• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sesat Berfikir Tentang Status dan Fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sesat Berfikir Tentang Status dan Fungsi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Sesat Berfikir Tentang Status dan Fungsi Kawasan Hutan dalam

Perencanaan Kehutanan

Oleh: Raflis1

Pendahuluan

Identifikasi aspek penguasaan hutan sampai saat ini belum dilaksanakan dengan baik oleh

pemerintah sehingga mengakibatkan tingginya konflik tenurial di kawasan hutan. UU

41/1999 menegaskan bahwa hutan dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan

tertinggi dan kemudian memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengurus segala

sesuatu yang berkaitan dengan hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan

hutan dan menciptakan hubungan hukum antara orang dengan hutan. Penguasaan hutan

oleh negara tidak berarti memiliki, sedangkan kepemilikan hutan dijelaskan dalam pasal 5

yang membagi kawasan hutan berdasarkan statusnya yaitu: hutan negara, hutan adat dan

hutan hak2. Sampai saat ini belum ada satupun penetapan kawasan hutan berdasarkan

statusnya.

Penetapan Status kawasan hutan merupakan suatu proses administrasi kawasan hutan yang

dilaksanakan melalui kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagai bagian dari perencanaan

kehutanan. Dalam prakteknya mentri kehutanan justru melakukan penunjukan kawasan

hutan berdasarkan fungsinya sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 6 UU 41/1999.

Secara administrasi penetapan fungsi kawasan dilakukan pada tahapan penatagunaan

kawasan hutan yang dijelaskan pada pasal 16. Berdasarkan data direktorat pengukuhan

kawasan hutan tahun 2010 fungsi kawasan hutan yang sudah ditetapkan adalah 11,8% 120

juta ha kawasan hutan, selebihnya masih berupa penunjukan. Disisi lain, berdasarkan

putusan MK no 45 tahun 2012 menegaskan bahwa ketika kawasan hutan hanya ditentukan

melalui penunjukan saja merupakan perbuatan yang otoriter.

Sebelum adanya kepastian hukum atas kawasan hutan maka hubungan hukum antara orang

dengan hutan belum bisa ditetapkan, atau dengan kata lain hubungan antara subjek hukum

dan objek hukum belum tercipta sehingga belum bisa dilakukan perbuatan hukum atas

kawasan hutan. Tetapi fakta berkata lain, mentri kehutanan justru memberikan izin pada

kawasan hutan yang belum mempunyai kepastian hukum, dan pasal tindak pidana

kehutanan telah diterapkan pada masyarakat yang memanfaatkan hutan tanpa izin

pemerintah. Hal ini berdampak pada konflik tenurial pada kawasan hutan yang diberikan

izin oleh pemerintah dengan masyarakat serta kriminalisasi terhadap masyarakat yang

memanfaatkan hutan tanpa izin.

1

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

2

(2)

Dalam aturan pelaksana dari UU 41/1999 terdapat kekacauan paradigma yang tidak

konsisten dengan norma yang diatur dalam UU 41/1999. Hal ini dapat dilihat dalam

dokumen resmi negara yang tercantum dalam peraturan perundangan dan peraturan

kebijakan.

Untuk itu dibutuhkan singkronisasi secara vertikal dan horizontal melalui eksekutive review

terhadap dokumen terkait. Persoalan yang sama juga ditemukan oleh KPK dalam kajian

sistem perencanaan hutan menemukan 9 permasalahan Regulasi yang ditindak lanjuti

dengan Nota Kesepahaman 12 Kementrian/ Lembaga untuk membangun komitmen

bersama tentang: Harmonisasi Kebijakan dan Regulasi Dalam Pengelolaan SDA, Percepatan

Pengukuhan Kawasan Hutan dan Resolusi Konflik3. Lebih lanjut dalam dokumen rencana aksi

terhadap kementrian kehutanan akan dilakukan revisi beberapa regulasi diantaranya: PP 44

tentang perencanaan kehutanan, Permenhut P.44/2012 tentang pengukuhan kawasan

hutan, P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.4

Kewenangan Pemerintah dalam UU 41/1999

Hutan dikuasai oleh negara dan selanjutnya diberikan wewenang kepada pemerintah untuk

mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, menetapkan wilayah tertentu

sebagai kawasan hutan dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan.

