TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Tanaman Sorgum
Tanaman sorgum (Sorgum bicolor L.) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan,
dibudidayakan di daerah kering seperti di Afrika. Sorgum merupakan tanaman
sereal yang besar di Ethiopia Timur. Sekitar 44% (149.030 ha) daerah Ethiopia
Timur di budidayakan sorgum dan dianggap sebagai sarana utama untuk bertahan
hidup bagi manusia di beberapa bagian semi kering Ethiopia Timur di mana
seringkali tanaman gagal tumbuh karena rendahnya curah hujan (CSA, 1996).
Dari benua Afrika menyebar luas ke daerah tropis dan subtropik. Tanaman ini
memiliki adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan, sehingga sorgum
menyebar ke seluruh dunia. Negara penghasil utama sorgum adalah Amerika,
Argentina, RRC, India, Nigeria dan beberapa Negara Afrika Timur, Yaman dan
Australia (Goldsworthy dan Fisher, 1992).
Tanaman sorgum mirip dengan jagung, di Indonesia biji sorgum dikenal
sebagai tanaman palawija dengan berbagai nama daerah, antara lain yaitu jagung
pari, oncer/cantel (Jawa), gandrung, gandum (Minang kabau), jagung cetrik,
degem, kumpay (Sunda), wataru hamu garai.
Uraian Botanis
Taksonomi
Tanaman sorgum dapat diklasifikasikan sebagai berikut, kingdom
Monocotyledoneae, ordo Poales, family Graminaceae, genus Sorghum, species
Shorgum bicolor (L.) Moench.
Gambar 1. Tanaman sorgum dan akar
Morfologi
Doggett (1970) dan Huldquist (1973), dalam Goldsworthy dan Fisher
(1992) mengatakan bahwa batang sorgum padat. Batang berbentuk silinder
mencapai ketinggian sekitar 3-4 m. Diameter batang berkisar antara 1.25 – 6.25
cm. Memiliki empulur yang ada berasa manis. Permukaan batang memuliki
lapisan lilin dengan warna hijau ke abu-abuan ( Thakur, 1980).
Gambar 2. Batang sorgum dengan penampang melintang, terlihat empulur pada batang
Daun-daun biasanya terdapat secara berselang dalam dua baris pada
sisi-sisi batang yang berlawanan dan masing-masing terdiri atas satu pelepah dan
helaian. Pelepah daun membungkus batang dan melekat pada satu buku.
Daun-daun yang dewasa (helaian) dapat mencapai 300 mm sampai 1350 mm dengan
spesies-spesies liar, daun dapat sepanjang 300 – 750 mm tetapi biasanya sangat
sempit 5-70 mm (Goldsworthy dan Fisher, 1992).
Gambar 3. Daun tanaman sorgum dan daun bendera pada pucuk tanaman membungkus malai
Berbeda dengan jagung, bunga jantan dan betina pada sorgum berada
pada ujung malai. Malai terbuka dan relatif tebal. Sekitar 95% bunga sorgum
menyerbuk sendiri (Metcalfe dan Elkins, 1980).
