 gr/hari sedangkan perlakuan A0, B0 dan C0 laju dekomposisinya 0,12-0,39 gr/hari, ini menandakan bahwa penguraian bahan organik juga mulai berkurang. Menurut Saunder,

1980 dalam

Maradhy, 2009 proses

dekomposisi bahan organik secara

alami akan

berhenti bila faktor-faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses

dekomposisi itu sendiri. Selama proses

dekomposisi akan terjadi penyusutan volume bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-40% dari volume awal bahan.

Laju dekomposisi umumnya diukur secara tidak langsung melalui kehilangan berat atau pengurangan konsentrasi tiap waktu seperti kehilangan karbon radioaktif

(Saunder, 1980).

e. Rasio C/N

Nisabah C/N merupakan faktor kimia pembentukan kecepatan

dekomposisi dan mineralisasi

nitrogen. Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya

karbon dan

nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk

mendapatkan degradasi biologis dari bahan-bahan organik yaitu samapah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta untuk

menunjukkan nilai rasio C/N masing-masing perlakuan sekitar 13,87-37,35. Menurut Isroi, 2009 selama

proses

pengomposan rasio C/N akan terus menurun. Kompos yang telah matang memiliki rasio C/N kurang dari 20.

Hasil analisis rasio C/N pada tabel 7 memperlihatkan karakter masing-masing kompos. Kematangan kompos dapat dilihat dari kandungan karbon dan nitrogen melalui rasio C/Nnya. Prinsip pengomposan adalah

menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah yaitu 10-12, kompos yang memiliki rasio C/N mendekati rasio C/N tanah lebih dianjurkan untuk digunakan (Isroi, 2009). Sementara menurut SNI 19-7030-2004 kompos matang memiliki rasio C/N sebesar 10-20, pada tabel 7 ditunjukkan bahwa rasio C/N kompos terendah terdapat pada perlakuan C1 sebesar 13,87, bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah

memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman sehingga lebih layak digunakan untuk pemupukan karena memiliki rasio C/N yang mendekati rasio C/N tanah.

Hasil uji UNIANOVA (Univariate

Analysis of Variance)

menunjukkan bahwa bahwa feses sapi sangat berpengaruh

terhadap ketiga jenis daun ini dapat dilihat nilai F hitung sebesar 6.225 dengan nilai Sig sebesar 0,028 artinya Ho ditolak. Jenis Daun tanpa pemberian feses sapi (kontrol) memiliki rata-rata (P<0,05) lebih kecil dibandingkan dengan ketiga jenis daun tersebut. Untuk melihat rata-rata perbedaan dapat dilihat pada output

(11)

rata-rata jenis daun yang terbaik adalah jenis daun angsana dengan rata-rata 0,667 dan yang terendah adalah kontrol 0,456.

DAFTAR PUSTAKA Menjadi Pupuk Organik dan Aplikasinya terhadap Tiga Varietas Ketela Rambat

(Ipomoea batatas). Prosiding pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Atekan, A. W. Rauf, Aser R., & S. Saenong. 2004. Pengaruh Pemberian Pupuk NPK dan

Pupuk Mikroba Multi Guna (PMMG)

terhadap Produksi

Kedelai di Lahan Kering Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Papua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Black, C.A., 1964. Soil – Plant Relationships. John Wiley & Sons, Inc.: New York.

Blogspot, 2009. http://1.bp.blogspo

t.com/bungur.jp g Bungur. (Diakses

tanggal 4

februari 2010, pukul 18.00). Djafar N.S., & N.

Riani, 2004. Pemanfaatan Inokulan Pada Dekomposisi Bahan Organik Untuk pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, saman. (Diakses

tanggal 8

februari 2010, pukul 18.00). Haediatmi, S.,

2006. kajian bentuk

pemberian dan dosis jerami pada serapan n, k, dan hasil padi (oryza sativa l.) var. ir – 64. Jurnal Inovasi Pertanian, Vol 4, No 2, hal: 159-171).

Indriani Y. H, 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar swadaya:

Jakarta.

Isroi & N., Yuliarti. 2009. Kompos Cara Mudah,

Murah dan

Cepat

Menghasilkan Kompos. Lily

Publisher, Yogyakarta. Isroi, 2008.

http://id.wikiped ia.org/wiki/Kom pos. Kompos. (Diakses

tanggal 4

februari 2010, pukul 17.00). Jusuf, L., 2006.

Potensi Daun Gamal sebagai Bahan Pupuk

Agrisistem, Vol 2, no 1, hal 6-7. Jordan C.F.,

Nutrient

Cycling in Tropical Forest Ecosystems. Jogn Wiley & Sons, Ltd.:New York

Katasopoetra, G., Kartasapoetra & Mul M.S., 1987. Teknologi dan Konservasi Tanah dan Air, Edisi kedua. PT. Melton Putra: Jakarta.

Maradhy, E., 2009. Aplikasi

Campuran Kotoran Ternak dan Sedimen Mangrove sebagai

Aktivator pada Proses

(12)

Gambar

Gambar

Referensi

Dokumen terkait

Fakta empiris yang terjadi di Departemen Human Resouces PT Vale Indonesia Tbk adalah sebagian karyawan yang kurang menyadari bahwa pentingnya knowledge management dalam

Berdasarkan fenomena tersebut, Peneliti akan melakukan sebuah penelitian dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “ Upaya Meningkatkan Kemampuan Anak

Sebagaimana menurut pandangan Giddens, sikap perubahan perilaku agama masyarakat, perlu dianalisis hubungannya dengan tindakan rasionalitas agar dapat ditemukan

Dilakukan terhadap Dari pemaparan di atas maka setiap pesawat udara yang melanggar dapat disimpulkan (1)Pada prinsipnya wilayah udara nasional atau jalur

Berdasarkan studi komparasi yang dilakukan terhadap dua objek yang sama-sama menggunakan material bambu sebagai material utamanya maka objek Papendangan juga akan menggunakan

Sebaliknya pada Dayah Jabal Nur menganut kurikulum dayah salafi murni dan badan dayah tidak menganjurkan dan badan dayah hanya menganjurkan kurikulum dari buku

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran kerusakan lingkungan yang terdapat dalam anime Shangri-La antara lain disebabkan oleh adanya kebakaran hutan, pembalakan

Pada pengujian keefektifan perangkap hasil rancangan terhadap individu tikus menunjukkan hasil yang berbeda, sehingga dapat diketahui bahwa tikus lebih tertarik pada umpan di