UNIVERSITAS INDONESIA
SYNURBIZATION
: INTEGRASI BINATANG DENGAN
MANUSIA DI KOTA
SKRIPSI
MONIKA
1006706605
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
ARSITEKTUR
UNIVERSITAS INDONESIA
SYNURBIZATION
: INTEGRASI BINATANG DENGAN
MANUSIA DI KOTA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur
MONIKA
1006706605
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
ARSITEKTUR
! v!
KATA PENGANTAR
Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Arsitektur, Program Studi Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Hasil kerja keras di semester terakhir ini tidak akan selesai tanpa tuntunan secara mental dan rohani yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus, untuk itu saya mengucap syukur atas segala berkat dan hikmat-Nya. Selain itu, saya menyadari banyak pihak yang sangat berpengaruh dalam proses pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih saya kepada :
1. Bapak Prof. Yandi Andri Yatmo, S.T., Dip.Arch., M.Arch., Ph.D, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, motivasi, waktu, kesabaran, dan semua kebaikannya kepada saya. Dan kepada Ibu Paramita Atmidiwirjo, ST. M.Arch., PhD beserta Tari dan Bagus yang telah memberi tempat untuk bimbingan darurat di rumah.
2. Bapak Prof. Ir. Triatno YH, M.Sc., Ph.D dan Kak Farid Rakun, S.Ars., M.Arch selaku dewan penguji atas kritik, saran, dan masukannya. 3. Om Jupri dan Tante Elly yang telah mengantar dan menemani selama proses
pengamatan kalong dan pengenalan kota di Kota Watansoppeng. Serta seluruh keluarga di Makassar dan di Watansoppeng atas dukungan dan motivasinya. 4. Mama, Papa, dan Aa yang selalu mengingatkan makan dan memberi
semangat. Khususnya mama yang telah bersedia memberi masukan, mengkoreksi dan mendengarkan latihan presentasi berkali-kali sehingga skripsi saya menjadi lebih baik.
5. Teman seperguruan dan seperjuangan: Dendy, Widya, dan Ratih yang saling mengingatkan, menasehati, dan melawak ataupun "membully" dikala bosan sehingga pembuatan skripsi menjadi sangat menyenangkan.
6. COPETERS: Tita, Adel, Atih, Keket, Adin, Ii, Anthya, Marin, Syifa, Upil, Audy, Nanditta, dan Uwa atas kehebohannya, hiburannya, dan kebersamaannya dalam sedih, suka, dan duka. Tidak akan ada lagi teman seperti kalian yang bisa jadi sahabat, teman hidup, dan guru sekalipun.
! vi!
8. Keluarga besar Arsitektur dan Interior 2010 atas dukungannya dan semangatnya yang luar biasa. Saya sangat senang berada di angkatan 2010. Angkatan yang sangat kompak untuk maju bersama dan yang paling penting, bersama kalian serasa waktu berhenti di masa remaja.
9. Rekan-rekan ASMAS, kakak-kakak dan dosen di PA2 atas pengertiannya, pembelajarannya, dan dukungannya selama proses pembuatan skripsi.
10.Teman-teman SMA yang terlibat dalam memberi semangat dan dukungan doa. Khususnya untuk Jilly dan Paul yang menghibur dikala galau skripsi melanda dan memberi semangat.
11.Dan semua pihak serta teman-teman lain yang selalu mendukung saya selama pembuatan skripsi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Akhir kata, saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kepentingan akademis dan praktek selanjutnya, khususnya pengembangan arsitektur di kota. Terima kasih.
Depok, 26 Juni 2014
! viii!
ABSTRAK
Nama : Monika
Program Studi : Arsitektur
Judul : Synurbization: Integrasi Binatang dengan Manusia di Kota
Skripsi ini membahas pentingnya synurbization untuk hadir di kota. Synurbization adalah kejadian ketika binatang datang, beradaptasi, dan berkembang biak di kota karena kecocokan akan lingkungan kota. Manusia dan binatang perlu diintegrasi kehidupannya. Binatang merupakan komponen penting dalam ekosistem yang perlu diberikan ruang dalam kota. Sehingga kota tidak bisa dipandang hanya untuk kepentingan dan hunian bagi manusia saja karena kota mempunyai ekosistem yang membuat segala sesuatu hidup di dalamnya. Suatu ekosistem terdiri dari berbagai jenis keanekaragaman hayati yang bersama-sama memfungsikan ekosistem tersebut. Jadi, synurbization adalah subjek yang penting dalam kota yang mempunyai peluang untuk menjadikan kota lebih berkualitas.
Kata kunci:
! ix!
ABSTRACT
Name : Monika
Study Program : Architecture
Title : Synurbization: Integration of Animal with Human in The City
This writing discusses the importance of synurbization existence in the city. Synurbization is a phenomenon in which the animals come, adapt, and breed in urban areas because of the environment. Human and animal environment need to be integrated. Animals, as one of component in urban ecosystem should be given the space to live in the city. City cannot be considered only for human, because a city is the ecosystem where human and animal live and alive. Within the ecosystem, there are biodiversity that participate in the functioning of the ecosystem. Thus, synurbization is an important aspect to enhance the quality of the city.
Keyword:
! x! DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
2.1.1 Adaptif dan Adaptasi pada Synurbization ... 6
2.1.2 Peran Synurbization terhadap Ekosistem... 7
2.2 Synurbization dari Segi Teori Kota dan Arsitektur... 8
2.2.1 Karakteristik Kota dengan Batas... 10
2.2.2 Binatang Termasuk dalam Subjek Kota... 12
2.3 Synurbization Sebagai Kota yang Terintegrasi dengan Alam... 13
2.3.1 Synurbization Lewat Integral Urbanism... 15
2.2.1.1 Cakupan Integral Urbanism... 16
2.2.1.2 Flow sebagai Tujuan Kota Terintegrasi... 17
2.3.2 Ekosistem Urban... 18
! xi!
3.1 Synurbization Kalong pada Kota Watansoppeng di Indonesia... 20
3.1.1 Identifikasi Kalong dalam Ruang Kota... 21
3.1.2 Integrasi Kalong dengan Manusia melalui Fungsi, Pola, dan Proses... 22
3.2 Synurbization di Kota–Kota Lain yang Tersebar di Dunia... 26
3.2.1 Ikan Koi di Sungai Kota Hida Furukawa... 26
3.2.2 Kunang-Kunang di Sungai dalam Kota... 28
3.2.3 Burung Black Redstarts di Kota Birmingham... 30
3.2.4 Kupu–Kupu di Taman Wolverhampton... 31
3.2.5 Kodok di Korea Selatan... 32
3.2.6 Bat House di London untuk Kelelawar... 33
3.2.7 Elevator B di New York untuk Lebah Madu... 34
3.2.8 Wildlife Bridge di Berbagai Negara... 36
3.3 Kesimpulan Analisa... 37
BAB 4 KESIMPULAN... 38
! xii!
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Komponen dasar ekosistem urban... 8
Gambar 2.2. Dinding dari Siena yang memisahkan pemerintahan kota dengan pedesaannya, kota mempunyai batas fisik... 9
Gambar 2.3. 9 poin karakteristik kota menurut Kostof (1991)... 10
Gambar 2.4. Proses terjadinya fringe belt... 11
Gambar 2.5. a. Hybridity dan Connectivity; b. Porosity; c. Authenticity; d. Vulnerability... 16
Gambar 2.6. Hubungan fungsi, pola, dan proses dalam sistem manusia... 19
Gambar 2.7. Hubungan fungsi, pola, dan proses dalam sistem ekologi... 19
Gambar 2.8. Kaitan antara sistem manusia dan ekologi... 19
Gambar 3.1. Kalong di Kota Watansoppeng... 20
Gambar 3.2. Lokasi Kabupaten Soppeng dan posisi Jl. Merdeka... 20
Gambar 3.3. Denah hutan galimporo dan hunian sekitarnya... 21
Gambar 3.4. Potongan untuk memperlihatkan hutan galimporo dan hunian... 22
Gambar 3.5. Fungsi, pola, proses kalong... 23
Gambar 3.6. Kalong dengan guano dan bolus di hutan kota galimporo... 24
Gambar 3.7. Tumbuhan bagi organisme lain yang ditumbuhkan oleh guano dan bolus... 25
Gambar 3.8. Pola integral urbanism yang dihasilkan dari integrasi manusia dengan kalong... 26
Gambar 3.9. Peta Kota Hida Furukawa... 27
Gambar 3.10. Suasana kota dengan Sungai Seto... 27
Gambar 3.11. Keadaan sungai film "Hotaru no Hoshi"... 28
Gambar 3.12. Kunang–kunang dengan habitat alaminya... 29
Gambar 3.13. Proyek brown/green roof... 31
Gambar 3.14. Taman di perumahan Wolverhampton dengan kupu-kupu... 31
Gambar 3.15. Pergerakan kupu–kupu yang aktif di taman... 32
Gambar 3.16. Kodok di wilayah urban... 33
Gambar 3.17. Bat house... 34
Gambar 3.18. Elevator B... 35
! xiii!
