• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KECENDERUNGAN NEOPHILIA DAN PENDAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN KECENDERUNGAN NEOPHILIA DAN PENDAP"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KECENDERUNGAN NEOPHILIA DAN PENDAPATAN PRIBADI TERHADAP PERILAKU IMPULSE BUYING PEMBELIAN SMARTPHONE

PADA KONSUMEN USIA PRODUKTIF

Ayun Ngainurrohmah Universitas Brawijaya Malang [email protected]

ABSTRACT

This research was aimed to understand the role of neophilia and personal income, both simultaneously and partially, to impulse buying behavior for smartphone on productive aged consumers. The sample of this research were 125 bank employees who work in several major banks Malang branch offices. Sampling technique that was used is purposive sampling. Neophilia and impulse buying tendency were measured with Likert-like scale which was a result of transadaptation and modification of previous researches. Meanwhile, variable of personal income was gathered from the subject’s information. The data analysis was using multiple regression method with F test (for simultaneous hypotesis testing) and T test (for partial hypotesis). The result showed that neophilia tendency and personal income simultaneously have significant effect on impulse buying behavior for smartphone. However, personal income did not have effect on impulse buying behavior for smartphone, while neophilia tendency did partially.

Keyword : neophilia, personal income, impulse buying, smartphone

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan neophilia dan pendapatan pribadi baik secara simultan maupun parsial terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone pada konsumen usia produktif. Sampel dalam penelitian ini adalah pegawai bank yang berada di Kantor Cabang Kota Malang sejumlah 125 orang. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah purposive sampling. Variabel neophilia dan impulse buying tendency scale diukur menggunakan skala Likert yang merupakan hasil transadaptasi dan modifikasi dari penelitian sebelumnya. Sedangkan variabel pendapatan pribadi diukur melalui data demografis berbentuk rentangan. Analisis yang digunakan adalah uji regresi berganda dengan menggunakan uji F (untuk uji hipotesis secara simultan) dan uji T (untuk uji hipotesis secara parsial). Hasilnya, kecenderungan neophilia dan pendapatan secara simultan berpengaruh terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone pada konsumen usia produktif. Selain itu, kecenderungan neophilia secara parsial berpengaruh terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone. Akan tetapi, pendapatan pribadi jika berdiri sendiri tidak memiliki pengaruh apapun terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone ini.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Saat ini, budaya konsumerisme telah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Biasanya banyaknya produk yang muncul dikarenakan adanya permintaan pasar, dengan banyaknya produk yang beredar di pasar saat ini nampaknya tidak harus menunggu adanya permintaan. Produsenlah yang secara aktif menarik minat konsumen dan memberikan informasi terkait produknya melalui berbagai informasi. Salah satu informasi tersebut adalah iklan. Saat ini, produsen sudah semakin kreatif dalam menyampaikan informasi produknya melalui iklan. Iklan mampu menarik konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Saat ini banyak media yang digunakan oleh produsen untuk mempromosikan produknya. Banyaknya media yang digunakan untuk mempromosikan sebuah produk dan intensitasnya yang cukup tinggi terbukti mampu meningkatkan konsumsi para konsumen terhadap produk yang diiklankan. Hal ini karena, pada dasarnya sebuah promosi melalui iklan dapat meningkatkan konsumsi seseorang terhadap suatu barang. Banyaknya informasi produk yang diterima melalui iklan oleh konsumen menjadikan konsumen mengetahui berbagai jenis barang termasuk barang-barang yang kurang terlalu dibutuhkan. Hal ini kemudian memungkinkan individu tertarik untuk membeli dan memunculkan perilaku konsumsi terhadap barang-barang tersebut. Ketika intensitas dalam pemberian informasinya terlalu tinggi, maka perilaku konsumsi dapat mengarah ke perilaku konsumtif.

Perilaku konsumtif menurut Anggasari (1997) merupakan suatu tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Artinya, seseorang menjadi lebih mementingkan faktor keinginan (want) daripada kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata. Perilaku konsumtif sangat erat kaitannya dengan perilaku impulse buying yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, para konsumen melakukan pembelian secara impulsif (terus-menerus) tanpa adanya pertimbangan yang matang. Engel dan Blakcwell (1995) mendefinisikan impulse buying atau yang sering disamaartikan dengan unplanned buying sebagai suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih dahulu sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko. Impulse buying merupakan suatu reaksi yang cepat dan spontan dalam melakukan suatu kegiatan pembelian terhadap produk tertentu saat masuk ke dalam toko.

Pada dasarnya, setiap perilaku memiliki alasan-alasan yang mendasari terbentuknya perilaku tersebut. Perilaku merupakan aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004). Selain itu Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 1993). Menurut Notoatmodjo (1993) faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan perilaku dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar individu yang meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil kebudayaan yang disajikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Sedangkan faktor internal merupakan faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa kepribadian, kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar.

(3)

sebuah penelitian menemukan suatu personal trait yang diprediksi berhubungan dengan perilaku impulsif (Whitebourne, 2012). Personal trait tersebut adalah kecenderungan neophilia. Neophilia sering diidentikkan dengan novelty seeking, kondisi di mana seseorang terus menerus berusaha mencari hal-hal baru dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki kecenderungan neophilia akan cenderung impulsif termasuk dalam perilaku pembelian sebuah produk tertentu. Reios dan Choi (2004) yang meneliti tentang novelty seeking, menjelaskan bahwa novelty seeking berhubungan dengan sebuah pengalaman baru di mana tingkat kebaruan menjadi fungsi ketidaksesuaian antara pengalaman masa lalu dengan masa kini. Novelty seeking merupakan aspek dari innovativeness yang berhubungan dengan keinginan seseorang untuk mencari tahu stimuli baru yang ada (Hirschman, 1980). Redolat et.al (2009) menerjemahkan novelty seeking sebagai sebuah bentuk perilaku yang kompleks yang melibatkan deteksi perubahan lingkungan (kognisi), dan juga berkaitan dengan respon stres. Hawkins, et.al (1980), juga mendefinisikan novelty seeking sebagai rasa ingin tahu seseorang untuk mencari variasi dan perbedaan. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan sifat novelty seeking memiliki kecenderungan untuk mencintai hal-hal yang baru. Orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap hal-hal baru inilah yang disebut sebagai neophilia atau neophiliacs (Janda, 2001).

Seseorang dengan kepribadian neophilia (Janda, 2001) memiliki kecenderungan untuk bahagia karena mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang dinamis dan terus menghadirkan kebaruan. Selain itu, para neophiliacs cenderung selalu menginginkan pengalaman yang baru dalam hidupnya karena mereka cenderung mudah bosan dengan apa yang dialami atau dimilikinya saat ini. Terdapat beberapa faktor yang mengindikasikan seseorang dianggap memiliki kecenderungan neophilia atau tidak. Faktor-faktor tersebut meliputi penerimaan terhadap perubahan sosial, nostalgia, kebiasaan yang unik, adanya perubahan secara personal, keberanian untuk mengambil resiko, dan meremehkan sesuatu yang bersifat normatif. Kriteria-kriteria inilah yang menjadi dasar pengukuran terhadap individu apakah individu tersebut memiliki kecenderungan neophilia atau tidak.

