• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN OBAT KADALUARSA DI PUSKESMAS KABUPATEN OGAN ILIR TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "GAMBARAN OBAT KADALUARSA DI PUSKESMAS KABUPATEN OGAN ILIR TAHUN 2014"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Puspa IR,**Tedi,* Fadly*

**Alumni, Jurusan Farmasi Poltekkes Palembang *Dosen Poltekkes Palembang

ABSTRAK

Manajemen obat di Puskesmas merupakan salah satu aspek penting dari Puskesmas karena ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan dalam pelayanan kesehatan.Kinerja pengelola obat yang buruk dapat dilihat dari banyaknya jumlah obat yang mengalami kadaluarsa. Dengan banyaknya jumlah obat yang kadaluarsa, berarti negara telah membuang uang anggaran dalam penyediaan obat-obatan untuk daerah. Jenis penelitian ini adalah non eksperimen dengan pendekatan deskriptif. Sampel penelitian ini adalah seluruh data dari seluruh Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir pada bulan April – Juni 2015. Pengumpulan data menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data obat kadaluarsa seluruh Puskesmas tahun 2014. Setelah dilakukan penelitian didapat bahwa gambaran obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir sepanjang tahun 2014 terdiri dari bentuk sediaan tablet sebesar 94,52%, kapsul 1,47%, serbuk 0,86%, salep 0,16%, sirup 0,92%, injeksi 1,64% dan tetes telinga 0,39%. Jumlah obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir sepanjang tahun 2014 dalam bentuk sediaan tablet sebanyak

112484, kapsul 1750, serbuk 1025, salep 202, sirup 1104, injeksi 1960 dan tetes telinga 469 dengan kerugian biaya sebesar 18.336.021. Waktu kadaluarsa obat yaitu dari bulan Februari sampai Desember.

Kata kunci : Puskesmas,obat, kadaluarsa PENDAHULUAN

Kadaluarsa obat diartikan sebagai batas waktu dimana produsen obat menyatakan bahwa suatu produk dijamin stabil dan mengandung kadar zat sesuai dengan yang t e r c a n t u m d a l a m k e m a s a n n y a p a d a penyimpanan sesuai dengan anjuran (Nuraini, 2013). Memperhatikan masa kadaluarsa suatu produk obat penting untuk menghindari dikonsumsinya suatu produk yang sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi.

Di negara berkembang anggaran belanja obat merupakan anggaran kedua terbesar setelah gaji, yaitu sekitar 40% dari seluruh anggaran unit pelayanan kesehatan (Quik dkk, 2008). Secara nasional biaya untuk obat sekitar 40-50% dari seluruh biaya operasional kesehatan. Sehingga ketidakefisienan dalam pengelolaan obat akan berdampak negatif baik secara medis maupun medik (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Data badan kesehatan dunia WHO tahun 2010 menunjukkan bahwa di Uganda karakteristik obat yang mengalami kadaluarsa merupakan 20% obat penenang, 81,8% obat

untuk penyakit langka, 13,2% obat yang sudah mendekati waktu kadaluarsa, 32,4% obat mahal dan 23,7% obat yang dihentikan penggunannya. Manajemen dan koordinasi yang buruk menyebabkan pengadaan yang tidak efektif sehinggga menimbulkan obat menjadi kadaluarsa (WHO, 2010).

Di Kabupaten Ogan Ilir, berdasarkan data pemusnahan obat kadaluarsa di puskesmas pada tahun 2011 bahwa jumlah obat kadaluarsa mencapai 33598 item obat yang terdiri dari beberapa bentuk sediaan yaitu, tablet, kapsul, sirup, injeksi dan salep dengan berbagai macam nama obat. Persentase obat kadaluarsa dalam bentuk sediaan tablet sebanyak 25,19%; kapsul 71,31%; sirup 0.006%; injeksi 3,48%; dan salep 0.0051%.

(2)

buruk dapat dilihat dari banyaknya jumlah obat yang kadaluarsa. Pemesanan obat yang melebihi dari jumlah kebutuhan yang diperlukan di luar dari stok obat pengaman dan w a k t u t u n g g u a k a n m e n g a k i b a t k a n pemborosan karena sebagian obat bisa saja tersisa sampai lewat batas waktu penggunaannya. Dengan banyaknya jumlah obat yang kadaluarsa, berarti negara telah membuang uang anggaran dalam penyediaan obat-obatan untuk daerah. Oleh karena itu, kinerja pengelola obat sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan obat di Puskesmas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuraini (2013) tentang Analisa Pengelolaan Obat Kadaluarsa Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo Tahun 2011 menyebutkan bahwa obat- obatan bisa saja mendekati atau lewat masa kadaluarsanya, tidak sesuai kebutuhan bahkan dikirim dalam jumlah yang tidak dibutuhkan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir mempunyai 25 Puskesmas. Berdasarkan hasil pengamatan sementara oleh peneliti di tiga Puskesmas pada bulan Februari 2015, sebagai studi pendahuluan dengan cara melihat data obat kadaluarsa tahun 2014 terdapat jenis obat tertentu yang telah lewat batas waktu penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir masih terdapat obat yang telah kadaluarsa.

Dari permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2014“.

TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum

Mengamati gambaran obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014.

Tujuan Khusus

1. Menghitung jumlah obat kadaluarsa sesuai bentuk sediaan di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014.

2. Mengidentifikasi waktu kadaluarsa obat di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir.

3. Menghitung jumlah kerugian biaya yang diakibatkan dari obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian non eksperimen dengan pendekatan deskriptif yaitu suatu metode yang memberikan gambaran atau keadaan objek yang diteliti berdasarkan data yang telah dikumpulkan sehingga dapat memberikan gambaran yang tepat mengenai proses penelitian

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir 2015.

Cara Pengumpulan Data

Peneliti mendatangi Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir, kemudian peneliti mengumpulkan semua data obat kadaluarsa tahun 2014. Selanjutnya, peneliti mencatat nama, bentuk sediaan, jumlah, waktu dan biaya dari obat kadaluarsa.

Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu kertas kerja, alat tulis dan kalkulator.

HASIL PENELITIAN

Sumber data dalam penelitian ini adalah berupa data obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2015 di 25 Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir.

(3)

Sampel

Tidak dilakukan sampling dalam penelitian

Tabel 1. Jumlah Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2014

No Nama Puskesmas Bentuk Sediaan

Injeksi Kapsul Salep Serbuk Sirup Tablet Tetes Telinga

ini karena seluruh data dari seluruh Puskesmas digunakan sebagai bahan penelitian.

Jumlah obat kadaluarsa di 15 Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir sepanjang tahun 2014 paling banyak terdapat di Puskesmas Muara

Kuang sedangkan yang paling sedikit terdapat di Puskesmas Talang Aur.

Tabel 2. Daftar Nama Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2014

(4)

KTMS SriTanjung Aminophylin 19 amp Tambang Aminophyllin 25 amp

Chloramphenicol 20 btl Rambang Deksametason 100amp GaramOralit 900sachet

Digoxin 300tab

Gentamisin 70 amp Furosemide40 mg 700tab Metoklorpramid 100tab Propanolol40 mg 500tab

Oxytetracyclin 55 tube VitaminC 3000tab

Papaverin40 mg 2000tab Phytomenadion 150amp Vitamin C 50 mg 14000 tab

Kerinjing Chlorampenicol 50 btl Simpang Albendazol 60 tab Digoxin

Timbangan

Chloramphenicol Cotrimoxazole banyak kadaluarsa dalam bentuk sediaan tablet adalah Vitamin C, sediaan kapsul adalah Vitamin A, sediaan serbuk adalah Garam Oralit,

sediaan salep adalah Oxytetracyclin, sediaan sirup adalah Cotrimoxazole, sediaan injeksi adalah Phytomenadion dan sediaan tetes telinga adalah Chlorampenicol.

Tabel 3. Waktu Kadaluarsa dari Obat yang Mengalami Kadaluarsa Tahun 2014

Bulan

Tablet Kapsul Serbuk Salep Sirup Injeksi Tetes

Juni 3870 1000 125 - 350 293 469

Juli 1600 - 900 - - 112

-Total 112484 1750 1025 202 1104 1960 469

(5)

Waktu kadaluarsa dari obat yang mengalami kadaluarsa banyak terdapat pada bulan Agustus dalam bentuk sediaan tablet sedangkan

pada bulan Januari dan April tidak ada obat kadaluarsa yang waktu kadaluarsanya pada bulan tersebut.

P

e

rse

n

tase

100,00% 50.00%

10.00%

1.00%

0.50%

0.05%

Jumlahobatberdasarkanbentuksediaanyang kadaluarsa tahun2014

JumlahObatKadaluarsa

0,00%

Tablet Kapsul Serbuk Salep Sirup Injeksi Tetes

BentukSediaan Telinga

Grafik 1 Jumlah Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2014 Berdasarkan Bentuk Sediaan

Dari grafik dapat dilihat bahwa persentase jumlah obat kadaluarsa dalam bentuk sediaan tablet jauh lebih banyak dibandingkan bentuk sediaan lain. Jumlah obat kadaluarsa dalam bentuk sediaan tablet yaitu sebesar

94,52%, kapsul sebesar 1,47%, serbuk sebesar 0,86%, salep sebesar 0,16%, sirup sebesar 0,92%, injeksi sebesar 1,64% dan tetes telinga sebesar 0,39%.