Kewenangan mengurus hutan diwujudkan dalam bentuk perencanaan, pengelolaan dan

pengawasan kehutanan. Sedangkan kewenangan dalam penetapan kawasan hutan

dilaksanakan melalui proses perencanaan kehutanan. Penetapan kawasan hutan akan

menghasilkan kepastian hukum kawasan hutan. Setelah adanya kepastian hukum atas

kawasan hutan baru bisa tercipta kewenangan selanjutnya yaitu menetapkan hubungan

hukum antara orang dengan hutan.

Setelah adanya kepastian hukum terhadap kawasan hutan dan terciptanya hubungan

hukum antara orang dengan hutan barulah pengelolaan hutan bisa dilaksanakan.dengan

memberikan izin pemanfaatan hutan serta pemberian sangsi terhadap pelanggaran

ketentuan kehutanan. Untuk menciptakan hubungan hukum antara orang dengan hutan

haruslah terlebih dahulu melalui kepastian hukum kawasan hutan yang dilaksanakan pada

perencanaan kehutanan dalam pengurusan hutan. Kepastian hukum merupakan kata kunci

dalam penegakan hukum terhadap undang undang kehutanan.

3

http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27926/semiloka-kawasan-hutan-kpk.pdf

4

(3)

Perencanaan Kehutanan dalam UU 41/1999

Yang mengatur tentang perencanaan kehutanan ada dalam pasal 13 – 20 UU 41/1999 yang

terdiri dari lima tahapan yaitu: Inventarisasi, pengukuhan, penatagunaan, pembentukan wilayah pengelolaan dan penyusunan rencana kehutanan.

Output dari inventarisasi hutan salah satunya adalah mengidentifikasi status kawasan hutan

sebagai input dalam pengukuhan kawasan hutan. Menurut pasal 5 UU 41/1999 dan

penjelasannya kawasan hutan terdiri dari hutan negara, hutan desa, hutan kemasyarakatan,

hutan adat dan hutan hak5

Berdasarkan hasil inventarisasi hutan selanjutnya dilakukan pengukuhan kawasan hutan

yang terdiri dari beberapa tahapan diantaranya: penunjukan, penataan batas, pemetaan

dan penetapan. Karena output dari inventarisasi hutan adalah status kawasan hutan dan

menjadi input dalam pengukuhan maka dapat kita katakan pada tahapan pengukuhan ini

adalah upaya untuk menetapkan status kawasan hutan yang terdiri dari hutan negara, hutan

desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat dan hutan hak6. Jika dihubungkan antara definisi

kawasan hutan dengan wewenang yang diberikan oleh negara kepada pemerintah adalah Me etapka status wilayah terte tu se agai kawasa huta 7 dapat kita lihat ahwa tahap pengukuhan kawasan hutan ini yang dilakukan adalah penetapan status kawasan hutan.

Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan selanjutnya dilaksanakan penatagunaan

kawasan hutan yang terdiri dari penetapan fungsi kawasan hutan dan penggunaan kawasan

hutan. Pada tahapan ini terlihat bahwa penetapan fungsi kawasan hutan dilakukan dalam

kegiatan penatagunaan hutan. Fungsi kawasan hutan yang ditetapkan terdiri dari : Hutan

Lindung, Hutan Konservasi dan Hutan Produksi8.

Setelah penetapan fungsi kawasan hutan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan

wilayah pengelolaan hutan yang terdiri dari: Pembentukan unit pengelolaan, penetapan luas

kawasan hutan minimal 30% serta perubahan fungsi dan peruntukan kawasan

hutan. Keempat tahapan ini diakhiri dengan penyusunan rencana kehutanan

Secara umum dapat kita lihat bahwa dalam perencanaan kehutanan ada dua hal yang

ditetapkan yaitu status kawasan hutan melalui proses pengukuhan kawasan hutan dan

fungsi kawasan hutan melalui proses penatagunaan kawasan hutan. Setelah adanya kedua

penetapan ini juga dimungkinkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan melalui

tahapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan.