(4)

Pendapatan pribadi yang identik dengan pengasilan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (2008) didefiniskan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh individu, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan individu yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Pendapatan pribadi dalam hal ini merupakan salah satu variabel demografi dalam perilaku impulse buying. Variabel ini sekaligus berperan sebagai salah satu faktor eksternal yang turut berkontribusi dalam perilaku impulse buying. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti melakukan sebuah penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Kecenderungan Neophilia dan Pendapatan pribadi Terhadap Perilaku Impulse Buying Pembelian Smartphone Pada Konsumen Usia Produktif”.

Hipotesis

1. Ha1 : Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

H01 : Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

2. Ha2 : Kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

H02 : Kecenderungan neophilia secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

3. Ha3 : Pendapatan pribadi secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

H03 : Pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

TINJAUAN PUSTAKA Neophilia

Neophilia berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri atas dua kata yaitu neo (baru) dan philia (cinta). Secara harfiah, neophilia dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap hal baru (Gibbin, 2001). Bentuk perilakunya yakni novelty seeking merupakan aspek dari inovasi yang berhubungan dengan keinginan seseorang untuk mencari tahu stimuli baru yang ada (Hirschman, 1980). Sehingga, novelty seeking dapat dikatakan sebagai aktualisasi dari neophilia. Secara logika, seseorang yang memiliki kecintaan terhadap sesuatu hal, maka ia akan cenderung berusaha mencari hal tersebut untuk mendapatkannya. Demikian juga dengan orang yang memiliki kecintaan terhadap hal baru (neophilia). Baik secara sengaja ataupun tidak, mereka juga akan memiliki kecenderungan untuk mencari hal-hal baru tersebut. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kepuasannya sebagai bentuk aktualisasi id yang bersifat irasional (Calvin, 1995). Perilaku di mana seseorang terus menerus berusaha mencari hal-hal baru dalam hidupnya yang disebut sebagai novelty seeking.

(5)

Orang-orang yang memiliki kecenderungan novelty seeking akan cenderung selalu siap untuk mengeksplorasi dirinya dalam situasi-situasi baru, impulsif dan membuat keputusan dengan cepat tanpa banyak mempertimbangkan konsekuensinya, siap untuk menghabiskan uangnya dalam rangka memenuhi keinginannya, serta cenderung spontan dalam berperilaku dan kurang menyukai banyak aturan (Whitebourne, 2012). Terdapat beberapa dimensi yang menjadi dasar terbentuknya neophilia yaitu menerima perubahan sosial, menghindari nostalgia, memiliki selera unik, perubahan secara personal, menerima resiko, dan meremehkan norma sosial

Pendapatan Pribadi

Samuelson dan Nordhaus (1996) menyatakan bahwa pendapatan adalah total uang yang diterima atau terkumpul dalam satu periode tertentu. Menurut Sukirno (2006) pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Rahardja dan Manurung (2000), pendapatan adalah total penerimaan (uang dan bukan uang) seseorang atau suatu rumah tangga selama periode tertentu. Menurutnya juga, pendapatan uang (money income) adalah sejumlah uang yang diterima pada periode tertentu sebagai balas jasa atas faktor produksi yang diberikan.

Pendapatan pribadi atau pendapatan individu (Gardner, 1973) didefinisikan sebagai jumlah penghasilan yang diperoleh dari jasa-jasa produksi yang diserahkannya pada suatu waktu tertentu atau yang diperolehnya dari harta kekayaannya, dan pendapatan nasional tidak lebih dari penjumlahan semua pendapatan individu. Menurut Rahardja dan Manurung (2001), pendapatan pribadi adalah bagian pendapatan nasional yang merupakan hak individu-individu dalam perekonomian, sebagai balas jasa keikutsertaan mereka dalam proses produksi. Selain itu, pendapatan perseorangan (personal income) juga dapat diartikan sebagai jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun.Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapatan pribadi mengacu pada total penerimaan yang diterima oleh setiap penduduk atau personal individu sebagai balas jasa atas keikutsertaannya dalam suatu proses produksi tertentu baik secara aktif maupun pasif yang diterima dalam kurun waktu tertentu.

Terdapat dua jenis pendapatan menurut Friedman dalam Putong (2009) mengemukakan dua jenis pendapatan yang dikaitkan dengan pola konsumsi individu. Setiap pendapatan yang diterima oleh individu pada dasarnya berasal dari dua jenis pendapatan ini. Pertama pendapatan permanen adalah adalah pendapatan jangka panjang atau pendapatan rata-rata. Sementara itu, Mankiw (2007) mengartikan pendapatan permanen adalah bagian pendapatan yang diharapkan untuk terus bertahan di masa depan. Jadi konsumsi yang dilakukan berdasarkan pendapatan permanen cenderung relatif tetap dan dapat dipertahankan sepanjang hidup. Kedua, pendapatan transitoris merupakan pendapatan tidak tetap dan tidak dapat dipastikan jumlahnya di masa yang akan datang. Sementara itu Mankiw (2007) menyatakan bahwa pendapatan transitor merupakan pendapatan yang tidak diharapkan untuk terus bertahan. Hal ini karena sifatnya yang tidak tetap dan tidak dapat dipastikan.

Impulse Buying

(6)

yang dibuat tanpa direncanakan terlebih dahulu sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko. Semuel (2006), menjelaskan bahwa suatu pembelian impulsif terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Ini berarti bahwa impulse buying merupakan salah satu jenis perilaku konsumen, di mana pembelian konsumen dilakukan tidak secara rinci dan terencana. Impulse buying menurut Hoch et al. dalam Negara dan Dharmmesta (2003), terjadi ketika terdapat perasaan positif yang sangat kuat yang kemudian diikuti oleh sikap pembelian. Berdasarkan penelitian Rook dan Fisher (Negara dan Dharmmesta, 2003), pembelian bardasarkan impulse terjadi ketika konsumen mengalami desakan tiba-tiba, yang biasanya sangat kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa impulse buying merupakan pembelian yang tidak terencana, cepat, dan spontan dengan adanya perasaan positif yang sangat kuat yang kemudian diikuti oleh sikap pembelian.

Kecenderungan impulse buying meliputi dua aspek yaitu aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif, berkaitan dengan adanya kekurangan atau bahkan tidak adanya perencanaan dan pertimbangan dalam pembuatan keputusan untuk membeli. Sedangkan aspek afektif, berkaitan dengan kesenangan dan ketertarikan untuk membeli, adanya dorongan untuk membeli, sulit untuk meninggalkan barang yang akan dibeli, dan terkadang timbul penyesalan setelah membeli suatu barang. Sementara itu, Loundon dan Britta (1993) mengemukakan karakteristik produk yang mempengaruhi perilaku impulse buying diataranya memiliki harga yang rendah, adanya sedikit kebutuhan pada produk tersebut, siklus kehidupan produknya pendek, ukuran kecil atau ringan, dan mudah disimpan.