Gambar 3.20. A. Christmas Island National
Park, Australia; B. Banff National Park, Alberta, Canada; C. Ecoduct, France; D. Ecoduct, The Netherlands; E. Green bridge over the A20 near Grevesmühlen, Germany; F. Highway 464 near Boeblingen, Germany; G. Montana, USA; H. Near
Keechelus Lake, Washington, USA... 36
!
sekitarnya. Kota terbentuk karena urbanisasi, yaitu perubahan dan pengaturan
lansekap dari alam liar menjadi wilayah urban atau terbangun. Sesuai dengan
sejarahnya, kota didefinisikan berdasarkan batas secara fisik; kota menjadi pusat
aktivitas manusia seperti perdagangan dan sumber pendapatan, sementara untuk
produksi seperti pertanian, peternakan, dan industri ditempatkan di luar dari batas
(Kostof, 1992). Kota bersifat eksklusif dengan manusia sebagai sudut pandang
utamanya, sehingga kota memisahkan antara yang terbangun dengan alam.
Bumi terdiri dari berbagai macam keanekaragaman hayati beserta
ekosistemnya. Aktivitas manusia telah merubah 30-50% permukaan bumi
(Alberti, 2008). Banyak spesies-spesies di alam harus beradaptasi dengan
perubahan lingkungannya. Kedatangan binatang ke dalam kota tidak dapat
dihindari. Ketika binatang datang, berada dalam kota, dan beradaptasi terhadap
lingkungannya serta berkembang biak, itulah yang disebut dengan synurbization.
Synurbization merupakan respon dari kehidupan liar terhadap meluasnya
urbanisasi secara global (Luniak, 2004). Perubahan alam menjadi kota telah
membuat beberapa spesies binatang untuk menempati kota tersebut. Kota menjadi
tempat yang adaptif bagi binatang untuk dijadikan habitatnya. Ketika mereka
berhasil melewati tantangan ekologis dengan perbedaan alam tersebut dan
berhasil menempati kota, mereka dapat disebut spesies synurbic yang berarti
mereka hidup bersama-sama dengan lingkungan urban.
Synurbization berbeda dengan kebun binatang. Binatang yang ada pada
kebun binatang ditempatkan dalam wilayah kota dan mempunyai arenya
tersendiri. Dengan synurbization saya ingin membahas peranan binatang lebih
luas lagi yang dapat menempati ruang kota manapun.
Setiap keanekaragaman hayati mempunyai peranannya masing-masing
!
! 2!
Universitas Indonesia
yang diperani oleh binatang termasuk dalam komponen biotik dimana mereka
turut serta dalam sebuah sistem ekosistem. Jika binatang termasuk ke dalam
ekosistem, maka ia berperan secara tidak langsung bagi kelangsungan hidup
masyarakat di kota.
Sebagai komponen yang penting dalam sebuah ekosistem di kota,
synurbization menciptakan kesempatan untuk membuka batas baik secara fisik
maupun secara konsep. Sehingga kota perlu dikaji kembali apakah kota harus
selalu menjadi eksklusif, hanya berupa hunian dan hanya untuk aktivitas manusia
atau kota seharusnya dapat terintegrasi dengan kehidupan yang lainnya yaitu
binatang.
1.2 Ruang Lingkup Permasalahan
Synurbization merupakan penambahan subjek dalam kota. Binatang
menempati ruang kota yang dipadati oleh manusia. Sementara manusia
mempunyai pola kehidupan yang berbeda dengan binatang dan binatang
beradaptasi ke dalam pola tersebut. Permasalahannya adalah apakah synurbization
penting dalam kota?; Bagaimana synurbization diperlakukan dalam kota agar
kehadiran binatang menjadi penting?
Skripsi ini membahas mengenai keadaan synurbization, nilai positif dari
synurbization, perkembangan kota mulai dari sejarahnya, kualitas kota yang
terintegrasi dengan alam, subjek dari kota, dan kaitan antara manusia dengan
binatang di dalam ekosistem urban.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah mempelajari seberapa besar pengaruh
binatang dalam kota dan membuka batasan kota dari batas secara fisik maupun
konsep dengan melihat dari sudut pandang binatang karena mereka merupakan
bagian dari ekosistem urban yang menunjang keberlangsungan hidup manusia di
kota. Dalam kesempatan ini juga, saya mencoba mengkaji kota–kota yang telah
memfasilitasi synurbization baik di Indonesia dan di seluruh dunia, sehingga
synurbization dapat dianggap sebagai keadaan yang penting dan dibutuhkan
!
! 3!
Universitas Indonesia 1.4 Metode Pembahasan
Metode yang saya lakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
mengkaji literatur yang membahas tentang kota, ekologi, binatang, dan
synurbization melalui buku, film, jurnal, dan informasi yang ada pada internet.
Saya juga melakukan pengamatan langsung di kota Watansoppeng, Sulawesi
Selatan sebagai tempat terjadinya synurbization kalong untuk mengobeservasi dan
menganalisis ruang antara binatang dan hunian yang terintegrasi dalam kota. Hasil
analisis kemudian dihubungkan dengan studi literatur.
1.5 Urutan Penulisan
Penulisan ini dibagi atas 4 bagian, yaitu:
Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang topik penulisan skripsi berdasarkan
ketertarikan saya, yaitu synurbization dan kota, permasalahan yang
akan dibahas, sejauh mana batasan masalahnya, tujuan penulisan,
metode yang digunakan dalam penulisan, dan urutan pembahasan
tulisan beserta penjelasannya.
Bab II Synurbization dan Kota
Bab ini berisi tentang kajian literatur yang membahas tentang kota
dan synurbization yang saya gunakan dalam menganalisa topik
yaitu, synurbization yang mengintegrasi alam dengan manusia di
kota. Teori yang digunakan terkait dengan arsitektur sebagai
bidang studi dari penulisan ini dan menjadi bahan untuk
pembahasan pada studi kota - kota yang terintegrasi dengan alam.
Bab III Studi Kasus dan Analisa : Kota Watansoppeng dan Kota Lainnya.
Studi kasus yang saya angkat adalah kota Watansoppeng tempat
terjadinya synurbization di kota sebagai contoh kota yang
!
! 4!
Universitas Indonesia
kota lain yang sudah mewadahi synurbization untuk kepentingan di
kota tersebut.
Bab IV Kesimpulan
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi. Berisi jawaban
atas pertanyaan yang saya ajukan di awal penulisan dan
menjabarkan kesimpulan akhir pembahasan synurbization di Bab 2
!
! 5!
BAB 2
SYNURBIZATION DAN KOTA
2.1 Synurbic dan Synurbization
Synurbization adalah kejadian ketika binatang datang ke dalam kota
karena kecocokan akan lingkungan kota. ‘Syn’ merupakan awalan yang berarti
‘bersama dengan’ dari bahasa Yunani (Merriam Webster, 2014). Luniak (2004)
mengatakan bahwa synurbization dibuat oleh seorang theriologist yang juga ahli
ekologi (Andrzejewski et al. 1978; Babiñska-Werka et al. 1979). Synurbization
ditandai oleh penyesuaian populasi binatang pada kondisi spesifik dari lingkungan
urban sehubungan dengan kebiasaan dari binatang liar untuk berkembang biak.
Francis dan Chawick (2011) mendukung dengan mengatakan istilah 'synurbic'
(atau 'synurban') untuk spesies yang mendiami atau ditemukan pada suatu wilayah
urban dalam kuantitas yang besar dibanding dengan pedesaannya. Synurbization
dapat diasumsikan sebagai suatu fenomena dan synurbic sebagai keadaan saat
binatang mendiami lingkungan urban.
Synurbization terjadi karena perubahan lingkungan dari alami menjadi
buatan manusia sehingga membuka peluang bagi suatu spesies untuk beradaptasi.