5

(4)

Hubungan Perencanaan Kehutanan dengan UU Agraria, Kehutanan dan Tata Ruang

Aspek perencanaan kehutanan merupakan bagian penting dalam pengaturan hak atas tanah

yang berada dalam kawasan hutan yang juga diatur dalam UU no 5/1960 tentang ketentuan

pokok agraria. Hak atas tanah dalam kawasan hutan ini kemudian disebut sebagai status

kawasan hutan dalam UU 41/1999. Disamping itu fungsi kawasan hutan menjadi bagian

penting dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang.

Pada UU kehutanan dikenal status dan fungsi kawasan hutan, pada UU agraria dikenal

dengan hak atas tanah serta pada UU Tata Ruang dikenal dengan pola ruang. Jika dilihat

substansinya Status kawasan hutan berhubungan dengan hak atas tanah pada UU agraria.

Sedangkan Fungsi kawasan hutan berhubungan pola ruang dalam UU Tata Ruang.

Hubungan antara fungsi kawasan hutan dengan hak atas tanah dapat kita lihat bahwa

keduanya mengatur tentang aspek penguasaan atas tanah. Sedangkan hubungan antara

fungsi kawasan hutan dan pola ruang dapat kita lihat bahwa keduanya mengatur cara

pemanfaatan.

Ketika perencanaan kehutanan tidak dilaksakan maka akan berdampak juga terhadap UU

agraria dan UU penataan ruang. Lebih jauh lagi tanpa dilaksanakannnya perencanaan

kawasan hutan berdampak ketidakjelasan tempat berlakunya UU Kehutanan, karena UU

kehutanan hanya berlaku pada kawasan hutan. Kawasan hutan dapat juga dikatakan sebagai

objek hukum dari UU kehutanan.

Status Kawasan Hutan dan Hak atas tanah

Penetapan status kawasan hutan merupakan tahapan kedua dari perencanaan kehutanan

setelah inventarisasi kawasan hutan. Status kawasan hutan sesungguhnya mengatur

tentang hak atas tanah yang berada didalam kawasan hutan. Dalam UU no 5/1967

dijelaskan bahwa berdasarkan kepemilikannya mentri menyatakan hutan sebagai Hutan

negara dan hutan hak9. Huta egara didefi isika se agai kawasa huta da huta ya g

tu uh di atas ta ah ya g tidak di e a i hak ilik da huta hak didefi isika se agai huta ya g tu uh di atas ta ah ya g di e a i hak ilik . Frasa kepemilikan ini dirobah

menjadi status kawasan hutan10 dalam UU 41/1999 dengan substansi yang sama. Baik

dalam UU 41/1999 maupun UU 5/1960 hutan adat merupakan bagian dari hutan negara.

9

Lihat Pasal 2 UU 5/1967 tentang pokok pokok kehutanan. 10

(5)

Selanjutnya putusan MK no 35 tahun 2012 yang dikenal dengan PUU 35 menetapkan bahwa

Hutan adat bukanlah hutan negara. Sehingga Status kawasan hutan terdiri dari: Hutan

Negara, Hutan Adat dan Hutan Hak.

Untuk menentukan status kawasan hutan ini dilaksanakan dalam proses perencanaan

kehutanan melalui kegiatan pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan

dimulai dengan kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas, pemetaan dan

diakhiri oleh penetapan. Namun dalam prakteknya pengukuhan kawasan hutan tidak

dilaksanakan sesuai dengan norma yang diatur dalam UU 41/1999.

Hal ini dapat kita lihat dari proses penunjukan kawasan hutan, dimana dalam SK penunjukan

kawasan hutan justru ditunjuk berdasarkan fungsinya yaitu: Hutan Konservasi, Hutan

Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi tetap dan Hutan produksi konversi. Tidak

satu katapun yang menjelaskan tentang kepemilikan kawasan hutan yang terdiri dari hutan

negara, hutan adat dan hutan hak. Tidak satupun peraturan pelaksana UU yang menjelaskan

tentang tata cara penetapan status kawasan hutan. Namun dalam praktek penataan batas

kawasan hutan dilakukan identifiksi penguasaan, tetapi kawasan yang sudah ada hak

penguasaannya dikeluarkan dari kawasan hutan. Asumsi yang selalu digunakan yang

dimaksud dengan kawasan hutan adalah hutan negara, tetapi ini tidak pernah diatur dalam

teks peraturan perundangan.