Smartphone

Produk-produk mobile phone, smartphone, dan PDA phone memberi keunggulan masing-masing dan memiliki karakter unik yang berbeda jika dibandingkan produk komunikasi lainnya. Mobile phone yang dikenal dengan ponsel adalah alat komunikasi yang terkoneksi jaringan komunikasi wireless melalui gelombang radio atau transmisi satelit. Kebanyakan mobile phone menyediakan komunikasi suara, SMS atau short message service, MMS atau multimedia message service, dan belakangan ini, ponsel tersebut juga telah didukung dengan layanan internet, seperti browsing dan e-mail. PDA (Personal Digital Assistant) yaitu suatu perangkat telepon kecil yang mampu mengombinasikan fitur seperti fungsi komputer, telepon, faksimile, internet dan jaringan. Peranti ini biasanya memiliki pena yang dinamakan ‘stylus’ sebagai pengganti keyboard untuk memasukkan data. PDA kini tampil dengan stylus dan keyboard untuk mempermudah penggunaan (Koran Jakarta, 2009).

(7)

dan komunikasi ke beberapa media akses nirkabel. Pada dasarnya, sebuah smartphone adalah seperti komputer jaringan yang berukuran kecil dalam bentuk ponsel. Smartphone (Wargo, 2010) merupakan sebuah high-endmobile phone yang memiliki beberapa fungsi personal digital assistant, alat telepon, multimedia, dan aplikasi komputer mobile yang telah dikombinasikan menjadi satu.

Terdapat beberapa ciri bagi sebuah telepon seluler agar dapat dikatakan sebagai smartphone. Pertama, sebuah telepon harus memiliki sebuah sistem operasi. Sebagai contoh smartphone BlackBerry menjalankan BlackBerry OS dari RIM (Research In Motion), Galaxy S II menjalankan OS Android dari Google, dan iPhone menjalankan iOS dari Apple. Kedua, memiliki perangkat lunak (software) seperti address book dan contact manager, maka smartphone memiliki software yang bisa melalukan lebih dari apa yang dilakukan sebuah ponsel. Selanjutnya, memiliki web access dan kemudahan akses data. Selain itu, sebuah smartphone biasanya dilengkapi dengan QWERTY keyboard dan perangkat layar sentuh. Ciri yang terakhir sebuah smartphone adalah adanya layanan messaging (layanan pesan) seperti surat elektronik (e-mail), dan instant messaging seperti AOL Instant Messenger (AIM), Yahoo Messenger (YM) juga Google Talk (GTalk).

METODE PENELITIAN Varibel Penelitian

Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi. Sedangkan variabel dependen (terikat) adalah perilaku impulse buying

Subjek

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai bank baik konvensional maupun syariah yang ada di Kota Malang. Sedangkan sampelnya adalah pegawai bank dengan rincian tiga bank konvensional dan satu bank syariah kantor cabang Kota Malang sejumlah 125 orang dengan syarat memiliki pendapatan, memiliki smartphone dan berada pada usia 18-44 tahun.

Alat Ukur

1. The Neophilia Scale (Gibbin, 1989)

(8)

bernostalgia), unorthodox tastes (memiliki selera yang unik), personal change (perubahan secara personal), risk (menerima resiko), and normative (meremehkan norma sosial). The neophilia scale terdiri atas 50 aitem soal dengan teknik penskalaan Likert (5 pilihan persetujuan). Akan tetapi setelah dilakukan proses analisis aitem dan proses uji reliabilitas dan validitas, hanya tersisa 38 aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,85. Hal ini menunjukkan bahwa skala ini tergolong sangat reliabel. Sedangkan validitasnya yang diuji berdasarkan konstraknya sudah dinyatakan valid. Kemudian, peneliti melakukan proses transadaptasi dan uji coba yang dilanjutkan dengan proses analisis aitem, uji realiabilitas, dan yang terakhir uji validitas. Dalam proses ini, peneliti mencari aitem-aitem terbaik sesuai aturan yang telah ada untuk kemudian digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian yang sebenarnya. Dari 38 aitem asli tersisa 25 aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,85.

2. Pendapatan pribadi

Pada dasarnya variabel pendapatan pribadi tidak diukur menggunakan alat ukur khusus. Informasi ini diperoleh melalui identitas subjek pada kuisioner yang telah disusun sedemikian rupa menjadi satu kesatuan alat ukur. Data ini disajikan dalam rentangan tertentu dan subjek hanya harus memilih salah satu kategori yang sesuai dengan jumlah pendapatan yang diterimanya setiap bulan. Pendapatan ini merupakan gaji bersih pegawai dalam waktu satu bulan.

3. Impulse Buying Tendency Scale (IBTS) – Versi Indonesia (Herabadi, 2003)

Impulse buying tendency scale pertama kali dikembangkan oleh Weun, Jones, dan Beatty (1998) dan dipublikasikan melalui jurnal yang berjudul “The development and validation of the impulse buying tendency scale”. Kemudian, Herabadi (2003) dalam desertasinya melakukan adaptasi impulse buying tendency scale ke dalam bahasa Indonesia. Skala ini terdiri dari 2 dimensi utama yakni kognitif dan afektif. Dimensi kognitif berkaitan dengan adanya kekurangan atau bahkan tidak adanya perencanaan dan pertimbangan dalam pembuatan keputusan untuk membeli. Sementara dimensi afektif berkaitan dengan kesenangan dan ketertarikan untuk membeli, adanya dorongan untuk membeli, sulit untuk meninggalkan barang yang akan dibeli, dan terkadang timbul penyesalan setelah membeli suatu barang.

Metode Analisis

Analisis yang dilakukan bertujuan untuk melakukan uji hipotesis. Berdasarkan desain penelitian dan tujuan yang akan dicapai, peneliti menggunakan analisis regresi berganda dengan Uji F untuk analisis simultan dan Uji T untuk analisis parsial.

HASIL

(9)

berperilaku impulsif saat berbelanja smartphone jika ia memiliki kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi. Selain uji hipotesis di atas, dapat pula diketahui sumbangan dari variabel X terhadap variabel Y melalui nilai regresi yang dihitung menggunakan SPSS. Nilai R square yang ditunjukkan adalah sebesar 0,051. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan atau peranan neophilia (X1) dan pendapatan (X2) terhadap perilaku impluse buying adalah sebesar 5,1 % sedangkan sisanya sebesar 94,9% dijelaskan oleh faktor lain. Berdasrkan uji regresi yang dilakukan terbentuk model regresi sebagai berikut:

γ=1,094+0,643X1− 0,011X2

Keterangan :

Y : Impluse Buying yang telah ditransformasikan X1 : Neophilia yang telah ditransformasikan

X2 : Pendapatan pribadi yang telah ditransformasikan

Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa tanpa adanya variabel lain yang mempengaruhi, secara keseluruhan subjek penelitian ini memiliki tingkat kecenderungan impulse buying sebesar 1,094. Saat variabel neophilia muncul dan dengan asumsi bahwa variabel yang lain dianggap konstan (nilainya tetap atau sama dengan 0), dapat diprediksikan bahwa setiap kenaikan 1% neophilia akan menaikkan kecenderungan impulse buying sebesar 0,643%.

