BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KANKER SERVIKS
Kanker serviks adalah penyakit keganasan primer pada serviks uterus.
Dimana serviks adalah bagian dari uterus yang bentuknya silindris,
diproyeksikan ke dinding vagina anterior bagian atas dan berhubungan
dengan vagina melalui sebuah saluran yang dibatasi ostium uterus
eksternum dan internum.12,13
Di seluruh dunia, kanker serviks merupakan penyakit keganasan ketiga yang
paling sering terjadi setelah kanker payudara dan kolorektal, dan merupakan
penyebab kematian keempat setelah kanker payudara, kanker paru-paru,
dan kanker kolorektal.14
Dari penelitian yang dilakukan oleh Arbyn M, dkk pada tahun 2008 dimana
sumber data penelitian tersebut diperoleh dari GLOBOCAN; World Health
Organization (WHO), dari penelitian tersebut disebutkan bahwa di seluruh
dunia diperkirakan 530 ribu wanita menderita kanker serviks dan 275.000
wanita meninggal karena penyakit tersebut, insidensi kanker serviks adalah
15 dari 100.000 penduduk dan kematian yang disebabkannya adalah 8 dari
100.000 penduduk. Delapan puluh enam persen dari seluruh kanker serviks
dan 88% dari seluruh kematian yang disebabkan kanker serviks terjadi di
menderita kanker serviks dan sebanyak 1,1 % meninggal karena penyakit
tersebut, sebelum usia 75 tahun.14
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks
setiap tahunnya.Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat
laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang
memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%.
Dari data 17 rumah sakit di Jakarta pada tahun1977, kanker serviks
menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada
perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker
serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi.15,16
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa di Amerika Serikat,
insidensi kanker serviks paling banyak dijumpai pada wanita Amerika latin,
Amerika Afrika, dan penduduk asli dan prevalensi kanker serviks lebih tinggi
pada wanita dengan sosio-ekonomi rendah, dimanakanker serviks lebih
banyak dijumpai pada wanita usia tua.12,17
Ada beberapa faktor kebiasan yang meningkatkan risiko terjadinya kanker
serviks yaitu, koitus usia dini, berganti-ganti pasangan seksual, merokok dan
malnutrisi. Risiko relatif seorang wanita menderita kanker serviks adalah 1,6
kali lebih tinggi jika koitus pertamadilakukan sebelum usia 18 tahun.
Sementara itu, wanita dengan riwayat memiliki lebih dari enam pasangan
seksual memiliki risiko relatif menderita kanker serviks sebanyak 2,2 kali.
Selainitu merokok juga meningkatkan risiko relatif menjadi kanker serviks
Faktor medis juga mempengaruhirisiko terjadinya kanker serviks, yaitu
multiparitas dan adanya keadaan imunosupresi. Dimana insidensi kanker
serviks lebih banyak dijumpai pada wanita multipara denga risiko relatif
sebesar 1,5-5,0 kali.13,17
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV (human
Papillomavirus). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung
DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16.
Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual.13,18
Penderita kanker serviks dapat mengeluhkan adanya keputihan, perdarahan
kontak, perdarahan spontan, rasa nyeri, gangguan buang air kecil dan buang
air besar.13,18
Dengan semakin berlanjutnya penyakit, tanda-tanda klinis akan terlihat jelas,
berupa serviks yang membesar, iregular dan padat. Pertumbuhan serviks
dapat berupa endofitik, eksofitik maupun ulseratif.Dapat melibatkan vagina,
parametrium maupun dinding panggul.13,18
Diagnosis kanker serviks diperoleh melalui pemeriksaan histopatologi
jaringan biopsi.Pada dasarnya bila dijumpai lesi seperti kanker yang jelas
terlihat harus dilakukan biopsi walau hasil pemeriksaan Pap smear masih
dalam batas normal. Sementara itu, biopsi lesi yang tidak jelas terlihat
dilakukan dengan bantuan kolposkopi.13,18,19
Setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan, harus ditentukan terapi apa
yang tepat untuk setiap kasus. Secara umum jenis terapi yang dapat
penyebaran, dan komplikasi lain yang menyertai. Pada stadium dini (stadium
I sampai stadium II A), operasi masih merupakan pilihan. Pada dasarnya
untuk stadium lanjut (IIB, III, dan IV) diobati dengan kombinasi radiasi
eksterna dan intrakaviter (brakhiterapi). 12,13,19
Pencegahan terhadap kanker serviks berupa upaya-upaya yang dilakukan
untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat kanker
serviks. Pencegahan terdiri dari pencegahan primer, pencegahan sekunder,
dan tersier.20
Pencegahan primer adalah mencegah masuknya karsinogenesis ke dalam
tubuh atau sel tubuh. Pencegahan primer kanker serviks adalah mencegah
terjadinya infeksi HPV onkogenik, karena infeksi HPV onkogenik berpotensi
menjadi infeksi HPV persisten yang merupakan salah satu faktor terjadinya
karsinogenesis kanker serviks. Pencegahan primer meliputi pendidikan
kehidupan yang higienis, asupan gizi yang baik untuk meningkatkan daya
imun, pola kehidupan seksual yang normal, menghindari faktor-faktor yang
meningkatkan risiko infeksi HPV onkogenik (infeksi HPV non-onkogenik),
pemilihan kontrasepsi yang meningkatkan daya proteksi serviks terhadap
infeksi HPV onkogenik ataupun meningkatkan regresi spontan infeksi HPV.