Penunjukan kawasan hutan sebagai langkah awal dalam pengukuhan kawasan hutan

seharusnya didasarkan atas hasil inventarisasi kawasan hutan. Dari SK penunjukan kawasan

hutan yang dikeluarkan oleh departemen kehutanan justru tidak memuat hal itu.

Belakangan diketahui bahwa inventarisasi kawasan hutan untuk keperluan itu belum

dilaksanakan.

Sebagai dampak dari tidak jelasnya status kawasan hutan ini berdampak pula pada

ketidakjelasan subjek hukum dalam UU Kehutanan sehingga berdampak pada tingginya

klaim penguasaan atas kawasan hutan yang tidak terselesaikan. Ketidak jelasan status

kawasan hutan ini juga memunculkan konflik wewenang pengelolaan antara pemerintah

sebagai badan hukum publik dan masyarakat ataupun masyarakat adat.

Penunjukan yang dilakukan secara sepihak oleh kementrian kehutanan atas kawasan hutan

ini juga berdampak pada wewenang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak dapat

melakukan pendaftaran atas tanah dalam kawasan hutan. Sehingga penguasaan tanah oleh

(6)

Fungsi Kawasan Hutan dan Pola Ruang

Penetapan fungsi kawasan hutan merupakan tahapan ketiga dalam perencanaan kehutan

setelah inventarisasi hutan dan pengukuhan kawasan hutan yang dilaksanakan pada

kegiatan penatagunaan kawasan hutan. Penetapan fungsi kawasan hutan berhubungan erat

dengan pola ruang dalam UU Penataan ruang yang kriterianya sudah diatur dalam PP

47/1997 dan PP 26/2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Pada prinsipnya

kriteria yang diatur dalam pola ruang ini mengadopsi kriteria fungsi kawasan hutan dalam UU Kehutanan (Lihat tabel 1)

Tabel 1. Kesamaan Kriteria antara fungsi kawasan hutan dengan pola ruang

No Fungsi Kawasan Hutan Pola Ruang Kriteria

1 Hutan Konservasi Hutan Konservasi Kriteria khusus

2 Hutan Lindung Hutan Lindung Skor >175

3 Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Terbatas Skor 124-175 4 Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Tetap Skor <124 5 Hutan Produksi Konversi Hutan Produksi Konversi Skor <124

Walaupun demikian dalam kriteria pola ruang dalam rencana tata ruang menjadikan

kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter sebagai kawasan lindung. Pengaturan ini

mengakomodir ketentuan yang ada dalam Kepres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan

kawasan lindung. Disisi lain ketentuan tentang fungsi kawasan hutan masih diatur dalam

Kepmentan no 683/kpts/um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan

Produksi dan Kepmentan No 837/Kpts/Um/11/1980 tentang kriteria dan tata cara

penetapan hutan lindung.

Dengan ditetapkannya kriteria kawasan lindung dalam rencana tata ruang nasional

seharusnya fungsi kawasan hutan juga harus direvisi, dan menyesuaikan dengan ketentuan

dalam rencana tata ruang nasional. Dalam prakteknya penetapan fungsi kawasan hutan juga

tidak mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan. Hal ini dapat kita lihat dari SK penunjukan

kawasan hutan yang sudah mengatur fungsi kawasan hutan yang dilengkapi dengan

lampiran peta tetapi tidak dilengkapi dengan analisis skoring dalam pembuatan peta

tersebut. Pembuatan peta fungsi kawasan hutan sesuai dengan kaidah pemetaan yang

benar tidak dilakukan.

Penetapan fungsi kawasan hutan merupakan sebuah proses penilaian secara ilmiah dan

akuntabilitasnya dapat diuji secara spasial. Sesungguhnya penetapan fungsi kawasan hutan

belum bisa dilaksanakan karena tidak ada kebijakan untuk penyediaan data dalam

(7)

tingkat ketelitian peta dalam penataan ruang. Beberapa data yang dibutuhkan diantaranya

peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dan peta curah hujan. Jika penetapan dipaksakan

maka akan melanggar norma yang diatur dalam UU Geospasial. Dimana peta dengan skala

yang lebih kecil tidak diperbolehkan untuk membuat peta yang lebih besar.