2. Dengan menggunakan Uji T diketahui nilai thitung adalah sebesar 2,543. Jika dibandingkan dengan Ttabel maka, nilai tersebut tampak lebih besar Ha. Selain itu, Berdasarkan hasil olah data menggunakan SPSS, diketahui pula nilai signifikansinya adalah sebesar 0,012 yang lebih kecil dari α (0,05). Oleh karena itu, H02 dapat ditolak dan Ha2 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Hal ini berarti, jika seseorang memiliki kecenderungan neophilia, maka sedikit banyak akan memicu timbulnya perilaku impulse buying saat membeli smartphone.

3. Dengan menggunakan Uji T diketahui nilai Thitung adalah sebesar -1,85. Jika dibandingkan dengan Ttabel maka, nilai tersebut tampak lebih kecil. Selain itu, Berdasarkan hasil olah data menggunakan SPSS, diketahui pula nilai signifikansinya adalah sebesar 0,854 yang lebih besar dari α (0,05). Oleh karena itu, Ha3 dapat ditolak dan H03 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Tingkat pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Hal ini menunjukkan bahwa, pendapatan seseorang jika berdiri sendiri tanpa adanya dukungan variabel lain (yang mempengaruhi impulse buying) tidak akan memicu timbulnya perilaku impulse buying dalam membeli smartphone.

PEMBAHASAN

1. Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

(10)

square yang ditunjukkan sebesar 5,1 %. Artinya, jika seseorang memiliki kecenderungan neophilia dan juga memiliki pendapatan sendiri atau pendapatan pribadi maka akan memunculkan perilaku impulse buying. Dapat disimpulkan bahwa seorang neophiliacs belum tentu berperilaku impulse buying saat membeli smartphone jika tidak mempunyai pendapatan pribadi. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang memiliki pendapatan belum tentu akan berperilaku impulse buying jika tidak memiliki kecenderungan neophilia. Kedua variabel ini akan memicu perilaku impulse buying pembelian smartphone dengan kontribusi sebesar 5,1%. Sedangkan sisanya, yaitu sebesar 94,9% terbentuknya perilaku impulse buying dalam pembelian smartphone dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Adapun faktor-faktor lain yang berpotensi mempengaruhi perilaku impulse buying dengan proporsi sebesar 94,9% tersebut telah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya. Perdani (2011) melalui penelitiannya, menunjukkan bahwa emosi positif, respons lingkungan belanja, interaksi pelanggan dengan pelayan toko, dan hedonic shopping value berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif. Sedangkan Pricilia (2013) melalui penelitiannya juga mengungkapkan bahwa motivasi, persepsi, pembelajaran, dan memori juga mempengaruhi perilaku impulse buying. Beatty dan Ferrell (1998) melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa variabel internal seperti kondisi situasional konsumen (ketersediaan waktu dan uang) dan variabel perbedaan individual (kesenangan berbelanja) berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang dalam impulse buying. Meskipun berbeda objek penelitian, namun ada kemungkinan bahwa faktor-fator pada ketiga penelitian tersebut turut mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian smartphone pada pegawai bank.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, neophilia bersama-sama dengan pendapatan akan berpengaruh terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone. Pada dasarnya, kecenderungan neophilia ini seringkali diaktualisasikan dalam perilaku novelty seeking (Tierney, 2012). Novelty seeking merupakan aspek dari inovasi yang berhubungan dengan keinginan seseorang untuk mencari tahu stimuli baru yang ada (Hirschman, 1980). Stimuli baru yang dibahas di sini berupa model, fitur, jenis, dan juga hal-hal lain yang melekat pada sebuah smartphone.

Tingkat konsumsi smartphone di Asia Tenggara termasuk Indonesia tergolong sangat tinggi. Hal ini diindikasikan dengan tingkat pertumbuhan pasar smartphone di Asia Tenggara yang tergolong mengesankan (Hutajulu, 2013). GFK Asia (lembaga riset kelas internasional asal Jerman yang meneliti pasar retail dan teknologi) menemukan sebanyak 7,7 juta unit ponsel terjual pada tiga bulan pertama di tahun 2012 di Singapura, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Indonesia sendiri membukukan angka 1,4 milyar USD untuk penjualan ponsel pada tahun 2011. Informasi ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi smartphone di Asia Tenggara termasuk Indonesia tergolong tinggi. Sehingga memicu para produsen untuk secara aktif memproduksi smartphone baru dan memasarkannya di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kehadiran smartphone baru di pasaran juga diikuti dengan hadirnya model, fitur, jenis, dan tampilan yang baru pula. Hal ini pada akhirnya memicu konsumen untuk mencari tahu produk-produk smartphone edisi terbaru.

(11)

uang adalah dari pendapatan pribadi. Oleh karena itulah, impulse buying akan semakin tinggi jika dipengaruhi oleh neophilia sebagai dorongan internal dan ditunjang dengan adanya pendapatan sebagai sumber ketersediaan dana untuk membeli smartphone.

Kedua variabel (neophilia dan pendapatan pribadi) memberikan kontribusi sebanyak 5,1% dalam membentuk perilaku impulse buying. Hal ini karena terdapat banyak proses kognitif yang terjadi pada perilaku impulse buying pada saat membeli smartphone. Adanya berbagai pertimbangan terkait harga, kebutuhan, dan berbagai atribut yang melekat pada smartphone. Selain itu, saat akan membeli smartphone, konsumen harus pergi ke sebuah toko khusus handphone yang bagi sebagian orang cukup menguras waktu dan tenaga. Sehingga proses membeli tersebut tidak dilakukan secara spontan, sehingga tidak termasuk dalam kategori perilaku impulse buying.

2. Kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Artinya, dalam penelitian ini ditemukan satu variabel baru yang turut berkontribusi dalam memicu timbulnya perilaku impulse buying pada seseorang yaitu neophilia. Berdasarkan persamaan regresi yang terbentuk, dapat diprediksikan bahwa setiap kenaikan 1% neophilia akan meningkatkan kecenderungan impulse buying sebesar 0,643%. Dalam hal ini variabel lain dianggap konstan (nilainya tetap atau sama dengan 0). Neophilia sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri atas dua kata yaitu neo (baru) dan philia (cinta). Secara harfiah, neophilia dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap hal baru (Gibbin, 2001). Seseorang dengan kecenderungan neophilia (neophiliacs) akan lebih menerima perubahan sosial. Salah satu dampak perubahan sosial adalah munculnya berbagai tekonologi canggih di masa sekarang yang salah satunya adalah smartphone. Para neophiliacs ini menjadi impulsif membeli smartphone karena pada dasarnya mereka telah menerima kemunculan berbagai teknologi baru tersebut dan memanfaatkannya untuk menunjang aktivitas-aktivitas mereka. Selain itu, mereka tidak suka menggunakan metode-metode lama dalam menyelesaikan pekerjaan atau sekedar beraktivitas sehari-hari. Bahkan neophiliacs dengan nilai yang ekstrim, cenderung akan melakukan penolakan terhadap masa lalu yang bersifat “lama”. Hal ini akan berdampak pula pada penolakan terhadap tradisi-tradisi tertentu yang juga bersifat “lama”. Sehingga lebih terbuka kepada hal-hal baru.