Gambar 4. Bunga sorgum mulai dari pembentukan malai hingga menjadi biji
Anatomi biji
Biji berbentuk bola dengan ujung tumpul. Pericarp dan testa menjadi
satu. Memiliki anekaragam warna mulai dari putih jernih atau putih pucat sampai
berbagai tingkat warna merah dan cokelat keunguan tua. Endospermnya keras
dalamnya. Endosperm biasanya putih namun bisa kuning yang disebabkan oleh
pigmen-pigmen karotenoid. Diameter biji bervariasi dari 4-8 mm dan beratnya
sekitar 10-60 mg (Golsworthy dan Fisher, 1992)
Gambar 5. Biji sorgum dalam fase pengisian biji
Syarat Tumbuh
Iklim
Sorgum adalah tanaman yang kuat dan mampu bertahan pada iklim yang
ekstrim lebih dari tanaman serelia lain. Sorgum dapat bertahan pada
bermacam-macam temperatur dari 15.5⁰C – 40.5⁰C, dengan curah hujan sekitar 35 – 150
mm/thn (Thakur, 1980). Sorgum dapat tumbuh hingga ketinggian 1500 m dpl dan
dapat tumbuh dan menghasilkan di dataran rendah ditempat tanaman jagung tidak
dapat tumbuh (Rismunandar, 1986). Sepanjang hidupnya tanaman sorgum
memerlukan sinar matahari penuh, oleh karena itu saat tanam yang cocok adalah
musim kemarau. Tanaman sorgum mampu beradaptasi pada daerah yang luas
mulai 45⁰LU sampai dengan 40⁰LS mulai dari daerah dengan iklim tropis kering
sampai daerah beriklim basah (Sumarno dan karsono, 1996), dengan kelembapan
relatif 20 – 40 % (Sudaryono, 1996). Tanaman sorgum masih dapat menghasilkan
Tanah
Sorgum juga dapat tumbuh pada tanah-tanah berpasir, ia dapat tumbuh
pada pH tanah berkisar 5.0 – 5.5 dan lebih bertoleransi terhadap tanah salin
dibanding jagung. Tanaman sorgum dapat berproduksi pada tanah yang terlalu
kritis bagi tanaman lainnya (Laemeheriwa, 1990). Sorgum cocok pada tanah liat
berlempung yang kaya akan humus. Walaupun sorgum lebih mampu bertahan
pada kondisi yang tergenang dibanding tanaman jagung, namun drainase yang
lebih baik, cocok untuk pertumbuhannya (Thakur, 1980).
Agronomi
Cara budidaya tanaman sorgum mudah dengan biaya relatif murah, dapat
ditanam secara monokultur maupun tumpang sari dan mempunyai kemampuan
untuk tumbuh kembali setelah dilakukan pemangkasan pada batang bawah dalam
satu kali tanam dengan hasil yang tidak jauh berbeda, tergantung pemeliharaan
tanamannya. Selain itu tanaman sorgum lebih resisten terhadap serangan hama
dan penyakit sehingga resiko gagal panen relatif kecil (Sumarno dan Karsono,
1996). Sorgum sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan atau awal musim
kemarau. Hal ini dilakukan agar tanaman bisa tumbuh optimal dan malai terisi
sempurna, selain untuk menghindari serangan cendawan. Agar diperoleh
produksi yang tinggi sebaiknya dipilih benih yang bersertifikat dengan daya
kecambah benih minimal 90% dengan bentuk dan warna yang seragam, seperti
varietas Numbu dan Kawali. Sebelum penanaman tanah hendaknya diolah
sedalam 15-20 cm untuk menggemburkan tanah, memperbaiki drainase,
Varietas
Data pada Tabel 1 adalah varietas yang sudah dilepas oleh pemerintah
(Badan Litbang Pertanian Penelitian, Jagung, Sorgum dan Gandum oleh Balai
Penelitian Serealia di Marros Sulawesi Selatan, data hingga tahun 2001.
Tabel 1. Varietas sorgum yang telah dilepas Badan Litbang Pertanian hingga thn 2001 yang di update terakhir tahun 2013
Varietas TT (cm) Umur Hasil Warna
Kebanyakan dari varietas sorgum merupakan hasil persilangan galur
murni dari varietas lokal atau hasil seleksi dari persilangan beberapa varietas
sorgum (Thakur, 1980). Varietas sorgum di Indonesia masih sedikit dan
rendahnya perkembangan tanaman sorgum, hal ini disebabkan oleh rendahnya
keragaman genetik dan produktivitas dari tanaman tersebut. Umur panen tanaman
merupakan salah satu pertimbangan bagi petani dalam memilih varietas. Petani
umumnya memilih varietas genjah (umur 89-95 hari). Dalam deskripsi varietas
tanaman, sering kali suatu varietas dikelompokkan berdasarkan umur panen yaitu
lebih dari 95 hari (Soebandi, 1988). Varietas Numbu beradaptasi baik pada lahan
kering masam, dengan hasil 5 ton/ha, tahan terhadap penyakit karat dan bercak
daun. Varietas Kawali dicirikan oleh tanaman yang pendek (135 cm) dan malai
yang agak tertutup, sehingga kurang disenangi oleh burung. Kedua varietas ini
mempunyai umur dalam, berkisar antara 100-110 hari (Singgih dan Hamdani
2002).
