Nikolaus Driyakara: Demokrasi dari Perspektif Humanisme
Nikolaus Driyakara, salah satu filsuf kenamaan Indonesia yang berasal dari Purwerejo, lahir pada 13 Juni 1913 telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Namanya juga didedikasikan pada sebuah sekolah filsafat yang bertempat di Jakarta, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, beliau juga pernah menjabat sebagai rector di IKIP Sanata Dharma sebagai rector yang pertama. Namun, beliau baru dikenal oleh masyarakat pada tahun 1951 yang bersamaan dengan terbitnya majalah Basis melalui tulisannya yang termuat didalamnya. Karya-karyanya selalu memiliki nafas humanisme, karena yang dibahas sering mengenai permasalahan-permasalahan aktual masyarakat kala itu. Perspektif humanis dan warna filosofis seolah melekat dalam karya-karyanya. Hal ini mungkin karena beliau pernah mengenyam pendidikan di Seminari Tinggi yang dapat kita lihat pada gelarnya sebagai pastor.
Mudji Sutrisno sebagai salah satu staf pengajar di STF Driyakara, pernah menuliskan tentang jejak-jejak pemikirannya dalam sebuah surat kabar nasional. Jejak pemikirannya yang pertama yaitu tentang konsep Filsafat Manusia, dimana dunia ini digambarkan sifatnya “manusia-sentris”—manusia yang mengolah apa yang ada di dunia menjadi miliknya melalui budaya. Selanjutnya, menurut hemat beliau, hal ini seharusnya menjadi dasar dalam penataan negara, mengingat kala itu kondisi negara kita masih labil, melalui argument Mudji Sutrisno yaitu “…Manusia menata dan memanusiawikan sistem penggunaan kekuasaan untuk hidup bersama dalam sebuah negara”.
Perkembangan dari pemikiran tersebut adalah ‘filosofi hidup bersama’ yang dipandang beliau sebagai sosialitas, yaitu keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama-sama dengan sesamanya manusia dan membentuk suatu realitas sosial. Disini sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Driyakara adalah keharmonisan yang terbentuk melalui penciptaan tata hidup bersama yang berimbas pada kesejahteraan dalam sistem sosial. Sesama juga diperlakukan sebagai rekan, dengan maksud saling memahami keanekaragaman etnik, watak dan agama, sesuai dengan semboyan Indonesia yaitu “Bhinneka Tunggal Ika,”. Driyakarya secara filosofis menjelaskan, semua ini dilakukan untuk mencapai pusat kebahagiaan hidup manusia disini dan nanti, yaitu dengan Tuhan Yang Maha-Kuasa. Dari argumen tersebut terlihat bahwa Driyakara juga seseorang yang sosialis, karena yang ingin dicapai adalah kepentingan dan keharmonisan secara sosial, namun tanpa melupakan religiusitas, sebab yang sering dipahami oleh masyarakat umum, kaum sosialis adalah komunis, padahal Driyakara ini adalah seorang pastor yang tentunya religius dengan perannya sebagai pemuka agama.
Selanjutnya, apa yang bisa kita dapat dari dua pemikiran Driyakarya tersebut? Menurut saya sebenarnya pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal demokrasi di Indonesia. Semangat Driyakara untuk mewujudkan demokrasi cukup besar dengan pemikirannya tentang harmonisasi kehidupan sosial dan manusia sendiri sebagai pengatur. Melalui tesisnya juga, beliau melawan otoriterisasi yang kala itu sedang cukup kuat pengaruhnya di Indonesia.
tanggung-tanggung untuk melakukan aksi tersebut, sekarang sangat mudah kita temui berita tentang demonstrasi di televisi, dengan kepentingan masing-masing kelompok mendapatkan hak-haknya.
Semangat Driyakara untuk mencapai kehidupan harmonis antar sesama manusia dalam kehidupan bernegara dengan memusatkan masyarakat sebagai pengatur kekuasaan pun sudah sangat berubah melalui bukti aksi-aksi demonstrasi yang sering ditemui. Kemudian disini seharusnya semangat-semangat Driyakara ini harus kembali digalakkan, sebab pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang sangat penting karena yang ingin dicapai adalah kepentingan secara sosial sebagai suatu inti dalam hidup manusia tanpa melupakan hal-hal relijius. Maka, yang selanjutnya berperan adalah mahasiswa sebagai generasi masa depan yang 5 sampai 10 tahun kedepan akan menjadi orang-orang yang mampu mengatur bangsa ini.