Selain itu, neophiliacs juga cenderung memiliki selera unik yang digunakan untuk memilih smartphone. Besar kemungkinan, smartphone yang dipilih memiliki fitur dan bentuk yang unik dan belum banyak digunakan oleh orang lain. Sehingga jika ada smartphone yang memiliki model atau fitur baru, maka mereka akan secara spontan tertarik untuk membeli. Seorang neophiliacs juga cenderung terbuka pada perubahan secara personal. Ia tidak segan-segan mengganti smartphone yang dipakainya saat ini dengan smartphone lain yang lebih baru. Padahal bagi beberapa orang, mengganti smartphone berarti harus memindah semua data dan harus melakukan penyesuaian lagi dengan smartphone baru. Dalam hal ini, para neophiliacs justru berani mengambil resiko untuk secara impulsif membeli dan mengganti smartphone-nya saat ini dengan smartphone baru.

(12)

dalam perilaku novelty seeking (Tierney, 2012). Novelty seeking merupakan aspek dari inovasi yang berhubungan dengan keinginan seseorang untuk mencari tahu stimuli baru yang ada (Hirschman, 1980). Baik secara sengaja ataupun tidak, mereka akan memiliki kecenderungan untuk mencari hal-hal baru tersebut. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kepuasannya sebagai bentuk aktualisasi id (dorongan untuk memenuhi kepuasan dari semua kesenangan, keinginan, dan kebutuhan) yang bersifat irasional (Calvin, 1995). Oleh karena itu, munculnya dorongan tersebut membuat para novelty seeker mencari smartphone baru hanya sekedar untuk memenuhi keinginannya yang bersifat hedonic (kesenangan).

Selain itu, dinamika hadirnya smartphone di Indonesia nampak cukup mendukung hasrat yang dimiliki oleh para novelty seeker. Tingkat pertumbuhan pasar smartphone di Asia Tenggara tergolong mengesankan (Hutajulu, 2013). Produksi smartphone yang cukup tinggi menarik para novelty seeker untuk secara impulsif melakukan pembelian terhadap produk smartphone khususnya edisi terbaru.

Jika dikaji lebih dalam, terdapat beberapa individual personality yang mempengaruhi novelty seeking (Schweizer, 2004). Pertama couriosity, yaitu adanya keingintahuan yang kuat terhadap suatu kejadian atau situasi tertentu. Hadirnya smartphone baru bagi para novelty seeker cukup menarik untuk dicari tahu lebih dalam. Sehingga mereka menjadi penasaran dan kemudian membelinya untuk memenuhi rasa penasarannya. Kedua, excitability, artinya kecenderungan di mana seseorang mudah dirangsang oleh suatu stimulus tertentu sehingga mudah tergoda akan beberapa stimulus di sekitarnya seperti iklan dan ajakan orang-orang di lingkungannya. Adanya excitability menjadikan konsumen lebih mudah tergoda dan terpengaruh oleh orang-orang disekitarnya. Apalagi jika ada iklan smartphone yang menarik dan ajakan dari teman-teman disekitarnya. Hal ini juga akan memicu timbulnya perilaku impulse buying.

Ketiga, impulsiveness, yaitu adanya dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang secara terus-menerus untuk berperilaku tertentu sehingga sulit untuk dikendalikan. Yang, Huang, dan Feng (2011), menyatakan bahwa suatu perilaku impulse buying juga dipengaruhi oleh karakteristik impulsifitas setiap individu. Sudah sewajarnya, para novelty seeker yang memiliki kepribadian impulsif akan berperlaku impulsif juga saat membeli smartphone. Faktor keempat, easily bored, di mana para novelty seeker cenderung mudah bosan akan apa yang mereka alami atau miliki saat ini sehingga kurang menyukai sesuatu yang bersifat rutin dan konstan. Hal ini memicu mereka untuk sering “gonta-ganti” smartphone atau sekedar membeli yang baru dan meninggalkan yang lama.

Kelima, disinhibition atau kecenderungan untuk bebas dan mencari sensasi dalam bentuk aktivitas sosial yang bersifat hedonik. Hedonik dalam hal ini adalah berbelanja khususnya smartphone.Seseorang yang gemar bersenang-senang seperti berbelanja, akan cenderung berbelanja secara impulsif. Apalagi jika pada dasarnya novelty seeker tersebut memiliki hedonic shopping value (kegemaran berbelanja), maka kecenderungan impulse buying-nya akan semakin kuat. Hal ini sejalan dengan penelitian Pricila (2013) yang menyatakan bahwa hedonic shopping value berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif. Terakhir, proactivity, di mana seseorang memiliki mobilitas yang tinggi dan didukung dengan adanya kecenderungan untuk bertahan serta melakukan berbagai aktivitas. Mobilitas tinggi rupanya mendukung permintaaan terhadap smartphone (Zhang dan Watts, 2008). Sehingga para novelty seeker yang cenderung proaktif akan lebih banyak membutuhkan smartphone.

(13)

perilaku mencari dan membuat sesuatu hal baru dalam hidupnya. Perilaku ini akan meningkatkan innovative performance pada individu yang bersangkutan. Sehingga, kesehariannya akan banyak menimbulkan perilaku yang baru dan bahkan cenderung di luar kebiasaan. Salah perilaku baru yang ditunjukkan adalah berperilaku impulsif saat membeli smartphone.

Selain neophilia, terdapat faktor kepribadian lain juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap terbentuknya perilaku impulse buying pembelian smartphone. Kepribadian mengacu kepada pola-pola normal dari perilaku yang ditunjukkan individu, seperti atribut-atribut, sifat-sifat, dan kebiasaan yang membedakan individu dengan individu lainnya (Churchill Jr & Gilbert A 2005). Salah satu faktor kepribadian itu adalah kecenderungan impulsifitas itu sendiri. Yang, Huang, dan Feng (2011), menyatakan bahwa suatu perilaku impulse buying juga dipengaruhi oleh karakteristik impulsifitas setiap individu. Jika pada dasarnya seseorang cenderung berperilaku impulsif dalam berbagai hal, maka dalam melakukan pembelian baik itu smartphone maupun barang lain, ia juga akan cenderung impulsif.

3. Pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian smartphone pada konsumen usia produktif. Jadi, ketika seseorang memiliki pendapatan tapi tidak ditunjang dengan adanya personal trait berupa neophilia, maka tidak akan timbul perilaku impulse buying. Dalam hal ini pendapatan hanya berperan sebagai variabel pendukung yang memperkuat perilaku impulse buying. Di sisi lain, sebuah penelitian (Yang et.al, 2011) menunjukkan bahwa bukan pendapatan yang mempengaruhi perilaku impulse buying, namun ketersediaan uanglah yang secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku impulse buying. Namun, ketersediaan uang ini nampaknya juga harus diimbangi dengan personal trait lain misalnya neophilia. Jika seseorang hanya memiliki ketersediaan uang yang cukup sementara tidak memiliki motivasi atau dorongan apapun untuk membelanjakannya, maka orang tersebut tidak akan membelanjakan uangnya.

