• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Tanaman Karet

Sistematika bahan tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) menurut

Steenis (2005) ialah : Kingdom : Plantae; Divisio: Spermatophyta;

Subdivisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae; Ordo : Euphorbiales; Famili : Euphorbiaceae; Genus : Hevea.

Akar tanaman karet berupa akar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas. Dengan akar seperti itu pohon karet

dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan dan Andoko, 2006).

Tanaman karet merupakan tanaman yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa 15-25 meter. Batang biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan tinggi di atas. Batang tanaman ini mengandung getah atau lateks (Syamsulbahri, 1996).

Tanaman karet adalah anggota famili Euphorbiaceae. Berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun berselang-seling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau dan memiliki panjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

(2)

betina. Penyerbukannya dapat terjadi dengan penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang (Setyamidjaja,1993).

Karakteristik bunga jantan pada beberapa tetua karet cukup bervariasi, yaitu 295-500 bunga per tangkai dengan rata-rata 383,4 per tangkai dan 2065-2640 bunga per karangan dengan rata-rata 3482,6 bunga per karangan. Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh di setiap tangkai utama dan cabang-cabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan (trifolia) yang berwarna kuning (Syarifah dan Woelan, 2007; Mardianto, 2011).

Buah beruang tiga, jarang yang beruang 4 hingga 6 diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3, 4, 6. Coci bekatup dua, pericarp berbentuk endokarp berkayu. Biji besar, bulat persegi empat, tertekan pada satu atau dua sisinya, berkilat, berwarna coklat muda, dengan noda-noda cokelat tua, panjang 2-3,5 cm dan lebar 1,5–3 cm dan tebal 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).

Dalam satu kapsul buah karet umumnya terdapat 3 butir biji. Buah yang masih muda secara bertahap selama 4 minggu pertama dari sejak penyerbukan,

dan buah mencapai ukuran maksimum pada umur 3 bulan setelah penyerbukan (Pustaka Litbang Deptan, 2012).

(3)

Kultur Jaringan

Teknik kultur jaringan dimulai ketika Schwan dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom dan pada prinsinya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Jaringan tanaman dapat diisolasi dan di kultur hingga berkembang menjadi tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya (Zulkarnain, 2009).

Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara

in vitro. Yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh, serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003).

Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis belum mempunyai penebalan dari zat pectin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkiran mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

(4)

Kultur in vitro tanaman karet (H. brasiliensis Muell. Arg.) dapat dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik. Teknologi in vitro microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan batang bawah klonal guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya keragaman batang bawah dan kekurang-mampuan kombinasi batang atas dan batang bawah menampilkan potensi produksi dan karakter unggul lain secara maksimal karena perbedaan tingkat juvenilitas (Sumaryono, dkk, 2012).

Di era tahun 1980-an, perbanyakan bahan tanam karet melalui kultur

(5)

perakaran tanaman karet asal seedling yaitu suatu kondisi yang sulit dicapai melalui perbanyakan stek konvensional di masa lalu (Haris, 2013).

Pada dasarnya kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel, jaringan, organ atau protoplas dengan teknik steril. Keberhasilan teknologi in vitro masih terbatas pada beberapa tanaman tertentu saja. Kultur in vitro juga memberikan pengertian tentang studi fisiologi, biokimia, genetika, pertumbuhan dan perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler (Nasir, 2000).

Keberhasilan tersebut membuka peluang perbanyakan tanaman karet secara in vitro, yang dapat dilakukan untuk dua tujuan. Pertama dan yang paling ideal adalah untuk perbanyakan klonal tanaman karet unggul secara massal sehingga bibit yang diperoleh tidak memerlukan batang bawah dan merupakan klon utuh (whole clone). Namun ternyata hal tersebut tidak mudah karena sebagian besar klon-klon karet yang direkomendasikan untuk ditanam dalam skala luas kurang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro (Haris, 2013). Eksplan

Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam hal perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur otogenetik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur (Yusnita, 2003).

