BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mendefinisikan
bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis(Renas BNPB, 2011).
Indonesia mempunyai 129 gunung api aktif yang tersebar mulai Sumatera,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara,Sulawesi dan Maluku. Jumlah tersebut sama dengan 13%
gunung api aktif di dunia. Gunung api aktif Indonesia dibedakan dalam 3 kategori
berdasarkan sejarah letusannya, yaitu gunung api tipe A, tipe B, dan tipe C. Gunung
api tipe A tercatat pernah meletus sejak tahun 1600, jumlahnya 79. Tipe B adalah
gunung api yang mempunyai kawah dan lapangan solfatara/fumarola tapi tidak ada
sejarah letusan sejak tahun 1600, jumlahnya 29. Gunung api tipe C hanya berupa
lapangan solfatara/fumarola, jumlahnya 21. Gunung Api tipe A yang diprioritaskan
untuk diamati. Setiap tahun antara 10 sampai 12 gunung api yang meningkat
Untuk wilayah Sumatera Utara, terdapat satu gunung aktif yaitu Gunung
Sinabung. Gunung Sinabung adalah sebuah gunung yang menjulang dengan tinggi
2.460 meter dari permukaan laut, Gunung Sinabung menggeliat dengan letusan
dengan skala berbeda. Letusan terakhir tercatat pada Kamis, 24 Oktober 2013, pada
pukul 06.00 waktu setempat. Letusan yang disertai suara gemuruh mengeluarkan asap
hitam keabuan dan material abu vulkanik. Hembusan ini mengarah ke arah Timur,
Tenggara, dan Selatan. Pemantaun Gunungapi di Kabanjahemencatat ketinggian
lontaran materialmencapai 3.000 meter.Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG), catatan letusan Gunungapi Sinabung pertama pada
tahun 1600 dengan aktivitas vulkanik berupa muntahan batuan piroklastik serta aliran
lahar yang mengalir ke arah Selatan. Kemudian 1912, gunung ini mengeluarkan
solfatara yang terlihat di puncak dan lereng atas. Setelah hampir 100 tahun,
gunungapi berjenis strato ini kembali meletus. Pada 2010, terjadi beberapa kali
letusan yang di antaranya berupa letusan freatik. Letusan pada kurun waktu 7 April
2010 - 27 Agustus 2010 menyebab kan status Gunungapi Sinabung berubah dari tipe
B menjadi tipe A. Berselang tiga tahun, gunungapi Sinabung kembali menunjukkan
aktivitas vulkanikSelama September lalu dan terakhir pada 24 Oktober 2013.
Berdasarkan data dan analisis data pemantauan dari tanggal 19 – 24 Oktober 2013,
PVMBG sebagai bagian dari Badan Geologimenetapkan status Gunungapi Sinabung
masih pada waspada (Level II). Aktivitas yang menurun menjadikan Gunungapi
Sinabung berstatus dari Awas (level IV) ke siaga (level III) pada 23 September 2010.
waspada(level II) pada 7 Oktober 2010. Meskipun menurun, aktivitas masih
cenderung fluktuatif.Pemantauan dengan metoda visual, seismik, dan deformasi terus
dilakukan untuk melakukan penilaian tingkat aktivitas Gunung Sinabung. Pada
tanggal 15 September 2013 aktivitas Gunungapi Sinabung meningkat hingga
menyebabkan perubahan status, dari Waspada (level II) menjadi Siaga (level III).
Namun kemudian pada tanggal 29 September 2013 status diturunkan dari Siaga (level
III)menjadi Waspada (level II). Pada tahun 2010, letusan terbesar terjadi pada 7
September dengan lontaran debu vulkanik hinga 5.000 meter ke udara. Suara letusan
pun terdengar hingga jarak 8 km. Sejak 15 Oktober 2013, PVMBG mencatat
terjadinya dua kali banjir lahar di desa Suka Meriah. Potensi longsor pada sisi Utara
juga perlu diwaspadai akan mengancam pemukiman di daerah Laukawar. Timbunan
longsor dan materi hasil erupsi terpantau di lereng ini. Terkait dengan potensi bahaya,
Badan Geologi merekomendasikan beberapa hal kepada masyarakat yang tinggal di
sekitar lereng gunung. Rekomendasi yang diberikan antara lain sebagai berikut.