Pendapatan pribadi atau pendapatan individu (Gardner, 1973) dapat didefinisikan sebagai jumlah penghasilan yang diperoleh dari jasa-jasa produksi yang diserahkannya pada suatu waktu tertentu atau yang diperolehnya dari harta kekayaannya. Pendapatan subjek penelitian yang merupakan pegawai bank ini tergolong sebagai pendapatan permanen di mana pendapatan tersebut merupakan bagian pendapatan yang diharapkan untuk terus bertahan di masa depan (Friedman dalam Putong, 2009). Jadi konsumsi yang dilakukan berdasarkan pendapatan permanen cenderung relatif tetap dan dapat dipertahankan sepanjang hidup. Oleh karena itulah, pada jenis ini, pola konsumsi mengacu pada seberapa besar pendapatan yang diterima pada jangka waktu tertentu. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan hanya berpengaruh pada tingkat konsumsi seseorang yang cenderung stabil. Untuk pola konsumsi yang mengarah pada impulsifitas, pendapatan seorang pegawai bank tidak memiliki pengaruh apapun.

(14)

Apabila pendapatan rendah maka konsumsinya juga relatif rendah karena berhubungan dengan keinginan bertahan hidup, jadi konsumsi untuk bertahan hidup dan pemenuhan kepuasan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.

Pola konsumsi erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan merupakan suatu keinginan untuk memiliki dan menikmati barang dan atau jasa yang pemuasannya bersifat jasmani dan rohani. Berdasarkan intensitasnya, terdapat kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang sangat harus terpenuhi, artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Contoh: sandang, pangan, papan, pekerjaan, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan sekunder, merupakan kebutuhan yang pemenuhannya setelah kebutuhan primer terpenuhi. Contoh: pendidikan, pariwisata, rekreasi, dan sebagainya. Ketiga, kebutuhan tersier, merupakan kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Contoh: mobil, motor, komputer, handphone, tablet, dan sebagainya. Berdasarkan Keterangan tersebut, smartphone tergolong sebagai kebutuhan tersier. Namun, bagi sebagian besar orang, smartphone sudah menjadi kebutuhan primer sehingga harus dipenuhi meskipun tidak secara impulsif.

Faktor yang menyebabkan tidak adanya pengaruh pendapatan terhadap perilaku impulse buying dapat dikaji melalui objek sasarannya. Smartphone yang identik dengan ponsel canggih (dilihat dari berbagai fitur yang melekat pada sebuah smartphone), harga yang relatif tinggi, dan tingkat kebutuhan yang tinggi, kemungkinan kurang sesuai untuk dibeli secara impulsif. Secara umum smartphone merupakan telepon seluler yang memiliki sistem operasi, perangkat lunak (software), adanya web access, papan tombol QWERTY dan perangkat layar sentuh, serta memiliki layanan messaging (layanan pesan) (gopego.com). Dengan berbagai keunggulan yang ada, harga yang ditentukan pada setiap produk smartphone tidaklah sama seperti harga harga baju atau barang-barang di departement store.

Loundon dan Britta (1993) mengemukakan terdapat beberapa karakteristik produk yang mempengaruhi perilaku impulse buying yakni memiliki harga yang rendah, adanya sedikit kebutuhan pada produk tersebut, siklus kehidupan produknya pendek, ukuran kecil atau ringan, dan mudah disimpan. Dalam hal ini smartphone tidak secara keseluruhan memenuhi kriteria tersebut. Hanya karakteristik memiliki ukuran kecil atau ringan serta mudah disimpan yang dipenuhi oleh sebuah produk smartphone. Kriteria lain seperti harga nampaknya tidak dapat dipenuhi. Harga smartphone cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan barang-barang lain yang pernah dijadikan objek penelitian impulse buying (baju, makanan ringan, dan sebagainya). Selanjutnya, kebutuhan terhadap smartphone juga relatif tinggi. Sehingga konsumen memiliki kriteria-kriteria tertentu dalam membeli smartphone. Karakteristik ketiga yang tidak dipenuhi adalah siklus smartphone yang relatif panjang. Pada umumnya, orang-orang yang membeli smartphone mempertimbangkan dengan baik tingkat ketahanan dan keawetan smartphone yang dibelinya. Hal ini membuat smartphone memiliki siklus kehidupan yang relatif panjang. Oleh karena itu, smartphone dari segi produknya sendiri kurang mampu menimbulkan perilaku impulse buying.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. KESIMPULAN

(15)

a. Pada konsumen usia produktif khususnya 18-44 tahun, kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku impulsif saat membeli smartphone

b. Pada konsumen usia produktif khususnya 18-44 tahun, kecenderungan neophilia secara parsial dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku impulsif saat membeli smartphone

c. Pada konsumen usia produktif khususnya 18-44 tahun, pendapatan jika tidak disertai adanya kecenderungan neophilia tidak dapat mempengaruhi seseorang untuk secara langsung berperilaku impulsif saat membeli smartphone

d. Berdasarkan usia, tidak ada perbedaan kecenderungan neophilia pada subjek penelitian. Namun, untuk pendapatan dan kecenderungan berperilaku impulse buying terdapat perbedaan

e. Berdasarkan jenis kelamin, baik dari segi kecenderungan neophilia, pendapatan, maupun perilaku impulse buying tidak menunjukkan adanya perbedaan

f. Berdasarkan lokasi penelitiannya (lingkungan perbankan), kecenderungan neophilia dan impulse buying menunjukkan adanya perbedaan. Sedangkan pendapatan tidak ada perdedaan di antara keempat bank yang menjadi lokasi penelitian

2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut :

a. Saran Metodologis

1) Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel neophilia hendaknya mencari literatur yang lebih luas. Variabel ini tergolong masih baru dan belum memiliki teori kuat yang mendasarinya. Sehingga literaturnya harus lebih diperkaya.

2) Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel neophilia hendaknya menggunakan metode kualitatif agar dapat memberikan informasi yang lebih mendalam. Metode kualitatif dianggap mampu mengungkap suatu permasalahan secara lebih mendalam.

3) Penelitian selanjutnya hendaknya mempertimbangkan variasi jenis pekerjaan subjek penelitian. Pada penelitian ini jenis pekerjaan subjek penelitian sangat homogen. Sehingga mempengaruhi sebaran pendapatan pada masing-masing kategori.

4) Penelitian selanjutnya menggunakan variabel impulse buying, masih dapat menggunakan skala IBTS (Impulse Buying Tendency Scale). Hal ini dapat dipertimbangkan mengingat reliabilitasnya yang tergolong sangat tinggi. Akan tetapi, peneliti selanjutnya diharapkan tetap melakukan ujicoba untuk menghindari adanya perbedaan karakter subjek penelitian.

5) Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel impulse buying sebaiknya tidak menggunakan objek smartphone. Berdasarkan ciri-cirinya, smartphone kurang sesuai digunakan sebagai objek impulse buying. Karena harganya relatif tinggi sehingga perlu rasionalitas dalam membuat keputusan untuk membeli. 6) Penelitian selanjutnya yang melakukan penelitian terkait impulse buying dapat

mempertimbangkan variabel usia sebagai variabel yang dikendalikan. Hal ini karena, hasil uji beda berdasarkan variabel usia menunjukkan adanya perbedaan kecenderungan impulse buying pada subjek penelitian.

b. Saran Praktis

(16)

sesuai dengan kebutuhan novelty seeking atau innovativenessnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya penyesalan di kemudian hari karena membeli smartphone secara impulsif.