Adaptasi merupakan mutasi atau perubahan genetik yang dapat membantu
organisme seperti tumbuhan atau binatang hidup dalam lingkungannya (National
Geography Encyclopedia, 2014). Synurbization berkaitan dengan 2 hal, yaitu:
synanthropization dan urbanization; synanthropization mengacu kepada populasi
binatang yang beradaptasi di lingkungan buatan manusia (antropogenik)
sementara urbanization mengacu kepada perubahan lansekap (lingkungan) yang
disebabkan oleh perkembangan urban (Luniak, 2004). Urbanisasi telah
membentuk kota dengan merubah dan mengatur lansekap dari alam liar menjadi
lingkungan urban. Francis dan Chadwick (2011) menambahkan bahwa 'synurbic'
merupakan subkategori dari 'synanthropic', yaitu spesies yang berkaitan dengan
konteks lingkungan urban secara spesifik. Dengan kata lain, aktivitas manusia
!
! 6!
Universitas Indonesia 2.1.1 Adaptif dan Adaptasi pada Synurbization
Beberapa spesies dituntut untuk beradaptasi pada lingkungan yang dibuat
oleh manusia, karena mereka adalah synanthropes (Francis & Chadwick, 2011).
Synanthropes merupakan spesies terkait dengan manusia dan habitat manusia
yang populasinya terus bertambah seiring dengan meningkatnya aktivitas
antropogenik (Johnston, 2001; Rodewald & Shustack, 2008 dalam Francis &
Chadwick, 2011). Synurbization merupakan respon dari kehidupan liar terhadap
meluasnya urbanisasi secara global (Luniak, 2004). Dengan keadaan ini, tidak
aneh jika ditemukan beberapa binatang pada habitat manusia karena mereka harus
mengalami perubahan habitat dari alam menjadi buatan manusia.
Keadaan yang spesifik dalam urban dapat memancing beberapa spesies
untuk synurbic. Francis dan Chadwick (2011) mencoba menjelaskan melalui
sebuah contoh kawasan industri yang tergolong kawasan ‘urban’ dari segi
ekologis dan sosial. Secara ekologis, "urbanisasi" dinilai dari perubahan
produktivitas, iklim mikro, sumber daya, gangguan, dan ekosistem buatan yang
dibentuk dari dinding, atap, trotoar, taman, dan daerah industri. Meskipun
kepadatan penduduk merupakan faktor utama terjadinya urbanisasi, aspek
ekologis dari sebuah kawasan urban merupakan lingkungan yang menjadi
tantangan bagi spesies binatang untuk bertahan hidup di ekosistem urban, dalam
proses mereka menjadi benar-benar synurbic (Francis dan Chadwick, 2011).
Sebuah area urban mempunyai klasifikasi yang tentatif. Albania
mengklasifikasikan urban sebagai area dengan penghuni lebih dari 400 orang,
sementara Turki membutuhkan populasi lebih dari 20.000 orang dan Jepang lebih
dari 50.000 orang (United Nations Statistical Division, 2011 dalam Francis dan
Chadwick, 2011). Spesies ‘synurbic’ ditujukan kepada spesies yang membuat
ekosistem urban menjadi lebih kaya dibandingkan dengan ekosistem lainnya, dan
populasi dari spesies tersebut mungkin dapat synurbic pada suatu lokasi tetapi
tidak bisa pada lokasi lainnya (Francis & Chadwick, 2011). Sehingga, setiap area
urban mempunyai lingkungannya masing-masing yang membuat spesies secara
spesifik cocok untuk berada di dalamnya.
Spesies yang berhasil melalui tantangan lingkungan baru yang dibentuk
!
! 7!
Universitas Indonesia
habitat yang alami, tetapi juga menghadirkan peluang yang baru, suatu relung
ekologi bagi synurbization. Hal tersebut dapat berperan sebagai “vakum ekologi”
yang akan menarik banyak populasi binatang ke dalam relung tersebut (Luniak,
2004). Tulisan ini memerlukan studi kasus lebih lanjut yang akan dibahas pada
bab selanjutnya untuk melihat faktor-faktor apa saja dan perkembangan urban
yang seperti apa yang pada akhirnya membuka peluang bagi synurbization.
2.1.3 Peran Synurbization terhadap Ekosistem
Aktivitas manusia dalam perkembangan kawasan urban dapat mengancam
dan merusak ekologi alam, tetapi juga memunculkan sistem yang baru. Dari
perspektif ekologi, ekosistem urban berbeda dengan ekosistem alam dalam
beberapa hal: iklim, tanah, hidrologi, komposisi spesies, dinamika populasi, dan
aliran energi serta materi (Rebele 1994, Collins et al. 2000, Pickett et al. 2001
dalam Alberti, 2008). Konsekuensi utama dari perkembangan urban bagi
kehidupan alam liar adalah penurunan keberagaman spesies dan ekologi (Luniak,
2004). Francis dan Chadwick (2011) menambahkan bahwa fenomena
synurbization menjadi pertanda baik pada perkembangan lingkungan urban.
Binatang mengisi peranannya dalam ekosistem urban dan turut serta dalam
menunjang kehidupan manusia di kota.
Synurbization dan ekosistem urban berfungsi untuk saling melengkapi.
Sebuah ekosistem didefinisikan sebagai kumpulan interaksi antar spesies dan
lingkungan setempat, baik lingkungan non-biologis dan biologis dapat berfungsi
bersama-sama dalam mempertahankan kehidupan (Moll and Petit, 1994 dalam
Bolund & Hunhammar,1999). Berdasarkan gambar 2.1, pada dasarnya binatang
bisa mendapatkan habitatnya di tengah-tengah kota seiring dengan ekosistem
urban yang efisien bagi manusia. Hal ini dikarenakan kota diasumsikan sebagai
!
! 8!
Universitas Indonesia Synurbization ini akan terus meluas dan membawa dampak positif bagi
ruang kota. Luniak (2004) mengatakan bahwa synurbization telah terjadi terutama
pada burung dan mamalia, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk binatang
lainnya (contoh : binatang amfibi). Synurbization juga telah mendemonstrasikan
perilaku yang elastis dan evolusi mikro yang mengubah populasi binatang menuju
lingkungan antropogenik (Luniak, 2004). Kehadiran synurbization menunjukkan
adanya kemungkinan integrasi antara alam dengan manusia pada perkembangan
peradaban urban.
2.2 Synurbization dari Segi Teori Kota dan Arsitektur
Synurbization telah membuka peluang kota sebagai wadah bagi spesies
selain manusia. Synurbization terjadi pada wilayah urban, dalam hal ini yang saya
maksud adalah kota. Francis dan Chadwick (2011) mendefinisikan ‘kota’ murni
sebagai administratif atau berbasis populasi dan memiliki sedikit makna ekologi
selain dari daerah yang tinggi perkembangan urbannya. Sementara ‘urban’
dianggap sebagai area yang relatif dipadati oleh populasi manusia dengan proporsi
Gambar 2.1 Komponen dasar ekosistem urban
!
! 9!
Universitas Indonesia
besar dari lingkung bangun atau antropogenik. Kota dapat selalu dianggap sebagai
urban, namun ‘urban’ tidak selalu kota.
Kota sesuai sejarahnya terbentuk karena kebutuhan akan perlindungan,
sehingga batas fisik adalah alat untuk mendefinisikan kota secara utuh. Sama
seperti pendefinisian kota berdasakan lingustik bahasa Cina tradisional yaitu
“city” dan “wall” yang mempunyai karakter identik ch’eng di keduanya.
Terlihat pada gambar 2.2 bahwa kota memisahkan aktivitas manusia dengan
kebutuhan sumber makanan (agrikultur) melalui batas. Terdapat bukti lain bahwa
gudang persenjataan, tempat penyimpanan anggur, dan peternakan dibangun
secara sengaja di luar batas kota tersebut (Kostof, 1992).
Saat ini masa peperangan telah usai dan jarang ditemukan lagi kota yang
terbentuk dari batas secara fisik. Namun, konsep kota akan “batas” tidak hilang
begitu saja. Batas hadir bukan hanya sekedar fisik melainkan terbentuk oleh
konsep atau pemikiran manusia. Konsep batas terjadi karena manusia cenderung
memberi tipe pada suatu objek sesuai pemikirannya untuk mempermudah
pemberian contoh (Schneekloth, 1994). Seringkali manusia menyingkirkan atau
mengabaikan tipe yang dianggap tidak penting baginya, padahal bisa saja tipe
tersebut merupakan suatu kebutuhan. Sehingga, karakteristik kota sebenarnya
Gambar 2.2 Dinding dari Siena yang memisahkan pemerintahan kota dengan pedesaannya, kota mempunyai batas fisik
Sumber : Buku The City Assembled
!
! 10!
Universitas Indonesia
perlu ditinjau kembali dan mencari apa yang menjadi kekurangan dari kota
tersebut.