Tabel 4. Daftar Jumlah Biaya Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2014

No NamaPuskesmas Rupiah(Rp)

1 Betung 1.337.185

2 Indralaya 1.196.846

3 Kandis 155.000

4 Kerinjing 809.875

5 KTMS Rambutan 45.258

6 Muara Kuang 2.678.468

7 Palem Raya 169.675

8 Payakabung 4.667.360

9 Pegayut 198.744

10 Simpang Timbangan 950.416

11 Sri Tanjung 1.629.614

12 Sungai Pinang 886.600

13 Talang Aur 11.400

14 Talang Pangeran 560.608

15 Tambang Rambang 477.175

(6)

Jumlah biaya dari obat kadaluarsa di 15 Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014 yang tertinggi yaitu di Puskesmas Payakabung dan biaya terendah di

Puskesmas Talang Aur. Sedangkan untuk total biaya keseluruhan obat kadaluarsa di 15 Puskesmas yaitu sebesar Rp. 18.336.021.

Jum

lah

7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0

Biaya

Obat

Kadaluarsa

Tablet Kapsul Serbuk Salep Sirup Injeksi Tetes Telinga

BiayaObatKadaluarsa Bentuk Sediaan

Grafik 2. Jumlah biaya obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014 berdasarkan bentuk sediaan

Jumlah biaya obat kadaluarsa dalam bentuk sediaan tablet sebesar Rp. 5.961.152, kapsul Rp. 549.500, serbuk Rp. 314.675, salep Rp. 407.232, sirup Rp. 3.373.575, injeksi Rp. 4.778.939 dan tetes telinga sebesar Rp. 2.950.948.

PEMBAHASAN

Dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama pengobatan di puskesmas maka obat-obatan merupakan unsur yang sangat penting. Obat menjadi salah satu perbekalan farmasi yang harus ada di Puskesmas. Tidak semua obat yang tersedia di apotek dan gudang obat dapat langsung di distribusikan kepada pasien. Obat-obatan yang belum didistribusikan disimpan untuk sementara bahkan ada yang sampai melewati waktu kadaluarsanya.

Dari hasil penelitian di 25 Puskesmas wilayah kerja dinas Kabupaten Ogan Ilir, masih terdapat obat kadaluarsa di 15 Puskesmas. Obat yang mengalami kadaluarsa terdiri dari bentuk sediaan tablet, kapsul, serbuk, salep, sirup, injeksi dan tetes telinga dengan jumlah keseluruhan sebanyak 118994 item obat. Di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir proses pencatatan obat kadaluarsa dilakukan oleh

petugas di bagian gudang obat yang bertujuan untuk mengetahui jumlah dan jenis obat yang kadaluarsa. Pencatatan yang dilakukan meliputi nama obat, waktu kadaluarsa dan jumlah. Tetapi berdasarkan penelitian tidak semua puskesmas melakukan pencatatan obat kadaluarsa secara lengkap, hanya puskesmas yang mempunyai sistem pengelolaan yang baik yang melakukan pencatatan obat kadaluarsa secara lengkap. Seharusnya pencatatan yang lengkap dapat memberikan informasi secara lengkap mengenai obat-obatan yang kadaluarsa sehingga dapat digunakan sebagai arsip bagi puskesmas dan Dinas Kesehatan yang digunakan untuk mengajukan usulan penghapusan sediaan obat yang rusak dan kadaluarsa.

(7)

pasien atau di distribusikan ke puskesmas pembantu sehingga tidak ada obat yang sampai lewat batas kadaluarsanya. Banyaknya obat yang mengalami kadaluarsa kemungkinan dipengaruhi oleh stok obat yang diberikan Dinas Kesehatan kepada puskesmas adalah obat-obat yang sudah mendekati waktu kadaluarsa dan tidak sesuai dengan kebutuhan jadi banyak obat yang tersisa sampai lewat dari waktu kadaluarsanya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuraini (2013) tentang Analisa Pengelolaan Obat Kadaluarsa Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo Tahun 2011 menyebutkan bahwa obat-obatan bisa saja mendekati atau lewat masa kadaluarsanya,

tidak sesuai kebutuhan bahkan dikirim dalam jumlah yang tidak dibutuhkan. Petugas dan tempat penyimpanan yang kurang mencukupi dan sistem manajemen obat- obatan tidak teratur dapat menjadi penyebab banyaknya obat yang kadaluarsa. Hal inilah yang juga menjadi penyebab banyaknya obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir khususnya di Puskesmas Muara Kuang. Jika saja Dinas Kesehatan memberikan obat dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan puskesmas maka jumlah obat yang kadaluarsa tidak akan terlalu banyak.

Obat yang telah melewati masa kadaluarsa dapat menjadi limbah yang dapat mencemari lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Penanganan obat kadaluarsa yang ada di puskesms Kabupaten Ogan Ilir yaitu obat-obatan yang telah kadaluarsa tidak langsung dimusnahkan saat itu juga. Obat yang telah kadaluarsa dikumpulkan oleh petugas gudang obat dan kemudian dipisahkan dari obat-obatan yang lain. Apabila obat kadaluarsa yang ada di puskesmas jumlahnya sedikit maka Dinas Kesehatan memerintahkan petugas gudang obat yang ada di puskesmas untuk melakukan pemusnahan sendiri tetapi apabila

jumlah obat kadaluarsa dalam jumlah banyak maka dikembalikan ke Dinas Kesehatan untuk dilakukan pemusnahan. Tidak seluruh puskesmas melakukan penanganan obat kadaluarsa dengan baik. Ada beberapa puskesmas yang masih menyimpan obat kadaluarsa terlalu lama di dalam gudang obat dan tidak dipisahkan dari obat yang belum kadaluarsa bahkan jumlah obat kadaluarsa tersebut dalam jumlah banyak. Pengumpulan obat yang kadaluarsa seharusnya dilakukan pada tempat yang terpisah dengan obat-obatan yang masih baik (belum kadaluarsa) dan tidak disimpan terlalu lama namun segera diserahkan kepada gudang obat farmasi di Dinas Kesehatan karena dapat mempengaruhi mutu dari obat yang belum kadaluarsa dan dapat menyebabkan petugas puskesmas salah dalam pengambilan obat.

(8)

biaya obat kadaluarsa yang paling rendah adalah Puskesmas Talang Aur karena memiliki jumlah obat kadaluarsa yang paling sedikit dibandingkan dengan Puskesmas yang lain. Selain itu Puskesmas Talang Aur merupakan Puskesmas yang paling kecil dan terlihat bahwa stok obat yang ada lebih sedikit diantara Kuang. Ini menunjukkan bahwa pengadaan obat yang dilakukan tidak tepat jenis dan tepat jumlah untuk kebutuhan obat di Puskesmas. Selain itu juga adanya indikasi bahwa perencanaan yang dilakukan oleh Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Ogan Ilir masih belum sesuai dengan kebutuhan Puskesmas.

Seluruh obat yang kadaluarsa terdiri dari 36 item obat yaitu pada sediaan tablet 18 item obat, kapsul 2 item obat, serbuk 1 item obat, sirup 3 item obat dan injeksi 10 item obat. Berdasarkan bentuk sediaan, jumlah biaya yang paling tinggi adalah sediaan tablet karena jumlah obat kadaluarsa dalam bentuk sediaan tablet lebih banyak dibandingkan dengan sediaan yang lain. Selain itu, sebagian obat yang ada di Puskesmas adalah dalam bentuk sediaan tablet sehingga kemungkinan obat yang paling banyak kadaluarsa adalah sediaan tablet. Dengan banyaknya jumlah obat yang kadaluarsa menunjukkan bahwa manajemen obat di Puskesmas masih kurang baik dan banyak uang anggaran negara yang terbuang untuk penyediaan obat-obatan untuk daerah.

KESIMPULAN

1. Gambaran obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir adalah adanya obat kadaluarsa di 15 Puskesmas dengan jumlah obat kadaluarsa yang paling banyak adalah dalam bentuk sediaan tablet sebesar

94,52% dengan obat terbanyak adalah Vitamin C, kapsul 1,47% adalah Vitamin A, serbuk 0,86% adalah garam oralit, salep 0,16% adalah Oxytetracyclin, sirup 0,92% adalah Cotrimoxazole, injeksi 1,64% adalah Phytomenadion dan tetes telinga 0,39% adalah Chlorampenicol.

2. Jumlah obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir tahun 2014 dalam bentuk sediaan tablet sebanyak 112484, kapsul 1750, serbuk 1025, salep 202, sirup 1104, injeksi 1960 dan tetes telinga 469. 3. Waktu kadaluarsa obat di Puskesmas

Kabupaten Ogan Ilir sepanjang tahun 2014 yaitu pada bulan Februari, Maret, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember.

