• Tidak ada hasil yang ditemukan

SASTRA ANAK WAHANA LITERASI DAN PENDIDIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SASTRA ANAK WAHANA LITERASI DAN PENDIDIK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA ANAK: WAHANA LITERASI DAN PENDIDIKAN

Abstrak: sastra anak merupakan khazanah sastra yang sering disepelekan dan tidak mendapat perhatian khusus dalam dunia kesusastraan, khususnya di Indonesia. Teori, kritik, maupun sejarah sastra luput membahas sastra anak. Padahal, sastra anak merupakan elemen penting dalam dunia kesusastraan. Hal ini karena pada dasarnya anak memiliki konsep, pola pikir, dan dunia yang berbeda dari orang dewasa. Hal ini membuat sastra anak harus dipilah dan tidak boleh disamakan dengan sastra orang dewasa. Sastra anak harus mempertimbangkan sisi psikologis anak, wawasan dunia anak, serta menunjang tumbuh kembang anak, terutama secara mental, pemikiran, dan psikologis. Sastra anak juga tidak boleh dilepaskan dengan program literasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Sastra anak dapat menjadi salah satu wahana literasi anak, yang dapat menambah opsi bahan bacaan anak. Terlebih lagi, sastra anak memang merupakan bahan bacaan khusus konsumsi anak-anak. Muatan-muatan cerita dalam sastra anak ini juga dapat menjadi media pendidikan karakter anak. Muatan pendidikan karakter yang disisipkan dalam cerita anak akan mudah dipahami dan dicerna oleh anak, sehingga pemahaman karakter anak akan lebih baik.

Kata kunci: literasi, karakter, sastra anak

PENGANTAR

Sastra anak merupakan kajian yang sedang berkembang dalam khazanah kesusatraan, tidak terkecuali di Indonesia. Sastra anak menitikberatkan konsep pada karya sastra yang layak baca bagi anak. Hal ini karena terdapat bacaan-bacaan sastra yang hanya layak untuk dibaca pada batasan umur tertentu. Ketika bacaan sastra tersebut dibaca oleh mereka yang belum cukup usia, maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Batasan usia ini ditentukan oleh isi karya sastra tersebut. Misalnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari mungkin tidak cocok dibaca oleh anak kecil, usia TK atau SD misalnya. Hal ini karena cerita dalam novel tersebut mengandung adegan dewasa, yang tentu belum layak sebagai bacaan anak-anak.

(2)

berkurang. Fakta ini akan mereduksi, atau bahkan menghambat proses

penumbuhan minat baca pada anak. Padahal, penumbuhan minat baca sejak dini ini penting dilakukan agar anak menjadi terbiasa dalam berliterasi. Berangkat dari fakta ini, maka dikembangkanlah konsep sastra anak. Sastra anak merupakan sebuah wadah untuk memfasilitasi kebutuhan literasi sastra anak, dan memberikan opsi-opsi bacaan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif. Bahkan, bacaan-bacaan sastra anak ini pada perkembangannya akan dapat membantu perkembangan anak tersebut.

Sama seperti sastra pada umumya, sastra anak juga memiliki unsur-unsur pembangun di dalamnya. Salah satu unsur pembangun sastra anak yang

ditonjolkan adalah penanaman nilai-nilai positif dalam ceritanya. Hal ini penting untuk diperhatikan karena anak-anak merupakan fase terpenting dalam fase kehidupan manusia. Nilai positif yang dapat dimasukkan ke dalam sastra anak salah satunya adalah nilai pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter ini penting ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga dapat membentuk karakter anak tersebut menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, sastra anak berperan sebagai media pendidikan karakter. Peran sastra anak sebagai media pendidikan karakter ini yang menjadi fokus kajian artikel ini, selain juga peran sastra anak sebagai wahana literasi. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian mengenai dua fokus ini yakni meningkatkan nilai kebermaknaan sastra anak sebagai wahana literasi dan pendidikan karakter, sehingga bacaan sastra tidak hanya menjadi sekadar bacaan semata.