2.2.1 Karakteristik Kota dengan Batas
Kota secara umum mempunyai karakteristik secara kuantitatif atau terlihat
secara fisik seperti yang dijabarkan oleh Kostof (1991) dengan 9 poin dari A-I
(lihat gambar 2.3). Karakteristik tersebut telah saya sintesis kembali menjadi 4
karakteristik berdasarkan kemiripan sifatnya. Sintesis ini merupakan pembuktian
bahwa karakteristik kota mempunyai kekurangan secara kualitatif dengan
pemberian batas fisik.
Gambar 2.3 9 poin karakteristik kota menurut Kostof (1991)
Sumber : http://www.pdx.edu/sites/www.pdx.edu.architecture/files/Arch432_kostof.pdf
Pertama, kepentingan kota adalah untuk manusia berdasarkan poin A,I,
dan E pada gambar 2.3. Segala sesuatu ditujukan untuk tempat beraktivitas
manusia. Kenyataannya, manusia tidak lepas dari aktivitas alam seperti ekosistem.
Seharusnya kota mempunyai sistem yang melibatkan aktivitas organisme lainnya
!
! 11!
Universitas Indonesia
Kedua, kota bersifat ekslusif berdasarkan poin C dan H pada gambar 2.3.
Dua poin tersebut menyampaikan batas secara fisik yang memberi hambatan
terhadap kota. Seharusnya kota membuka peluang bagi perkembangan yang tidak
dapat dihindari. Kostof (1992) menggunakan istilah fringe belt yaitu perluasan
dari kota yang sudah terbatasi, hal ini terjadi karena lahan di luar kota lebih murah
(lihat gambar 2.4).!Dalam masa kini, fringe belt akan menampung industri besar,
pekerjaan, perumahan, dan lapangan olahraga. Sementara itu pedesaan
menampung rumah produksi makanan dari binatang, tempat pembuangan, limbah
tanaman, dan kilang minyak (Kostof, 1992). !
Gambar 2.4 Proses terjadinya fringe belt
Sumber : Buku The City Assembled
Ketiga, kota memberi dan mempunyai aturan berdasarkan poin D dan F
pada gambar 2.3. Kota mempunyai hukum yang mengatur tentang komunitas di
dalamnya. Peraturan dibuat untuk memberi keteraturan, tetapi jika kota dibuat
untuk membatasi, maka hal tersebut akan menjadi masalah karena batas secara
konsep muncul di dalamnya.
Keempat, kota tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan ‘yang
lainnya’ seperti terkandung dalam poin B dan G pada gambar 2.3. Karakteristik
yang keempat ini menambahkan karakteristik dari pertama hingga ketiga karena
sebenarnya kota membutuhkan elemen yang ada di luar dari kota untuk
menunjang kehidupan manusia yang ada di dalam kota.
Keempat karakteristik tersebut memaparkan bahwa kota dibentuk untuk
kepentingan manusia, tetapi belum ada karakteristik yang menjelaskan bagaimana
sebuah kota bekerja. Jika melihat kembali karakteristik keempat, sebenarnya kota
membutuhkan subjek selain manusia. Mulai dari apa yang menunjang kehidupan
kota sehingga membuat hubungan timbal balik antara kota dengan ‘yang lainnya’.
Kota merupakan kompleksitas dari sebuah sistem ekologi yang didominasi
!
! 12!
Universitas Indonesia
menjadi ‘dalam’ dan selain dari itu adalah ‘luar’. Franck dan Lepori (2002)
menyatakan teori tentang dalam dan luar dalam konteks sebuah bangunan, tetapi
dapat dibawa dalam konteks kota dalam cakupan yang lebih luas. Karen (2000)
berpendapat dalam dan luar harus dimengerti bahwa keduanya berperan untuk
saling melengkapi satu sama lain; yang satu ada karena kehadiran yang satunya.
Jadi, kota tidak bisa dipandang dengan satu sisi saja, karena kota mempunyai
sistem yang membuat manusia hidup di dalamya.
Saat ini konsep batas mengarah kepada segmentasi kota atau pembagian
zona. Perkembangan kota menjadikan ia mempunyai lansekapnya sendiri, yaitu
pembangunan akan pegunungan gedung pencakar langit dan hutan dari blok-blok
perumahan (Betsky, 2000). Jika konsep batas diteruskan maka manusia akan
mendiskriminasi kehidupan selain manusia. Schneekloth (1994) sangat
menentang adanya batas, karena kerusakan akan habitat manusia akan terjadi di
masa depan karena manusia merasa superior dan berhak untuk mengeksploitasi
alam. Synurbization mempunyai peranan penting dalam suatu kota. Habitat
binatang dalam kota menjadi pertimbangan yang baik dalam memperkaya
ekosistem di kota, namun konsep batas ini dapat menjadi hambatan untuk
mencapainya.
2.2.2 Binatang Termasuk dalam Subjek Kota
Synurbization merupakan penambahan subjek yang tinggal dalam lingkungan
kota yaitu, binatang. Kota merupakan lingkungan yang dibangun oleh manusia/
lingkung bangun, sementara lingkung bangun merupakan tugas dari arsitektur.
Seperti yang dikatakan oleh Smith dalam Conway dan Roenisch (1994) bahwa
arsitektur adalah bagian dari lingkungan yang berperan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan, sehingga arsitektur harus mengatur ruang dengan bangunan.
Kota merupakan wadah kehidupan atau habitat bagi banyak makhluk
hidup. Pernyataan Haraway (2008 : 4) “To be one is always to become with
many.” menjadi landasan bahwa sebuah kehidupan tidak terlepas dari kehidupan
makhluk hidup lainnya. “Kehidupan” sebagai kesatuan ide dalam arsitektur, atau
“arsitektur” sebagai kesatuan ide dalam kehidupan dan kehidupan manusia adalah
!
! 13!
Universitas Indonesia
dirancang, dibangun, diciptakan, bukan hanya diberikan, arsitektur dibuat oleh
seseorang, bagi seseorang. Jadi, arsitektur diperuntukan untuk manusia yang tidak
dapat terlepas dari kehidupan binatang, dengan kata lain arsitektur bisa ditujukan
untuk binatang.
Hill (1998) mengatakan bahwa subjek arsitektur adalah yang mengalami
aritektur. Kata “mengalami” dapat dilakukan oleh setiap makhluk hidup, salah
satunya binatang. Pernyataan Ingraham (2006) mendukung bahwa binatang tidak
hanya hidup yang memenuhi syarat sebagai penghuni, namun sebagai subjek yang
sama seperti manusia, seperti pemenuhan kebutuhan dan tempat berlindung.
Kota saat ini merupakan area yang bisa menjadi habitat bagi manusia dan
binatang. Manusia membutuhkan binatang untuk dapat hidup. Binatang termasuk
dalam sistem ekosistem kota, sehingga binatang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Kehidupan binatang juga kehidupan manusia (Ingraham,
2006). Binatang biasa maupun binatang liar, secara universal dapat dilihat
manusia sebagai hal yang berpotensi untuk berkontribusi dalam kehidupan
manusia (Ingraham, 2006). Agar manusia dapat hidup, maka mereka harus
mengambil kehidupan yang ada pada tumbuhan dan binatang (Miwa, film
Fireflies: River of light, 2004).
Segala sesuatu tidak dimulai dari manusia dan menjadikan manusia
sebagai tolak ukur. Dalam wawancara Wolfe (2012) tentang posthumanism, ia
menjabarkan alasan manusia untuk memperhatikan binatang bukan karena
kesamaan manusia dan binatang, tetapi karena perbedaannya. Cara hidup binatang
yang berbeda di dunia berhak berkembang biak, mendapatkan perlindungan dari
eksploitasi, dan kekejaman. Kota terdiri dari berbagai macam organisme sehingga
tidak terpaku pada satu objek ataupun homogen. Oleh sebab itu subjek dari kota
bukan hanya manusia, tetapi bisa dari semua makluk yang hidup di kota yang
menjadikan kota kaya akan keberagaman hayatinya.
2.3 Synurbization sebagai Kota yang Terintegrasi dengan Alam
Kota bukanlah objek yang tetap, tetapi sistem yang aktif dengan aliran
!
! 14!
Universitas Indonesia
bangunan (Berger dalam Dodington, 2013). Kota mempunyai karakteristiknya
masing-masing sesuai dengan perkembangannya dalam sejarah. Kota dapat
dideskripsikan sebagai proses keunikan sejarah, ekosistem manusia, ruang untuk
berproduksi dan mengkonsumsi suatu benda, pusat dari kekuatan, sistem dari
keputusan, atau tempat terjadinya konflik (Lynch dalam Alberti 2008). Disini
terdapat banyak aktivitas yang terkait dalam suatu kota yang lebih dari sekedar
hunian.