Ekologi Pertumbuhan
Sorgum relatif lebih dapat beradaptasi pada kisaran kondisi ekologi yang
luas. Tanaman sorgum, mempunyai keistimewaan lebih tahan terhadap
kekeringan dan genangan bila dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya
serta dapat tumbuh hampir disetiap jenis tanah. Tanaman ini dapat tumbuh baik
pada tanah-tanah berat yang sering kali tergenang. Sorgum juga dapat tumbuh
pada tanah-tanah berpasir. la dapat tumbuh pada pH tanah berkisar 5,0-5,5 dan
lebih bertoleransi terhadap salin (garam) tanah dari pada jagung (Laemeheriwa,
1990). Suhu optimum untuk pertumbuhan sorgum berkisar antara 23°C-30°C
dengan kelembaban relatif 20-40%. Pada daerah-daerah dengan ketinggian 800 m
diatas permukaan laut dimana suhunya kurang dari 20°C, pertumbuhan tanaman
akan terhambat. Selama pertumbuhan tanaman, curah hujan yang diperlukan
adalah berkisar antara 375 - 425 mm.
Laju pertumbuhan tanaman sorgum lebih cepat, umurnya hanya empat
bulan sedangkan tebu 7-9 bulan, kebutuhan benih sorgum 5-10 kg/ha, sedangkan
tebu 4.500-6.000 stek batang/ha. Menurut Almodares dan Hadi (2008), sorgum
potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol melalui fermentasi bagase,
nira batang, dan biji.
Manfaat Sorgum
Selain sebagai pengganti bahan pangan, sorgum juga memiliki banyak
manfaat. Sorgum bisa dijadikan sebagai bahan bakar nabati (biofuel), merupakan salah satu bahan yang berpotensi sebagai bahan baku etanol (Murty dan Sahni,
1990; Goldsworthy dan Fisher, 1992). Sementara itu batang dari sorgum manis
(sweet sorghum) dapat diperas niranya untuk bahan pembuatan gula atau jiggery, bir, kertas, plastic bio, sirup, pati dan bermacam-macam makanan olahan (Murty
dan Sahni, 1990). Selain itu sorgum juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak unggas (biji) maupun ternak ruminansia untuk batang dan daunnya, serta
sebagai bahan bangunan untuk batangnya (Goldsworthy dan Fisher, 1992).
Beberapa varietas sorgum yang memiliki malai yang panjang bisa dimanfaatkan
menjadi sapu. Sorgum mengandung komponen fitokimia seperti tannin, asam
fenolat, antosianin, fitosterol dan polikosanol yang secara signifikan
mempengaruhi kesehatan (Awika dan Rooney, 2004). Beberapa penelitian
melaporkan bahwa komponen bioaktif yang terdapat dalam sorgum berfungsi
sebagai anti oksidan dan dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Cho et al, 2000). Ekstrak sorgum dapat meningkatkan poliferasi sel limfosit (2-71%).
Ekstrak sorgum mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon raji hingga
80.08%. Hasil penelitian menujukkan bahwa ekstrak sorgum mampu menghambat
poliferasi sel kanker (Shih et al, 2007; Awika et al. 2009).
Beberapa jenis makanan dari sorgum berdasarkan cara pengolahannya
1) makanan sejenis roti tanpa ragi misalnya chapatti dan tortilla, 2) makanan
sejenis roti dengan ragi misalnya injera, kisia dan dosai, 3) makanan bentuk bubur
kental misalnya to, tuwu, ugali, bagobe, sankati, 4) makanan bentuk bubur cair
misalnya, ogi, ugi, ambili, edi, 5) makanan camilan misalnya pop sorgum, tape
sorgum, emping sorgum, 6) sorgum rebus misalnya urap sorgum.