Masyarakat dan Pengunjung/ wisatawan tidak mendaki dan melakukan aktivitas pada
radius 2 km dari Kawah Sinabung. Masyarakat di Desa Sukameriah dan Gurukinayan
di Selatan puncak, Bekerah di Tenggara puncak, Simacem di Timur puncak,
Sigarang-garang dan Sukanalu di Timurlaut puncak, dan Kutogugung di Utara Tmur
laut puncak agar tetap waspada danselalu mengikuti perkembangan aktivitas
Gunungapi Sinabung dari Pemerintah Kabupaten Karo dan BPBD kabupaten dan
provinsi. Jika masyarakat terganggu dengan keberadaan hujan abu dan kemungkinan
Desa Sukameriah, Gurukinayan, Bekerah, Simacem, Sigarang-garang, Sukanalu, dan
Kutogugung disarankan untuk mengungsi ke tempat yang aman. (Gema BNPB,
2013).
Gunung Sinabung telah beberapa kali mengalami perpanjangan masa tanggap
darurat. Menurut data dari media center per tanggal 5 januari 2013 di posko utama
Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung Kabanjahe diketahui total jumlah
pengungsi 6387 KK dengan jumlah 20491 jiwa. Sampai penelitian ini dituliskan,
kondisi gunung Sinabung masih mengalami erupsi dan jumlah pengungsi juga terus
bertambah hingga pada tanggal 4 Februari 2014 jumlah pengungsi menjadi 9.934 KK
dengan jumlah 32.162 jiwa. Setelah mengungsi beberapa bulan, akhirnya pada
tanggal 14 februari, menurut laporan BNPB sebanyak 5.783 jiwa/1.619 KK
pengungsi dari desa Batu Karang, Desa Rimo Kayu dan Desa Naman sudah dapat
pulang.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 Januari
2014 di beberapa lokasi pengungsian, diantaranya titik pengungsian Mesjid Agung,
UKA dan GBKP kota Kabanjahe, dapat dilihat. Lokasi pengungsian yang tersedia
tidak nyaman buat pengungsi karena, sempit sementara jumlah pengungsi banyak.
Kondisi ini membuat udara di dalam gedung tidak sehat bahkan sampah di beberapa
lokasi pengungsian banyak berserakan. Selain itu, pengungsi masih banyak yang
membutuhkan bantuan selimut, pakaian maupun obat-obatan. Bantuan selimut dari
pemerintah maupun pihak swasta, dinilai belum mencukupi. Pengungsi juga
karena kedinginan. Udara dingin bercampur abu yang sangat menusuk kulit di daerah
pegunungan itu merupakan ancaman bagi kesehatan pengungsi.
Dalam hal kesehatan pengungsi banyak mengeluhkan penyakit batuk akibat
debu vulkanik. Selain itu air bersih menjadi masalah karena ketersediaannya masih
banyak kekurangan. Kondisi ini membuat banyak masyarakat tidak mandi, dan tidur
berdesak - desakan di lokasi pengungsian. Berdasarkan wawancara dengan beberapa
pengungsi, menurut mereka, penyaluran bantuan buat pengungsi masih belum merata.
Beberapa lokasi pengungsian dapat menerima langsung bantuan dari pihak di luar
daerah, sedangkan posko pengungsian lainnya sama sekali tidak menerima bantuan
tersebut.
Dampak dari pengungsian biasanya akan muncul penyakit-penyakit umum
seperti diare, ISPA, hipertensi, gastritis, conjungtivitis, anxietas dan penyakit lain
yang biasa terjadi dipengungsian. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Karo Maret 2014, penyakit di pengungsian di bagi kedalam 7 jenis penyakit yaitu
Anxietas total kasusnya berjumlah 1.558 kasus, ISPA 87.524 kasus, conjungtivitis
3.945 kasus, gastritis 25.131 kasus, diare 5.239 kasus, hipertensi 4.341 kasus dan
penyakit lainnya 13.501 kasus, sehingga untuk mengatasi penyakit tersebut
diperlukan pengobatan.
