1
I. PENDAHULUAN
Pengembangan Konseptual Teknologi Pendidikan terbagi atas dua bagian, yaitu
landasan falsafah dan teori teknologi pendidikan. Pengertian falsafah itu sendiri adalah
suatu rangkaian pernyataan yang berdasarkan keyakinan, konsepsi, dan sikap orang
yang menunjuk ke arah dan tujuan yang akan diambil. Hal ini sesuai dengan pandangan
Ely (1980, h. 81), dimana seseorang memberikan arti atas suatu gejala seobjektif
mungkin yang berdasarkan pengalaman empirik.
Menurut Snelbecker (1974, h. 31-32), pengertian “teori” secara umum dapat
dikatakan sebagai segala aspek ilmu yang tidak semata-mata bersifat empirik. Sedangkan menurutnya pengertian “teori” secara khusus dapat diartikan sebagai ringkasan pernyataan yang melukiskan dan menata sejumlah pengamatan empirik. Namun, pengertian “teori” diatas hanya sebatas pengembangan dan kawasan teknologi pendidikan semata. Sejumlah asumsi pun dijadikan dasar dalam menentukan gejala
yang diamati, diantaranya adalah:
Berkembang pesatnya ilmu dan pengetahuan.
Pertambahan pendudukan yang semakin banyak dalam memperoleh pendidikan. Terjadinya perubahan mendasar dan menetap yang menghendaki adanya
re-edukasi.
Luasnya penyebaran teknologi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam
bidang pendidikan.
Makin terbatasnya sumber-sumber tradisional sehingga harus diciptakan sumber
baru dan memanfaatkan sumber terbatas tersebut.
II. PENDEKATAN FILSAFATI
Menurut Suriasumantri (1982/83, h. 88), bila ditinjau dari falsafah ilmu, terdapat tiga
komponen/penyangga tubuh pengetahuan yang meliputi :
Ontologi : asas dalam menetapkan ruang lingkup ujud yang menjadi obyek
penelaahan, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari obyek
tersebut.
Epistemologi: asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan
disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan.
Aksiologi : asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Sir Eric Ashby (1972, h.9-10) menyatakan ada 4 revolusi yang terjadi dalam dunia
2
Revolusi pertama, orang tua/keluarga mempercayai orang lain untuk memberikan
pendidikan kepada anaknya karena orang tua sudah tidak mampu untuk mendidik. Revolusi kedua, guru bertanggung jawab dalam mendidik, disampaikan secara
verbal/lisan, dan dilembagakan dengan berbagai ketentuan.
Revolusi ketiga, buku dijadikan media utama dalam pendidikan yang sejalan dengan
ditemukannya mesin cetak yang memberikan informasi iconic dan numeric.
Revolusi empat, perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan pesan-pesan
disampaikan lebih cepat dan lebih bervariasi.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa awalnya, pendidikan berorientasi
kepada guru/pengajar, selanjutnya terbit buku sebagai media belajar. Namun, guru pun
harus bisa memilih buku dan mengawasi kegiatan belajar secara ketat. Kemudian media
komunikasi berkembang pesat sehingga pesan-pesan dapat disampaikan dengan cepat.
Dari hal tersebut, masalah bermunculan seperti: banyaknya berbagai sumber belajar,
perlunya pengembangan sumber yang ada baik konseptual maupun faktual, serta perlu
dikelolanya kegiatan pengembangan dan sumber belajar agar berjalan optimal.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan sudut pandang atau pendekatan baru yang
memiliki ciri sebagai berikut :
Keseluruhan masalah belajar dan upaya pemecahannya ditelaah secara simultan. Unsur-unsur yang berkepentingan diintegrasikan dalam suatu proses kompleks
secara sistematik.
Penggabungan ke dalam proses kompleks dan perhatian atas keseluruhan gejala,
harus mengandung daya lipat/sinergisme.
Ciri-ciri tersebut diatas merupakan teknik intelektual yang unik dan dihimpun dalam
landasan epistemologi teknologi pendidikan. Adapun kegunaan potensial teknologi
pendidikan menurut Presidential Commission on Instructional Technology diantaranya: Meningkatkan produktivitas pendidikan dengan memperlaju tahapan belajar,
penggunaan waktu, dan mengurangi beban guru dalam mengajar.
Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya individual dengan mengatasi
guru yang kaku dan tradisional, serta perkembangan anak sesuai kemampuan. Memberikan dasar pengajaran yang lebih ilmiah, sistematik serta dilandasi
penelitian.
