• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM PELESTARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM PELESTARI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI PERATURAN DAERAH DALAM PELESTARIAN DAN

PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Bismar Arianto, Oksep Adhayanto & Winata Wira

Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang-KEPRI

ongahbismar@yahoo.com

1. Pendahuluan

Pengembangan kebudayaan dilakukan sebagai wujud kesadaran bangsa dan negara dalam mengantisipasi ancaman terkikisnya jati diri dan nilai-nilai luhur budaya di masa lalu. Menghadapi tantangan masa depan di tengah derasnya arus globalisasi menyebabkan pengembangan kebudayaan menjadi mutlak untuk diwujudkan. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk memastikan terselenggaranya penyelamatan kebudayaan sebagai hasil olah cipta, rasa dan karsa di setiap zaman.

Sejarah berperan penting terhadap realitas kekinian sehinga berbagai warisan yang disumbangkan oleh kebudayaan di masa lampau mutlak untuk diselamatkan. Negara mengambil peran yang nyata melalui pembentukan perundang-undangan tentang cagar budaya yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelamatkan peninggalan kebudayaan di masa lalu. Perundangan-undangan tentang cagar budaya telah dimulai dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Namun karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum di masyarakat, aturan tersebut telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Sebagai bekas wilayah kejayaan Melayu yang pernah mengalami masa kejayaan, Provinsi Kepulauan Riau memiliki banyak peninggalan cagar budaya. Sebagai contoh, kawasan cagar budaya peninggalan Kesultanan Lingga, Kesultanan Pulau Penyengat menurut catatan tertulis dan bukti bekas reruntuhan yang masih ada sampai sekarang. Di Provinsi Kepulauan Riau ada saat ini ada 15 cagar budaya nasional (http://heritageinventory.web.id/), 99 benda cagar budaya tidak bergerak dan/atau situs, serta sekarang juga sedang mengupayakan menjadikan Pulau Penyengat menjadi satu warisan budaya dunia. Harus diakui tingkat perhatian pemerintah daerah dalam melestarikan dan mengelola cagar budaya di Provinsi Kepuluan Riau hingga saat ini masih rendah, hal ini bisa di buktikan dengan kondisi cagar budaya yang ada yang kurang terurus serta minimnya alokasi dana untuk hal ini.

Hingga saat ini Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau belum memiliki Peraturan Daerah tentang Pelestarian Cagar Budaya. Oleh karena itu pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Riau perlu segera membentuk perda tentang pelestarian dan pengelolaan cagar budaya sebagai bentuk keseriusan pemerintah daerah terhadap komitmen pelestarian dalam rangka menjaga nilai ke-khas-an Provinsi Kepulauan Riau sebagai bunda tanah Melayu yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai keislaman.

2. Identifikasi Masalah

(2)

1. Masih kurang maksimalnya peran pemerintah daerah dalam hal pelestarian dan pengelolaan cagar budaya

2. Permasalahan yang muncul berkenaan dengan cagar budaya, tidak dapat diselesaikan tanpa adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelestarian dan pengelolaan cagar budaya

3. Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, cakupan dan substansi undang-undang tersebut sangat luas dan masih mengatur secara umum pelestarian dan pengelolaan cagar budaya sehingga penyelesaian akan lambat dan tidak sesuai dengan kondisi lokal

3. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa istilah yang memiliki makna yang hampir sama dengan cagar budaya diantaranya pusaka budaya, warisan budaya, dan sumberdaya budaya. Dalam Kamus Bahasa

Indonesia cagar budaya diartikan sebagai “daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan

peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan”, adapun kata

‘cagar’ adalah “daerah perlindungan untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan, binatang, dsb;

lindungan” (KBBI V1.1).

Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Merujuk pada undang-undang tersebut benda cagar budaya dimaknai sebagai benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. kawasan cagar budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Di Indonesia kriteria benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya apabila memenuhi kriteria cagar budaya :

1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan

4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

(3)

pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pemeliharaan cagar budaya adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.