(6)

dan zat pengatur tumbuh yang digunakan (dalam hal jenis zat pengatur tumbuh dan konsentrasinya), bagian tanaman yang dijadikan eksplan, lingkungan tumbuhnya (Gunawan, 1995).

Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya. Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya. Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan (Armini, dkk, 1992).

Ada beberapa informasi tentang mikropropagasi Hevea menggunakan eksplan yang berbeda, sebagian besar berasal dari bibit. Setelah itu, planlet dengan tunas dan akar berhasil dikembangkan oleh berbagai peneliti bernaman Gunatilleke, Carron, Sompong dan Muangkaewngam, Kyte dan Kleyn, Paranjothy dan Glandimethi yaitu diinduksi perakarannya di planlet yang berasal dari kultur jaringan, tetapi tidak dapat mematikan bahan dari klon, meskipun mereka regenerasi dari tunas dari tunas samping dari beberapa klon. Sebagian besar in vitro Hevea diarahkan melalui kultur pucuk, kultur nodus, embriogenesis somatik dan transformasi genetik (Dickson, dkk, 2011).

(7)

10-25 tahun, pertumbuhan normal dan sehat, penyadapan sesuai norma, luas blok minimal 15 ha, dan topografi relatif datar (Budiman, 2012).

Perbedaan diantara proliferasi tunas aksilar muda dan klon telah dilaporkan oleh Carron dkk pada tahun 1984 dimana proliferasi tunas yang tinggi peningkatannya pada bahan tanaman yang muda. Tanaman yang telah berhasil melalui kultur in vitro dari bahan klon sejak tahun 1985 oleh Carron meskipun tingkat proliferasi dari ini bahan belum dipublikasi (Seneviratne, dkk, 1998).

Eksplan pada tahap kultur primer merupakan potongan batang tanaman karet muda yang dipelihara dalam polibag di rumah kaca dan eksplan tersebut memiliki minimal satu mata tunas aksilar (axillary bud). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang sehingga kultur primer merupakan tahap yang menentukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan perbanyakan tanaman menggunakan teknologi tersebut (Haris, dkk, 2009).

Untuk mendapatkan bahan tanaman okulasi yang baik diperlukan entres yang baik dan dari kelompok klon anjuran. Klon-klon anjuran adalah klon-klon yang direkomendasikan untuk pertanaman komersial yang telah dilepas seperti :

a. Klon Penghasil Lateks : BPM 24, BPM 27, BPM 109, IRR 104, PB 217, dan PB 260.

b. Klon Penghasil Lateks Kayu : BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118. c. Klon Penghasil Kayu : IRR 70, IRR 71, IRR 72, dan IRR 78.

(8)

digunakan dengan beberapa pertimbangan antara lain dengan memperhatikan kepentingan pengguna untuk penanaman klon tersebut pada wilayah tertentu dan spesifikasi tertentu (Budiman, 2012).

Media Kultur

Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan. Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Bahan-bahan yang diramu berisi campuran garam mineral, sumber unsur makro dan mikro, gula, protein, vitamin dan hormon tumbuh. Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan oleh media tanam dan jenis tanaman. Campuran media yang satu mungkin cocok untuk jenis-jenis tanaman tertentu, tetapi tidak cocok untuk jenis-jenis tanaman lainnya (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Komponen media kultur yang lengkap ialah sebagai berikut :

1. Air destilasi (akuades) atau air bebas ion sebagai pelarut atau solven 2. Hara-hara makro dan mikro

3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi 4. Vitamin, asam amino, dan bahan organik lainnya 5. Zat pengatur tumbuh

6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan 7. Agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media

(Yusnita, 2003).

(9)

tanaman lengkap. Pembentukan bagian tanaman (morfogenesis) langsung maupun tidak langsung tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, anorganik dan zat pengatur tumbuh dalam suatu media kultur (Wattimena, et al, 1992).

Media yang digunakan secara luas adalah media Murashige & Skoog (MS) yang dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam makro yang digunakan (½ MS) atau menggunakan komposisi garam makro berdasarkan MS, tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur (Gunawan, 1995).