Penetapan Kawasan Hutan Minimal 30%

Setelah penetapan status kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan dilanjutkan dengan

penetapan luas minimal kawasan hutan sebesar 30% dari wilayah provinsi atau daerah

aliran sungai secara proporsional yang dilaksanakan pada kegiatan pembentukan wilayah

pengelolaan hutan. Penetapan luas 30% ini secara hidrologis adalah untuk memastikan

bahwa tersedia cathcment area yang cukup untuk menyangga ketersediaan air dalam sistim

hidrologi wilayah.

Rusaknya sistim hidrologi berdampak pada tingginya fluktuasi debit air pada sungai sungai

yang ada. Implikasinya adalah kekeringan pada saat musim kemarau dan banjir pada saat

musim hujan. Fenomena banjir dan kekeringan yang melanda berbagai wilayah indonesia

pada akhir akhir ini menunjukkan kegagalan sistem hidrologi karena tidak tersedia luas

kawasan hutan yang cukup sebagai penyangga sistim hidrologi.

Dalam prakteknya, tidak pernah ada SK penetapan kawasan hutan minimal 30% ini,

kalaupun dalam satu wilayah provinsi terdapat luas kawasan hutan melebihi 30% itupun

sudah didominasi oleh izin pemanfaatan hutan yang mempunyai sistim hidrologi seperti

sistim hidrologi perkebunan dan pertanian lainnya mungkin lebih cocok disebut sebagai

kebun kayu.

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Tahapan selanjutnya adalah tentang perubahan fungsi kawasan hutan yang dilaksanakan

pada kegiatan pembentukan wilayah pengelolaan hutan. Secara ideal perubahan fungsi baru

bisa dilakukan setelah tahapan yang ada sebelumnya dilaksanakan dengan baik.

Sementara penetapan fungsi belum dilakukan sudah banyak dilakukan perubahan fungsi.

Pada dasarnya perubahan fungsi hanya boleh dilakukan pada hutan produksi tetap dan

konversi karena memiliki kriteria yang sama. Namun faktanya banyak sk perubahan fungsi

kawasan hutan yang dikeluarkan oleh kementrian kehutanan dari Hutan lindung menjadi

hutan produksi. Perubahan fungsi pada skoring yang berbeda hanya dimungkinkan ketika

(8)

terjadi perubahan jenis tanah, kemiringan lereng maupun curah hujan. Tetapi masih

dimungkinkan jika terjadi kekeliruan data dalam proses penetapan.

Jika dilihat dari implementasi penetapan fungsi kawasan hutan ini sesungguhnya yang

terjadi adalah tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah. Proses penetapan fungsi

kawasan hutan tidak lagi berdasarkan analisis ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan,

tetapi berubah menjadi politik transaksional antar para aktor yang terlibat dalam proses

penetapan tersebut. Fenomena ini dapat kita lihat dari proses revisi rencana tata ruang

provinsi riau yang tidak pernah menemukan kata sepakat antara pemerintah provinsi dan

kementrian kehutanan11. Perubahan fungsi kawasan hutan juga dilakukan untuk mensiasati

ketentuan perizinan yang diberikan dalam kawasan hutan.

Disisi lain, semenjak UU 41/1999 dikeluarkan, peraturan pelaksananya baru dibuat pada

tahun 2010 yaitu PP 10/2010 tentang perubahan fungsi kawasan hutan untuk rencana tata

ruang provinsi. PP ini dikeluarkan setelah keluarnya UU 26/2007 tentang penataan ruang

dan PP 26/2008 tentang rencana tata ruang nasional. Jika dilihat dari substansinya justru

tidak sesuai dengan norma yang ada dalam UU 41/1999, karena UU 41/1999 mengatakan

bahwa penunjukan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang sedangkan

yang diatur dalam PP 10/2010 justru sebaliknya rencana tata ruang menyesuaikan dengan

fungsi kawasan hutan.

