• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosiologi Kriminalitas Sosiologi Kriminalitas Sosiologi Kriminalitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan " Sosiologi Kriminalitas Sosiologi Kriminalitas Sosiologi Kriminalitas"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

Sosiologi Kriminalitas

Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri

terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi

keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.

Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak.

Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di

masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.

Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal , atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.

(2)

dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.

Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam

pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak dan remaja. Perilaku anak-anak dan remaja ini menunjukkan

tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.

Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru

menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan itu antara lain adalah :

1.Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan. 2.Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.

3.Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi manja dan lemah mentalnya.

4.Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.

5.Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal. 6.Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.

Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat

ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak

pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara

(3)

tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai faktor dapat dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda

dengan seseorang anak atau pun dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak dan remaja yang jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu.

Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak dan remaja sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial

masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku jahat anak-anak dan remaja perlu segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun dewasa

2. Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kriminalitas 3. Dampak dari kriminalitas

4. Solusi dari kriminaliatas Bab II

Kriminalitas

A. Definisi Kriminalitas

Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu

kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.

Arti hukum menurut Immanuel Kant sendiri yaitu : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya

Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)

(4)

merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan :

-Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang

mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal. -Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau

tingkah laku manusia yang melanggar undang-undang atau

ketentuan yang berlaku dan diakui dapat dipidana secara legal,dan diatur dalam hukum pidana.

-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap

kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti

sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan

-Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang

melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.

(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).

Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat

relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and

Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.) We have seen that the concept of crime is highly relative in

(5)

group (place) and from context to (situation).

Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni,

Bandung, 1979,hlm.67.)

Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.

I. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya

Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat. Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.

Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan

bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).

Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti

penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar pada ketentuan hokum.

(6)

1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat).

2. Penjahat karena kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat).

3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa ; penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.

Pembagian menurut Seelig :

1. Penjahat karena segan bekerja.

2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.

3. Penjahat karena nafsu menyarang.

4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks. 5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan

6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive. 7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.

8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.

9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1 s/d 8 )

Pembagian menurut Capelli

1. Kejahtan karena factor-faktor psikopathologis, yang pelakunya terdiri dari

a) Orang-orang yang sakit jiwa.

b) Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun tidak sakit jiwa).

2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :

a) Orang-orang yang menderita cacad setelah usia lanjut.

b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak masa kanak-kanak

sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.

3. Kejahatan karena factor-faktor social yang pelakunya terdiri dari :

Penjahat kebiasaan.

(7)

b) Penjahat yang karena pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yang sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang

melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.

c) Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti, pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.

Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yang dalam melakukan kejahatannya dengan:

1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang dapat dilakukan oleh perorangan seperti penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman Educational Books,London,1972)

2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun merupakan pelanggaran hokum ; yaitu penjahat yang melakukan kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan terlebih dahulu.

3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh

masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.

II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas

Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak

(8)

diferensiasi dari Sutherland, danpower-confl ict terutama dari Young dan Foucault.

(a) Struktural Fungsional

Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam

masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.

Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam3 istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran

pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya

mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’.

Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut

membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton

(9)

(b) Interaksi Simbolik

Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan datang dari individu yang mempelajari perilaku meyimpang dari

orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari

langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami. Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya (c) Power-Conflict

Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis

tentang perilaku menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya

penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara5 pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.

Kriminalitas Remaja: teori yang relevan

(10)

merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu dalam masayarakat.

Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam

masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma

kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).Secara umum Merton

menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota

masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku. Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang

terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).

Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai

ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam

masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang

(11)

disintegrasi.

Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan7

terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam

masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan

berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh

konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105)

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:

1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’

2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.

3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.

4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.

(12)

Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya.

Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari

mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang

diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.

Seperti yang kita ketahui saat ini.Kriminalitas ada di mana-mana.Tapi ada itu kriminalitas?Apa penyebabnya?Mungkin kita bias meluangkan waktu untuk bias membaca tulisan ini agar kita tahu masalah sosial yang ada di tengah-tengah

masyarakat,kriminalitas.

Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu

i. Sisi Perbuatannya

Dilihat dari sisi perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok yaitu:

(13)

· Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik

perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak

mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, dan peracunan

· Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia, perlengkapan, dan sebaginya atau tanpa sarana

· Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.

b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum, dan lain sebagainya.

ii.Sisi Pelakunya

Dilihat dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, mengapa melakukan kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri.

Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:

i. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang dilihat dari ciri-ciri tubuhnya

(stigmata) karena atavisme (degenerasi) lalu menjadi jahat.

ii.Penjahat karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia, pellagra, dan pemabuk

iii. Penjahat karena dorongan hati panas (passion) seperti membunuh istri simpanan suaminya

(14)

a. Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.

b. Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh

lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari anggota masyarakat normal.

v.Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak pidana

Dalam klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria psikis, fisik, dan lingkungan

Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:

i. Pembunuh

ii.Penjahat agresif

iii. Penjahat karena kurang kejujuran, dan

iv. Penjahat karena dorongan hati panas atau karena ketamakan

Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:

i. Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena culpa

ii.Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan

(15)

iii. Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak pidana

iv. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak

v. Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara teratur melakukan kejahatan

vi. Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan

Abrahamsen membagi penjahat menjadi:

i. Penjahat sesat,

Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena pengaruh orang lain

ii. Penjahat kronis

· Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional tubuh maupun jiwa

· Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.

· Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak di bawah pengaruh dorongan di dalam dirinya

· Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak kepribadiannya

(16)

Gruhle membagi penjahat menjadi:

i. Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):

· Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat

· Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap

dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.

ii. Penjahat karena kelemahan

Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.

iii. Penjahat Karena hati panas

Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.

iv. Penjahat karena keyakinan

Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat

Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan yaitu:

i. Karena faktor psikopatologik:

· Orang-orang yang kurang waras, gila

(17)

ii. Karena faktor organis:

· Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua, berbagai macam cacat

· Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.

iii. Karena faktor sosial:

· Penjahat kebiasaan

· Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi atau fisik)

· Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih serius

· Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)

Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:

i. Delinkuen professional karena malas bekerja

(18)

ii. Delinkuen terhadap harta benda karena daya tahan lemah

Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll

iii. Delinkuen karena dorongan agresi

Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini

menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka

iv. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual

Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.

v. Delinkuen karena krisis

Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:

· Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)

· Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan

· Karena krisis diri sendiri.

vi. Delinkuen karena reaksi primitive

(19)

kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau

terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya tidak terduga

vii. Delinkuen karena keyakinan

Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen karena keyakinan.

viii. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan

Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.

B. Penyebab Kejahatan

Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:

a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku

b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri

c. Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu

disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.

Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya

(20)

stMasyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau

penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi

menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya.

Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat

semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.

Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak.

Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di

masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.

Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal , atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.

(21)

Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam

pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak dan remaja. Perilaku anak-anak dan remaja ini menunjukkan

tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.

Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru

menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya anak-anak dan remaja tersebut sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan itu antara lain adalah :

1.Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan. 2.Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.

3.Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi manja dan lemah mentalnya.

4.Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.

5.Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal. 6.Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.

Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat

ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak

pidana/ kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara

(22)

umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang anak atau pun dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di dapat pada diri anak dan remaja yang jelas semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu.

Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung dan diawali pada perilaku anak-anak dan remaja sekarang sebagai generasi penerus. Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial

masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku jahat anak-anak dan remaja perlu segera mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun dewasa

2. Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kriminalitas 3. Dampak dari kriminalitas

4. Solusi dari kriminaliatas Bab II

Kriminalitas

A. Definisi Kriminalitas

Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu

kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.

Arti hukum menurut Immanuel Kant sendiri yaitu : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya

Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)

Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini

(23)

kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana. Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan :

-Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang

mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal. -Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau

tingkah laku manusia yang melanggar undang-undang atau

ketentuan yang berlaku dan diakui dapat dipidana secara legal,dan diatur dalam hukum pidana.

-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap

kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti

sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan

-Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang

melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.

(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).

Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat

relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and

Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.) We have seen that the concept of crime is highly relative in

commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).

(24)

menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni,

Bandung, 1979,hlm.67.)

Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.

I. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya

Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat. Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yang telah ditetapkan.

Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan dapat dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan

bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laku secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).

Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti

penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar pada ketentuan hokum.

Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya adalah sebagai berikut ;

1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat).

(25)

sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat).

3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa ; penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.

Pembagian menurut Seelig :

1. Penjahat karena segan bekerja.

2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.

3. Penjahat karena nafsu menyarang.

4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks. 5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan

6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive. 7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.

8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.

9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1 s/d 8 )

Pembagian menurut Capelli

1. Kejahtan karena factor-faktor psikopathologis, yang pelakunya terdiri dari

a) Orang-orang yang sakit jiwa.

b) Orang-orang yang berjiwa abnormal (sekalipun tidak sakit jiwa).