4. Metode Kajian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan budaya. Metode pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka guna menelaah (terutama) data sekunder berupa peraturan perundang-undangan untuk dilihat kesesuaian muatan rancangan peraturan daerah ini secara vertikal dan horizontal, baik dari aspek kewenangan daerah, aspek pengaturan maupun materi muatan yang dapat diatur melalui peraturan daerah tentang pelestarian dan pengelolaan cagar budaya. Pendekatan budaya sangat relevan untuk dilakukan dalam kajian ini karena cagar budaya adalah warisan budaya yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, karena mempunyai nilai penting yang patut dilestarikan. Meskipun dalam ranah hukum, cagar budaya merupakan wujud bendawi dari gagasan, nilai-nilai luhur, dan tindakan manusia, tetapi pelestarian cagar budaya tidak hanya ditujukan untuk mengabadikan benda itu sendiri.

Mekanisme pengumpulan data pengumpulan melalui data studi keperpustakaan (bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier), wawancara dan

focus group discussion (FGD). Pengolahan data dilakukan secara deskriptif-kualitatif.

Bahan-bahan hukum tertulis yang telah terkumpul diuraikan dan dianalisis dengan menggunakan

content analysis secara sistematis dengan membuat klasifikasi muatannya dan

dikomparasikan dengan informasi narasumber dan pandangan dari masyarakat.

5. Hasil dan Pembahasan

5.1. Landasan Filosofis Pembentukan Perda Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya di Provinsi Kepulauan Riau

Antara manusia dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Di satu sisi, kebudayaan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat. Sejak lahir, manusia sudah berhadapan dengan kebudayaan dari masyarakat di mana mereka lahir dan selanjutnya, mereka berkembang, mereka juga harus bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat di mana dia tinggal.

Pola interaksi dan pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat mau tidak mau tentu akan mempengaruhi pembentukan pola pikir, sikap dan perilaku seseorang. Sehingga, kemanapun seseorang pergi, dia akan selalu membawa pola kebudayaan yang dia peroleh dari masyarakat di mana dia dibesarkan dan hal itu akan membentuk identitas dirinya yang membedakannya dari identitas masyarakat lain. Di sisi lain, masyarakat juga berpengaruh besar bagi kebudayaan. Pengaruh ini disebabkan oleh kebutuhan manusia untuk bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sosial sesuai dengan tuntunan zaman. Karena itu, bisa dikatakan bahwa kebudayaan merupakan produk dari masyarakat manusia (RIPPDA Banten, 2012).

Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini juga menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional. Hal ini dapat dilihat dalam Laporan Kongres PBB ke-VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana di Navana, Cuba, tanggal 27 Agustus s/d 7 September 1990, yang antara lain menyangkut :

1. Pencurian/penyelundupan barang-barang kebudayaan berharga;

2. Kelengkapan peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan perlindungan dengan barang-barang peninggalan budaya; dan;

3. Perlawanan terhadap lalu lintas internasional atas barang-barang.

(4)

terhadap benda-benda cagar budaya akan menumbuhkan harga diri dan martabat bangsa. Pemahaman sejarah tanpa bentuk nyata akan sulit menumbuhkan kebanggaan nasional.

Pembangunan kebudayaan merupakan bagian dari proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, maju, adil dan makmur. Pembangunan kebudayaan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan Nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah

peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh

seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.

Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, pada titik ini cagar budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.

Selain itu juga, pemerintah daerah berkewajiban melestarikan kebudayaan untuk memperkokoh jatidiri bangsa, martabat, dan menumbuhkan kebanggaan nasional serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembangunan kebudayaan juga tercakup dalam pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama yang terkait erat dengan pengembangan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025, yang mengamanatkan bahwa pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama diarahkan pada pencapaian sasaran untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab; dan mewujudkan bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera.

Dalam pembangunan kebudayaan, terciptanya kondisi masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Disamping itu, kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menciptakan iklim kondusif serta harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. Nilai-nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi ciri khas masing-masing daerah tentunya dapat berbentuk benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai filosofis terhadap sejarah perkembangan kebudayaan suatu daerah.