Jika ditinjau kembali kriteria fungsi kawasan hutan dan pola ruang tidak ada perbedaan,

namun dalam pola ruang kawasan bergambut dengan kedalaman lebih dari 3m harus

dilindungi. Secara tersirat dapat kita lihat bahwa PP 10/2010 berusaha untuk memutihkan

pelanggaran yang sudah dilakukan dimasa lalu baik dalam penetapan kawasan hutan

maupun pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan12. Dilihat dari

kesesuaian perizinan secara spasial terhadap ketentuan yang berlaku pada umumnya terjadi

pelanggaran. Pelanggaran ketentuan perizinan oleh pemberi izin erat kaitannya dengan

politik transaksional dalam proses pemberian izin dan tidak tertutup kemungkinan masuk

kategori tindak pidana korupsi. Jika penertiban izin yang melanggar ketentuan dalam UU

penataan ruang maka akan berdampak pada pembatalan izin izin yang dikeluarkan oleh

kementrian kehutanan. Hal ini secara tidak langsung akan membongkar praktek korupsi

perizinan yang selama ini terjadi di kementrian kehutanan.

11

Raflis 2011a, Raflis 2011b 12

(9)

Menciptakan Kekacauan Paradigma

Definisi dari status kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan telah sengaja dipelintir

sedemikian rupa melalui dokumen dokumen resmi pemerintah baik itu berupa peraturan

perundangan atau peraturan kebijakan maupun dokumen hasil kajian atau data resmi dari

kementrian kehutanan. Pada umumnya memelintir status kawasan hutan merupakan fungsi

kawasan hutan. Hal ini selanjutnya dikutip oleh para akademisi dan dituangkan dalam kajian kajian ilmiah. Beberapa kutipan tentang status dan fungsi kawasan hutan diantaranya:

 Di wilayah terse ut terdapat berbagai tipologi status kawasan hutan antara lain: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan-hutan kawasan dan non kawasan milik marga yang dikelola secara adat, ter asuk Kawasa De ga Tujua Khusus KDTK 13

 Berdasarkan status fungsi hutan berdasarkan TGHK dan hasil paduserasi

TGHK-RTRWP tahun 1996, areal kerja HPH PT RKI sebagian besar berfungsi sebagai hutan produksi (Unit I dan Unit II), sedang sebagian kecil lainnya bukan sebagai hutan

produksi (HL, TNKS, dan KBDPNP).14

 Jika dipadukan dengan beberapa hasil kajian terkini, saat ini populasi harimau

sumatera terdapat setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lain

yang berstatus sebagai hutan lindung dan hutan produksi, yang terpisah satu sama

lain15

 Sesuai UU 41/1999 tentang kehutanan, status kawasan hutan tinggal ditujuk saja

sudah berjalan karena sebenarnya hal itu fungsi ruang16.

Hal yang lebih jelas dapat kita lihat dalam Permenhut no P.50/Menhut-II/2009 tentang

Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan sebagai mana tercantum dalam pasal

pasalnya:

 Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan status kawasan hutan produksi yang

dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan oleh Menteri. (Pasal 1 Poin 12)  … akastatus areal tersebut adalah APL.(Pasal 3)

HPT sebagaimana tertera pada peta TGHK.(Pasal 7)

 …..status areal tersebut adalah HPK, HP atau HPT sebagaimana tertera pada peta TGHK sampai berakhirnya izin penggunaan kawasan hutan.(Pasal 8)

(10)

Berdasarkan pasal 6 UU 41/1999, hal yang diatur dalam permenhut ini adalah fungsi

kawasan hutan. Sedangkan status kawasan hutan terdiri dari hutan negara, hutan adat dan

hutan hak. Dapat kita simpulkan bahwa permenhut ini menyamakan status kawasan hutan

dengan fungsi kawasan hutan.

Kesimpulan:

Setidaknya terdapat 4 tahap penetapan kawasan hutan dalam perencanaan kehutanan

sebagai objek hukum dari UU kehutanan yaitu: Penetapan status kawasan hutan yang terdiri

dari hutan negara, hutan adat dan hutan hak; Penetapan fungsi kawasan hutan yang terdiri

dari Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi; Penetapan 30% kawasan hutan

yang harus dilindungi sebagai pengatur sistim hidrologi dan Penetapan Perubahan Fungsi

Kawasan hutan.

Terjadi kekacauan paradigma dalam mendefinisikan status kawasan hutan dan fungsi

kawasan hutan, dimana kementrian kehutanan menganggap status kawasan hutan adalah

Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan hutan produksi. Sedangkan UU 41/1999 menegaskan

status kawasan hutan terdiri dari Hutan Negara, hutan Adat dan hutan hak. Hal dijadikan

alasan pembenar untuk tidak melaksanakan tahapan perencanaan kehutanan secara utuh.