4. Jumlah kerugian biaya yang diakibatkan dari obat kadaluarsa sepanjang tahun 2014 adalah sebesar Rp. 18.336.021

SARAN

1. Diharapkan kepada Puskesmas untuk memperbaiki pengelolaan obat di puskesmas guna mencegah adanya obat kadaluarsa.

2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan untuk mengadakan evaluasi dan pengawasan terhadap penyediaan obat-obatan yang tepat jenis dan tepat jumlah untuk Puskesmas sehingga jumlah obat kadaluarsa yang ada di Puskesmas dapat dikurangi.

3. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya meneliti faktor-faktor penyebab obat kadaluarsa di Puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi.

Binarupa Aksara

Depkes RI, 2005. Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan RI

(9)

Depkes R.I., 2006. Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 189/MENKES/ SK/III/2006 Tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI

Depkes RI, 2006. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas/Polindes

Depkes RI, 2006. Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar

Depkes RI, 2007. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah Perbatasan. Direktorat Bina

Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta, hal. 14-35

Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir, 2011.

Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir

Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir 2014.

Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Ilir

Efendi, F., 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktek dalam Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta,

hal. 275

Idham, 2005. Analisis Kecukupan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar Sebelum dan Sesudah Desentralisasi. Majalah

Kedokteran Indonesia Volume 55:4. Jakarta.

Nuraini, WF.,2013. Analisa Pengelolaan Obat Kadaluarsa Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo Tahun 201. Karya Tulis Ilmiah,Universitas

Sebelas Maret, hal. 9-17

Syamsuni, 2005. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Buku Kedokteran EGC,

Jakarta, hal. 47-48

Trihono, 2005. Manajemen Puskesmas Berbasis Paradigma Sehat. Sagung Seto,

Jakarta.

Quick, J.D., dkk, 1997. Managing Drug Supply, Second Edition, Revised And Expanded.

Kuimaria Press West Hartford. Wijono. WHO, 1999. Guidelines for Safe Disposal Of

Unwanted Pharmaceuticals in and after Emergencies. WHO No: 99,2

(10)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEPUTUSAN SWAMEDIKASI JERAWAT PADA

SISWA SMA NEGERI 3 PALEMBANG

Sidri1, Putri Sukma Rani2

1Dosen Jurusan Farmasi, 2Alumni Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh dari faktor persepsi sakit, ketersediaan informasi tentang obat, ketersediaan obat dimasyarakat dan sumber informasi cara pemakaian obat terhadap keputusan swamedikasi jerawat. Penelitian dilakukan pada siswa SMA Negeri 3 Palembang yang berjerawat dan melakukan swamedikasi jerawat yang berjumlah 94 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei analitis dengan pendekatan cross sectional (satu waktu). Uji statistik menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa faktor persepsi sakit, ketersediaan informasi tentang obat, ketersediaan obat di masyarakat dan sumber informasi cara pemakaian obat secara bersama-sama mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat sedangkan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat adalah persepsi sakit.

PENDAHULUAN

Jerawat merupakan peradangan pada kulit yang ditandai dengan adanya komedo tertutup (white head), komedo terbuka (black head), bintil (papula atau nodula) atau bintil bernanah (pustula atau kista) pada permukaan kulit berwarna kemerahan dan berlemak yang disebut soborrhea (Winarno dan Ahnan, 2014). Kemunculan jerawat umumnya terjadi di masa pubertas dimana produksi hormon androgen meningkat drastis dan berimbas pada peningkatan sekresi keratin dan sebum (Winarno dan Ahnan, 2014).

Penelitian Goodman (1999) menyatakan bahwa prevalensi tertinggi penderita jerawat yaitu pada usia 16-17 tahun dimana pada wanita berkisar 83-85% dan pada pria berkisar 95-100%. Pada umumnya banyak remaja yang bermasalah dengan jerawat merasakan jerawat merupakan siksaan psikis baik remaja (Andy, 2009). Pada usia remaja wajah merupakan pusat keindahan yang utama, sehingga kebanyakan remaja akan melakukan berbagai cara untuk mengobati jerawatnya.

Pengobatan sendiri atau swamedikasi yaitumengobati segala keluhan pada dirisendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Tan, H. T. dan Kirana, R.,

1993). Pengobatan sendirimenurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal,maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakitatau gejala penyakit (WHO, 1998). DiIndonesia sendiri obat yang dapat digunakan secara swamedikasi adalah obat darigolongan bebas dan obat bebas terbatas.

Swamedikasi dapat mempermudah masyarakat memperoleh obat tanpa perlu mengeluarkan biaya jasa untuk dokter dan dalam waktu yang relatif cepat. Tetapi pada pelaksanaannya ternyata menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) seperti terjadinya kesalahan medis dalam diagnosis dan keterlambatan dalam pengobatan yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan cara penggunaannya (Wibowo, 2014).

(11)

1 Medan mengenai jerawat paling banyak berada dalam kategori kurang. Kurangnya pengetahuan di dukung dengan faktor emosi di usia remaja yang sangat rentan terpengaruh hal apapun dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan pengobatan termasuk dalam hal pengobatan jerawat sendiri. Karena kurangnya pengetahuan medis dan terapi sebagian besar remaja belum mengetahui cara pengobatan sendiri (swamedikasi) yang tepat terhadap jerawat, sehingga perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi para remaja dalam memutuskan swamedikasi jerawat. Menurut Sukasediati (1996), faktor tersebut antara lain adalah persepsi sakit, ketersediaan informasi tentang obat, ketersediaan obat di masyarakat dan sumber informasi cara pemakaian obat. Siswa SMA merupakan kelompok masyarakat yang berada pada usia remaja.Kemampuan untuk melakukan swamedikasi belum sepenuhnya dikuasai, namunsudah banyak yang melakukan swamedikasi (Widayati, et al, 2008). Siswa SMA Negeri 3 Palembang yang merupakan salah satu sekolah unggulan dan berlokasi di tengah kota Palembang tentu memiliki kemudahan untuk mengakses obat swamedikasi di berbagai apotek di kota Palembang. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Swamedikasi Jerawat pada Siswa SMA Negeri 3 Palembang”.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian surveianalitisdengan pendekatan cross sectional (satu waktu).Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 di SMA Negeri 3 Palembang.Populasi penelitian adalah semua siswa kelas X SMA Negeri 3 Palembang yang berjumlah 330 siswa. Sampel ditentukan berdasarkan teknik pengambilan sampel purposive sampling yaitu cara pengambilan

sampel berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh peneliti untuk dapat dianggap mewakili karakteristik populasinya (Sudibyo dan Surahman, 2014). Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah semua siswa yang berjerawat dan melakukan swamedikasi jerawat yang berjumlah 94 orang.Teknik pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner.

Pada penelitian ini terdapat empat variabe bebas (variabel independen) yaitu persepsi sakit, ketersediaan informasi tentang obat, ketersediaan obat di masyarakat dan sumber informasi cara pemakaian obat, serta satu variabel terikat (variabel dependen) yaitu, keputusan swamedikasi jerawat. Sistem penilaian kuesioner dilakukan dengan metode skoring.

No.

Jawaban

Skor

1.

Sangat Setuju

5

2.

Setuju

4

3.

Kurang Setuju

3

4.

Tidak Setuju

2

5.

Sangat Tidak Setuju

1

Tabel 1. Tabel skoring

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program aplikasi SPSS 16,0 menggunakan uji regresi logistik ganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fakor persepsi sakit memiliki pengaruh yang paling tinggi terhadap keputusan swamedikasi jerawat. Nilai Exp (B) = 7,834 pada pemodelan akhir multivariat menunjukkan faktor persepsi sakit tujuh kali berisiko mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat.

(12)

jerawat adalah karena sebagian besar remaja sudah memiliki pengalaman swamedikasi jerawat baik yang dialaminya sendiri maupun dari cerita pengalaman temannya, selain itu pengetahun mengenai jerawat yang diperoleh melaui proses belajar dan memberi pemahaman tentang jerawat serts obatnya tanpa harus bertanya ke dokter juga dapat menjadi alasan besarnya pengaruh persepsi sakit terhadap keputusan swamedikasi jerawat. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Andy (2009) yang berjudul “Pengetahuan dan Sikap Remaja SMA Santo Thomas 1 Medan Terhadap Jerawat” yang menunjukkan tingkat pengetahuan siswa SMA Santo Thomas 1 Medan mengenai jerawat paling banyak berada dalam kategori kurang sedangkan pada penelitian ini tingginya pengaruh faktor persepsi sakit menunjukkan tingginya pengetahuan para siswa tentang jerawat.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa fakor ketersediaan informasi tentang obat memiliki pengaruh nomor dua tertinggi setelah faktor persepsi sakit terhadap keputusan swamedikasi jerawat. Nilai Exp (B) = 3,381 pada pemodelan akhir multivariat setelah faktor ketersediaan informasi tentang obat dibandingkan dengan faktor persepsi sakit menunjukkan faktor ketersediaan informasi tentang obat tiga kali berisiko mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat.