Kota membutuhkan hal lain yang berasal dari alam yang tidak hanya
buatan manusia. Schneekloth (1994) berkata bahwa bumi merupakan sebuah
ruang di alam semesta, yang terbuat dari mineral, sayuran, dan binatang, bentuk
dari kehidupan yang digunakan sebagai sumber daya untuk tempat tinggal
manusia. Kota perlu diintegrasi dengan alam atau antar manusia dengan bentuk
kehidupan yang lainnya seperti yang katakan Hillman dalam Schneekloth, 1992:
If we choose to re-inhabit the world because the image of the holistic earth
reverberates in us, nature is no longer out or over there and other. It must
always and already be here and us.... and if nature is no longer far and
away because it is both us and not-us, then our own construction - our cities
and things - are natural and deserve to be as beautiful and protected as
nature preserves and tropical forest. (hal.58)
Lebih lanjut Schneekloth (1994) mengatakan bahwa pembatas antara hijau
(organik) dengan abu-abu (terbangun) dapat bersifat membaur. Kehidupan
manusia harus bisa serasi dengan kehidupan alam.
Binatang dapat menjadi peran ‘yang lainnya’ yang dapat menunjang dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Binatang merupakan bagian dari
ekosistem alam. Hubungan antar manusia dengan yang lainnya tidak didefinisikan
dari hirarki dan dominansi (Schneekloth, 1994). Sama halnya dengan manusia
dengan spesies synurbic ataupun antara kota dan spesies synurbic, keduanya dapat
!
! 15!
Universitas Indonesia 2.3.1 Synurbization Lewat Integral Urbanism
Synurbization adalah upaya integral urbanism untuk menjadikan alam
bagian dari desain, bukan menyingkirkannya. Sebelum menjelaskan lebih lanjut
tentang integral urbanism, perlu diketahui makna dari intergral yang dijelaskan
oleh Ellin (2006):
Integral — Essential to completeness, lacking nothing essential, formed as a
unit with another part.
Integrate — To form, coordinate, or blend into a functioning or unified
whole; to unite with something else; to end the segregation of and bring into
equal membership in society or an organization; desegregate.
Integrity — Adherence to artistic or moral values; incorruptibility;
soundness; the quality or state of being complete and undivided;
completeness. (hal. 1)
Integral urbanism ada untuk memperbaiki habitat manusia. Tantangannya adalah
melihat segala elemen yang ada pada suatu area urban sebagai bagian dari
keseluruhannya. Ellin (2006) mengatakan kesuksesan ekologi diukur dari
kapasitas planet kita untuk mendukung segala bentuk kehidupan. Dengan
demikian keberhasilan desain urban dan keunggulannya harus diukur dari
kapasitasnya untuk mendukung humanitas.
Ellin (2006) menyatakan bahwa yang dilakukan oleh integral urbanism
adalah mengintegrasi fungsi di mana kota modern biasanya memisahkan fungsi
dengan zona. Integral urbanism adalah integrasi dengan alam. Kota akan
mempunyai kekayaannya tersendiri jika menjadikan alam sebagai bagian dari kota
tersebut.
2.3.1.1 Cakupan Integral Urbanism
Ellin (2006) berkata, Integral urbanism membahas mengenai jaringan
bukan sebagai batas, hubungan, dan kaitan yang mengisolasi objek; saling
bergantung bukan kebebasan atau ketergantungan; alami dan komunitas sosial
!
! 16!
Universitas Indonesia
bukan dinding; aliran atau rendah bukan stasis; koneksi dengan alam dan
melepaskan kendali bukan mengendalikan alam; katalis, perlindungan,
berkerangka kerja, bertanda,!bukan produk akhir, master plan, atau utopia.
Terdapat kualitas-kualitas yang perlu diperhatikan dalam integral
urbanism, Ellin (2006) mengatakan 5 kualitas pada integral ubanism sebagai
bahan yang paling esensial untuk kota dan komunitas kita untuk dapat
berkembang.
• Hybridity dan Connectivity merupakan ciri dari integrasi baru dengan
membawa aktivitas manusia dari lokal sampai dengan global. Kualitas ini
juga memperlakukan orang dan alam sebagai simbiosis.
• Porosity merupakan pendemonstrasian dari perbedaan untuk bertemu,
yaitu dengan akses yang bersifat permeable sehingga alam dapat selalu
berhubungan dengan aktivitas manusianya.
• Authenticity merupakan tujuannya, yaitu keterlibatan kondisi sosial dan
fisik yang nyata dengan etika untuk saling memperhatikan, menghargai,
dan jujur.
• dan Vulnerability merupakan cara untuk meraihnya, yaitu dengan
melepaskan kontrol sambil tetap terlibat dalam proses menilai dan
menghasilkan produk, mempunyai dinamika dan mengintegrasikan ruang
dengan waktu.
Gambar 2.5 a. Hybridity dan Connectivity; b. Porosity; c. Authenticity; d. Vulnerability
Sumber : Buku Integral Urbanism : contents
Dengan adanya kualitas tersebut, integral urbanism membuka peluang
untuk kota dengan segala kemungkinan. Kota tidak lagi dilihat sebagai satu
aktivitas yang dominan, tetapi campuran akan sesuatu yang bersama-sama
menjalankan fungsi kota. Hubungan antara subjek–subjek atau subjek–objek
dapat melebur menjadi satu kesatuan. Kota tidak menyampingkan sesuatu tetapi
!
! 17!
Universitas Indonesia 2.3.1.2 Flow sebagai Tujuan Kota Terintegrasi
Tujuan kota adalah menciptakan aliran (flow). Segala objek dan subjek
dalam kota menjadi satu bagian dalam menunjang satu sama lain. Karena kota
akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan berjalannya waktu. Sejalan
dengan yang dikatakan oleh Kostof (1992) :
Cities are never still; they resist efforts to make neat sense of them. We need
to respect their rhythms and to recognize that the life of city form must lie
loosely somewhere between total control and total freedom of action.
Between conservation and process, process must have the final word. In the
end, urban truth is in the flow. (hal. 304)
Perkembangan urban telah memperlakukan kota sebagai mesin yang
efisien untuk tempat berlindung dan melindungi dan untuk perpindahan
orang-orang, uang, dan barang (Ellin, 2006). Kota adalah tempat yang memiliki batasan
fisik di mana memisahkan apa yang termasuk dan yang tidak dalam kota (Kostof,
1992). Sesuatu yang dipisahkan dalam kota belum tentu merupakan kebutuhan
paling esensial untuk manusia yang ada di dalamnya. Seharusnya kota juga
dipandang sebagai aktivitas produksi, bukan hanya sebagai tempat bersosialisasi.
Integral urbanism dengan kualitasnya bertujuan untuk mencapai flow
(Ellin, 2006). Batas ataupun pengaturan yang memisahkan fungsi-fungsi dalam
kota tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya pemikiran integrasi. Hal yang
terpenting adalah bagaimana membuat segala sesuatunya berjalan secara alami.
2.3.2 Ekosistem Urban
Pada saat ini terjadi pergeseran ekosistem alam karena urbanisasi. Alberti
(2008) mengatakan bahwa urbanisasi telah meningkatkan pengaruhnya dalam
ekosistem bumi. Fungsinya tergantung pada pola lansekap yang ada dalam
urbanisasi daerah. Keberagaman lansekap merupakan fenomena spasial yang
disebabkan oleh variasi kondisi lingkungan.
Ekosistem urban tidak dapat diprediksi, karena ia adalah hybrid (Alberti,
!
! 18!
Universitas Indonesia
ekosistem urban untuk bekerja adalah dengan merespon dan beradaptasi dengan
perubahan karena perubahan tersebut merupakan faktor penting dalam membuat
kota yang sustainable dalam jangka panjang (Alberti dan Marzluff 2004 dalam
Alberti, 2008). Dengan demikian, merencanakan kota haruslah mengerti
keberadaan manusia di tengah-tengah ekosistem yang sangat kompleks.
Kompleksitas diakibatkan oleh ekosistem urban yang hybrid yang berarti
banyak aktor/peranan yang berpengaruh dalam ekosistem urban tersebut. Semakin
banyak keragaman spesies, maka suatu ekosistem dapat berfungsi dengan
maksimal, seperti yang dikatakan Alberti (2008):
The ability of earth’s processes to sustain life over a long period of time.