SASTRA ANAK

Sastra anak merupakan bentuk kesusastraan yang memiliki keunikan tersendiri. Sastra ini disebut sastra anak bukan karena ditulis oleh anak atau bercerita tentang anak, tetapi tujuan penulisan sastra ini (Grenby, 2008:199). Sastra anak merupakan karya sastra yang memiliki sasaran pembaca yang spesifik, yakni anak. Sarumpaet (2010:2) menyatakan bahwa sastra anak

(3)

anak adalah sebuah karya sastra yang bahasa dan isinya selaras dengan

perkembangan usia anak, mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak, ditulis oleh anak, remaja, maupun dewasa, baik lisan maupun tertulis. Berbeda dengan dua konsep pertama, konsep ketiga mengenai sastra anak ini menyertakan keterangan bahwa sastra anak juga dapat ditulis oleh anak, sementara dua konsep lain menyatakan bahwa sastra anak ini ditulis oleh orang dewasa. Mengapa sastra anak juga dapat ditulis oleh anak? Pendapat ini disinyalis berdasar pada

pandangan bahwa yang mengenal dunia anak, kepribadian anak, corak kehidupan anak, adalah anak-anak itu sendiri. Namun satu yang harus digarisbawahi bahwa sastra anak memperhatikan tahapan perkembangan usia anak. Dalam poin inilah peran orang dewasa sebagai pembimbing (seperti pendapat Sarumpaet di atas) menjadi penting. Hal ini karena yang lebih memahami tahapan-tahapan perkembangan anak adalah orang dewasa yang lebih memahami tahapan perkembangan ini.

Sebagai kajian yang unik dan spesifik, sastra anak memiliki paling tidak 3 ciri utama. Pertama, terdapat unsur pantangan. Dalam sastra anak, terdapat tema-tema yang dihindari, sepertiseks, erotisme, dendam, kebencian, kekejaman, kematian, dan lain-lain. Kedua, penyajian dengan gaya secara langsung. Sastra anak merupakan karya sastra yang ditujukan khusus kepada anak. Sementara bahasa anak cenderung langsung pada sasaran. Oleh karena itu, sastra anak harus memperhatikan hal ini. Penggunaan penyajian dengan gaya langsung, makna cerita tersebut akan lebih mudah ditangkap oleh anak. Ketiga, fungsi terapan. Sastra anak harus mengandung informasi-informasi yang baik untuk pengetahuan, keterampilan, dan perkembangan anak (Winarni, 2014:3—4).

(4)

arahan tersebut tentunya juga harus mempertimbangkan kebutuhan anak yang dilihat dari sudut pandang anak itu sendiri (Sarumpaet, 2010:4).

Di atas telah dikemukakan bahwa anak-anak merupakan tahap

perkembangan. Perkembangan anak ini merupakan tahapan yang sangat penting. Sarumpaet (2010:5) menjelaskan bahwa perkembangan anak ini juga harus dipahami ketika seseorang berusaha untuk mendekati dunia anak, termasuk sastra anak. Anak-anak merupakan manusia utuh yang memerlukan perkembangan. Hal ini sekaligus mengaitkan pada permasalahan urgensi pendidikan dan pengajaran dalam dunia anak. Anak-anak dan buku yang mereka baca, akan selalu berkaitan dengan pendidikan. Dalam bacaan anak tersebut terkandung pengetahuan yang secara tidak langsung dipelajari oleh anak ketika ia membaca sastra.

SASTRA ANAK SEBAGAI WAHANA LITERASI

Istilah literasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai kegiatan membaca. Namun demikian, membaca itu sendiri pun tidak dapat dimaknai sesederhana itu. Membaca adalah proses aktif yang memerlukan latihan dan skill yang kompleks (Moreillon, 2005:10). Kegiatan membaca oleh Moreilon (2005:10) diibaratkan seperti banyaknya trik sulap di dalam topi pesulap. Hal ini mengingat betapa kompleksnya keterampilan membaca ini. Sebagai pembaca, kita dituntut untuk dapat mengucapkan kata yang kita baca dan memaknainya.

(5)

Di Indonesia, saat ini istilah literasi sedang gencar digaungkan.

Kemendikbud bahkan meluncurkan program literasi sekolah, berupa kewajiban membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari di sekolah (tempo.co, 2017). Program ini diberi nama gerakan literasi sekolah atau GLS dan dilakukan secara masif di sekolah-sekolah di Indonesia. Tujuannya, dengan tumbuhnya budaya baca di sekolah, diharapkan minat baca masyarakat Indonesia meningkat. Posisi Indonesia yang selalu berada di posisi bawah dalam beragam survei literasi internasional terdongkrak.