(5)

peninggalannya. Peninggalan tersebut dapat berbentuk bangunan, museum, gedung, benda-benda cagar budaya lainnya baik yang ada di darat maupun yang ada di air. Hal ini tentunya harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah maupun pemerintah daerah dikarenakan budaya-budaya lokal yang masih tumbuh dan berkembang serta diyakini oleh masyarakat berbanding lurus dengan peninggalan-peninggalan dari masa lalu yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam bentuk cagar budaya.

Sebagai sebuah daerah yang memiliki nilai historis yang tinggi tentang sejarah kerajaan Melayu Riau Lingga yang pernah berjaya pada eranya, tentunya meninggalkan berbagai kesan terhadap hal ini. Untuk itu, dalam semangat untuk menjaga dan memelihara sisa-sisa peninggalan itu dibutuhkan kebijakan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk lebih proaktif dalam melindungi, memelihara, melestarikan dan mengelolanya agar tidak punah oleh alam maupun tangan-tangan jahil manusia.

Disisi lainnya, nilai-nilai lokal yang hidup di masyarakat Melayu yang ada di Provinsi Kepulauan Riau yang berangkat dari akar budaya Melayu Islam inilah yang kita jadikan landasan filosofis pembangunan budaya di Provinsi Kepulauan Riau yang juga berhubungan erat dengan benda-benda peninggalan yang bersifat cagar budaya yang ada dimasyarakat.

Dengan demikian sektor pengembangan cagar budaya mendapat tempat yang sangat khusus di dalam perumusan tujuan pembangunan wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini tidaklah berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dunia untuk melaksanakan pelestarian terhadap warisan budaya berupa cagar budaya.

Semangat untuk melestarikan benda-benda budaya peninggalan masa lalu yang ada di Provinsi Kepulauan Riau juga tertuang dalam visi Provinsi Kepulauan Riau yakni Terwujudnya Kepulauan Riau Sebagai Bunda Tanah Melayu Yang Sejahtera, Berakhlak

mulia dan Ramah Lingkungan.

5.2. Landasan Yuridis Pembentukan Perda Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya di Provinsi Kepulauan Riau

Secara yuridis ada 23 peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar hukum penyusunan rencana perda tentang pelestarian dan pengelolan cagar budaya di Provinsi Kepuluan Riau yaitu :

1. UUD 1945

2. UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau 3. UU Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

4. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

5. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 6. UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

7. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 8. UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 9. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

10.UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

11.PP Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

12.PP Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di Museum

13.PP Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

(6)

15.PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

16.PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam

17.Kepres Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

18.Inpres Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.

19.Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukkan Produk Hukum Daerah 20.Perendikbud RI Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengembangan

Sumberdaya Manusia Kebudayaan

21.Perda Provinsi Kepulauan Riau Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2005-2025

22.Perda Provinsi Kepulauan Riau Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015

23.Perda Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau

5.3. Landasan Sosiologis Pembentukan Perda Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya di Provinsi Kepulauan Riau

Cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dengan kondisi seperti ini cagar budaya dapat dimaknai sebagai suatu yang penting pada masa lalu dan memiliki pengaruh dalam perkembangan peradaban manusia. Maka dengan kondisi seperti ini proses pelestarian dan pengelolaan cagar budaya menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Keberadaan cagar budaya harus dimaknai sebagai suatu rangkai perjalanan peradaban manusia dari masa ke masa. Kesinambungan antar masa dalam peradaban manusia ini menjadi penting dalam persepektif masa lalu dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau pembelajaran bagi pembangunan masa kini dan yang akan datang.

Kemudian dalam perjalanan bangsa Indonesia dengan adanya otonomi daerah, peran pemerintah daerah dalam pembinaan museum dan warisan budaya nasional di tiap-tiap provinsi maupun kabupaten/kota akan semakin meningkat. Selanjutnya, penemuan situs arkeologi dan benda-benda cagar budaya terus dilakukan untuk memperkaya pemahaman masyarakat mengenai budaya-budaya tradisional yang sudah punah. Sementara itu, situs-situs cagar budaya yang ada terus dijaga kelestariannya dan dipugar agar generasi muda dapat mempelajari kekayaan budaya yang pernah ada.