Biodiversity is essential for the functioning and sustainability of an
ecosystem. Different species play specific functions, and changes in species
composition, species richness, and functional type affect the efficiency with
which resources are processed within an ecosystem. (hal. 70)
Aktor/peranan dalam ekosistem tersebut adalah suatu keanekaragaman hayati,
termasuk juga keanekaragaman spesies binatang. Mereka merupakan hal esensial
dalam menggerakan suatu ekosistem. Dengan kata lain manusia dengan spesies
binatang dapat bekerja sama dalam ekosistem urban untuk mencapai hidup
berkualitas di lingkungan kota.
Setiap lingkungan urban mempunyai keunikannya masing-masing
dikarenakan adanya pola dari heterogenitas yang khas (Alberti, 2008). Pola
tersebut terbentuk dari proses dan fungsinya dari setiap aktor yang menggerakan
ekosistem di dalam lingkungan urban. Alberti (2008) membuat gambaran untuk
menjelaskan mekanisme hubungan antar pola, proses, dan fungsi (lihat gambar
2.6; gambar 2.7) untuk manusia dan organisme makhluk hidup lainnya.
Manusia dan organisme lainnya sama-sama mempunyai pola dan proses
untuk fungsi yang spesifik. Dalam sebuah kota di mana terjadi synurbization,
kedua pola dan fungsi tersebut dapat diintegrasi sehingga mampu meningkatkan
!
! 19!
Universitas Indonesia
Pola yang terintegrasi antara manusia dengan organisme yang lainnya
(binatang) merupakan realisasi dari teori yang digagas oleh Alberti et. al., (2003)
dalam Alberti (2008) bahwa ekosistem urban mempunyai sistem yang kompleks,
adaptif, dan dinamis. Synurbization menjadi pertanda bahwa lingkungan urban
adalah adaptif, sehingga membuat ekosistem urban kaya dan penuh kompleksitas,
dan dinamis merupakan penyesuaian dari integrasi pola, proses dan fungsi dari
spesies binatang ke pola, proses, fungsi manusia di kota.
Gambar 2.8 Kaitan antara sistem manusia dan ekologi Sumber : Buku Advances in Urban Ecology : hal 70 Gambar 2.6 Hubungan fungsi, pola, dan proses
dalam sistem manusia
Sumber : Buku Advances in Urban Ecology : hal. 69
Gambar 2.7 Hubungan fungsi, pola, dan proses dalam sistem ekologi
!
! 20!
BAB 3
STUDI KASUS DAN ANALISA : KOTA WATANSOPPENG
DAN KOTA LAINNYA
!
3.1 Synurbization Kalong pada Kota Watansoppeng
Kota Watansoppeng merupakan salah satu wilayah urban terjadinya
synurbization. Berdasarkan data dari website kabupaten Soppeng, kota yang
dikenal sebagai kota kalong terletak di sebelah utara Kota Makassar dengan jarak
179 km dengan luas wilayah Kabupaten Soppeng 1500 km2. Kota Watansoppeng
dikenal sebagai kota kalong (lihat gambar 3.1)!
Gambar 3.2 Lokasi Kabupaten Soppeng dan posisi Jl. Merdeka
Sumber : Google maps yang sudah diolah Gambar 3.1 Kalong di Kota Watansoppeng
Sumber : Dokumentasi pribadi
!
! 21!
Universitas Indonesia
Kalong–kalong dalam jumlah yang banyak ditemukan pada pepohonan
sebagian jalan dari Jl. Merdeka (lihat gambar 3.2). Walaupun mereka menghuni
pepohonan pinggir jalan atau dekat jalan raya, mereka tidak merasa terganggu
dengan kehadiran masyarakat.
Habitat utama kalong pada kota ini terutama di hutan kota galimporo.
Pohon asam dikenal memiliki karena batang dan rantingnya kuat (Yunus, 2014).
Kalong tersebut juga menempati pohon lain yang ada di sekitar pohon asam yaitu,
pohon flamboyan, pohon kelapa, pohon jati putih, pohon ebony, pohon mangga,
dan pohon tinggi lainnya.
3.1.1 Identifikasi Kalong dalam Ruang Kota
Kota Watansoppeng mempunyai keadaan yang spesifik sehingga kalong
kalong mau mendiaminya. Kota masih tergolong kecil dan masih sangat asri yang
ditandai dengan banyaknya pepohonan, hutan dan hutan kota, agrikultur, dan
dekat dari pegunungan (gunung jole) yang kurang lebih 20km jauhnya.
!
! 22!
Universitas Indonesia
Pada gambar 3.3 terlihat kalong banyak ditemukan pada pepohonan tinggi
di hutan galimporo dan mereka menempati pohon yang relatif berdekatan. Mereka
juga berada di pohon yang berdiri di atas kontur menurun terutama pada hutan
galimporo (lihat gambar 3.4).
Pada gambar 3.4 terlihat hutan galimporo yang berkontur dan terlihat juga
bahwa kota tidak membatasi antara yang terbangun dengan yang hijau atau
pepohonan. Schneekloth (1994) menyatakan bahwa sudah seharusnya habitat
manusia mempunyai batas yang kabur atau menyatu antara yang terbangun atau
abu–abu dengan elemen alam atau hijau.
3.1.2 Integrasi Kalong dengan Manusia Melalui Fungsi, Pola dan Proses
Bagi masyarakat setempat, kalong dianggap tidak berhubungan dengan
kebutuhan kota. Mereka hanya dianggap sebagai hama dan objek wisata di kota.
Akan tetapi keberadaaan kalong pada kota ini telah menjadi sebuah identitas
seperti yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai ‘kota kalong’. Kehidupan antara
warga dan kalong dapat terintegrasi dengan kebersamaannya hidup mereka dalam
satu wadah, yaitu kota.
Upaya kalong dalam beradaptasi di tengah–tengah kota membuat kota
tidak lagi ekslusif hanya untuk kepentingan manusia. Kota Watansoppeng
!
! 23!
Universitas Indonesia
mempunyai kualitas integral urbanism dengan elemen alam yaitu binatang kalong
dan pohon yang menjadi satu dengan kota (Ellin, 2006). Integrasi ini membuat
ekosistem urban dapat berjalan secara maksimal dengan fungsi, pola, dan proses
warga dan kalong yang saling mengisi peranannya dalam komponen dasar
ekosistem urban seperti pada gambar 2.1.
Kalong atau disebut sebagai kelelawar pemakan buah berperan dalam
ekosistem, habitatnya di pepohonan hutan galimporo berfungsi dalam ekosistem
kota secara keseluruhan.
“Flying fox (kalong) berperan penting sebagai penyerbuk hutan dan
penyebar benih buah-buahan hutan hujan dibanyak lokasi di seluruh dunia.
Kalong adalah binatang yang bermobilitas tinggi dan melalui penyerbukan
dan penyebaran benih, mereka memainkan peran penting dalam menjaga
keragaman genetik dalam jangka panjang untuk berbagai jenis habitat. ...
Kalong juga berperan penting dalam siklus pe-nutrisi-an. (Flying fox policy,
2008dalam www.parksandwildlife.nt.gov.au)
Sesuai dengan teori Alberti (2008) setiap keanekaragaman hayati
mempunyai pola hidup, proses untuk fungsi tertentu, dan setiap keberagaman
!
! 24!
Universitas Indonesia
hayati menempati fungsi yang berbeda-beda. Kalong menghasilkan guano
(kotoran) yang menjadi nutrisi bagi tanah dan bolus (ekstrak buah yang
dimuntahkan sisa–sisanya ke tanah) yang mengandung sisa buah-buahan berserat
dan berbiji (Goveas, et al., 2005). Pola kehidupan kalong di hutan galimporo
dapat berfungsi sebagai penyuburan dengan proses mereka berterbangan ataupun
bergelantungan saat menyebarkan guano dan bolus (lihat gambar 3.5).
Kesuburan dan keasrian hutan galimporo berhubungan dengan guano dan
bolus yang berjatuhan di tanah hutan tersebut (lihat gambar 3.6). Guano dan bolus
mengandung fosfor yang tinggi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kadar
fosfor dalam guano dan bolus tersebut lebih besar dibandingkan dari pupuk yang
berasal dari sapi dan domba. Dengan demikian, guano dan bolus berperan sebagai
pemicu pertumbuhan akar, perkembangan cabang di tunas, dan menumbuhkan
bunga pada tanaman (Goveas, et al. 2005).
Kesuburan tanah dapat menunjang banyak pertumbuhan tanaman yang
menjadi habitat bagi organisme lain (lihat gambr 3.7). Organisme tersebut
menjadi keanekaragaman hayati yang berperan dalam memperkaya dan membuat
suatu ekosistem urban bekerja secara maksimal. Sehingga guano dan bolus yang
dihasilkan oleh kalong membuat kalong berfungsi sebagai indikator kehidupan
hutan kota galimporo.