Gulma Sebagai TumbuhanPesaing
Kompetisi sebagai sebuah aksi berusaha mendapatkan apa yang lain yang
bisa didapatkan dengan berusaha keras pada saat yang bersamaan (Zimdahl.,
2004), juga merupakan interaksi antara tanaman-tanaman dan lingkungan dimana
selama pertumbuhannya mengubah lingkungan sekitarnya dan perubahan
lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan komponen tanaman (Aspinal dan
Milthorpe, 1959 dalam Zimdahl, 2004).
Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma bergantung pada empat
faktor yaitu stadia pertumbuhan tanaman, kerapatan gulma, tingkat cekaman air
dan hara serta species gulma (Fadly et al, 2004). Untuk meminimalkan dampak dari kehadiran gulma Bengal dayflower pada tanaman kacang, petani perlu
menjaga tanaman kacang mereka agar bebas dari gulma Bengal dayflower antara
3 dan 7 minggu setelah munculnya kacang (Webster et al, 2007).
Pengaruh gulma terhadap tanaman dapat terjadi secara langsung yaitu
dalam hal bersaing untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh.
Secara tidak langsung sejumlah gulma merupakan inang dari hama dan penyakit
(Moenandir et al, 1996). Daya saing tanaman dengan gulma tidak selalu meningkat dengan penambahan nutrient (Bhaskar dan Vyas, 1988), walaupun
dalam Ugen et al, 2002). Daya saing kacang dengan gulma terkait dengan indeks luas daun (Wortman, 1993). Indeks luas daun kacang bisa meningkat dengan
semakin banyaknya nutrient yang tersedia, walaupun daya saing dari beberapa
gulma dan kacang relatif bisa meningkat dibawah kondisi kekurangan nutrient
(Ugen, etal, 2002).
Gulma merupakan penyebab kehilangan hasil tanaman budidaya lewat
persaingan untuk cahaya, air, nutrisi, COᴤ, ruang dan lain-lannya. Kehilangan
hasil tersebut dapat pula didekati dengan membandingkan hasil dari lahan
bergulma dan bebas gulma (Munandir, 1993). Tingkat kehilangan hasil
tergantung pada alam, tahap intensitas dan durasi persaingan dengan gulma
(Bosnic dan Swanton, 1997, Knezevic et al, 2003). Tanpa pengendalian gulma musiman dapat menurunkan produksi kacang sampai 70% (Malik et al, 1993), dengan kehilangan produksi kacang 0.38 kg/ha untuk peningkatan biomassa
gulma setiap 1 kg/ha (Chikoye et al, 1995). Kehadiran Bengal Dayflower yang cukup lama dengan kepadatan 10 tanaman/m², menurunkan produksi kapas hingga
40 sampai 60 % di Africa Barat (Ahanchede 1996 dalam Webster et al 2008). Gulma dapat mengakibatkan kerugian pada tanaman jagung (Lafitte, 1994).
Hasil penelitian Murrinie (2010) menyatakan keberadaan gulma dapat
menurunkan bobot polong segar kacang tanah di Pati hingga 34,8 % per tanaman
(36.6%/ha) dan bobot polong kering 37.4% per tanaman (32.3%/ha) serta
menurunkan bobot biji 30.4%/ha.
Pengendalian gulma harus dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan
Periode Kritis
Periode kritis merupakan suatu masa dimana tanaman sangat rentan
dengan kehadiran gulma, yang mengakibatkan tanaman tidak dapat memperoleh
zat nutrisi sepenuhnya, akibat kehadiran gulma sebagai pesaing. Penentuan
periode kritis pengendalian gulma/the critical periode for weed control (CPWC) memperlihatkan pentingnya pengelolaan gulma waktu post emergence, khususnya
pada tanaman toleran herbisida (Knezevic et al. 2003). Waktu penyiangan gulma merupakan komponen penting dari manajemen pengendalian gulma terpadu pada
sistem produksi tanaman (Portugal dan Vidal, 2009). Penerapan periode kritis
akan memaksimalkan efektivitas teknik pengendalian gulma dalam hal manfaat
terhadap hasil panen di musim tertentu (Webster et al, 2007).
Bila tanaman bebas gulma selama periode kritisnya diharapkan
produktivitasnya tidak terganggu, dengan diketahuinya periode kritis,
pengendalian gulma menjadi ekonomis sebab hanya terbatas pada awal periode
kritis, tidak harus pada seluruh siklus hidup tanaman (Moenandir, 1996).
Persaingan gulma sebelum dan sesudah periode kritis tidak memberi effek yang
berarti terhadap produksi tanaman (Monteiro et al, 2011).
Widyatama et al, (2010) dalam penelitiannya membuktikan dengan keberadaan gulma selama 0-4 minggu setelah tanam sudah dapat menurunkan
hasil biji kering secara nyata, sedangkan apabila gulma dibiarkan tumbuh setelah
umur 4 minggu setelah tanam tidak akan berpengaruh secara nyata terhadap hasil
biji kering apabila dibandingkan dengan bebas gulma sampai panen
terhadap hasil. Hasil dari perlakuan bebas gulma pada kedelai hitam, lebih tinggi
dibandingkan perlakuan kedelai hitam bergulma. Hasil penelitian menunjukkan
periode kritis kedelai hitam berada diantara umur 0-4 minggu.
Pengendalian gulma pada periode kritis untuk tanaman kentang
menunjukkan total produksi 95%, artinya persentasi kehilangan hasil sangat
sedikit yaitu hanya 5%, dan periode kritis ini diestimasi dari 26-66 dan dari 20-61
hari setelah berkecambah untuk masing-masing musim hujan dan musim kering
dan jika pada periode kritis ini tidak dilakukan pengendalian gulma kehilangan
produksi kentang bisa mencapai 86% (Monteiro et al, 2011). Pada tahun 2004 periode kritis pengendalian gulma antara 316-607 derajat pertumbuhan, penting
untuk menghindari lebih besar dari 5% kehilangan produksi kacang pada interval
8 Juni dan 2 Juli. Pada tahun 2005, periode kritis pengendalian gulma antara
185-547 derajat pertumbuhan atau disebut juga GDD (Growing degree days) pada interval 30 Mei dan 3 Juli. Periode kritis ini tidak terjadi di awal musim
tanam dan tidak berlangsung lama (Webster et al, 2007).
Periode kritis pengendalian gulma untuk tanaman bengal dayflower pada
kapas tidak dapat diukur. Peneliti sebelumnya telah membuktikan bahwa kultur
teknis tanaman seperti pemupukan, jarak tanam dan tanggal penanaman dapat
mempengaruhi interaksi tanaman gulma dan durasi dari periode kritis
pengendalian gulma (Evans, et al 2003; Knezevic et al. 2003), namun dalam penelitian Webster et al (2009) telah berhasil menemukan periode kritis pengendalian gulma Bengal dayflowers pada tanaman kapas adalah selama dua
minggu dengan interval antara 0-12 minggu setelah penanaman. Periode kritis
52 hari dengan derajat tumbuh 190-800, dengan kehilangan hasil kapas mencapai
40-60%. Dan pada Juni 2005 mulai dari 18 HST selama 59 hari dengan derajat
tumbuh 190-910.
Pada hasil penelitian Hendrival et al (2014), memperlihatkan bahwa periode kritis kacang kedelai varietas kipas merah dalam persaingan dengan
gulma terjadi pada saat tanaman berumur 2 – 6 minggu setelah tanam.
Hasil penelitian Pertiwi (2012) menunjukkan bahwa periode kritis
tanaman kubis bunga saat berumur 14-28 hari setelah tanam, dengan titik kritis
pada 21 HST. Kehilangan hasil kubis bunga karena persaingan dengan gulma
terbesar pada perlakuan bergulma sepanjang musim tanam adalah 48.05%,
sedangkan kehilangan hasil pada waktu periode kritis adalah 16.32 % - 32.98 %.
Terjadi pengaruh yang signifikan pada bobot kering gulma dan komponen
pertumbuhan kubis bunga akibat persaingan dengan gulma pada kedua perlakuan
bergulma dan bebas gulma.
Hasil penelitian Rahayu et al (2003) menemukan bahwa periode kritis tanaman jagung manis dalam persaingan dengan gulma ada pada saat tanaman
berumur 21 -28 hari setelah tanam.
Hasil penelitian Meriyanti (2010) terhadap tanaman padi sawah
menginformasikan bahwa berdasarkan biomassa tajuk padi hibrida dan hasil
gabah kering giling per hektar pada periode bergulma dan periode bersih gulma,
maka periode kritis tanaman padi hibrida terhadap persaingan dengan gulma
terjadi pada saat 2 MST hingga 6 MST. Implikasinya adalah bahwa gulma pada
tanaman padi hibrida harus dikendalikan pada saat 2-6 MST agar kehilangan
Hasil penelitian Samosir (2010), menunjukkan periode kompetisi gulma
E. crus-galli nyata menurunkan jumlah anakan, jumlah daun, indeks luas daun, bobot kering akar dan tajuk, anakan produktif, biji isi, produksi gabah tanaman
padi hibrida. Semakin lama gulma E.crus-galli berkompetisi dengan tanaman padi maka pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi hibrida akan
semakin menurun. Semakin lama gulma E.crus-galli hadir di pertanaman padi maka semakin besar penurunan hasil padi. Berdasarkan peubah hasil gabah
kering giling padi pada periode bersih gulma E.crus-galli dan bergulma gulma
E.crus-galli, periode kritis tanaman padi hibrida terhadap E.crus-galli terjadi pada umur 4-8 MST.
Kompetisi sebelum atau setelah periode kritis memiliki efek yang dapat
diabaikan pada hasil panen (Monteiro et al, 2011)
Menyiang
Untuk mengurangi gulma petani melakukan penyiangan (hand weeding) karena mudah dan murah, selain itu juga ramah lingkungan (Moenandir, 1996),
ini merupakan cara pengendalian yang sangat praktis, aman dan efisien dan
terutama jika diterapkan pada suatu area yang tidak begitu luas dan di daerah yang
cukup banyak tenaga kerja (Widyatama et al, 2010). Penyiangan termasuk pengendalian mekanis secara manual, yaitu dengan cara merusak sebagian atau
seluruh gulma sampai terganggu pertumbuhannya atau mati, sehingga tidak
mengganggu tanaman .
Efektifitas penyiangan sangat ditentukan oleh ketepatan dalam
menetapkan waktu pelaksanaannya (Moenandir, 1996). Pemilihan waktu
mempersingkat masa persaingan. Dalam siklus hidup tumbuhan tidak semua fase
pertumbuhan suatu tanaman budidaya peka terhadap kompetisi gulma
(Widyatama et al, 2010). Penyiangan yang tepat dilakukan sebelum gulma memasuki fase generatif (Sukman dan Yakup, 1995). Pada awal pertumbuhan
belum terjadi kompetisi antara tanaman dengan gulma, namun pengendalian
gulma pada periode ini paling efisien dan efektif karena memberi kesempatan
pada tanaman budidaya untuk tumbuh dan menguasai ruang tumbuh. Penyiangan
dapat menekan pertumbuhan gulma juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah
(Moenandir, 1993). Pengendalian gulma yang terlambat satu bulan dapat
menurunkan hasil hingga 17% (Lamid, 1984, dalam Nasution et al, 2013). Penyiangan yang dilakukan dengan tangan terhadap gulma (Parthenium hysterophorus L.) pada hari ke 19-89 dan 45-57 HST menunjukkan manfaat yang lebih tinggi pada produksi tanaman sorgum pada tahun 1999 dan tahun
2000, dimana kehilangan produksi hanya sekitar 10%, namun pada 61-68 HST
menunjukkan persaingan yang lebih parah (Tamado et al, 2002). Waktu penyiangan yang tepat pada tanaman kedelai hitam (Glycine max (L.) Merill), cukup dilakukan pada saat tanaman berumur dua dan tiga minggu setelah tanam
(Widyatama, et al. 2010).
Waktu penyiangan yang tepat merupakan salah satu aspek budidaya
anaman sorgum yang penting. Karena pada awal pertumbuhan sorgum kurang
dapat bersaing dengan gulma, karena itu harus diusahakan agar areal tanaman
pada saat tanaman masih muda harus bersih dari gulma. ada pengaruh waktu