Paradigma pengelolaan cagar budaya dewasa ini, diarahkan pada pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap upaya pengelolaannya. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan cagar budaya yaitu kebermanfaatan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa setiap upaya pengelolaan cagar budaya harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena merekalah pemilik sah cagar budaya. Dengan demikian, jika pengelolaan cagar budaya tidak memberikan manfaat pada masyarakat maka pengelolaan yang dilakukan dianggap tidak berhasil (Yadi Mulyadi, 2014).

(7)

juga memberikan manfaat berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap rancangan pengelolaan cagar budaya diharapkan memberikan ruang sekaligus peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif.

Partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian warisan budaya merupakan salah satu prioritas yang harus tercapai dalam setiap kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya yang berwawasan pelestarian. Upaya pelestarian yang dilakukan haruslah berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan bangunan-benda cagar budaya sehingga masyarakatlah nanti yang akan lebih berperan serta, pemerintah hanya mengayomi dan mengawasi sehingga tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku terhadap pelestarian dan pengelolaan cagar budaya.

Dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dengan tegas menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya harus lebih ditingkatkan. Paradigma pengelolaan cagar budaya tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan akademik semata, tetapi harus meliputi kepentingan idiologi dan juga ekonomi. Oleh karena itu, untuk mencapai ketiga kepentingan tersebut, diperlukan sinergitas antara pemerintah, akademisi, masyarakat dan juga sektor swasta. Terkait dengan hal tersebut, naskah ini mencoba untuk memaparkan pelestarian dan pengelolaan cagar budaya khususnya bentuk pengelolaan berupa pemanfaatan cagar budaya. Pemanfaatan cagar budaya tidak dapat dilepaskan dari konteks pelestarian cagar budaya, oleh karena itu diuraikan terlebih dahulu hakekat dari pelestarian cagar budaya (Yadi Mulyadi, 2014).

5.4. Landasan Ekonomis Pembentukan Perda Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya di Provinsi Kepulauan Riau

Pengelolaan cagar budaya dapat berdampak positif terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, kegiatan pelestariannya diharapkan tidak hanya mampu mewujudkan kepentingan terhadap sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan melainkan diarahkan pada pengembangan nilai tambah secara ekonomi. Dengan kata lain, kemampuan pengelolaan cagar budaya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan dalam pelestarian cagar budaya tersebut sehingga aspek ekonomi dari pengelolaannya tidak dapat dikesampingkan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya secara jelas berangkat dari salah satu pertimbangan bahwa pelestarian dan pengelolaan memerlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis. Hal ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan cagar budaya untuk dapat memproduksi nilai ekonomi yang ditujukan bagi kepentingan terselenggaranya pengembangan pengelolaan cagar budaya itu sendiri secara berkelanjutan. Pemerintah daerah yang turut memiliki wewenang di dalam pengelolaan cagar budaya harus secara bijak mendayagunakan potensi ini.

Secara sederhana, implikasi ekonomi dalam pengembangan pemanfaatan cagar budaya bahkan diakui bagi setiap anggota masyarakat yang memiliki sumbangsih bagi perlindungan terhadap cagar budaya. Selanjutnya, implikasi ekonomi berupa kompensasi turut pula diberikan kepada mereka yang penemuannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Maknanya, pemerintah daerah yang secara nyata berpartisipasi dalam perlindungan cagar budaya juga dapat mengembangkan utilitas (kemanfaatan) ekonomi dari keberadaan cagar budaya tersebut. Dengan demikian, pengelolaan cagar budaya di daerah harus berdampak nyata bagi kelanjutan pembangunan.

Pemanfaatan Cagar Budaya, dalam konteks pelestariannya diarahkan untuk mencapai nilai manfaat (use value), nilai pilihan (optional value), dan nilai keberadaan (existence

value). Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat menggunakan keberadaan cagar budaya

(8)

program pembangunan. Salah satu potensi nyata yang berkaitan dengan pemanfaatan cagar budaya dapat diwujudkan dalam kegiatan pengembangan kepariwisataan di daerah, tanpa mengabaikan potensi lainnya seperti ekonomi kreatif, pendidikan maupun seni kebudayaan. Pada gilirannya, penciptaan nilai ekonomi dari keberadaan cagar budaya juga mampu membuka ruang bagi terbentuknya kesempatan kerja di daerah.