Secara tidak langsung kementrian kehutanan mengatakan bahwa kawasan hutan itu adalah

hutan negara, sehingga hutan adat dan hutan hak tidak masuk sebagai kawasan hutan

sehingga pemberian izin pemanfaatan hutan bisa dilakukan pada kawasan hutan yang

belum mempunyai kepastian hukum

Perubahan fungsi kawasan hutan digunakan sebagai alat pemutihan pelanggaran yang

terjadi pada saat pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan.

Pelanggaran yang terjadi telah didesain sedemikian rupa untuk menghindari pejabat

pemberi izin dari pelanggaran hukum.

Rekomendasi:

Perlu dilaksanakan perencanaan kehutanan secara kesuluruhan dan perbaikan peraturan

perundangan dan peraturan kebijakan dengan melakukan eksekitif review dengan

melakukan singkronisasi horizontal dan vertikal terhadap peraturan perundangan yang

(11)

Daftar Pustaka

Mahkamah Konstritusi 2012; Putusan Sidang Nomor 35/PUU-X/2012

KPK 2012; Menuju kawasan Hutan Yang berkepastian hukum dan berkeadilan;

dipresentasikan di balai kartini jakarta, 13 Desember 2012

KPK 2013; Hasil Kompilasi Masukan Tim Penyusun Aksi PPK Kementrian Kehutanan Tahun

2014

………….. 999; U da g U da g No Tahu 999 te ta g Kehuta a

……… 9 ; U da g U da g No Tahu 9 te ta g Pokok Pokok Kehuta a

Raflis 2011a; Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal (Studi Kasus Provinsi Riau); Jurnal

Wacana Edisi 26: Penataan Ruang dan Pengelolaan Sumberdaya

Raflis 2011b; Penataan Ruang dan Korupsi; Dipresentasikan pada International Seminar On

Geospatial and Human Dimension on Sustainable Resource Management Sesi : “patial Pla i g Te a: Di e si Politik dala Re a a Tata Rua g di Ti gkat Nasio al da Lo al “u -Themes: Tata Ruang dan Korupsi di IPB International Convention Center (IICC) Botani Square, Jl Pajajaran, Bogor

16144 12- 13 September 2011

Wulandari Cristine dan Cahyaningsih Nurka 2010; Ketika Adat Mengelola Hutan; REDD menjadi suatu pilihan; Watala; Bandar lampung

Boby Darmawan 2008; Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks

HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo Provinsi Jambi; Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Departemen Kehutanan 2007; Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera (Pantera Tigris Sumatrae) 2007-2017

Poedji Churniawan; Tantangan Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan dalam Darurat

Hutan Indonesia; Wana Aksara Tanggerang

Gambar

Tabel 1. Kesamaan Kriteria antara fungsi kawasan hutan dengan pola ruang

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total leukosit sapi bali yang diinfeksi telur Taenia saginata secara eksperimental (6.92 x 10 3 /μl) lebih tinggi

Berbagai upaya untuk menekan penggunaan insektisida sintetik untuk mengendalikan penggerek polong kedelai Etiella zenkenella telah dilakukan, karena s ampai saat ini

Perubahan status dan alih fungsi kawasan hutan dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan kemudian menjadi kawasan konservasi, seperti yang terjadi di kawasan

Misalnya saat ini masih terjadi penafsiran hukum administrasi tentang hutan, kawasan hutan, penunjukan kawasan hutan, pengukuhan kawasan hutan, penetapan kawasan hutan, dan

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat memetakan pihak - pihak yang berkepentingan (stakeholder) terhadap keberadaan Batur

Kamera pertama yang dipasarkan untuk konsumen dengan layar kristal cair di bagian belakang adalah Casio QV-10 dikembangkan oleh tim yang dipimpin oleh Hiroyuki Suetaka pada tahun

Nilai rat-rata pada saat tes siklus pertama dari 25 siswa adalah 6,0 untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik lagi, maka guru kelas V kembali melaksanakan

Hasil perancangan arsitektur enterprise dengan TOGAF ADM untuk membuat cetak biru sistem informasi sebagai pengembangan data, aplikasi, dan teknologi yang terintegrasi dalam