Secara konseptual, pengertian literasi yang diadopsi dan disosialisasikan Kemendikbud bukanlah sekadar kegiatan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk

mewujudkan warga sekolah yang literat, dekat dengan buku, dan terbiasa menggunakan bahan bacaan dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan. (Tempo.co, 2017). Hal ini sesuai dengan konsep literasi yang mengalami

perkembangan yang telah dijelaskan di atas, bahwa literasi bukan hanya sekadar kegiatan membaca, tetapi juga implikasi yang mengikuti kegiatan membaca tersebut.

(6)

Satu hal yang dapat disoroti ketika membahas gerakan literasi dengan bahan bacaan sastra anak adalah adanya fungsi terapan. Sarumpaet (2010:12) menjelaskan bahwa sastra anak merupakan sastra yang unik dan khas. Ia adalah sastra terbaik yang diusahakan dengan baik berkat pemahaman atas kehidupan anak yang khas dan kompleks. Itulah sebabnya, sastra anak, betapa pun

maksudnya untuk mengibur, tetap saja ia memiliki sifat mendidik. Oleh karena sifat mendidik inilah, dengan harus mempertimbangkan perkembangan anak secara psikologis, pedagogis, dan memerhatikan segala keperluan dan lingkup kehidupan khasnya yang lain, ranah ini menjadi sangat istimewa. Sadar atau tidak, bagi anak yang sedang bertumbuh, meskipun berfungsi sebagai kesenangan, sastra anak sebenarnya adalah ajaran dan bahkan rencana masa depan. Hal inilah yang menjadikan sastra dan dunia anak sangat penting.

SASTRA ANAK DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Esensi utama sastra anak adalah hiburan. Bacaan sastra anak menjadi media anak untuk bersenang-senang. Namun demikian, sastra anak tetap memiliki nilai pendidikan di dalamnya. Anak, melalui bacaan sastranya, dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai berbagai hal yang ia temukan dalam cerita yang dibaca. Bahkan, sastra anak ini sebenarnya merupakan sebuah ajaran, bahkan menjadi rencana masa depan (Sarumpaet, 2010:12). Hal ini dapat terjadi karena sastra anak mengandung nilai-nilai yang dapat ditemukan dan dimasukkan dalam tema cerita tersebut.

Salah satu bentuk nilai yang dapat dimasukkan ke dalam sastra anak adalah nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang bertujuan untuk membantu agar siswa mengalami, memperoleh, dan memiliki karakter kuat yang diinginkan (Suparno, 2015:29). Orang yang berkarakter adalah orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak

(7)

sendiri-(1991:52) yang menjelaskan bahwa karakter adalah disposisi batin yang andal untuk merespons situasi dengan cara yang baik secara moral. Karakter yang dikandung memiliki tiga bagian yang saling terkait, yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.

Pendidikan karakter saat ini dimunculkan sebagai salah satu aspek penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Pemunculan pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh perkembangan sosial politik yang cenderung menegasikan karakter bangsa. Perilaku anarkis, kriminalitas, dan berbagai tindakan patologi sosial lainnya menunjukkan terdapat permasalahan dalam karakter bangsa (Mustakim, 2011:1—2). Hal inilah yang dicoba untuk ditangkal, salah satunya oleh pemerintah, dengan memasukkan pendidikan karakter dalam proses

pembelajaran. Mengapa di pembelajaran? Karena dalam siswa-siswa di sekolah notabene masih muda, bahkan tergolong anak-anak. Hal ini akan membuat pembentukan dan pendidikan karakter mereka lebih mudah dilakukan. Selain itu, memberikan pendidikan karakter sejak dini kepada generasi penerus bangsa dapat menjamin masa depan negeri yang cerah, karena di tangan generasi muda inilah nasib bangsa Indonesia bergantung.

Proses internalisasi pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai kiat dan cara. Pendidikan karakter dapat disisipkan dalam pembelajaran dan kurikulum sekolah. Contoh dan teladan yang baik dari guru juga dapat menjadi sarana internalisasi pendidikan karakter. Proses internalisasi pendidikan karakter ini tidak terikat batasan-batasan tertentu. Tidak adanya batasan

penginternalisasian pendidikan karakter ini membuat pendidikan karakter mudah diinternalisasikan karena dapat diintegrasikan ke dalam berbagai aspek.