2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :

a) Orang-orang yang menderita cacad setelah usia lanjut.

b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak masa kanak-kanak

sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.

3. Kejahatan karena factor-faktor social yang pelakunya terdiri dari :

Penjahat kebiasaan.

a) Penjahat kesempatan,karena menderita kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.

(26)

melakukan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.

c) Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti, pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.

Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yang dalam melakukan kejahatannya dengan:

1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang dapat dilakukan oleh perorangan seperti penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan teratur seperti dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman Educational Books,London,1972)

2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun merupakan pelanggaran hokum ; yaitu penjahat yang melakukan kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan terlebih dahulu.

3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh

masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.

II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas

Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak

(27)

(a) Struktural Fungsional

Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam

masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.

Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam3 istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran

pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya

mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’.

Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut

membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton

memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) dan ‘legitimate means’ ketimbang integrasi sosial dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang dapat diterima di mana seorang individual dapat menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, dan ‘rebellion’.

(b) Interaksi Simbolik

(28)

individu yang mempelajari perilaku meyimpang dari

orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari

langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami. Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya (c) Power-Conflict

Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis

tentang perilaku menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya

penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara5 pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.

Kriminalitas Remaja: teori yang relevan

(29)

Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam

masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma

kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).Secara umum Merton

menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota

masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku. Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang

terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).

Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai

ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam

masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang

diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi.

(30)

anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan7

terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam

masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan

berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh

konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105)

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:

1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’

2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.

3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.

4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.

5.‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan cara-cara baru.

(31)

dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya.

Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari

mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang

diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.

Seperti yang kita ketahui saat ini.Kriminalitas ada di mana-mana.Tapi ada itu kriminalitas?Apa penyebabnya?Mungkin kita bias meluangkan waktu untuk bias membaca tulisan ini agar kita tahu masalah sosial yang ada di tengah-tengah

masyarakat,kriminalitas.

Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu i. Sisi Perbuatannya

Dilihat dari sisi perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok yaitu:

a. Cara Perbuatan itu dilakukan, kelompok ini dapat dibagi menjadi:

· Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik

perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak

mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, dan peracunan

(32)

· Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.

b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum, dan lain sebagainya.

ii.Sisi Pelakunya

Dilihat dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, mengapa melakukan kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri. Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:

i. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang dilihat dari ciri-ciri tubuhnya

(stigmata) karena atavisme (degenerasi) lalu menjadi jahat. ii.Penjahat karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia, pellagra, dan pemabuk

iii. Penjahat karena dorongan hati panas (passion) seperti membunuh istri simpanan suaminya

iv. Penjahat karena kesempatan yang dapat dibagi menjadi:

a. Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.

b. Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh

lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari anggota masyarakat normal.

v.Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak pidana

Dalam klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria psikis, fisik, dan lingkungan

Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut: i. Pembunuh

ii.Penjahat agresif

iii. Penjahat karena kurang kejujuran, dan

iv. Penjahat karena dorongan hati panas atau karena ketamakan Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:

i. Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena culpa

(33)

pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan kejahatan

iii. Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak pidana

iv. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak v. Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara teratur melakukan kejahatan

vi. Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan

Abrahamsen membagi penjahat menjadi: i. Penjahat sesat,

Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena pengaruh orang lain

ii. Penjahat kronis

· Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional tubuh maupun jiwa

· Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.

· Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak di bawah pengaruh dorongan di dalam dirinya

· Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak kepribadiannya

· Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)

Gruhle membagi penjahat menjadi:

i. Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):

· Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat · Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap

dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.

ii. Penjahat karena kelemahan

Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.

(34)

Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.

iv. Penjahat karena keyakinan

Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat

Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan yaitu:

i. Karena faktor psikopatologik:

· Orang-orang yang kurang waras, gila

· Orang yang secara psikis tidak normal, tetapi tidak gila ii. Karena faktor organis:

· Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua, berbagai macam cacat

· Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.

iii. Karena faktor sosial: · Penjahat kebiasaan

· Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi atau fisik)

· Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih serius

· Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)

Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi: i. Delinkuen professional karena malas bekerja

Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok, cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur

(35)

lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll

iii. Delinkuen karena dorongan agresi

Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini

menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka iv. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual

Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.

v. Delinkuen karena krisis

Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:

· Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)

· Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan

· Karena krisis diri sendiri.

vi. Delinkuen karena reaksi primitive

Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan

kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau

terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya tidak terduga

vii. Delinkuen karena keyakinan

Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen karena keyakinan.

viii. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan

Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.

B. Penyebab Kejahatan

Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:

a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku

(36)

yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri

c. Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu

disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.

Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya

Pandangan bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah,

pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dialakukan untuk mengetahui

pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakuakn

sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian dilakukan dengan cara statistic yang disebut dengan ciminostatistical investigation.

Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.

Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam

kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain:

a. Criminal family, penyelidikan dilakukan terhadap keluarga

penjahat secara vertical dari satu keturunan ke keturunan yang lain b. Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal untuk mendapatkan data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan

c. Study of twins, penyelidikan terhadap orang kembar.

(37)

pasti akan terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit mental dengan diagram sebagai berikut Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah sebagai gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100 persen.

Seelig membagi hubungan bakat-lingkungan-kejahatan sebagai berikut:

a. Sementara orang, oleh karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah melakukan deik

b. Lebih banyak orang yang karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik

c. Sangat sedikit orang karena pengaruh dari luar yang cukupan saja, melakukan delik

d. Sebagian besar orang lebih dari 50 persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal.

Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-samadapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam

maupun masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang mengiringinya, pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.

Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya mungkin saling berpengaruh. Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori sosiologis

dengan menunjukkan dua prosedur yang penting yang perlu

diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya

menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi. Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya dalam menganalisis penyebab

(38)

Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah dapat dilakukan dalam hubungan dengan :

a. Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)

b. Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik)

Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:

a. Perilaku kriminal itu dipelajari

b. Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain di dalam proses komunikasi

c. Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim

d. Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi: · Teknik melakukan kejahatan

· Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap. e. Arah kasus dari motif dan dorongan dipelajari dari batasan-batasan hukum

Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak

menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:

a. Seorang individu mendapat pengaruh hanya dari satu macam kelompok;

b. Seorang individu mendapat pengaruh dari dua kelompok atau c. Differential association mungkin bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya

d. Proses belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan anti-kriminal semua mekanisme atau cara belajar pada hal-hal yang lain

e. Perilaku merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai.

Mengenai pengaruh individu dan kelompok, bila meninjau kemungkinanlebih.

THORSTEN SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena:

a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan; b. Dalam hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah kelompok budaya yang lain;

(39)

lain.

kecenderungan dalam teori sosiologi untuk memberikan nama

kepadastruktur sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi oleh kontrol sosial. Sikap

koformis implikasinya adalah sebagai akibat dari pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak diketahui. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan kepentingan budaya yang telah bersama-sama

ditentukan. Hal ini meliputi aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan

mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya.

Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:

a. Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem sosial

b. Aspek disorganisasi sosial c. Aspek ketiadaan norma

d. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk (dominan culture)

C. Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala a. Kriminalitas dan Jenis Kelamin

Angka statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang dijatuhi pidana lebih rendah daripada pria. Angka statistik ini menunjuk pada perbuatan delik secara umum. Namun bila perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka statistik perbandingan pelaku delik wanita dengan pria akan bertambah porsi bagi

wanitanya. Misalnya saja dalam delik abortus.

Referensi

Dokumen terkait

Para pemilik lahan kosong merealisasikan apa yang diinginkannya yakni menanam pohon pisang dengan langkah penanaman yang baik untuk dijadikan salah satu

Selain itu, pada kapal- kapal nelayan cukup besar (15 GT) sering sudah dilengkapi GPS dan Fish finder. GPS pada kapal tersebut dapat digunakan untuk download data lintasan

 Cara menjaga kebersihan bagian-bagian tubuh sendiri dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru

berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pemberian Jangka Pendek Fraksi Heksan-Etanol dari Ekstrak Metanol-Air Daun

Pengetahuan yang kurang dalam penatalaksanaan nyeri akan menyebabkan nyeri yang dialami klien tidak terkontrol yang mengakibatkan ketidaknyamanan fisik yang lama, mobilisasi

Kelainan aorta yang muncul dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis muncul dari ventrikel kiri karena katup septum kono-trunkus pada janin gagal mengikuti perjalanan

Jadi efektifitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan dan usaha seperti apa yang telah dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), dalam hal ini KUA Kecamatan

Smash yang dilakukan pada pertandingan tanggal 22 November 2017 oleh oleh Unit Kegiatan Mahasiswa putri bolavoli Universitas Negeri Surabaya sering kali mengalami