Menurut peneliti, cukup tingginya pengaruh faktor ketersediaan informasi tentang obat dalam mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat adalah karena kemudahan mengakses informasi saat ini diberbagai media. Para remaja dapat dengan mudah memperoleh informasi obat melalui situs-situs kesehatan, buku atau majalah kesehatan termasuk dari program kesehatan yang disiarkan ditelevisi maupun radio.

Pengaruh ketersediaan informasi tentang obat yang tidak setinggi pengaruh persepsi sakit

dapat disebabkan informasi tentang obat hanya memberikan informasi yang tidak selalu dengan mudah dipercaya oleh remaja, sedangkan persepsi sakit didukung oleh pengalaman serta pemahaman yang mendukung kepercayaan remaja terhadap obat sehingga akhirnya memustuskan untuk melakukan swamedikasi jerawat.

Faktor ketersediaan obat di masyarakat memiliki pengaruh yang paling rendah diantar faktor-faktor lain terhadap keputusan swamedikasi jerawat. Nilai Exp (B) = 1,753 pada pemodelan pertama multivariat menunjukkan faktor ketersediaan obat di masyarakat satu kali berisiko mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat. Karena memiliki nilai Exp (B) yang paling rendah faktor ketersediaan obat di masyarakat langsung dikeluarkan pertama kali dari pemodelan multivariat.

Menurut peneliti, rendahnya pengaruh faktor ketersediaan obat dimasyarakat dalam mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat adalah karena para siswa menyadari tidak semua obat yang tersedia di apotek, toko obat maupun toko online akan sesuai dengan jenis jerawat yang mereka alami. Banyaknya jenis obat jerawat yang disediakan tidak menyebabkan siswa langsung memutuskan untuk melakukan swamedikasi. Hal ini menunjukkan bahwa para siswa cukup berhati-hati dalam melakukan swamedikasi jerawat.

(13)

tingkat kerendahan faktor sumber informasi cara pemakaian obat setara dengan faktor ketersediaan obat di masyarakat. Karena memiliki nilai Exp (B) yang paling rendah pada pemodelan multivariat setelah faktor ketersediaan obat di masyarakat dikeluarkan faktor sumber informasi cara pemakaian obat menjadi faktor yang dikeluarkan berikutnya dalam pemodelan multivariat.

Menurut peneliti, rendahnya pengaruh faktor sumber informasi cara pemakaian obat terhadap keputusan swamedikasi jerawat adalah karena adanya informasi cara pemakaian obat tidak menjadi pertimbangan para siswa dalam memutuskan untuk melakukan swamedikasi jerawat, apalagi pada kasus jerawat pemakaian obat tidaklah sulit, hanya dengan melihat bentuk sediaan para siswa dapat mengetahui cara pemakaian obat tersebut dan aturan pakai yang sudah tertera pada kemasan obat. Para siswa cenderung akan melakukan swamedikasi apabila telah yakina pada obat yang digunakannya dan tidak akan terlalu mempermasalahkan seperti apapun cara pemakaian obat tersebut.

SIMPULAN

Dari semua hasil analisis diperoleh bahwa semua variabel bebas penelitian baik persepsi sakit, ketersediaan informasi tentang obat, ketersediaan obat di masyarakat dan sumber informasi cara pemakain obat mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat, dan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi keputusan swamedikasi jerawat adalah persepsi sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Andy. 2009. Pengetahuan dan Sikap Remaja SMA Santo Thomas 1 Medan Terhadap Jerawat. Skripsi, Jurusan Pendidikan

Dokter USU (tidak dipubikasikan). Halaman 1-2.

Goodman, G., 1999. Acne and Acne Scarring Why We Should Treat?. Dalam: The

Medical Journal of Australia, 171: 62-63. Sudibyo, S., dan Surahman. 2014. Metodologi

Penelitian Untuk Mahasiswa Farmasi.

Jakarta : TIM. Halaman 51.

Sukasediati, N. 1996. Peningkatan Mutu Pengobatan Sendiri Menuju Kesehatan untuk Semua. Buletin Direktorat Jenderal

Pengawasan Obat dan Makanan. 18 (1). Tan, H. T. dan Kirana. 1993. Swamedikasi.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

WHO. 1998. The Role of The Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. The Hague,

The Netherlands: WHO, p.1-11.

Wi b o w o , M I N A . 2 0 1 4 . M e n g a t a s i P e r m a s a l a h a n S w a m e d i k a s i.

http://farmasi.ump.ac.id/index.php/. (diakses pada 28 Februari 2015).

Widayati, A., Suryawati, S., Crespigny, C., Hiller, J.E. 2008. Identifying Key.

Winarno, F.G. dan Ahnan A.D. 2014. Jerawat yang Masih Perlu Anda Ketahui.

(14)

EFEK EKSTRAK TANAMAN TAPAK LIMAN (Elephantopus scaber L)

TERHADAP PENURUNAN KADAR ASAM URAT DAN KREATININ

DARAH TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI CISPLATIN

Ridha Sharlya Triana dan Sonlimar Mangunsong,

Jurusan Farmasi, Poltekkes Kemenkes Palembang

ABSTRAK

Herba tapak liman (Elephantopus scaber) adalah salah satu tanaman yang berkhasiat menurunkan kadar asam urat secara empiris. Senyawa flavonoid yang terkandug pada tanaman tapak liman diyakini dapat menghambat reaksi superoksida saat pembentukan asam urat dan kreatinin. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa ekstrak ethanol herba tapak liman yang diberikan kepada tikus putih yang diinduksi cisplatin dapat menurunkan kadar asam urat dan kreatinin. Methode yang digunakan metode yang digunakan adalah eksperimental, menggunakan 24 ekor tikus putih yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok I (kelompok normal), kelompok II (induksi cisplatin dosis tunggal), kelompok III (induksi cisplatin dan Allopurinol 0,9 mg/200 gr BB), kelompok IV (induksi cisplatin dan ekstrak dosis 175 mg/ 200 gr BB ), kelompok V (induksi cisplatin dan ekstrak dosis 350 mg/200 gr BB), kelompok VI (induksi cisplatin dan dosis ektrak 700 mg/200 gr BB). Penginduksian cisplatin secara intra peritonial dilakukan untuk meningkatkan kadar asam urat dan kreatinin. Pengukuran dilakukan dengam pengambilan darah setelah hari ke 11 percobaan dan di kirim ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan Palembang. Hasil yang diperoleh dari hasil uji statistik One Way ANOVA uji Tukey. Hasilnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0.05) kadar asam urat pada kelompok negatif dengan kelompok pembanding. Namun, ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) kadar kreatinin darah tikus pada kelompok negatif dan kelompok pembanding. Ekstrak tanaman tapak liman memberi pengaruh terhadap penurunan kadar kreatinin hewan coba. Ekstrak tanaman tapak liman (Elephantopus scaber) terbukti menurunkan kadar kreatinin darah tikus putih yang diinduksi cisplatin pada dosis 700 mg/ 200 gr Bb secara signifikan . Namun, tidak mampu menurnkan kadar asam urat tikus secara signifikan. Tetapi kesetaraan penurunan masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol Allopurinol.

Kata Kunci : ekstrak tapak liman, cisplatin, asam urat , kreatinin darah.

PENDAHULUAN

Cisplatin adalah salah satu obat anti kanker yang paling efektif dan potensial untuk pengobatan tumor padat seperti tumor dalam paru-paru, kepala dan leher, ovarium dan kanker testis .salah satu efek samping dari cisplatin adalah terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas membentuk ROS (reactive oxidative species) yang pada tubulus ginjal dengan diinduksi cisplatin dapat membentuk asam urat. Efek samping ini telah melebihi penggunaan klinik cisplatin yaitu 25-30% pasien, meskipin pada dosis tunggal.(Kim et al, 2015).

Diperkirakan 20% pasien yang menerima dosis tinggi cispatin memiliki disfungsi ginjal (Oh et al 2014). Kerusakan ginjal dapat kita lihat dengan mengukur kadar kreatinin di dalam darah. Kreatinin adalah hasil buangan kreatin dalam otot. Hasil metabolisme lain meliputi

zat-zat purin oksalat, fosfat, sulfat dan urat. ( Irianto,2004) Creatinine serum harus dipantau dengan ketat. (Katzung, 2002). Kadar kreatinin darah yang meningkat disebabkan oleh beberapa kondisi salah satunya adalah gout (kadar asam urat yang tinggi) atau hiperurisemia. Salah satu tumbuhan untuk pengobatan asam urat adalah tanaman Tapak Liman (Sandjaya, 2014).Senyawa Flavonoid yang bersifat antioksidan dapat menghambat k e r j a r e a k s i s u p e r o k s i d a s e h i n g g a pembentukan asam urat bisa di hambat atau di kurangi.(Sandjaya, 2014 ).

TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum

(15)

Tujuan khusus

1. Membuktikan bahwa ekstrak tapak liman (Elephantopus scaber) dapat menurunkan kadar asam urat pada hewan coba yang telah diinduksi dengan cisplatin.

2. Mengukur pada dosis berapa mg ekstrak tapak liman (Elephantopus scaber) yang memberikan efek penurunan kadar asam urat dan kreatinin pada hewan coba.