Upaya yang sangat efektif dan efisien sebagai pencegahan primer kanker
serviks adalah vaksinasi, dan vaksinasi ini juga ditengarahi merupakan
bagian pencegahan primer semua kanker yang disebabkan karena infeksi
Pencegahan sekunder adalah menemukan kelainan sel dalam tahap infeksi
HPV ataupun lesi prakanker. Penemuan infeksi HPV merupakan salah satu
pencegahan sekunder yang penting, karene infeksi HPV persisten
merupakan faktor infeksi yang dapat berkembang menjadi lesi prakanker.
Upaya pengamatan yang terencana dan terlaksana dengan baik akan
mengidentifikasi infeksi HPV yang berpotensi menjadi infeksi HPV persisten
serta selanjutnya berpotensi berkembang menjadi lesi prakanker. Penemuan
lesi prakanker merupakan pencegahan sekunder yang sudah dikenal dengan
baik. Penemuan lesi prakanker harus dilanjutkan dengan tatalaksana yang
tepat dan baik sehingga lesi prakanker tidak berkembang menjadi kanker
serviks.20
Pencegahan tersier adalah bagian pencegahan yang bertujuan untuk
mencegah agar penyakit tidak berkembang menjadi penyakit pada tingkat
atau stadium yang lanjut. Down staging merupakan bagian dari pencegahan
tersier, dengan down staging kita akan menemukan penyakit pada stadium
dini yang sifatnya masih menjangkau terapi kuratif.20
Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya,
5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%,
2.2PAP SMEAR
Sejak diperkenalkan pada tahun 1940 oleh Papanicolaou, Pap smear telah
menjadi pemeriksaan yang penting untuk deteksi dini kanker serviks. Pap
smear dapat mendeteksi adanya sel yang abnormal sebelum berkembang
menjadi lesi prakanker atau kanker serviks sedini mungkin.4,19
Pada dasarnya prinsip pemeriksaan Pap smear adalah mengambil epitel
permukaan serviks yang mengelupas/eksfoliasi pada zona transformasi,
kemudian epitel tersebut diwarnai secara khusus dan dilihat di bawah
mikroskop untuk diinterpretasi lebih lanjut.4,19
Akurasi Pap smear tergantung dari kualitas pelayanan, termasuk
pengambilan, persiapan, dan interpretasi hasil. Spesifisitas Pap smear
biasanya lebih dari 90%.Sensitivitas Pap smear bila dikerjakan setiap tahun
mencapai 90%, setiap 2 tahun 87%, setiap 3 tahun 78% dan bila setiap 5
tahun mencapai 68%.4,19
Rekomendasi skrining terbaru untuk kelompok usia tertentu, berdasarkan
acuandari American Cancer Society, the American Society for Clinical
Pathology (ASCP), the US Preventive Services Task Force (USPSTF), and
the American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) (ASCCP),
adalah sebagai berikut :1,4,19
• < 21 tahun : tidak ada skrining yang direkomendasikan
• 30-65 tahun : Human Papilloma Virus (HPV) dan tes pendamping
sitologi setiap 5 tahun (disukai) atau sitologi saja setiap 3 tahun
(diterima)
• >65 tahun : tidak ada skrining yang direkomendasikan jika skrining
yang adekuat sebelumnya negatif dan risiko tinggi tidak ada.
• Skrining setelah histerektomi : tidak diindikasikan pada wanita tanpa
serviks dan tanpa adanya riwayat dari lesi prakanker high grade (CIN
2 atau CIN 3) pada 20 tahun terakhir atau dari mulai didiagnosa
kanker serviks.
Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan Pap
smear, yaitu Pap smear sebaiknya tidak dilaksanakan pada saat wanita
menstruasi (haid). Dua hari sebelum pemeriksaan Pap smear dilakukan,
pasien dilarang bersenggama dan mencuci atau menggunakan pengobatan
melalui melalui vagina, dan idealnya, jika dijumpai servisitis (radang serviks)
sebaiknya diterapi terlebih dahulu sebelum dilakukan Pap smear.4,8,19
Alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Pap smear adalah meja
ginekologi, lampu untuk pemeriksaan, spekulum vagina, sarung tangan steril,
object glass, spatula Ayre atau cytobrush, serta larutan fiksasi alkohol
96%.4,8,19
Pada saat pemeriksaan, pasien diminta untuk berbaring dalam posisi
litotomi. Lubrikan tidak direkomendasikan karena dapat mengkontaminasi
atau mengganggu sampel sitologi. Jika diperlukan air yang hangat dapat
digunakan untuk melubrikasi dan menghangatkan spekulum sebelum
spekulum dimasukkan ke dalam vagina sampai serviks tervisualisasi dengan
baik, terutama zona transisionaluntuk hasil yang adekuat.Lalu spatula
ayre/cytobrush dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dan diletakkan di
serviks kemudian diputar sejauh 360o untuk spatula ayre dan 5 kali rotasi untuk cytobrush.Sampel yang diperoleh dipulaskan pada gelas objek. Lalu
difiksasi dengan larutan alkohol 96%.Pulasan-pulasan tersebut kemudian
dikirimkan ke laboratorium sitologi untuk pemeriksaan.4,8,19
Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan Pap smear, yaitu
sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN), dan
sistem Bethesda. Sistem pelaporan yang berkembang adalah sistem
Bethesda, Bethesda 1988 direvisi menjadi Bethesda 2001. Klasifikasi
Bethesda memperkenalkan dua kategori untuk derajat lesi prakanker, lesi
derajat rendah (low grade squamous epithelial lesion) setara dengan CIN I
dan lesi derajat tinggi (high grade squamous epithelial lesion) setara dengan
CIN II dan CIN III. 4,8,19
2.3 PENGETAHUAN
2.3.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. 21
Pengetahuan atau kognitif yang merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai
dorongan fisik dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun dengan
dorongan sikap perilaku setiap orang sehingga dapat dikatakan bahwa
pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang.21
2.3.2 Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo tingkat pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan, yakni :21
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Yang termasuk mengingat kembali tahap suatu yang spesifik dari
keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan. Jadi, tahu merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai sutau kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh : menyimpulkan, meramalkan
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan suatu materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisa (Analysis)
Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek didalam
struktur organisasi tersebut dnm masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuankemampuan analisis dapat dikaitkan dari
penggunaan-penggunaan kata kerja seperti kata kerja seperti menggambarkan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (Shintesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru,
dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu
formulasi baru dari formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penelitian
terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang materi yang ingin
diukur dari suatu objek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan
2.4 TINDAKAN
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor-faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support)
dari pihak lain.21
Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:21 a. Persepsi (Perception)
Mengenal dan melilih berbagai objek
b. Respon terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai
c. Mekanisme (Mechanism)
Dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu
sudah merupakan kebiasaan
d. Adopsi (Adoption)
Suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
2.5 TEORI HEALTH BELIEF MODEL
Health Belief Model (HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950an
oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan Masyarakat
partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit.
Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap
gejala-gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit
yang didiagnosa, terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan
medis. Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini telah menjadi salah
satu model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan
pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan
kesehatan.9
Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada
berbagai program Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an.
Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4
variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang
dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat
yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakan melawan
penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Di mana
komponen-komponennya disebutkan di bawah ini.9
1. Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility).
Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko
dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis,
dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan
pribadi terhadap adanya resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan
2. Keseriusan yang dirasa (Perceived Severity/Seriousness)
Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi
kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai
contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang
mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan
hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen
diatas sebagai ancaman yangdirasakan (perceived threat).
3. Manfaat yang dirasa (Perceived Benefits)
Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang
dipercaya dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat) adalah
mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung
kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang
terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam
mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang
dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan
tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap
adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering
tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang
direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.