Penelitian terhadap pengaruh komposisi medium kultur dapat dimulai, misalnya menggunakan medium dasar MS dengan mencoba berbagai taraf unsur-unsur makro, seperti ¼, ½. ¾, atau konsentrasi penuh (full strength). Apabila telah diperoleh hasil yang memuaskan maka dapat dilihat pula formulasi unsur-unsur makro atau komposisi ion dari medium lain dan dicoba untuk melihat perbedaannya (Zulkarnain, 2009).

(10)

Jika metode ini akan berhasil digunakan dalam propagasi Hevea, harus ada proliferasi cepat dari tunas dari eksplan (Gunatilleke dan Chandra, 1988).

Perbandingan produksi akar yang lebih baik telah diamati pada medium MS setengah yang tidak ditambahkan hormon daripada fitohormon yang telah dilengkapi dengan konsentrasi dan kombinasi yang berbeda yang menghasilkan pembentukan akar yang lebih sedikit. Oleh karena itu, medium MS setengah (tanpa hormon) dipertimbangkan lebih baik untuk produksi akar dibandingkan dengan media MS (Islam, et al, 2005).

Sukrosa sering ditambahkan pada medium kultur jaringan sebagai sumber energi yang diperlukan untuk induksi kalus. Sukrosa dengan konsentrasi 2%-5% merupakan sumber karbon. Penggunaan sukrosa di atas kadar 3% menyebabkan terjadinya penebalan dinding sel. Pengaruh rangsangan dari gula terhadap pertumbuhan ditentukan juga oleh cara sterilisasinya. Penggunaan autoklaf untuk sterilisasi dapat memberikan pengaruh baik atau buruk terhadap pertumbuhan,

tergantung dari gula yang digunakan dalam medium tersebut (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Tumbuhnya tunas aksilar dilihat dalam waktu satu minggu pada semua media dan tunas terminal tumbuh lebih cepat dari tunas aksilar. Daun membuka dan berubah menjadi hijau. Respon yang berulang pada setiap perlakuan yaitu variabel yang digunakan (Gunatilleke dan Chandra, 1988).

Lingkungan in Vitro

(11)

merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan

di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan (Yusnita, 2003).

pH adalah kondisi asam dan basa yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologis sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor:

1. Kelarutan dari garam-garam penyusun media

2. Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain. 3. Efisiensi pembekuan agar-agar

Sel-sel tanaman membutuhkan pH sedikit asam barkisar antara 5,5 – 5,8.

Pengaturan pH biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH atau HCl (Gunawan, 1995).

Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimal umumnya adalah berkisar di antara 200-300C. Sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C. Faktor lingkungan, disamping faktor makanan (media tanam) yang cocok, dapat mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi temperatur, penyinaran, kualitas panjang penyinaran, intensitas penyinaran, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).

Suhu yang digunakan biasanya dilakukan pada laboratorium microcutting

(12)

30μmol foton/m2/detik, kelembaban relatif berkisar antara 65-80%. Faktor pendukung lain pada lingkungan in vitro ialah pencegahan kontaminasi yang tinggi mencapai 60% melalui salah cara yaitu pengganti hefa filter pada Laminar Air Flow Cabinet dan Air Conditioner ruangan selama 6 bulan sekali.

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, et al, 1992).

Pengaruh auksin dan hormon tumbuhan lainnya dalam mengatur pertumbuhan atau pembentukan daun belum diketahui dengan jelas. Sedangkan kerja atau peranan sitokinin sendiri belum dimengerti dan tidak cukup bukti-bukti

yang jelas untuk menguatkan hasil dari suatu proses biokimia (Davies, 1987).

(13)

dalam hal jenis takaran auksin dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya morfogenesis (Kyte,1983;Torres,1989) (Zulkarnain, 2009).

Pertumbuhan tanaman secara alami dikendalikan oleh hormon endogen dan hormon ini terdapat pada tanaman dalam jumlah yang kecil. Pemberian senyawa-senyawa sintetik tersebut akan mengubah keseimbangan hormon dalam tanaman hingga menimbulkan suatu respon tertentu (Manurung, 1995).