METODE PENELITIAN Preparasi Ekstrak Tapak Liman

Sebanyak 1,7 kg tanaman tapak liman kering yang sudah disortir dan dibersihkan serta telah dii kering anginkan. Kemudian seluruh tanaman dimaserasi dengan etanol 96 % yang telah di destilasi sebelumnya. Maserasi dilakukan selama 5 hari sambil di kocok setiap 2 kali sehari. Hasil maserat di saring dengan kertas saring, dienaptuangkan selama sehari semalam. Hasil maserat lalu di destilasi vakum sehingga didapatkan ekstrak kental Tapak Liman sebanyak 36 gr.

Penyiapan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih betina (Rattus novergicus) berjenis galur wistar (150-200 gr) dengan umur 10 (sepuluh) minggu. Tikus tersebut di peroleh dari peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung yang berjumlah 24 ekor. Hewan coba di bagi menjadi 6 kelompok dengan jumlah hewan per kelompok telah di hitung dengan rumus Federer.

Perlakuan

Tikus diadaptasi selama 1 (satu) minggu dan diberi makan standar dan minum ad libitum. Masing-masing hewan uji di kandangkan secara individu dalam kandang yang memiliki sirkulasi udara yang baik. Penimbangan berat badan di lakukan diawal sebelum aklimatisasi hewan coba dan 7 (hari) setelah aklimatisasi sebelum dilakukan penginduksian cisplatin.

Pengelompokan hewan percobaan berdasarkan perlakuan sebagai berikut :

- Kelompok 1, kelompok normal, yaitu hewan coba yang hanya di beri makan dan minum ad libitum.

- Kelompok 2, kelompok negatif, yaitu hewan coba yang diinduksi cisplatin dosis tunggal.

- Kelompok 3, kelompok positif, yaitu hewan coba yang diinduksi cisplatin dosis tunggal lalu diberi suspensi Allopurinol selama 10 hari setelah penginduksian cisplatin.

- Kelompok 4, kelompok dosis I, yaitu hewan coba yang diinduksi cisplatin dosis tunggal, lalu di beri suspensi ekstrak tapak liman dengan dosis 175 mg/ 200 gr BB setelah 4 (empat) hari penginduksian cisplatin.

- Kelompok 5, kelompok dosis II, yaitu hewan coba yang diinduksi cisplatin dosis tunggal, lalu di beri suspensi ekstrak tapak liman dengan dosis 350 mg/ 200 gr BB setelah 4 (empat) hari penginduksian cisplatin.

- Kelompok 6, kelompok dosis III, yaitu hewan coba yang diinduksi cisplatin dosis tunggal, lalu di beri suspensi ekstrak tapak liman dengan dosis 700 mg/ 200 gr BB setelah 4 (empat) hari penginduksian cisplatin.

Pengambilan darah tikus putih

(16)

kirim ke laboratorium untuk mengukur kadar asam urat dan kreatinin darahnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penginduksian cisplatin terlihat hari ke-2 setelah penginduksian. Seluruh hewan coba yang diinduksi terlihat lemah, kurang nafsu makan dan terdapat lingkar merah pada sekitar mata tikus yang merupakan efek samping dari cisplatin tersebut. Hal ini dapat dijelaskan pada gambar 1 yaitu :

Tubular renal

Adapun rata-rata hasil pengukuran kadar asam urat dan kreatinin darah tikus dapat dilihat dalam tabel 1 yaitu sebagai berikut :

Klp

Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran kadar asam urat dan kreatinin darah tikus putih.

1. Kadar asam urat

Berdasarkan hasil uji statistik one way ANOVA kadar asam urat darah tikus putih

betina hari ke 10 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok tikus putih yang diberi suspensi ekstrak tapak liman yaitu kelompok dosis I (dosis ekstrak 175 mg/20 gr BB), kelompok dosis II (dosis ekstrak 350 mg/200 gr BB), kelompok dosis III (dosis ekstrak 700 mg/ 200 gr BB) dan kelompok kontrol positif (suspensi Allopurinol 0,9 mg/ 200 gr BB) terhadap hewan coba kelompok kontrol negatif yang diinduksi cisplatin sebanyak 1,2 mg / 200 gr BB dan kelompok normal yang hanya diberi makan dan minum.

P e m b e r i a n e k s t r a k t a p a k l i m a n (Elephantopus scaber) diharapkan dapat meningkatkan efek dalam menurunkan kadar asam urat dan kreatinin. Tapak liman mengandung senyawa flavonoid yang bersifat antioksidan menghambat kerja reaksi superoksida sehingga pembentukan asam urat bisa di hambat atau dikurangi (Sandjaya, 2014) penetapan dosis ekstrak Tapak liman ditetapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Arief (2009) yaitu dosis 350 mg/ 200gr BB yang berpotensi memberi efek dalam menurunkan kadar asam urat pada tikus.. Rata-rata kadar asam urat pada kelompok negatif adalah 1,470 mg/dL, tetapi dengan pemberian ekstrak dosis III dapat meningkatkan kadar asam urat dengan rata-rata menjadi 1,745 mg/dL. Hal ini dimungkinkan karena adanya senyawa antioksidan dari ekstrak yang dapat memperbaiki fungsi ginjal yang rusak.

Kerusakan tubular disarankan sebagai faktor patogen utama dalam induksi cisplatin y a n g m e n y e b a b k a n n e p r o t o k s i s i t a s . Konsentrasi tinggi dari cisplatin pada ginjal tercapai di tubulus proksimal, sehingga cisplatin menyebabkan toksisitas ginjal, kerusakan tubular dan kematian sel (Kim et al, 2013) studi eksperimental menyatakan kemungkinan yang dapat menyebakan konsentrasi tinggi dari asam urat itu sendiri disebabkan oleh gangguan ginjal tanpa adanya Ridha Sharlya Triana dan Sonlimar Mangunsong. Efek Ekstrak Tanaman Tapak Liman (elephantopus Scaber L)

(17)

deposisi kristal asam urat. Eksperimen dengan menggunakan hewan coba menyebutkan bahwa, hiperusrisemia diperoleh melalui penghambatan uricase dan dapat menyebabkan gangguan ginjal itu sendiri maupun mempercepat adanya disfungsi ginjal ( Desideri et al, 2014)

Kadar asam urat normal bagi wanita adalah

2,6 -6,0 mg/ dL (Bishop et al, 1996), hal ini bisa dilihat secara kasat mata melalui tabel 1 kadar asam urat rata-rata dari hewan coba setiap kelompok tidak jauh berbeda dari normal. Sehingga menyebabkan hasil data statistik menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna kadar asam urat pada kelompok kontrol negatif dengan kelompok pembanding.

Gambar2. grafik Rata-rata kadar asam urat dalam darah tikus

0 1,000 2,000 3,000

normal negatif positif dosis I dosis II dosis III

Asam urat

Asam urat

2.

Kadar Kreatinin darah

Pengukuran kadar kreatinin pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan ginjal yang terjadi akibat induksi cisplatin. Kadar normal kreatinin darah pada pria adalah 0,6 – 1,2 mg/ dL sedangkan wanita adalah 0,5- 1,1 mg/dL (Bishop et al, 1996).

Berdasarkan hasil uji statistik One Way Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol negatif yang hanya diberi cisplatin dengan kelompok pembanding lainnya yaitu kelompok normal, kelompok dosis dan kelompok kontrol positif. hal ini dapat di buktikan dari data hasil pengkuruan tabel 1 dimana rata-rata kadar kreatinin pada kelompok kontrol negatif adalah 4,790 mg/dL yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal yang rata-rata kadar kreatininnya adalah 0,245 mg/ dL sehingga memberikan perbedaan yang bermakna. Begitu pula rata-rata kadar kreatinin darah pada kelompok kontrol positif yakni 0,730 mg/dL yang menunjukkan adanya

penurunan kadar kreatinin dengan kelompok kontrol negatif. Sama halnya dengan kelompok dosis yang memiliki rata-rata kadar kreatinin yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.

Dengan adanya hasil dari tabel 1, dapat dilihat pada kelompok negatif terjadi peningkatan kadar kreatinin yang menunjukkan bahwa penginduksian cisplatin dapat meningkatkan kerusakan ginjal. Fenomena patofisiologi dari kerusakan ginjal karena induksi cisplatin meliputi induksi sequential dari vasokonstriksi ginjal, penurunan laju filtasi glomerulus, dan peningkatan serum kreatinin. Mekanisme neprotoksisitas akibat induksi cisplatin yang kompleks dan melibatkan berbagai hal seperti oksidatif stres, apoptosis dan inflamasi. Induksi cisplatin yang membangkitkan ROS secara langsung berkaitan dengan sitotoksisitasnya. (Oh, Gi-Su et al, 2014)

(18)

khelator besi, dismutasi superoksida dan sebagainya. ROS langsung menargetkan komponen lipid dari membran sel yang menyebakan peroksidasi dan denaturasi protein, yang akhirnya menyebabkan inaktivasi enzimatik. ROS diproduksi oleh sistem pembentukan senyawa xantin- xantin oksidase, mitokondria, dan oksidasi NADPH dalam sel. Setelah pengobatan dengan cisplatin, ROS di produksi oleh semua sistem tersebut dan terlibat dalam patogenesis kerusakan ginjal akut. Cisplatin juga meningkatkan produksi peroksinitrit dan nitrit oksidasi pada jaringan ginjal tikus ( Oh, Gi-Su, 2014)

Bila kadar kreatinin kelompok negatif di bandingkan dengan kelompok positif yang diberi Allopurinol, ada perbedaan yang bermakna menurut uji statistik (p<0,05) berupa penurunan kadar kreatinin pada kelompok positif. Pemilihan obat Allopurinol sebagai kontrol pembanding dilakukan karena daya antioksidan dari Allopurinol tersebut yang dapat menurunkan kadar asam urat ( Mazali et al, 2011). Menurut Oh et al (2014), kombinasi dengan menggunakan Allopurinol dapat mengurangi neprotoksisitas dan ototoksisitas cisplatin. Allopurinol merupakan senyawa penghambat xantin oksidase sehingga berpotensial untuk mengurangi peningkatan ROS .