(8)

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: jika sastra dapat menjadi agen internalisasi pendidikan karakter, mengapa kini nilai karakter bangsa Indonesia justru menurun? Padahal sastra telah diajarkan sejak dulu. Apa yang salah dengan pembelajaran sastra, terutama di sekolah, sehingga tidak mampu menjadi agen pendidikan karakter? Wibowo (2013:21—22) menjelaskan bahwa jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah karena ada sesuatu yang menjadi

kekurangan, atau bahkan kegagalan, pembelajaran sastra. Pertama, pembelajaran sastra belum mendapat porsi yang memadai dalam proses pembelajaran di sekolah. Kedua, sastra belum menjadi prioritas pembelajaran dan masih “menumpang” di mata pelajaran bahasa Indonesia. Ketiga, imajinasi sebagai aspek penting dalam sastra belum menjadi aspek fundamental dalam capaian portofolio.

Dalam kaitan antara sastra dan pendidikan karakter, di manakah posisi sastra anak? Kembali lagi ke prinsip bahwa sastra anak, betapa pun maksudnya untuk mengibur, tetap saja ia memiliki sifat mendidik. Sifat mendidik ini dapat diseret ke pendidikan karakter, sehingga sastra anak menjadi media

penginternalisasian nilai pendidikan karakter. Hal ini dimungkinkan dengan cara memasukkan nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam karya sastra anak sehingga ketika proses membaca sastra oleh anak, ia sekaligus juga menginternalisasikan nilai pendidikan karakter ke dalam dirinya. Penanaman nilai pendidikan karakter semacam ini akan lebih efektif dan lebih baik hasilnya karena dilakukan secara menyenangkan, dan bahkan dalam bawah sadar. Anak seolah-olah hanya membaca karya sastra, namun ia juga sekaligus menanamkan nilai pendidikan karakter ke dalam dirinya. Nilai pendidikan karakter yang telah tertanam ini akan membekas dan tertanam dalam pikiran anak karena tidak terdapat unsur paksaan sama sekali dalam proses pembelajarannya.

PENUTUP

(9)
(10)

DAFTAR RUJUKAN

Aronof, M. 1994. Spelling and culture. Dalam W.C. Watt (Ed.). Writing system and cognition. Dordrecht: Kluwer.

Grenby, Matthew. 2008. Children’s Literature. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books.

Moreillon, Judi. 2007. Collaborative Strategies for Teaching Reading Comprehension. Chicago: American Library Asociation.

Mustakim, Bagus. Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat. Yogyakarta: Samudera Biru.

Suparno, Paul. 2015. Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.

Tempo.co. 2017. Gerakan Literasi Sekolah Wujudkan nawa Cita,

(https://nasional.tempo.co/read/870509/gerakan-literasi-sekolah-wujudkan-nawa-cita), diakses 29 November 2017.

Wibowo, Agung. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winarni, retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yates, Sally. 2005. Understanding Reading and Literacy. Dalam Peter Hunt (Ed.).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini yang termasuk sebagai sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari hasil observasi, dokumentasi, dan hasil wawancara dengan kepala

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra. ©RIO RIZKY

Oleh karena itu peneliti mengadakan analisis framing (kualitatif) untuk mengetahui realitas yang akan dibingkai oleh media serta kecenderungannya dalam pemberitaan. Pada

Rakyat jilid I, II, III, dan IV terbitan Balai Pustaka serta animasinya di Youtube. Tujuan penelitian ini 1) menjabarkan struktur faktual cerita rakyat Nusantara dalam

Berdasasrkan latar belakang masalah tentang keterampilan servis atas bola voli maka komponen kondidi fisik yang diperlukan untuk menunjang keterampilan servis atas bola

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

Koloid atau dispersi koloid (sistem koloid) adalah sistem dispersi dengan ukuran partikel yang lebih besar dari laritan tapi lebih kecil dari suspensi, dengan ukuran partikel

For example, ESRI’s commercial product ArcGIS has an estimated 615 stand-alone tools in 18 categories (Gao and Goodchild 2013), plus hundreds of other interactive