• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama Privat Publik dan Tantangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Agama Privat Publik dan Tantangan"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Agama Privat-Publik dan Tantangan

FAJAR KURNIANTO

Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa agama sebatas persoalan privat. Pandangan seperti ini jelas mendikotomi kenyataan lain bahwa agama juga bersifat publik. Masalah dikotomi ini mudah dipahami di dunia Barat yang berkultur antroposentris, yakni menjadikan manusia sebagai pusat mutlak yang bebas tanpa perlu dikekang oleh suatu aturan di luar dirinya.

Ketika agama masuk ke kultur antroposentris, berlakulah eksperimentasi menempatkan agama sebatas di ranah privat. Eksperimentasi semacam ini tentu tidak banyak terjadi di dunia Timur yang notabene-nya adalah dunia agama-agama berasal. Wacana sekulerisasi di dunia Barat bisa dipahami melalui argumentasi ini. Tetapi, tidak sepenuhnya bisa diterapkan di dunia Timur, kecuali jika dipaksakan.

Wacana agama di dunia Barat dapat dipahami sebagai lebih pada persoalan pemosisian agama pada tempat yang dipandang layak. Konsekuensinya adalah munculnya otoritarianisme antara dua kubu: prosekulerisasi atau prodisekulerisasi. Hal ini sedikit banyak tidak terjadi manakala agama dijadikan sebagai subjek. Maksudnya, agama adalah “paketan” Tuhan yang Mahamutlak. Sebagai Yang Mahamutlak, dalam “kamus” Tuhan tidak ada dikotomi apakah persoalan itu privat atau publik.

Dalam konteks agama sebagai subjek, agama dianggap sebagai milik Tuhan yang berotoritas mutlak. Segala penafsiran manusia tentang agama adalah relatif. Meski demikian, tafsir apa pun itu mesti dilandasi oleh prinsip bahwa Tuhan tidak mendikotomi persoalan privat maupun publik.

Dengan demikian, pembacaan manusia atas pesan-pesan Tuhan seharusnya pula tidak dikotomis. Makna agama sebagai rahmatan lil alamin adalah di antara argumennya. Agama mengatur pula persoalan publik (sosial), termasuk negara (politik). Di sini, bukan berarti menjadikan negara teokrasi, karena hakikatnya tidak ada negara teokrasi selain penafsiran orang bahwa dirinya memiliki otoritas atas agama, padahal tidak demikian.

(2)

Agama jelas mengatur persoalan publik (sosial). Bahkan, Jose Cassanova mengatakan bahwa agama sebenarnya lebih banyak mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan kemaslahatan umum daripada pribadi. Karena itu, agama adalah sesuatu yang seharusnya, dan pada dasarnya, deprivatized.

Sebagai juga agama publik, maka agama dihadapkan pada berbagai tantangan. Fathimah Usman di dalam bukunya, Wahdatul Adyan: Dialog Pluralisme Agama (2002) menyebutkan tiga tantangan agama. Pertama, humanisme sekuler. Yakni, suatu aliran yang meyakini ketiadaan eksistensi Tuhan, dan diganti oleh semata-mata manusia dan alam. Ludwig Feuerbach, dalam Robert L Johnson (Humanism and Beyond, 1973) mengatakan, tujuan humanisme adalah untuk mengubah “the friend of God” menjadi “the friend of man.” Orang yang yakin menjadi pemikir, penyembah Tuhan menjadi pekerja, dan “the candidates for the other world” menjadi “student of this world.”

Kedua, komunisme dan nihilisme. Komunisme berakar pada pemikiran Karl Marx. Marx berpendapat bahwa manusia selalu membuat kesalahan konsep tentang diri mereka sendiri, dengan cara menata hubungan dengan ide tentang Tuhan. Padahal, itu merupakan momok bagi otak manusia. Dan, dengan ide itu manusia terperosok dalam keterasingan dengan diri mereka sendiri. Sementara, nihilisme berakar pada Nietzsche. Ia tidak mengakui kebaikan umum, bahkan bercita-cita menghancurleburkan batas-batas, khususnya batas-batas moralitas.

Nihilisme yang berarti penyangkalan terhadap nilai dari semua pembedaan ini, tentu berdampak negatif, paling tidak membingungkan, bagi perkembangan moralitas masyarakat. Sebab, nihilisme etis ini mengajarkan bahwa semua putusan nilai telah kehilangan kesahihannya.

Ketiga, sekulerisme. Menurut Thomas F Odea, sekulerisasi terdiri dari dua transformasi yang saling menyambung dalam pikiran manusia. Pertama, desakralisasi sikap terhadap orang dan benda, yakni meniadakan keterlibatan emosional dalam menanggapi hal-hal yang bersifat religius dan suci. Kedua, rasionalisasi pikiran dengan menghilangkan partisipasi dan emosi dalam memahami makna dunia. Dua hal ini berarti bahwa pandangan keagamaan tidak lagi menjadi kerangka acuan dasar pemikiran (Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, 1985 [terjemahan]).

(3)

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip inkarnasi Yesus, menjadi model dalam pelayanan penginjilan kepada bangsa yang multikultur, karena Yesus sebagai Penginjil Agung telah melakukannya selama melayani di

ingin bekerjasama dalam memasarkan produk Vans. Bentuk kerjasama yang ditawarkan PT. Gagan Indonesia kepada pihak tersebut yaitu dalam bentuk perjanjian

Hal tersebut sesuai dengan data bahwa Yusuf Mansur menuliskan berbagai macam permasalahan hidup beserta solusinya maupun menceritakan kisah yang penuh hikmah

Penelitian ini mengadopsi model didalam teori UTAUT 2 guna mendapatkan informasi mengenai: (1) mengetahui seberapa besar hubungan antar variabel predikor laten

Dari beberapa metode analisa ekonomi teknik untuk menghitung investasi mana yang terbaik untuk memilih alat berat excavator bagi PT IR, yang dipilih yaitu dengan menggunakan

Dalam hal ini mengenai Sistem Informasi Akademik Berbasis Website Pada SMP Eka Sakti, yang berfungsi untuk memberikan kemudahan dalam proses pengolahan data siswa

Walaupun banyak manfaat PI secara etnobotani, namun hasil penelitian menunjukkan bioaktivitas PI sebagai anti mikroba, antioksidan, anti fertilitas, anti diabetes

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai postes keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa di kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol dan rata-rata