Dari hasil uji statistik juga menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) berupa penurunan kadar kreatinin darah pada

hewan coba kelompok negatif dengan kelompok dosis. Hal ini dikarenakan, pemberian suspensi ektrak yang memilki senyawa aktif antioksidan Flavonoid 7-glukoside dari tanaman tapak liman tersebut.flavonoid berada di sel mesofil nukleus dalam pusat pembangkitan ROS. Konfigurasi, subtitusi, dan total jumlah dari grup hidroksil mempengaruhi beberapa mekanisme dari aktivitas antioksidan seperti penumpukan radikal, kemampuan khelasi ion metal. Mekanisme aksi antioksidan adalah mensupresi formasi ROS dengan menghambat enzim atau mengkhelasi jejak element yang meningkatkan radikal bebas, penumpukan ROS dan peningkatan regulasi atau perlindungan pertahanan antioksidan. Sehingga kerusakan ginjal dapat di kurangi dan terjadi penurunan kadar kreatinin. (Kumar and Pandey, 2013)

Pada penelitian ini, penginduksian cisplatin pada kelompok negatif terjadi peningkatan sebesar 4,790 mg/ dL yang jauh dari kadar kelompok normal dengan rata-rata hanya 0,245 mg/ dL, adapun kelompok positif dengan rata-rata kadar kreatinin 0,730 mg/ dL, kelompok dosis I yaitu 0, 563 mg/ dL, kelompok dosis II 0,460 mg/ dL, dan kelompok dosis III yaitu 0, 475 mg/ dL. Berdasarkan hasil diatas ekstrak kental tapak liman (Elephantopus scaber) terbukti dapat mengurangi kerusakan ginjal akut akibat induksi ciplatin, namun tidak cukup mampu menurunkan kadar asam urat tikus putih.

0.000 5.000 10.000

normal negatif positif dosis I dosis II dosis III

kreatinin

kreatinin Gambar 2 Grafik Rata-rata kadar kreatinin dalam darah tikus

(19)

KESIMPULAN

1. Ekstrak tapak liman (Elephantopus scaber) tidak mampu menurunkan kadar asam urat tikus putih. Namun, terbuti sebagai nefroprotektor terhadap ginjal tikus yang rusak karena dapat menurunkan kadar kreatinin darah tikus.

2. Ekstrak tapak liman (Elephantopus scaber) mampu menurunkan kadar kreatinin tikus putih pada dosis tinggi 700 mg/ 200 gr BB.

SARAN

1. Tanaman tapak liman dapat dijadikan sebagai obat alternatif obat tradisional bagi penderita neprotoksisitas.

2. Perlu dilakukan penelitian ulang dengan kelompok pemberian ekstrak dilakukan diawal penelitian sebelum diinduksi cisplatin.

3. Perlu dilakukan uji toksisitas terhadap toksisitas tapak liman.

DAFTAR PUSTAKA

Azter, Abdul Arief. 2009. Uji Efek Ekstrak E t h a n o l H e r b a T a p a k L i m a n (Elephantopus Scaber L) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Darah Tikus Putih Jantan Yan Diinduksi Kafeina.

Skripsi.FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Bishop, Michael L., Janet L., Duben- Engelkirk., Edward P. Fody.1996. Clinical Chemistry Principies, Procedures, Correlations Third Edition.Philadeppia.

Desideri, G., G. Castaldo ., A. Lombardi., M. Musspas., A. Testa., R. Pontremoli., L. Punzi. C. Borghi., 2014. European Review for Medical and Pharmalogical Science : Is

it time to revise the normal range of serum uric acid levels ?.

Irianto, Kus. 2014. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia. Yramawidya. Bandung. 229, 224

,225

Katzung, BC. 2002. Farmakologi Dasar Dan Klinis. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

473

Kim, hyun-Jung., Dong Jun Park., Jin Hyun Kim., Eun Young Jeong., Myeong Hee Jung., Tae-Ho Kim., Jung Ill Yang., Gyeong-Won Lee., Hye Jin Chung., Se-Ho Chang., 2015. Glutamine protects against cisplatin-induced nephrotoxicity by decreasing cisplatin accumulation.

Journal of Pharmacological Science. Kumar, Shashank and Abhay K. Pandey. 2013.

Chemistry and Biological Activities of Flavonoids : An overview (Review Article).

Departement of Biochemistry. India. Mazali, Fernanda Cristina., Richard J.

Johnson., Marilda Mazali., 2011. Use of Urid Aci- Lowering Agents Limits Experimental Cyclosporine Nephropathy.

USA

Oh, Gi-Su., Ph D., Hyung Jin Kim., Ph.D., Aihua Shen., M.S., Su Bin Lee., B.S., Dipendra Khadka., B.S., Hong-Seob, Ph.D. 2014. Review: Cisplatin-induced Kidney Dysfunction and perspectives on Improving Treatment Strategies.

Pabla, N and Dong Z. 2008. Review : cisplatin nephrotoxicity : Mechanisms and Renoprotective strategies.

Sandjaya, Herman. 2014. Buku Sakti Pencegah & Penangkal Asam Urat. Mantra Books.

(20)

PENETAPAN KADAR VITAMIN C PADA ANGGUR (Vitis vinifera L.)

DENGAN METODE 2,6-DIKLOROFENOL INDOFENOL

1) 2)

Ika Yuliana , Subiyandono

1) Alumni DIII Farmasi POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

2)

Dosen Jurusan Farmasi POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

ABSTRAK

Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Vitamin C diperlukan oleh tubuh untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh dan tidak diproduksi oleh tubuh sehingga harus didatangkan dari luar. Sebagian besar buah-buahan merupakan sumber utama vitamin C salah satunya yaitu buah anggur. Sedangkan kadar vitamin C sangat dipengaruhi oleh varietas, lingkungan, tempat tumbuh, suhu penyimpanan, tingkat kematangan buah dan sebagainya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar vitamin C pada buah anggur hijau.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan objek penelitian yaitu, anggur hijau yang baru dibeli, disimpan dalam suhu dingin dan disimpan dalam suhu kamar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin C pada anggur yang baru dibeli sebesar 12,38 mg/100 gr, anggur disimpan dalam suhu dingin sebesar 11,08 mg/100 gr dan anggur disimpan dalam suhu kamar sebesar 8,28 mg/100 gr

Kadar vitamin C pada anggur hijau yang disimpan dalam suhu kamar lebih rendah daripada anggur yang baru dibeli dan disimpan dalam suhu dingin. Hal ini terjadi karena vitamin C mudah teroksidasi dan tidak stabil diudara.

A. Latar Belakang

Penyakit skorbut atau scurvy, sementara ini jarang ditemui, tetapi masih terjadi di negara-negara maju meskipun ketersediaan vitamin dan makanan yang bergizi sudah sangat luas. Prevalensi kekurangan vitamin C mencapai 10 sampai 14% pada orang dewasa yang dilaporkan dalam National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 1994. Dan kami telah melaporkan kasus laki-laki berumur 57 tahun mengalami defisiensi vitamin C (scurvy) dan defisiensi seng akibat diet (Velandia, dkk, 2008).

Kekurangan asam askorbat dalam diet mengakibatkan sebuah kondisi yang disebut sebagai skorbut yang dicirikan dengan penguraian mekanis dari kolagen, melemahnya ligamen, dan terbukanya kembali luka dan goresan, pendarahan dibawah kulit dan dalam jaringan lain, dan gusi yang bengkak dan berongga yang menyebabkan gigi goyang atau rontok. Skorbut pada bayi menyebabkan tubuh bagian bawah melunak dan nyeri bersamaan dengan perubahan struktur tulang yang tidak ditemukan pada skurvi orang dewasa (Lean, 2013).

Penelitian tentang defisiensi vitamin C selama Perang Dunia II oleh Krebs di Inggris dan oleh Hodges dkk (1997) di Amerika Serikat, bahwa tanda-tanda pertama penyakit skorbut akan tampak 2-3 bulan setelah asupan vitamin C-nya 0. Kedua penelitian tersebut menemukan bahwa pemberian 10 mg asam askorbat sudah cukup untuk mencegah timbulnya manifestasi klinik penyakit skorbut (Mann dan Truswell, 2014).