Gambar 3.6 Kalong dengan guano dan bolus di hutan kota galimporo Sumber : ilustrasi pribadi
!
! 25!
Universitas Indonesia
Heinze (2011) memaparkan fungsi dari hutan kota adalah menjadi
pencegah erosi dan longsor, pemurnian air, pembersih udara dari polusi ataupun
debu, penyejuk temperatur dan menurunkan penggunaan akan Air Conditioning
(AC), memproduksi banyak oksigen, dan penyerap karbon. Organisme yang
berada pada hutan galimporo yaitu pohon-pohonan dan lain-lainnya, berfungsi
sebagai penetral dari polusi yang dikeluarkan oleh suatu kota.
Kehidupan manusia dan kalong telah terintegrasi yang terlihat pada pola
huniannya di Kota Watansoppeng saat ini seperti yang terlihat pada gambar 3.8.
Kota Watansoppeng mempunyai kualitas integral urbanism seperti pada
penjelasan bab 2, yang pertama adalah hybridity dan connectivity yaitu antara
aktivitas manusia (warga) dan kalong terjadi hubungan yang saling
menguntungkan. Kedua, porosity saat hutan terkait dengan hunian warganya dan
keduanya dapat diakses tanpa dibatasi. Ketiga, authenticity saat masyarakat sosial
turut andil dalam menjaga kondisi hutan galimporo berserta kalongnya. Keempat,
vulnerability terjadi saat hutan dan kalong dapat berkembang secara alami namun,
tidak terlepas dari kontrol kota atau pemerintah daerah yang memberi regulasi
untuk tidak membunuh kalong.
Gambar 3.6 Kalong dengan guano dan bolus di hutan kota galimporo Sumber : ilustrasi pribadi
!
! 26!
Universitas Indonesia
Secara tidak langsung, manusia pada kota ini tidak dapat terlepas dari
kehidupan kalong karena fungsinya terhadap hutan. Kehadiran kalong dalam kota
membuat kota bertahan dalam jangka panjang dengan adanya ekosistem yang
bekerja secara maksimal. Sistem tersebut berfungsi untuk keberlangsungan
kehidupan manusia. Kota tidak perlu membatasi antara kalong dan manusia
karena kalong membawa dampak positif dalam menjaga keseimbangan ekosistem
kota.
3.2 Synurbization di Kota–Kota Lain yang Tersebar di Dunia
Masih banyak kota-kota lain yang sudah terjadi synurbization ataupun
kota tersebut sengaja membuat keadaan agar terjadi synurbization. Berikut ini
merupakan 8 contoh kota-kota yang mempunyai ide dari synurbization tersebut.
3.2.1 Ikan Koi di Sungai Kota Hida Furukawa
Kota Hida Furukawa di Jepang merupakan tempat terjadinya
synurbization ikan koi. Sungai yang bernama Sungai Seto mengalir melalui kota
kecil Hida Furukawa, air sungai tersebut merupakan aliran dari Sungai Miya yang
berada dekat dari kota. Sungai Seto yang bersih menjadi habitat bagi ikan Koi
untuk hidup di tengah–tengah hunian warga (lihat gambar 3.9).
Gambar 3.8 Pola integral urbanism yang dihasilkan dari integrasi manusia dan kalong Sumber : ilustrasi pribadi
!
! 27!
Universitas Indonesia
Ikan koi yang hidup di Sungai Seto menjadi penanda bahwa air sungai
tersebut bersih. Air merupakan elemen yang penting dalam kehidupan manusia.
Ikan koi dapat memakan kotoran ataupun lumut yang ada pada sungai. Ikan koi
juga berperan dalam menjaga dan memelihara kebersihan air pada sungai yang
ada di tengah-tengah kehidupan manusia. Air sungai di Kota Hida Furukawa
dapat dikatakan bersih karena terdapat kehidupan ikan koi di dalamnya.
Gambar 3.9 Peta Kota Hida Furukawa
Sumber :
http://www.hida-kankou.jp/kanko/foreign/en/plan-your-visit/pdf/Hida_Furukawa_Sightseeing_Map.pdf
!
Gambar 3.10 Suasana kota dengan Sungai Seto
!
! 28!
Universitas Indonesia
Dengan kota yang menyediakan ruang untuk ikan koi, menandakan kota
mempunyai integrasi dengan alam (lihat gambar 3.10). Kehadiran koi-koi ini
menjadi penting karena terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara
kota (manusia yang menghuni kota) dengan ikan koi. Fungsi, pola, dan proses
kehidupan ikan koi menjadi indikator bagi kebersihan air dan lingkungan di
sungai kota yang dibutuhkan oleh manusia.
3.2.2 Kunang-Kunang di Sungai dalam Kota
Synurbization kunang-kunang terjadi di salah satu sungai kota di Jepang
berdasarkan film “Hotaru no Hoshi”. Berawal dari seorang guru dan murid–
muridnya yang ingin mendatangkan kembali kunang-kunang yang sudah lama
hilang di Kota Jepang. Guru dan murid-muridnya berusaha untuk menciptakan
keadaan sungai yang sesuai dengan habitat kunang–kunang di tengah kota.
Diceritakan bahwa sungai di tengah kota sangatlah kotor dan terdapat
banyak sampah (lihat gambar 3.11), sementara kunang-kunang membutuhkan air
yang bersih dan tidak tercemar. Guru dan murid-muridnya berusaha
membersihkan sungai dari kotoran dan sampah untuk dapat melihat
kunang-kunang kembali. Mereka berusaha menciptakan lingkungan yang bersih dan
adaptif bagi kunang-kunang. Usaha yang mereka lakukan termasuk upaya
mengintegrasi alam dengan wilayah urban.
Kasus ini membuktikan seberapa besar perkembangan urban telah
mematikan organisme lain dan seberapa jauh telah mengubah alam.
Kunang-kunang merupakan binatang yang sangat sensitif terhadap lingkungan, sehingga
sangat sulit bagi kunang-kunang untuk beradaptasi dengan lingkungan kota.
Gambar 3.11 Keadaan sungai film "Hotaru no Hoshi"
Sumber : Film “Hotaru no Hoshi”
!
! 29!
Universitas Indonesia
Seperti yang terlihat pada gambar 3.12, kunang-kunang hidup pada lingkungan
yang masih asri dan jauh dari polusi dan keramaian kota.
Kunang–kunang adalah binatang yang tidak merugikan manusia sama
sekali. Mereka tidak menggigit, tidak mempunyai capit, tidak menyerang, tidak
membawa penyakit, tidak beracun, dan tidak dapat terbang dengan cepat. Larva
dari beberapa spesies kunang-kunang menjadi predator spesialis pemakan larva
serangga lain, yaitu keong dan siput. Beberapa dari kunang-kunang saat dewasa
menjadi predator tetapi ada juga beberapa spesies yang tidak memakan apapun
(berdasarkan
http://aggie-horticulture.tamu.edu/galveston/beneficials/beneficial-40_lightning_ bug.htm).
This summer, I raised fireflies with children. I never noticed the
environment around me. Then I opened my ears to the river’s murmur, the
sound of the wind, the bird’s song, and the frog’s chorus, nature’s whisper.
But more than anything, I noticed the importance of water (Miwa, 2004).
Kunang–kunang hidup pada air yang bersih pada saat menjadi larva,
kemudian hidup di darat dan terbang saat menjadi dewasa. Sama seperti pada
kasus ikan koi di Kota Hida Furukawa bahwa air merupakan kebutuhan mendasar
dari manusia. Dengan adanya kunang-kunang, warga dapat mengetahui bahwa
sungai tersebut bersih karena ada kehidupan di dalamnya. Kunang-kunang yang
Gambar 3.12 Kunang–kunang dengan habitat alaminya
!
! 30!
Universitas Indonesia
sangat sensitif dengan lingkungan yang kotor dapat menjadi indikator kebersihan
air di sungai maupun lingkungan sekitarnya karena mereka hanya hidup pada
habitat yang bersih. Lingkungan yang bersih tidak hanya dibutuhkan oleh
kunang-kunang melainkan manusia.
Habitat kunang-kunang dengan habitat manusia dapat terintegrasi untuk
meningkatkan kualitas hidup bersama di kota. Sesuai dengan pernyataan Ellin
(2006) tentang kualitas dan ciri integral urbanism adalah dengan adanya hybridity
dan connectivity yangmemperlakukan alam yaitu kunang-kunang dengan manusia
sebagai simbiosis yang saling menguntungkan.