Melalui spesifikasinya, bahan kimia untuk tambahan dalam merangsang perakaran yang telah teruji di banyak genera, ketika tingkat dari nutrisi yang cukup tinggi dan tidak terbatas. Berbagai auksin yang aktif yaitu IAA, IBA, dan NAA. Ternyata, IBA sering lebih efektif daripada IAA. Baik IAA dan IBA merupakan auksin perangsang perakaran. IBA menyediakan keberhasilan total yang lebih terhadap perakaran daripada IAA. Karena IAA itu sendiri, perakarannya terstimulasi dengan rangsangan yang lebih besar lagi yang harus dilanjutkan dengan produksi dari etilen (Jacob, 1979).

Auksin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah indole-3 acetic acid (IAA), α-naphthalencetic acid (α-NAA), dan

2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Jenis-jenis auksin yang lain seperti 2,4,5-trichlorophenoxyacetic acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA), dan ρ-cholorophenoxyacetic acid (4-CPA) juga merupakan senyawa yang efektif,

(14)

namun senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik (Zulkarnain, 2009).

Gunawan (1995), mengemukakan bahwa level auksin dalam eksplan tergantung dari bagian tanaman yang diambil dan jenis tanamannya. Oleh karena itu sulit untuk menentukan suatu formula terbaik pada setiap penggunaan. Golongan auksin yang sering ditambahkaa adalah 2,4-D, IAA, NAA, dan IBA. (Hendaryono dan Wijayani, 1994). ZPT bila diberikan dalam konsentrasi tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman.

Sitokinin (BAP) berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tunas, berpengaruh terhadap metabolisme sel, pembelahan sel, merangsang sel, mendorong pembentukan buah dan biji, mengurangi dormansi apikal, serta mendorong inisiasi tunas lateral (Wattimena, et al, 1992).

Sitokinin merupakan nama kelompok hormon tumbuh yang sangat penting sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan seperti halnya pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintetisnya yang tergolong dalam zat pengatur tumbuh (Santoso dan Fatimah, 2005).

Auksin umumnya menghambat pertumbuhan tunas, sedangkan kombinasi konsentrasi sitokinin yang tinggi dengan auksin rendah penting dalam pembentukan tunas dan daun. Dalam kultur jaringan kedua golongan zat pengatur tumbuh ini terbukti berperan dalam menunjang pertumbuhan jaringan apabila digunakan pada konsentrasi yang tepat (Fereol, et al., 2002)

(15)

ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan yaitu BAP (6-benzylaminopurine). 6-Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang dapat menentukan kemampuan pembentukan jumlah tunas dan bentuk tunas. Pada konsentrasi BAP yang lebih tinggi dan masa induksi yang lebih lama menyebabkan penampakan abnormal dan menyebabkan penurunan jumlah regenerasi yang diperoleh (Gunawan, 1995).

Gambar

Gambar 1. Pembibitan Karet dan Primary Culture Karet

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing,

Intensitas ibu hamil yang mengikuti Hypnobirthing di BPM Tri Rahayu Setyaningsih Sleman Yogyakarta menunjukan bahwa sebagian responden tidak rutin mengikuti Hypnobirthing

Untuk menemukan Pengaruh Kegiatan Ekstrakurikuler Pengajian Al-Qur’an terhadap Aktivitas Belajar Siswa Kelas 1 pada Mata Pelajaran PAI di SMA Islamiyah Pontianak, dengan unsur

Hasil penelitian berdasarkan tabel 3, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kemampuan menyelesaikan skripsi pada mahasiswa maka

In this paper, we present how citizen science can be used together with Earth observation, and demonstrate its value through three pilot projects focusing on

Bagi Masyarakat yang mempunyai saran, Masukan dan keluhan atas pengelolaan hutan yang dilakukan pihak Perum Perhutani KPH Kendal bisa langsung melalui :.. Surat dan dikirimkan

After the early calibration validation phase, which confirmed the temperature accuracy of observed data, CIRC data has been available to the public January 2015 onward..

[r]