2) Bagi produsen smartphone, untuk semakin menarik minat konsumen dan meningkatkan penjualan, hendaknya memproduksi smartphone dengan atribut (bentuk, model, fitur, dan lain-lain) yang inovatif dan menonjolkan kebaruan. Hal ini terbukti dapat menarik konsumen untuk membeli smartphone secara impulsif karena neophilia memiliki kecenderungan untuk menyukai hal-hal baru.

3) Bagi produsen smartphone, untuk semakin menarik minat konsumen dan meningkatkan penjualan, hendaknya menggunakan teknik promosi yang inovatif. 4) Bagi produsen smartphone, untuk semakin menarik minat konsumen dan

meningkatkan penjualan, mempertimbangkan aspek-aspek pada neophilia seperti keunikan. Produsen dapat menggunakan teknik “limited edition” guna menarik minat para konsumen neophiliacs. Hal ini karena para neophiliacs cenderung memiliki selera yang unik dalam memilih barang.

5) Produsen smartphone dapat melakukan diversifikasi produk untuk menambah variasi dan kebaruan dari smartphone yang akan diproduksi.

DAFTAR PUSTAKA

Alsa, A. (2007). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi. Yogyakarta : Pustaka pelajar

Anonim. (2006). Neophiliacs.

http://e-resources.pnri.go.id/index.php?option=com_library&Itemid=53&key=1 diakses pada 13 Januari pukul 20:15 WIB

Anggasari, R.E., (1997). Hubungan Tingkat Religius dengan Perilaku Konsumtif. Jurnal Psikologika. Volume 2 No.4

Arief, S. (1993). Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta : UI Press

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta

Azwar, S. (2009). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

______. (2010). Metode Penelitian Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

______. (2012). Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

___________. Reliabilitas dan Validitas Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Beatty, S.E. Ferrel, M.E. (1998). Impulse Buying : Modelling It’s Precursors. Journal of Retailling. Volume 74 No 2 pp: 99-114

(17)

Benjamin, J., Ebstein, R.P., Belmaker, R.H. (2002). Molecular Genetics and the Human Personality. American Psychiatric Publishing Inc.: Washington, DC

Blissmer, R.H. (1985). Computer Annual, An Introduction to Information Systems 1985-1986 (Edisi kedua). New York : John Wiley & Sons Inc

Bungin, B. (2008). Metodologi Penelitian Kuantitatif : Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Calvin S., Gardner, L. (1995). Introduction to Theories of Personality (Edisi Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Chen, M. H. (2001). The determinants and traits of Impulsive buying behavior. Journal of Takming University. Volume 17 pp: 59-74

Churchill, Gilbert A. (2005). Dasar-dasar Riset Pemasaran jilid 1. Jakarta : Erlangga

Cohen, Y., Gafni, N., Hanani, P. (2007). Translating and Adapting a Test, yet another Source of Variance; the Standard Error of Translation. Publikasi : Annual Meeting of The IAEA

Coley, Brigitte. (2003). Gender Differences In Cognitive And Affective Impulse Buying. Journal of Fashion Marketing and Management. Volume 7 No 3, pp 282-295

Day, R.L., Coe, R.L., Kendal, J.R., Laland KN., (2003). Neophilia, innovation and social learning: a study of intergeneric differences in Callitrichid monkeys. Journal of Animal Behavior. Volume 65 No 3, pp : 559-571

Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Dharmmesta dan Negara. (2003). Normative Moderators of Impulse Buying Behaviour. International Journal of Business. Volume 5 No 1, pp:1-14

Ebstein, R.P., Novick, O., Umansky, R., Priel, B., Osher, Y., Blaine, D. (1996). Dopamine D4 receptor (D4DR) exon III polymorphism associated with the human personality trait of novelty seeking. Journal Nature Genetics. Volume 12, pp: 78 – 80

Engel, J.F., Blackwell, R.D., dan Miniard, P.W. (1995). Perilaku Konsumen Edisi Keenam. Jakarta : Binarupa Aksara

Gallagher, W. (2011). Exploring Your Inner Neophiliac (Part 1): Winifred Gallagher. http://www.bloomberg.com/news/2011-12-12/exploring-your-inner-neophiliac-part-1-winifred-gallagher.html. Diakses pada 13 Januari 2013 pukul 18:42 WIB

Gardner, A. (1973). Teori Ekonomi Makro. Jakarta : UI Press

(18)

Gopego. (2011). 5 Hal Dasar Untuk Memahami Smartphone. http://gadget.gopego.com/full/2011/05/5-hal-dasar-untuk-memahami-smartphone. diakses pada 20 Oktober 2012 pukul 23:14 WIB

Gujarati, D. (1995). Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga

Hair, J.F. et.al. (1998). Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Hasan, Iqbal. (2006). Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara

Hawkins, D. Coney, K. dan Best, R.J. (1980). Consumer Behavior : Implication for Marketing Stratgy. Dallas, Texas : Bussines Publication

Hempel, L., (1996). Environmental Governance: The Global Challange. Washington D.C : Island Press

Herabadi, A., Verplanken, B. (2001). Individual Differences in Impulse Buying Tendency : Feeling and no Thinking. Europan Journal of Personality. Volume 15 No 10, pp: 71-83

Herabadi, A. (2003). Buying Impulse : A Study on Impulse Consumption. Desertasi Universitas Nijmegen

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika

Hirschman, E. (1980). Innovativeness, Novelty Seeking and Consumer Creativity, Jurnal Penelitian Konsumen. Volume 7 No3, pp: 283-295

Hoegh, M., Hoegh, S.M. (2009). Trans-adapting outcome measures in rehabilitation : Cross-cultural issues. Journal of Neuropsychological Rehabilitation. Volume 19 No 6, pp: 955-970

Hutajulu, R. (2013). Dinamika Pasar Mobile di Indonesia. http://the-marketeers.com/archives/dinamika-pasar-mobile-di-indonesia.html. Diakses pada 12 Juli 2013 Pukul 07:52 WIB

Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta : Erlangga

J.W.Stanton. (1998). Manajemen Pemasaran. Jakarta : Binarupa Aksara

Janda, L. (2001). The Psychologist’s Book of Personality Tests. New York : John Wiley & Sons Inc

Jarvinen, K.L., Elovainio, M., Kivima, M., Ekelund, J., Lichtermann, D., Peltonen L. (2003). Association between the type 4 dopamine receptor gene polymorphism and novelty seeking . American Journal of Psychiatric. Volume 156, No 9, pp: 1453-1455

(19)

Kacen, J.J., Lee, J.A. (2002). The Influence of Culture on Consumer Impulsive Buying Behavior. Journal of Consumer Psychology. Volume 12 No 12, pp: 163-76

Karbasivar, A., Yarahmadi, H. (2011). Evaluating Effective Factors on Consumer Impulse Buying Behavior. IDOSI Publication : Asian Journal of Business Management Studies. Volume 2 No 4, pp : 174-181

Kendal, R.L., Coe, R.L., & Laland, K.N. (2005). Age Differences In Neophilia, Exploration, And Innovation In Family Groups Of Callitrichid Monkeys. American Journal of Primatology. No. 66, pp:167-168

Koran Jakarta. (2009). Keunikan ponsel cerdas multifungsi, edisi 23 Nopember, Jakarta

Lauer, R.H. (2001). Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Edisi Terjemahan). Jakarta : Rineka Cipta