4. Penghalang yang dirasa (Perceived Barriers)
Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan
(seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan
(seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin
Sejak tahun 1974, teori Health Belief Model telah menjadi perhatian para
peneliti.Model teori ini merupakan formulasi konseptual untuk mengetahui
persepsi individu apakah mereka menerima atau tidak tentang kesehatan
mereka.Variabel yang dinilai meliputi keinginan individu untuk menghindari
kesakitan, kepercayaan mereka bahwa terdapat usaha agar menghindari
penyakit tersebut. Hal ini dilihat dari keempat dimensi yang telah dibahas
diatas.22
Teori Health Belief Model menghipotesiskan terdapat hubungan aksi dengan
faktor berikut:23
1. Motivasi yang cukup kuat untuk mencapai kondisi yang sehat.
2. Kepercayaan bahwa seseorang dapat menderita penyakit serius dan
dapat menimbulkan sekuele.
3. Kepercayaan bahwa terdapat usaha untuk menghindari penyakit tersebut
walaupun hal tersebut berhubungan dengan finansial.
Health Belief Model dapat menjelaskan tentang perilaku pencegahan pada
individual. Hal ini menjelaskan mengapa terdapat individu yang mau
mengambil tindakan pencegahan, mengikuti skrining, dan mengontrol
Gambar 2.1 Persepsi individual mengenai penyakit berdasarkan
Health Belief Model25
Pada tahun 2006Leyva et al melakukan penelitian pada 150 wanita di
Meksiko mengenai kepercayaan mereka terhadap kanker serviks dan Pap
smear. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa 85% dari responden
telah menjalani Pap smear. Para responden yang tidak melakukan Pap
smear disebabkan karena responden yakin bahwa kanker serviks tidak
mudah terjadi pada dirinya dan adanya penghalang untuk melakukan Pap
smear.26
Penelitian Abotchie PN pada tahun 2009 tentang skrining kanker serviks
menurut Health Belief Modelmasih rendahnya skrining kanker serviks
disebabkan oleh tiga faktor yaitu kurangnya kepercayaan bahwa skrining
dapat mendeteksi kanker serviks, dan kepercayaan bahwa Pap smear
Ibekwe CM pada tahun 2009, melakukan penelitian tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi skrining kanker serviks terhadap 300 orang wanita di
Rumah Sakit Mahalapye Botswana dengan menggunakan teori Health Belief
Model.Didapatkan hasil bahwa prediktor tertinggi skrining kanker serviks
adalah kerentanan yang dirasakan responden terhadap kanker serviks.
Responden dengan kerentanan yang tinggi, lebih mungkin untuk melakukan
skrining kanker serviks 3,2 kali lebih besar dibandingkan dengan responden
dengan kerentanan yang rendah. Faktor karakteristik sosio-demografis yang
mempengaruhinya adalah pekerjaan, pendapatan bulanan dan daerah
tempat tinggal responden.10
Penelitian lainnya dilakukan oleh Abdullah di Malaysia pada tahun 2011,
didapatkan hasilkurangnya tindakan skrining terhadap kanker serviks, akibat
adanya penghalang yang dirasakan bahkan hal ini juga dialami pada wanita
beredukasi tinggi. Diperlukan adanya promosi kesehatan dan edukasi pada
segala tingkat pendidikan.28
Penelitian Reis et al di Turki pada tahun 2012 meneliti tentang pengetahuan
dan sikap wanita Turki terhadap skrining kanker serviks berdasarkan teori
Health Belief Model. Total sampel penelitian ini adalah 387 wanita dan dinilai
dengan kuesioner kanker serviks dan Pap smear sesuai skala Health Belief
Model. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara Health
Belief Model dengan karakteristik responden terutama pendidikan
responden.Pada penelitian ini juga dijumpai bahwa halangan untuk
melakukan Pap smear dipengaruhi oleh karakteristik demografi.
bercerai, wanita yang berpenghasilan rendah, dan wanita yang melahirkan
pertama mereka ketika mereka berusia 18 tahun atau lebih muda serta
wanita yang tidak menerapkan metode kontrasepsi sama sekali merasa
bahwa halangan untuk melakukan Pap smear lebih besar.29
Penelitian Hajializadeh et al pada tahun 2013 tentang sikap wanita di Bandar
Abbas terhadap program skrining kanker serviks sesuai dengan teori Health
Belief Model yang melibatkan 727 wanita dengan menggunakan kuesioner
Health Belief Model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerentanan
dan keparahan terhadap kanker serviks dan manfaat terhadap skrining
kanker serviks lebih tinggi pada kelompok yang telah melakukan Pap
smeardibandingkan kelompok yang tidak melakukannya.30
Pada tahun yang sama, Julinawati S memfokuskan penelitian mengenai
pandangan kerentanan terhadap skrining kanker serviks. Hasil penelitian
menunjukkan pengertian dan informasi yang kurang dari tenaga kesehatan
menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan skrining