Pernyataan kebijakan oleh Komisi dan Menteri yang meliputi perluasan dan
pemerataan kesempatan belajar; meningkatkan mutu pendidikan; penyempurnaan
sistem pendidikan; peningkatan partisipasi masyarakat; serta penyempurnaan
pelaksanaan interaksi merupakan landasan pembenaran/aksiologi teknologi pendidikan
3
III. LANDASAN TEORI DARI ILMU PERILAKUBeberapa pendapat tokoh mengenai ilmu perilaku dan teknologi pembelajaran:
Lumsdaine (1964, h.373) mengatakan ilmu perilaku, khusunya teori belajar adalah
ilmu utama untuk mengembangkan teknologi pembelajaran.
Deterline (1965, h.407) mengatakan teknologi pembelajaran adalah aplikasi
teknologi perilaku untuk menghasilkan perilaku tertentu secara sistematik guna
keperluan pembelajaran.
Saettler menelusuri sejarah teknologi pembelajaran, dan berpendapat bahwa
Thorndike (tahun 1901) dengan teori psikologis perkembangannya merupakan
landasan pertama ke arah teknologi pembelajaran (1968, h.50), dimana Thorndike
memilik 3 dalil utama yakni dalil latihan dan ulangan; akibat; serta kesiapan.
Selanjutnya, menurut Saettler kontribusi Thorndike rumusannya tentang
prinsip-prinsip aktivitas diri, minat/motivasi, kesiapan mental, individualisasi, dan sosialisasi.
Snelbecker mengatakan perkembangan beberapa posisi psikologis terhadap
pendidikan yang lebih sistematis dengan pendekatan deduktif dalam menyusun teori
disebut teori pembelajaran, sedangkan yang menggunakan pendekatan pragmatis
dengan mengumpulkan sejumlah besar fakta disebut teknologi pembelajaran.
Dapat disimpulkan bahwa teknologi pembelajaran merupakan pendekatan sistematis
dan ilmiah dari psikologis terhadap masalah pendidikan. Teori-teori pembelajaran yang
diungkapkan tokoh-tokoh utama, antara lain adalah:
Teori Penguatan/reinforcement (Skinner). Dalam membuat teori pembelajaran perlu
adanya penelitian langsung dengan pendekatan induktif berupa analisis langsung.
Prinsipnya adalah perilaku yang diperkuat, cenderung untuk bertahan; penguatan
positif lebih berarti dari yang negatif; penguatan langsung lebih baik dari yang
tertunda; penguatan yang sering diberikan lebih baik dari yang jarang. Dan ini diaplikasikan dalam bentuk “mesin pengajar” dan sampai sekarang masih digunakan. Tujuan Perilaku (Mager). Dikenal dengan rumusan tujuan ABCD(Audience,
Behaviour, Conditions, and Degree), diperlukan perilaku akhir sebagai bukti bahwa
seseorang telah belajar, kondisi terjadinya perilaku yang diharapkan, dan kriteria
sejauh mana pembuatan si belajar telah dapat diterima.
Evaluasi Beracuan Tujuan (Glasser). Merupakan konsekuensi logikal dari tujuan
perilaku. Awalnya, penelitian psikologis sebagai dasar mengembangkan prinsip
pembelajaran, selanjutnya penjabarannya berdasarkan data empirik, “ukuran”
digunakan untuk menilai tingkat penguasaan kompetensi para siswa.
Sistem Analisis Interaksi. Sistem ini lebih dominan terhadap tingkah laku, penilaian
objektif, sistem dan prinsip pembelajaran serta kegunaan dan efisiensi guru dan
4
Teori Kurikulum dan Pembelajaran (Brunner, Snelbecker). Menurut Brunner, perlu
adanya tim besar untuk menyusun kurikulum yang berguna untuk membuat buku,
media/bahan, dan kegiatan di kelas. Sedangkan Snelbecker, berpusat pada cara
bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai, perlu adanya kejelasan hubungan antara
teori kurikulum dan teori pembelajaran pasca pembaruan kurikulum.
IV. LANDASAN TEORI DARI ILMU KOMUNIKASI
Pandangan para ahli tentang teori komunikasi:
Edgar Dale (1953, h. 3) yang dikenal dengan “kerucut pengalamannya”, menyatakan
teori komunikasi sebagai suatu metode yang berguna dalam usaha meningkatkan
efektivitas bahan audiovisual.
Hoban, konsep komunikasi merupakan pendekatan yang berguna untuk memahami
dan meningkatkan efisiensi bidang audiovisual.