Loudon, D.L., Bitta, D., Albert J. (1993). Consumer Behavior : Concept and Application 4th Edition. United States : Mc Graw Hills

Madjid, A. A. (2011). Mewaspadai Konsumerisme di Indonesia.

http://finance.detik.com/read/2011/09/12/072517/1719933/722/. Diakses pada 12

November 2012 pukul 13:23 WIB

Mankiw, N.G. (2007). Makroekonomi. Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga

Midgley, D., Dowling., G. (1978). Innovativeness : The Concept and its Measurement. Journal of Consumer Research. Volume 4 No 4, pp: 229-242

Murniatmo, G., Sulistyobudi, N., Adrianto, A., Munawaroh, S., Sumarno. (1997). Dampak Globalisasi Informasi Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : DEPDIKBUD

Noble, E.P., Ozkaragoz, T.Z., Ritchie, T.L., Zhang, X., Belin, T.R., Sparkes, R.S. (1998). D2 and D4 dopamine receptor polymorphisms and personality. American Journal of Medical Genetics (Neuropsychiatric Genetics). Volume 1, No 81 pp: 257–267

Notoatmodjo, S. (1993). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset

Papalia, D., Olds, S., Freadman, R. (2009). Human Development : Perkembangan Manusia. Edisi Terjemahan. Buku II. Jakarta : Salemba Humanika

Perdani, R.F. (2011). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif Pada Tip Top Supermarket Depok. Skripsi Universitas Gunadarma Fakultas Ekonomi

Pricilia, Y. W. (2013). Faktor Psikologis Konsumen yang Memengaruhi Perilaku Pembelian Impulsif (Impulse Buying Tendency) Produk Fashion di Malang Town Square (Matos). Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

(20)

Putong, I. (2009). Economics : Pengantar Mikro dan Makro. Edisi Ketiga. Jakarta : Mitra Wacana Media

Rahardja, P., Manurung, M. (2000). Pengantar Teori Ekonomi Mikro. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Rambe, O. (2012). Masyarakat Indonesia Konsumtif Tetapi Tetap Miliki Investasi. http://margind.com/index.php/home/detil_berita/1/Masyarakat-Indonesia-Konsumtif-Tetapi-Tetap-Miliki-Investasi. Diakses pada 12 November 2012 pukul 15:33 WIB

Redolat, R., Martinez, A., Carrasco, M., Mesa, P. (2009). Individual Differences in Novelty-Seeking and Behavioral Responses to Nicotine: A Review of Animal Studies. Journal of Current Drug Abuse Reviews. Volume 2 No 3, pp 230-242

Reios, T.G.JR., Choi, N. (2004). Novelty Seeking in Adulthood : Increase Accompany Decline. The Journal of Genetic Psychology. Volume 2, No 165, pp: 119-133

Riduwan. (2009). Pengantar Statistika Ilmu Sosial. Bandung : Alfabeta

Rubin, Z. (1970). Measurement of Romantic Love. Journal of Personality and Social Psychology. Volume 16, No 2, pp: 265-273

Salafudin, I. (2011). Indonesia Negara Konsumtif Kedua di Dunia.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/03/84640. Diakses pada 10 Januari 2012 pukul 21:14 WIB

Samuelson, P., Nordhaus, W.D. (1996). Mikroekonomi. Jakarta : Erlangga

Santrock, J. W. (2002). Life Span Development. Edisi Terjemahan. Jakarta : Erlangga

Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia

Sarwoko. (2005). Dasar-Dasar Ekonometrika. Yogyakarta : Andi

Schweizer, T.S. (2004). An individual psychology Of novelty-seeking, Creativity and innovation. Tesis Universitas Rotterdam

Schiffman , Leon. G., & Kanuk, Leslie Lazar. (2007). Cosumer Behavior, Eight Edition. New Jersey: Pearson Education.

Semuel, H. (2006). Dampak Respon Emosi Terhadap Kecenderungan Perilaku Pembelian Impulsif Konsumen Online dengan Sumberdaya yang Dikeluakan dan Orientasi Belanja Sebagai Variabel Mediasi. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Volume 8 No. 2 pp 101-115

(21)

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta

Sukirno, S. (2006). Makro Ekonomi : Teori Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Sumarwan, U. (2003). Perilaku Konsumen : Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta : Ghalia Indonesia

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC

Suryani, L. (2008). Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka

Tierney, J. (2012). What’s New? Exuberance for Novelty Has Benefits.

http://www.nytimes.com/2012/02/14/science/novelty-seeking-neophilia-can-be-a-predictor-of-well-being.html?_r=0. Diakses Pada 13 Januari 2013 pada 19:20 WIB

Walker, I., Gibbins, K. (1989). Expecting The Expected : An Explanation of Category Widht. Journal of Perceptual and Motor Skills. Volume 1, No 68, pp: 715-724

Walpole, R.E. (1992). Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Whitbourne, S.K. (2012). Are You Neophiliacs.

http://www.psychologytoday.com/blog/fulfillment-any-age/201203/are-you-neophiliac diakses pada 13 November 2012 pukul 15:23 WIB

Wijiatuti. (2010). Isyarat Eksternal dan Internal : Pengaruhnya Terhadap Perilaku Pembelian Impulsif Mahasiswa di Kota Malang. Tesis Fakultas Ekonomi Universita Brawijaya

Wisadirana, D. (2007). Pedoman Penulisan Skripsi. Malang : UMM Press

Yang, D., Huang, K., Feng, X. (2011). A Study of the Factors that Affect the Impulse Cosmetics Buying of Female Consumers in Kaohsiung. International Journal of Business and Social Science. Volume 2 No 24, pp 275-282

Zaki, A. (2008). E-Life Style: Memanfaatkan Beragam Perangkat Teknologi Digital. Jakarta: Salemba Infotek

Zhang, W. dan Watts, S. (2008). Online communities as communities of practice: A case study. Journal of Knowledge Management, Volume 12 No. 4, pp: 55-71

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini belum memberikan hasil yang maksimal dan diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik dengan meneliti variabel-variabel

Pengumpulan data dilakukan selama 2 bulan, melalui tahapan studi literatur, wawancara, dan observasi. Tahapan studi literatur dilakukan dengan mencari dan mempelajari teori, materi,

Saran untuk peneliti selanjutnya Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel penelitian yang belum ada, dan dapat memberikan informasi baru dan menjadi

Penelitian diawali dengan melakukan studi.. literatur terhadap penelitian terdahulu dan teori- teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah analisis konteks

Pada literatur asuransi, beberapa teori distribusi untuk variabel random non- negatif telah digunakan secara luas untuk mencocokkan data empiris pada usia saat

Dalam studi literatur mencari referensi teori yang relevan berisikan tentang teori anak usia dini, teori kecerdasan verbal linguistic , teori keterampilan berbicara, dan teori

 Sekunder : Dalam penulisan PA ini, penulis melakukan studi pustaka untuk mencari literatur – literatur yang berhubungan dengan teori – teori tentang Baking Powder dan pengaruhnya

Penelitian ini difokuskan untuk menemukan berbagai macam teori-teori atau gagasan yang berkaitan dengan konteks yang sedang dibahas, misalnya yaitu mencari sumber literatur mengenai