Vitamin C juga dikenal sebagai asam askorbat. Vitamin C dapat ditemukan di alam hampir pada semua tumbuhan terutama sayuran dan buah-buahan (Budiyanto, 2004). Sebagian besar buah-buahan merupakan sumber utama asam askorbat (Lean,2013). Buah-buahan merupakan salah satu bahan makanan berserat yang dianjurkan untuk dikonsumsi, minimal 300 g - 400 g per kapita per hari. Salah satu buah berserat yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah anggur. Tiap orang menggemari buah anggur karena rasanya enak, manis, segar dan mengandung gizi tinggi, terutama vitamin C dan vitamin A (Rukmana, 1999).

(21)

vitamin C 10,8 mg/100 g. Sedangkan kadar vitamin C sangat dipengaruhi oleh varietas, lingkungan, tempat tumbuh, pemakaian berbagai jenis pupuk, tingkat kematangan buah dan sebagainya (Winarno, 1980).

Menurut Fatah dan Mursyidi, (1982) penetapan kadar vitamin C dapat dilakukan dengan berbagai metode. Tapi dalam menggunakan metode tersebut harus dipilih agar dapat menghasilkan nilai kadar yang lebih baik. Menurut Andarwulan dan Koswara, (1992) metode 2,6-diklorofenol indofenol dapat menentukan jumlah vitamin C dalam buah-buahan dan sayur-sayuran dengan ketepatan yang tinggi.

Telah dilakukan penelitian penetapan kadar vitamin C dengan metode 2,6-diklrofenol indofenol oleh beberapa peneliti. Beberapa peneliti tersebut adalah Ermawati (2011), melakukan penetapan kadar vitamin C pada daun katuk segar yang mengandung kadar vitamin C sebesar 14,41 ± 0,07 mg/100 gr, Yuliana, (2011) pada buah melon Rock mengandung vitamin C sebesar 30,93 mg/100 g, Lubis, (2012) pada buah mangga golek mengandung kadar vitamin C sebesar 21,97 ± 0,45 mg/100 mg dan Mahlizar, (2014) pada buah nanas yang disimpan pada suhu dingin (50C) mengandung kadar vitamin C sebesar 22,06933 mg/100 gr.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penetapan kadar vitamin C yang terdapat pada buah anggur hijau yang baru dibeli, yang disimpan pada suhu dingin (5C) dan suhu kamar (25C) selama satu minggu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kadar vitamin C dari ketiga buah anggur yang di dapat di kota Palembang tersebut dengan menggunakan metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol karena menurut Andarwulan, (1992) selain larutan 2,6-diklorofenol indofenol lebih selektif terhadap vitamin C, metode ini merupakan cara yang

paling banyak digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam bahan pangan.

B. Perumusan Masalah

1. Berapakah kadar vitamin C pada buah anggur hijau yang baru dibeli, yang disimpan pada suhu dingin (5C) dan suhu kamar (25C), selama satu minggu?

2. Berapakah perbedaan kadar vitamin C yang terdapat pada buah anggur merah yang baru dibeli, yang disimpan pada suhu dingin (5C) dan suhu kamar (25C), selama satu minggu?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mengukur kadar vitamin C pada buah anggur (Vitis vinifera L.) dengan metode 2,6-diklorofenol indofenol. 2. Tujuan Khusus

a. Mengukur kadar vitamin C pada buah anggur hijau yang baru dibeli, yang disimpan pada suhu dingin (5C) dan suhu kamar (25C) selama satu minggu.

b. Mengukur perbedaan kadar vitamin C pada buah anggur merah yang baru dibeli, yang disimpan pada suhu dingin (5C) dan suhu kamar (25C), selama satu minggu.

D. Alat dan Bahan 1. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah: a. Blender, neraca gram kasar, neraca

analitik, kertas perkamen, kertas saring, Alumunium foil

b. Labu ukur (pyrex) = 50 ml, 250 ml c. Erlenmeyer(pyrex) = 100 ml, 500 ml d. Corong (pyrex) = diameter 40 mm e. Buret = 25 ml

(22)

h. Gelas ukur (pyrex) = 10 ml i. Beaker gelas (pyrex) = 100 ml 2. Bahan

a. Asam oksalat = 20 gr b. Asam askorbat = 100 mg c. Natrium bikarnonat = 82 mg d. Natrium 2,6 - diklorofenol indofenol

= 100 mg

e. Anggur hijau baru dibeli = 100 gr f. Anggur hijau yang disimpan pada

a. Timbang ± 10 gram oksalat dengan timbangan gram kasar, masukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml dan larutkan dengan air secukupnya. b. Setelah larut, tambahkan air sampai

tanda.

2. Pembuatan 50 ml Larutan Vitamin C Standar (Ditjen POM 1995)

a. Timbang saksama 50 mg asam askorbat dineraca analitik lalu masukkan ke dalam labu ukur 50 ml, larutkan dengan asam oksalat 2% secukupnya.

b. Setelah larut, tambahkan asam oksalat 2% sampai tanda.

3. Pembuatan 200 ml larutan 2,6 - Diklorofenol Indofenol (Ditjen POM,1995)

a. Timbang saksama 42 mg natrium bikarbonat, masukkan ke dalam labu erlenmeyer.

b. Tuangkan 50 ml air ke dalam labu erlenmeyer, lalu kocok sampai larut (larutkan natrium bikarbonat).

e. Setelah larut, tambahkan air sampai tanda lalu saring larutan ke dalam erlenmeyer bertutup dan dilapisi alumunium foil.

4. Pembakuan larutan 2,6-Diklorofenol Indofenol (Ditjen POM, 1995)

a. Pipet 2 ml larutan vitamin C, pindahkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml asam oksalat 2%. b. Titrasi dengan larutan

2,6-diklorofenol indofenol hingga warna merah muda mantap yang bertahan 5 detik dan ulangi titrasi sampai 3 kali. 5. Penetapan Blanko (Ditjen POM, 1995) a. Isi erlenmeyer 100 ml dengan 2 ml

air, tambahkan 5 ml asam oksalat 2%.

b. Ti t r a s i d e n g a n l a r u t a n 2 , 6 diklorofenol indofenol hingga warna merah muda mantap yang bertahan 5 detik dan ulangi titrasi sampai 3 kali. 6. Persiapan Sampel (AOAC,2002)

d. Encerkan dengan penambahan asam oksalat 2% sampai tanda. Kocok kuat. Saring dengan kertas saring dan filtrat pertama dibuang ± 20 ml,tampung filtratnya dalam labu ukur 100 ml.

7. Analisa kadar Vitamin C (Ditjen POM, 1995)

a. Pipet 2 ml filtrat dan masukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml.

b. Tambahkan asam oksalat 2%.

(23)

c. Titrasi dengan larutan 2,6-diklorofenol indofenol hingga warna merah muda mantap yang bertahan 5 detik, ulangi titrasi sampai 3 kali 8. Perhitungan

a. Perhitungan Kesetaraan Pentiter 2,6-Diklorofenol Indofenol

Kadar larutan baku 2,6-diklorofenol indofenol dinyatakan dengan kesetaraan dalam mg asam askorbat (Ditjen POM, 1995).

Perhitungan kesetaraan dilakukan dengan rumus:

b. Perhitungan penetapan kadar vitamin C

Menurut AOAC (2002), kadar vitamin C dapat dihitung dengan Keterangan:

Va = Volume aliquot (ml) W = Berat vitamin C (mg) Vt = Volume titrasi (ml) Vb = Volume blanko (ml) Vc = Volume labu tentukur (ml)

rumus:

F. Variabel

1. Variabel Bebas (Independent Variabel) Variabel bebas adalah buah anggur hijau (Vitis vinifera L.)

2. Variabel Terikat (Dependent Variabel) Variabel terikat adalah kadar Vitamin C.

G. Hasil

Berikut hasil yang didapat dari pengukuran kadar vitamin C yang terkandung dalam buah anggur hijau yang baru dibeli, anggur hijau yang disimpan pada suhu dingin (5°C) dan anggur hijau yang disimpan pada suhu kamar (25°C) selama satu minggu dengan menggunakan metode 2,6 Diklorofenol Indofenol dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Hasil Penetapan Kadar Vitamin C pada Buah Anggur yang Baru Dibeli

Penimbanga n

Ke-Berat Sampel (gram)

Volume Titrasi Rata-rata

(ml)

Kadar Vitamin C dalam mg/100 gr Anggur Hijau

1 25,0923 0,63 12,28

2 25,0513 0,6 11,70

3 25,0945 0,66 13,08

Kadar Vitamin C rata-rata 12,38

Keterangan:

Vt : Volume titrasi (ml) Vb : Volume blanko (ml) Vl : Volume labu tentukur (ml) Vp : Volume pemipetan (ml) Bs : Berat sampel (g)

Tabel 4. Hasil Penetapan Kadar Vitamin C dalam Buah Anggur Hijau yang Disimpan pada Suhu Dingin (5°C) Selama Satu Minggu

Penimbangan

Ke-Berat Sampel (gram)

Volume Titrasi Rata-rata (ml)

Kadar Vitamin C dalam mg/100 gr Anggur Hijau

1 25,0221 0,6 11,73

2 25,1035 0,56 10,76

3 25,0978 0,56 10,76

(24)

Tabel 5. Hasil Penetapan Kadar Vitamin C dalam Buah Anggur Hijau yang Disimpan

Kadar Vitamin C dalam mg/100 gr Anggur Hijau

1 25,0571 0,4 7,03

2 25,0650 0,46 8,43

3 25,0429 0,5 9,38

Kadar Vitamin C rata-rata 8,28

H. Pembahasan

Dalam penelitian ini, dilakukan penetapan kadar vitamin C pada buah Anggur Hijau yang baru di beli, anggur hijau yang disimpan pada suhu dingin (5°C) selama satu minggu dan anggur yang disimpan pada suhu kamar (25°C) selama satu minggu dengan menggunakan metode 2,6 diklorofenol indofenol. Anggur hijau yang diteliti dalam penelitian ini adalah anggur hijau dalam 1 tangkai yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pertama langsung dilakukan penetapan, sedangkan 2 bagian lainnya di simpan pada suhu dingin (5°C) selama satu minggu dan anggur yang disimpan pada suhu kamar (25°C) selama satu minggu.

Ada dua metode titrasi yang dapat digunakan untuk melakukan penetapan kadar vitamin C pada bahan pangan yaitu metode titrasi iodimetri dan metode titrasi 2,6 diklorofenol indofenol. Pada dasarnya, kedua metode ini memiliki proses pengerjaan yang sama yaitu dengan mentitrasi larutan sampel dengan menggunakan buret. Perbedaannya yaitu pada penentuan titik akhirnya, jika pada metode titrasi secara iodimetri, titik akhir ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi warna biru setelah penambahan indikator amilum. Sedangkan pada metode titrasi 2,6 diklorofenol indofenol, titik akhirnya ditandai dengan adanya perubahan warna larutan menjadi warna merah muda.

Penggunaan metode yang digunakan dalam penetapan kadar dapat mempengaruhi keakuratan dalam pengujian kadar vitamin C.

Metode titrasi 2,6 diklorofenol indofenol merupakan metode penetapan kadar yang lebih akurat jika dibandingkan dengan metode titrasi iodimetri. Selain itu, menggunakan metode 2,6 diklorofenol indofenol lebih baik dibandingkan dengan metode iodimetri karena zat pereduksi lain tidak mengganggu dalam penetapan kadar vitamin C dan metode titrasi 2,6 diklorofenol indofenol ini merupakan metode yang hanya digunakan khusus untuk penetapan kadar vitamin C.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian penetapan kadar vitamin C pada buah anggur dengan metode 2,6 diklorofenol indofenol menunjukkan bahwa anggur hijau yang baru dibeli memiliki kadar vitamin C sebesar 12, 38 mg/100 gr, anggur yang disimpan pada suhu dingin (5°C) selama satu minggu sebesar 11,8 mg/100 gr dan anggur yang disimpan pada suhu kamar (25°C) sebesar 8,28 mg/100 gr.

Hal ini menunjukkan bahwa kadar vitamin C yang baru dibeli dalam penelitian ini berbeda dengan kadar vitamin C menurut USDA National Nutrient Database, (2012) dimana nilai nutrisi anggur pada vitamin C sebesar 10,8 mg/100 gr. Kemungkinan hal ini terjadi dikarenakan varietas anggur berbeda dengan varietas anggur yang digunakan oleh USDA National Nutrient Database. Selain itu juga metode yang digunakan dalam penetapan kadarnya berbeda dengan metode penetapan kadar dalam penelitian ini. Menurut Winarno (1980) kadar vitamin C sangat dipengaruhi oleh varietas, lingkungan, tempat tumbuh, Ika Yuliana, Subiyandono. Penetapan Kadar Vitamin C Pada Anggur (vitis Vinifera L.)

(25)

pemakaian berbagai jenis pupuk, tingkat kematangan buah dan sebagainya.

Penyimpanan buah pada suhu dingin dapat memperpanjang kesegaran buah, menekan respirasi, merendahkan kepekaan terhadap jasad renik dan mengurangi kehilangan air Satuhu (1994). Dari hasil penelitian juga dapat diketahui bahwa buah anggur yang disimpan pada suhu dingin (5°C) penurunan kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan kadar vitamin C anggur hijau yang di simpan pada suhu kamar (25°C). Diduga hal ini disebabkan mungkin pada suhu dingin (5°C) dapat menghambat oksidasi dan aktivitas enzim askorbat oksidase.

Menurut Kanner (2000) aktivitas enzim askorbat oksidase ini memiliki suhu aktivitas optimal antara 30-40°C. Hal ini terbukti dengan lebih tingginya nilai organoleptik atau kesegaran anggur hijau yang disimpan pada alat pendingin dibandingkan dengan anggur hijau yang disimpan pada suhu kamar. Karena itu, menunjukkan bahwa suhu memiliki peranan yang cukup besar dalam mempertahankan stabilitas vitamin C pada buah-buahan.

Terjadi penurunan yang lebih banyak dalam anggur hijau yang disimpan pada suhu kamar (25°C) yaitu mengalami penurunan kadar vitamin C sebesar 2,8 mg. Hal ini terjadi, kemungkinan karena anggur hijau yang disimpan pada suhu kamar (25°C) terjadi oksidasi vitamin C yang lebih cepat dibadingkan dengan anggur hijau yang disimpan pada suhu dingin (5°C).

Penyimpanan buah anggur hijau yang disimpan pada suhu dingin (5°C) dan anggur hijau yang disimpan pada suhu kamar (25°C) sama-sama mengalami penurunan kadar, namun penyimpanan anggur hijau pada suhu dingin penurunan kadarnya proses oksidasinya lebih lambat dari pada anggur hijau pada suhu kamar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan kadar vitamin C yang besar

dikarenakan semakin tinggi suhu penyimpanan maka penurunan kadar vitamin C semakin besar.

I. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

a. Kadar vitamin C pada anggur hijau mengalami penurunan kadar saat penyimpanan, dimana kadar anggur hijau yang baru dibeli sebesar 12,38 mg/100 gr, anggur yang disimpan pada suhu dingin (5°C) selama satu minggu sebesar 11,08 mg/100 gr dan anggur yang disimpan dalam suhu kamar (25°C) selama satu minggu sebesar 8,28 mg/100 gr.

b. Terdapat perbedaan kadar vitamin C pada anggur hijau yang baru dibeli, anggur yang di simpan dalam suhu dingin (5°C) dan anggur yang disimpan dalam suhu kamar (25°C).

2. Saran

Penulis menyarankan dilakukan penelitian terhadap kadar vitamin C pada tanaman berbeda dan menggunakan metode yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, N., dan Koswara, S. (1992).

Kimia Vitamin. Rajawali Press, Jakarta,

Indonesia, hal. 32 – 35.

Anwar, Faisal dan Khomsan, Ali.(2009).

Makan Tepat, Hidup Sehat. PT. Mizan

Publika, Jakarta, Indonesia, hal. 90-92. Auterhoff, H. dan Kovar, K.A. 1987.

Identifikasi obat terbitan keempat.

Terjemahan oleh: Sugiarso, N.C., ITB,Bandung, Indonesia, hal 124.

Cakrawati, Dewi dan NH, Mustika.(2012).

Bahan Pangan, Gizi, dan Kesehatan.

Alfabeta, Bandung, Indonesia, hal. 118-121.

CAN (Cosa Aranda Network), 2010. Khasiat buah anggur. (https://khasiatbuah.

Gambar

Tabel 2. Daftar Nama Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir  Tahun 2014
Tabel 3. Waktu Kadaluarsa dari Obat yang Mengalami Kadaluarsa Tahun 2014
Tabel 4. Daftar Jumlah Biaya Obat Kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2014
Grafik 2.   Jumlah biaya obat kadaluarsa di Puskesmas Kabupaten Ogan Ilir  tahun 2014 berdasarkan bentuk sediaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang di Jawa Timur pada triwulan III tahun 2014 yang mengalami kontraksi sebesar 2,60 persen, maka

Penulis pun menyadari bahwa proses yang panjang ini terasa lebih berat untuk dilalui tanpa adanya dukungan dari orang – orang hebat yang senantiasa mendukung penulis

Berdasarkan hasil Pembukaan dan Evaluasi Data Kualifikasi, Pokja ULP menyatakan Seleksi Gagal karena sampai dengan batas akhir pendaftaran, pengambilan dan

Bab VII Petunjuk Pengisian Data Kualifikasi; cukup jelas tidak ada perubahan Bab VIII Tata cara Evaluasi Kualifikasi; cukup jelas tidak ada perubahan Bab IX Bentuk Dokumen

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Asahan Tahun

A late meal can cause gall bladder pain during the night and many people with acute forms of gall bladder disease (acute cholecystitis) have problems sleeping due to pain

[r]

Dari hasil analisis lembar validasi rancangan pembelajaran persentase penilaian validator 89% menunjukan bahwa e-learning sebagai bahan ajar sangat valid nampak pada