3.2.3 Burung Black Redstarts di Kota Birmingham
Kota Birmingham West Midlands merupakan kota tempat terjadinya
synurbization burung Black Redstart. Kota tersebut didatangi burung tersebut
karena kecocokan akan dengan lingkungannya. Burung tersebut merupakan
burung langka, sehingga masyarakat setempat dan beberapa institusi berupaya
untuk menjaganya. Upaya menjaga kehadiran burung tersebut adalah dengan
menyediakan habitat yang adaptif melalui proyek-proyek bangunan green roof
atau brown roof (lihat gambar 3.13).
20.000 green/brown roof dirancang oleh Moore environment, sebuah
perusahan Landscape Architects and Environmental Designers and
Assessors. Singkatnya, desain dibuat untuk menyediakan sebuah lingkungan
luar yang menarik untuk pendatang dan staf dan untuk menjadi replika bagi
lapangan berwarna coklat, yang dianggap dapat menyediakan habitat yang
bernilai dan bervariasi untuk berbagai fauna dan flora. Tapak di
Birmingham diketahui sebagai tempat menarik bagi Black Redstart langka,
burung robin berukuran kecil yang telah beradaptasi untuk hidup di jantung
pusat industri dan perkotaan, di mana mempunyai permukaan lapangan
coklat, dengan batu bata dan puing-puing beton menyerupai habitat
pegunungan alami. Menciptakan habitat yang menarik spesies ini adalah
tujuan utama untuk desain atap. (berdasarkan
!
! 31!
Universitas Indonesia
Burung dapat membantu penyerbukan tumbahan dan menambah
keanekaragaman hayati. Kota Birmingham sudah mempunyai kondisi fisik yang
memancing burung Black Redstart untuk berdatangan. Melalui proyek-proyek
green/brown roof, synurbization burung Black Redstart difasilitasi agar dapat
ekosistem urban. Proyek tersebut telah mengintegrasi kehidupan antara manusia
dengan burung dan menjadikan burung black redstart bagian dari kehidupan di
kota.
3.2.4 Kupu–Kupu di Taman Wolverhampton
Kupu–kupu adalah spesies yang sangat berperan dalam penyerbukan
tanaman. Young (2008) melakukan studi pada taman-taman di perumahan
Wolverhampton dan memetakan pergerakannya karena taman banyak didatangi
oleh kupu-kupu (Lihat gambar 3.14).
Gambar 3.14 Taman di perumahan Wolverhampton dengan kupu-kupu
Sumber: http://www.urbanhabitats.org/v05n01/butterfly_full.html Gambar 3.13 Proyek brown/green roof
Sumber: http://www.greenroofs.com/projects/pview.php?id=802
!
! 32!
Universitas Indonesia
Dalam proses kupu-kupu untuk berfungsi sebagai pembantu penyerbukan
tumbuhan, dapat terlihat pada arah pergerakannya di taman Wolverhampton (lihat
gambar 3.15), kupu-kupu menjadi indikator kesuburan akan taman tersebut.
Habitat kupu-kupu dan manusia terintegrasi bersamaan dalam wilayah urban,
yang menunjukan kualitas integral urbanism.
Manusia hidup di lingkungan kota membutuhkan taman untuk memberi
kesejukan dan kenyamanan lingkungan. Kupu-kupu menjaga tanaman di taman
agar tetap tumbuh subur dan manusia mendapatkan manfaatnya. Sementara,
kupu–kupu mendapatkan habitat pada taman hunian tersebut. Pada akhirnya,
manusia dan kupu–kupu dapat hidup saling melengkapi satu sama lain dalam satu
tempat untuk memfungsikan ekosistem setempat.
3.2.5 Kodok di Korea Selatan
Kodok merupakan binatang amfibi yang membutuhkan ruang hidup yang
banyak untuk proses kehidupannya, mulai dari air hingga dataran tinggi. Mereka
menjadi bintang yang menguntungkan bagi manusia. Kodok dapat mengindikasi
pencemaran lingkungan dan menjadi binatang sebagai pengingat secara alami jika
terjadi gempa bumi (KV., 2010). Itulah sebabnya, mereka penting untuk tinggal
bersama dengan manusia di tengah–tengah kehidupannya.
Permasalahannya kodok sangat sensitif pada lingkungan, sementara
lingkungan kota seringkali menjadi tantangan yang sangat sulit bagi kodok untuk
Gambar 3.15 Pergerakan kupu–kupu yang aktif di taman
!
! 33!
Universitas Indonesia
beradaptasi. Namun, tidak bagi di beberapa bagian dari negara Korea Selatan
(lihat gambar 3.16). Banyak ditemukan spesies amfibi di sekitarnya karena
perkembangan urban yang vertikal bukan ke samping sehingga banyak ruang bagi
amfibi untuk bertempat tinggal (Fidenci dalam Hance, 2009).
Gambar 3.16 Kodok di wilayah urban
Sumber : http://news.mongabay.com/2009/0909-hance_fidenci.html
Kota-kota yang berkembang seperti demikianlah dapat menjadi adaptif
dan memancing kodok ini datang ke wilayah urban tersebut dan hidup tinggal
bersama-sama dengan manusia. Kodok menjadi penting yang dibutuhkan manusia
di kota karena kodok dapat menjadi indikator dari kebersihan lingkungan. Antara
manusia dan kodok dapat hidup harmonis dan saling melengkapi dalam satu
wilayah urban.
3.2.6 Bat House di Londonuntuk Kelelawar
Bat house merupakan sebuah proyek arsitektur dari kompetisi RIBA yang
didesain oleh Jorgen Tandberg dan Yo Murata dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas ekosistem urban setempat. Desain dapat memfasilitasi tempat tinggal
kelelawar di area London. Proyek tersebut ingin membuat rumah yang sesuai
dengan kelelawar sehingga menjadi habitat bagi kelelawar (lihat gambar 3.17).
I’m interested in initiating a project suitable for bats in London. ... There is
great pressure on bat numbers in London as buildings get redeveloped and
home improvements leave little space for bats to live in. In this structure the
!
! 34!
Universitas Indonesia that have different housing needs, the raising of a family, hibernation etc.
(Deller, nd)
Kelelawar mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Mereka
adalah bintang yang aktif untuk penyerbukan tumbuhan dan memakan serangga
hama. Tidak semua jenis kelelawar memakan serangga, tetapi semua jenis
kelelawar yang ada di London memakan serangga. Satu ekor kelelawar dapat
memakan hingga 3000 serangga hama dalam 1 malam (Gunnel, 2012).
Jadi, kelelawar menjadi binatang yang menjaga lingkungan dan menjaga
keseimbangan ekosistem dengan fungsinya memakan hama di lingkungan sekitar
dan membantu penyerbukan. kehadiran kelelawar membawa dampak positif bagi
kehidupan warga di kota. Proyek bat house memberi kesempatan bagi kelelawar
untuk terintegrasi dengan manusia di kota.
3.2.7 Elevator B di New York untuk Lebah Madu
Silo City berusaha untuk mendatangkan lebah madu dengan membangun
proyek Elevator B. Lebah madu mempunyai manfaat baik secara ekonomis yaitu
untuk madunya, selain itu lebah madu berperan dalam membantu penyerbukan
Gambar 3.17 Bat House
Sumber: http://www.architecture.com/UseAnArchitect/FindAnArchitect/
Competitions/CaseStudiesNew/Structures/BatHouse/BatHouse.aspx#.U3Iyl62SyAo
!
! 35!
Universitas Indonesia
tumbuhan. Sebuah komunitas arsitektur membuat proyek Elevator B yang sesuai
dengan habitat lebah madu untuk dijadikan tempat tinggalnya (lihat gambar 3.18).
Komunitas arsitektur berusaha menciptakan habitat yang adaptif bagi lebah
madu dengan memperhatikan suhu, pemilihan material, arah angin, dan lain lain.
Hal tersebut dipertimbangkan karena keberadaan mereka di tengah-tengah
kehidupan masyarakat menjadi penting. Lebah juga berhak mendapatkan ruang
seperti pada habitat alaminya.
Seperti pada gambar 3.19, perencanaan Elevator B berada dekat dari
hunian warga. Lebah madu membawa dampak positif bagi kesuburan tumbuhan
di kota dan memberi efektifitas ekosistem. Proyek Elevator B membuat kota
terjadi synurbization lebah madu dan mengintegrasi kehidupan antara manusia
dengan lebah madu.
Gambar 3.18 Elevator B
Sumber: http://www.wired.co.uk/news/archive/2013-05/8/tower-for-bees
Gambar 3.19 Perencanaan Elevator B
Sumber: