• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perkembangan Seni Grafis Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Perkembangan Seni Grafis Indones"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN SENI GRAFIS INDONESIA

dibuat untuk memenuhi tugas essai 1 mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru

disusun oleh:

Ganjar Gumilar 17008501

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

▸ Baca selengkapnya: contoh proposal seni grafis

(2)

PENDAHULUAN

Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara sadar menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan objek-objek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis diterjemahkan dari kata printmaking yang berasal dari bahsa inggris. Seni grafis mencakup beberapa teknik yang terus berkembang seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Teknik grafis secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat teknik utama, yakni, cetak datar, cetak tinggi (relief), cetak saring (serigrafi), dan cetak dalam (intaglio). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti digital print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian diterima sebagai karya grafis oleh medan sosial seni.

Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang eksploratif yang dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah pencapaian estetik tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan sebuah karya seni (grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis sang seniman dan ide yang ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek tersebut kemudian menjadi lebur dan tertuang dalam sebuah karya grafis. Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36 Pemandangan Gunung Fuji oleh Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 – 1831, menggambarkan sebuah karya grafis penuh yang sampai sekarang masih diperhitungkan eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah adikarya yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan teknis, juga kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram karya ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.

(3)

Proses cetak yang menjadi prinsip utama dalam seni grafis ditujukan untuk reduplikasi karya, dengan ‘itikad baik’ seperti yang telah diulas pada paragraph sebeumnya, menghadirkan problematika dilematis yang cukup signifikan dalam perkembangan karya-karya grafis. Yang kemudian dapat dikelompokkan kepada dua masalah utama, yakni proses cetak yang amat teknis dan mendatangkan banyak kerumitan di dalamnya, dan justifikasi pasar pada karya seni grafis.

Teknik cetak grafis yang dikelompokkan dalam 4 proses cetak (cetak datar, tinggi, dalam, dan saring) mememerlukan bantuan banyak alat dan mesin, sehingga dalam proses pembuatannya, seniman dituntut untuk memilki kemampuan teknis yang baik dan mendalam, atau uniknya meminta bantuan pada pihak yang mendalami teknis grafis dengan konsisten. Secara garis besar proses pembuatan karya grafis dibedakan menjadi dua, proses pembuatan matriks dan proses pencetakkan karya, yang di dalamnya terdapat rangkaian proses yang saling berkesinambungan bagaikan sebuah untaian rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain seara berkesinambungan. Karena kerumitannya, proses pembuatan karya grafis dapat dinilai memrlukan effort lebih dibandingkan dengan membuat karya lukisan, sehingga seringkali menyulitkan seniman untuk berkarya grafis. Selain itu, karena jumlahnya yang banyak, dan tidak tunggal, eksistensi karya grafis di pasar tidaklah sesignifikan karya lukisan yang sifatnya tunggal yang kemudian membawa nilai eksklusifitas di dalamnya, karena pasar dikuasai oleh kaum elite yang tentunya menggemari dan memburu eksklusifitas, demi menjaga pestise dari karya itu sendiri. Para pelaku pasar seringkali lupa bahwa pada praktiknya karya grafis memang diperuntukkan untuk dimiliki oleh beberapa pihak, bukan dikoleksi secara pribadi. Sehingga pasar sering meniai karya grafis sebagai ‘seni kelas dua’. Kekurang-tertarikannya pasar pada karya seni grafis sedikit banyak membuat eksistensi karya ini semakin lama semakin lemah, bahkan di beberapa daerah yang iklim medan sosial seninya tidak sehat, hampir tidak diperhitungkan lagi. Serangkaian masalah tadi kemudian mampu dianggap sebagai masalah-masalah utama yang menyebabkan perkembangan seni grafis yang lesu.

(4)

penggunaan istilah grafis yang berdampak pada publikasi teknik-teknik grafis konvensional yang membingungkan kerap kali makin makin membuat seni grafis makin tidak dirasakan eksistensi dan peranannya dalam seni rupa Indonesia. Penggunaan istilah grafis di Indonesia dalam kesehariannya seringkali membingungkan. Karena kata grafis di Indonesia seringkali berkaitan dengan objek-objek grafis yang lekat dengan displin desain grafis, sehingga penggunaan istilah seni grafis seringkali disalahartikan. Hal ini berkesan sepele, namun pada perkembangannya, keancuan ini seringkali menjadi masalah yang kemudian mendapatkan signifikasi yang cukup besar di kalangan awam.

SENI GRAFIS DI INDONESIA

Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia berkat digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood engraving dan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat darinyalah seni grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari khazanah akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing.

(5)

Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas dua, dan seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam aspek yang saling menagkumulasi satu sama lain. Seperti yang telah saya ungkap seelumnya, seni grafis amatlah bergantung pada proses yang bersifat amat teknis. Keterbatasan dan kelangkaan alat dan mesin cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para seniman grafis yang dengan terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau bahkan menggeluti bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini memang bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun bahkan dialami oleh institusi akademi seni di Indonesia. Tercatat bahwa hanya Institut Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan alat-alat pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak datar, dan cetak saring yang dianggap memadai, bahkan dengan catatan bahwa sarana yang diberikan adalah standar ‘mahasiswa’, yang berkesan seadanya dan kuran terawat. Minimnya mesin cetak yang tersedia di Indonesia memang disebabkan oleh mahalnya biaya pengadaan mesin dan kelangkaan akses dalam meraihnya. Bahkan beberapa alat dan bahan pendukung pun seringkali harus didatangkan langsung dari Jerman, negri dimana seni grafis lahir dan berkembang.

(6)

Apin, Sudjana Kerton, dan Poppo Iskandar yang menekuni studi visual menggunakan teknik cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi yang merebak luas di dunia.

(salah satu poster propaganda Indonesia yang menggunkan teknik lithograph)

Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan dengan hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran ‘Seni Grafis Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin, Haryadi Suadi, A.D. Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya, lahirlah kelompok grafis Decenta yang beranggotakan Pirous, Sunaryo, Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi Kusnidar yang mendalami teknik serigrafi yang kala itu sedang berkembang didukung laju perkembangan industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini kemudianmulai menggeluti desain grafis karena kecenderungan karya sablon yang mampu dicetak dan direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat. beberapa darinya seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian mengembangkan akademi desain grafis di Indonesia.

(7)

(Still Life, Mochtar Apin, salah satu karya grafis modern Indonesia)

media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.

(8)

Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya, namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan teknik cetak yang digunakan.

(9)

pada media yang dianggap kurang lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik. Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara filosofis.

(karya Tisna Sanjata, seni grafis kontemporer, menggunakan tubuh sebagai media cetak)

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang berkaitan dengan trend mode remaja menjadi gagasan dalam penciptaan karya seni grafis dengan teknik cetak tinggi. Karya yang dibuat merupakan

Tugas Akhir ini memvisualisasikan gagasan pemikiran penulis dalam bentuk karya seni grafis dengan teknik cetak dalam, yang menjadikan ikan lele sebagai sumber

Teknik yang penulis gunakan dalam karya tugas akhir ini adalah dengan menggunakan cetak dalam atau drypoint, dengan metode ini penulis bisa mencetak karya seni

Tujuan Penciptaan karya grafis yang berjudul “Gunung Krakatau sebagai Ide Berkarya Seni Grafis (Cetak Dalam dengan Teknik Etsa, Aquatint, Mezzotint dan Softground )” ini

Seni grafis cetak saring teknik afdruk sebagai media untuk menyalurkan kreatifitas penulis yang diwujudkan dalam bentuk karya. Berbagai tahapan yang panjang telah

Materi kuliah meliputi: (1) meliputi pengertian seni grafis dan unsur-unsur karya seni grafis (objek, komposisi, dan teknik seni grafis); dan (2) praktik berkarya

Tulisan ini menyajikan informasi tentang proses memvisualisasikan hasil imajinasi penulis dalam bentuk karya seni grafis dengan media cetak saring di atas kertas, yang

Keresahan aksi teror yang tidak berkeprimanusiaan terhadap korbanya muncul gagasan-gagasan yang ingin diungkapkan melalui media seni berbentuk seni cetak grafis