Memperhatikan potensi temuan cagar budaya khususnya di kawasan perairan Provinsi Kepulauan Riau, maka pembentukan peraturan daerah ini harus pula dapat menghasilkan terobosan penting bagi peningkatan pendapatan daerah (PAD) melalui keberadaan Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) sebagai objek temuan yang termasuk benda cagar budaya yang paling penting di air. Tingginya taksiran nilai ekonomi dari kegiatan pemanfaatan BMKT sudah seharusnya dapat mengkomodasi kepentingan daerah secara nyata. Sungguh disayangkan, apabila selama ini hal tersebut telah mengabaikan kepentingan daerah untuk memperoleh nilai ekonomi dari pemanfaatan BMKT untuk tujuan kesejahteraan masyarakat di daerah.

6. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan

1. Pembentukan produk hukum daerah dalam rangka memastikan penyelenggaraan peran pemerintah daerah dalam usaha pelestarian dan pengelolaan cagar budaya merupakan urgensi yang mutlak

2. Kepentingan pelestarian dan pengelolaan cagar budaya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan karakteristik daerah secara geografis. Sebagai daerah kepulauan, menyimpan banyak potensi temuan cagar budaya di bawah air

3. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis dan substantif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan

6.2. Saran

1. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelestarian dan Pengeloaan Cagar Budaya Provinsi Kepulauan Riau, hendaknya menjadi Prioritas dalam Program Legislasi Daerah tahun 2015, dan dibahas serta diundangkan dalam Tahun 2015

2. Pada tataran operasional pelaksanaan Ranperda ini akan secara optimal diwujudkan melalui penetapan-penetapan Gubernur

Daftar Pustaka

Direktorat Pelestarian dan Pengeloaan Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kebijakan Pelestraian Cagar Budaya Bawah Air, 2014.

http://heritageinventory.web.id/ Data Base Pantau Pusaka Indonesia, Diakses 25 Maret 2015 Jam 10.30

Muhammad Ramli, Pengertian dan Kriteria Cagar Budaya, Makalah BPPP Makasar, 2013 Yadi Mulyadi, P emanfaatan Cagar Budaya Dalam Perspektif Akademik dan Peraturan

Perundang-undangan, Makalah disampaikan dalam kegiatan Sosialisasi

Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat, 20 Agustus 2014

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

(9)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di Museum

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukkan Produk Hukum Daerah

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengembangan Sumberdaya Manusia Kebudayaan.

Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2005-2025 Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010-2015 Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat

Referensi

Dokumen terkait

Skema fast track yang ada memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengambil MK S2 pada saat tingkat 4 dengan harapan mahasiswa pada tahun ke 5 dapat menyelesaikan 2 MK Studio

Dengan demikian berarti bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa LDR, IPR, APB, NPL, BOPO, FBIR, IRR, PDN, ROA dan NIM secara bersama-sama memiliki pengaruh yang

Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan hara pada tanah gambut adalah jerapan hara yang lemah sehingga hara yang diberikan melalui pupuk tidak efisien karena sebagian

Untuk itu, tahapan kegiatan di lokasi baru mencakup serangkaian kegiatan yang berorientasi pada siklus rembug kesiapan masyarakat dan kerelawanan, refleksi kemiskinan, pemetaan

Selain itu sistem dapat mempermudah pengguna untuk mencari tanaman obat berdasarkan penyakit dengan memilih data penyakit yang tersedia pada sistem dan di dalam

Complience yaitu kemampuan paru untuk mengembang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu adanya surfaktan pada lapisan alveoli vang berfungsi untuk

Dosis kotoran ayam yang diberikan pada tanaman jagung manis tidak mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah baris per tongkol, panjang tongkol per tanaman dan

merupakan hasil modifikasi rancangan proses pengembangan pengendalian biaya untuk diterapkan pada Seven to 7 Meat Shop & Cafe, dimana adanya penambahan untuk