Shannon dan Weaver, teori komunikasi adalah teori matematis dalam komunikasi.
Teori ini bersifat linear dengan arah tertentu dan tetap, dari sumber (komunikator) ke
penerima (komunikan) dengan unsur adanya sumber gangguan (noise). Teori ini
kemudian disempurnakan oleh Schramm dengan penambahan dua unsur, yaitu
adanya lingkup pengalaman (field of experience) dan umpan balik.
Berlo, mengemukakan bahwa teori komunikasi menurutnya bukan teori yang linear
tetapi adanya dinamika dalam hubungan di unsur-unsurnya dan memasukkan orang
dan bahan sebagai sumber dimana itu bagian integral dari teknologi pendidikan.
Rogers dan Kincraid (teori komunikasi konvergensi), menyatakan bahwa komunikasi
tidak berlangsung antar-individu saja tetapi dalam suatu realitas sosial serta
berlangsung tanpa awal dan akhir, selama manusia sadar akan diri dan lingkungan.
Kelemahan teori dan model komunikasi diatas menurut Rogers dan Kincraid: Memandang objek komunikasi sebagai hal sederhana dan dapat diisolasikan.
Kecenderungan memusatkan perhatian pada pesan itu sendiri, tanpa memikirkan
keberadaan saat diam dan saat tibanya pesan. Persuasi sebagai fungsi utama komunikasi.
Cenderung memusatkan perhatian pada hasil psikologis komunikasi perseorangan
bukan dampak sosial dan saling berhubungan (network)
Terlalu percaya pada hubungan sebab-akibat bersifat mekanistik dan searah.
Unsur proses komunikasi yang menonjol adalah media. Bretz mengklasifikasikan
media menjadi: ujud, suara, dan gerak. Ujud dibagi atas tiga bentuk yaitu gambar, garis,
dan lambang. Sedangkan Wilbur Schramm dalam bukunya Big Media Little Media: Tools
and Technologies for Instruction (1977) membagi dua yaitu media besar (kompleks dan
5
generalisasi berdasarkan hasil eksperimen, bukti pendagogis, bukti ekonomis, dan bukti
lapangan.
V. LANDASAN TEORI DARI DISIPLIN LAIN
James Finn (orang-mesin-informasi), mencanangkan perlu diadakan penilaian
menyeluruh tentang teknologi baru serta implikasinya, pembaruan organisasi, prosedur
dan isi pendidikan untuk menjembatani akibat perkembangan teknologi dan pendidikan
berjalan lambat, dan aplikasi konsep dan proses untuk menutupi perbedaan yang
semakin melebar. Menurutnya, terdapat posisi teoritis dalam konsep diatas yaitu: Introduksi pengalaman audiovisual secara massa ke dalam kelas oleh guru ahli. Menyerahkan sebagian besar tugas penyajian aspek pengajaran sistematik pada
satu/lebih media audiovisual dan aspek perkembangan pada orang lain di kelas. Hari-hari sekolah diisi kelas-kelas besar saat anak menjadi pendengar.
Mengembangkan guru ahli dengan ahli lain dan menyajikan pelajaran berbentuk
transmisi audiovisual.
Lumsdaine (1964), adanya pengaruh teknologi dan kerekayasaan dalam teknologi
pendidikan. Disini teknologi pendidikan bertugas menjabarkan keserasian perangkat
keras teknologi dengan hasil penelitian dalam ilmu perilaku dan teori belajar.
Hoban (1960), menekankan perlunya konsep sistem yang gagasan adanya
komponen, integrasi, dan peningkatan efisiensi sistem. Sistem disini adalah produk,
dimana produk yang lengkap dapat diatur dan diintegrasikan sehingga pembelajaran
pun lengkap.
Heinich (1965), menyatakan pendekatan sistem memerlukan pengkajian seluruh
proses yang saling berhubungan dalam dan antara komponen, adanya tujuan tertentu,
berjalan melalui tahapan, serta menilai hasil akhir apakah sesuai tujuan dan
memperbaikinya bila belum sesuai. Konsep ini berpengaruh besar dengan konsep:
Teknologi pendidikan adalah suatu proses bukan produk.
Teknologi pendidikan menerapkan pendekatan sistem (analisis, pengembangan,
evaluasi).
Teknologi pendidikan mengintegrasikan sumber insane dan non-insani.
Kegiatan analisis, pengembangan, dan evaluasi memerlukan sumber insan dengan
tanggung jawab khusus.
Teknologi pendidikan merupakan kombinasi fungsi dan sumber dalam proses