Untuk dapat melaksanakan Pelayanan Kesehatan Dasar khususnya bidang
pengobatan dibutuhkan obat, oleh karena itu ketersediaan obat harus benar-benar
manajemen logistik yang baik dan benar. Perencanaan obat adalah salah satu fungsi
menentukan dalam proses pengadaan obat dan perbekalan kesehatan, yang bertujuan
untuk menetapkan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat sesuai
dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar. Untuk melaksanakan perencanaan obat
dengan baik, maka diperlukan manajemen logistik. Manajemen logistik adalah suatu
ilmu pengetahuan dan atau seni serta proses mengenai perencanaan dan penentuan
kebutuhan pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pemeliharaan serta penghapusan
material/alat-alat (subagya, 1994).
Dalam memenuhi kebutuhan obat diperlukan pengelolaan dan perencanaan
yang baik. Dalam hal ini selaku pelaksana teknis dan leading sektor bidang
pembangunan kesehatan di daerah adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dengan
diberlakukannya Otonomi Daerah, setiap Kabupaten/Kota mempunyai struktur dan
kebijakan sendiri dalam pengeloaan obat, selanjutnya Pengelola Obat
Kabupaten/Kota disebut dengan “Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan (UPOPPK) Kabupaten/Kota. (Kepmenkes RI No. 1121/Menkes/SK/XII
tahun 2008).
Menurut Indrawati (1999), manajemen logistik obat adalah proses
pengelolaan yang strategis mengenai pengadaan, distribusi dan penyimpanan obat
dalam upaya mencapai kinerja yang optimal, yang bertujuan untuk terlaksanakannya
Sistem manajemen logistik pengelolaan dan penggunaan obat kabupaten /kota
mempunyai 4 fungsi dasar, yaitu: perumusan kebutuhan atau perencanaan (selection),
pengadaan (procurement), distribusi (distribution) dan penggunaan obat (use).
Keempat fungsi tersebut didukung oleh penunjang pengelolaan yang terdiri dari
organisasi (organization), pembiayaan dan kesinambungan (financing
andsustainability), pengelolaan informasi (information management) danpengelolaan
dan pengembangan SDM (human resources magament). Pelaksanaan keempat fungsi
dasar dan keempat elemen sistem pendukung pengelolaan tersebut didasarkan pada
kebijakan (policy) dan atau peraturan perundangan yang mantap serta didukung oleh
kepedulian masyarakat dan petugas kesehatan terhadap program bidang obat dan
pengobatan. (Badan pengawasan obat dan makanan, 2001).
Berdasarkan Kepmenkes RI No. 059/Menkes/SK/I/XII tahun 2011 tentang
pedoman pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada penanggulangan bencana
setiap daerah bencana harus memiliki standar yaitu standar perencanaan obat dan
perbekalan kesehatan dalam penanggulangan bencana sesuai kebutuhan, penyediaan
dan penerimaan obat dan perbekalan kesehatan dalam penanggulangan bencana,
penyimpanan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan dalam
penanggulangan bencana, pencatatan,evaluasi dan pelaporan dan pemusnahan.
Pada prinsipnya perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan
menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat agar sesuai dengan
perencanaan pengadaan obat antara lainuntuk : Mengetahui jenis dan jumlah obat
yang tepat sesuai dengan kebutuhan, menghindari terjadinya kekosongan obat,
meningkatkan penggunaan obat yang rasional dan meningkatkan efisiensi
penggunaan obat.
Permasalahan yang kerap timbul dalam penanganan bencana di Indonesia
adalah masalah ketersediaan obat, diskoordinasi, keterlambatan transportasi dan
distribusi, serta ketidaksiapan lokal dalam pemenuhan sarana dan prasarana. Oleh
karena itu, dalam rangka pengurangan dampak resiko perlu penguatan upaya
kesehatan pada tahap sebelum terjadi (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan)
(Depkes, R.I, 2007).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasie Perbekalan Kesehatan Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo yang membidangi bagian obat-obatan dan peralatan
didapatkan informasi bahwa ketika erupsi Gunung Sinabung yang terjadi pada
November 2013, terdapat banyak kendala dalam hal pengelolaan obat. Mulai dari
ketersediaan obat sampai dengan pendistribusi obat. Dalam hal ketersediaan obat,
Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sangat minim, dimana stok yang ada tidak
mencukupi kebutuhan, dikarenakan salah satu penyebabnya adalah ada beberapa obat
yang ditender pada tahun 2013 tidak sanggup disediakan oleh rekanan. Dalam hal
pendistribusian, dikatakan tidak ada permasalahan yang berarti, hanya ada kesulitan
dibagian perbekalan kesehatan yang berjumlah 7 staff mendistribusikan langsung ke
posko-posko kesehatan. Dikatakan bahwa di dalam permintaan obat diharapkan
diposko kesehatan harus ada buffer stock terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi
kekosongan obat diposko kesehatan. (Hasil rekaman wawancara )
Berdasarkan hasil wawancara dari koran online yaitu Berita satu.com, pada
salah atu pengungsi yang bernama Budi Ginting (45 tahun) yang berasal dari Tigan
Derket pada tanggal 18 Januari 2014, didapatkan informasi bahwa banyak
permasalahan yang mereka hadapi selama Gunung Sinabung erupsi, dimana selain
kehilangan mata pencaharian dari bertani, rumah rusak dan pangan, minuman
maupun obat-obatan masih mengalami kekurangan. Hasil wawancara dengan
Koordinator Media Center Posko Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung,
Jhonson Tarigan menyampaikan ada 35 pengungsi yang terpaksa menjalani
perawatan dirumah sakit. Pengungsi lebih dominan terserang penyakit asma, demam,
dehidrasi, hipertensi, stres, perdarahan, ginjal dan usus buntu. Jumlah pengungsi yang
rawan terserang penyakit paru pun dipastikan tidak sedikit, setiap hari banyak
pengungsi yang tidak menggunakan masker. Stok alat penutup hidung itu terkadang
habis.
Berdasarkan Republika.co.id, selasa 11 Februari 2014 diberitakan bahwa
pos-pos pengungsian bencana gunung sinabung yang tersebar di 43 titik Kabupaten Karo
dan Langkat, Sumatera Utara (Sumut) belum dilengkapi dengan sumber pendeteksi
terdeteksi. Hasil wawancara dengan Tomi Hendrawan, dokter khusus bencana dari
Dokter Indonesia Bersatu (DIB) yaitu “semalam kami temukan ada campak dan cacar
air di pos pengungsian gedung serba guna KNPI yang mendera anak, artinya ini
adalah wabah tetapi tidak terdeteksi dari awal”.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai “ Perencanaan Kebutuhan Obat dan Perencanaan Pendistribusian Obat
Dinas Kesehatan Kabupaten Karo Pada Masa Tanggap Darurat bencana erupsi
gunung sinabung 2014.
1.2.Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut:
Bagaimana Perencanaan Kebutuhan Obat dan Perencanaan Pendistribusian Obat
Dinas Kesehatan Kabupaten Karo Pada Masa Tanggap Darurat bencana erupsi
gunung sinabung
1.3.Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas,
maka permasalahan yang dihadapi adalah tentang perencanaan kebutuhan obat dan
tanggap darurat bencana erupsi gunung sinabung. Oleh karena itu akan muncul
beberapa pertanyaan penelitian antara lain :
1. Bagaimana menentukan kebutuhan obat sesuai jenis, jumlah dan dosis obat yang
dibutuhkan ketika bencana erupsi gunung sinabung
2. Bagaimana sistem pendistribusian obat ketika bencana erupsi gunung sinabung
1.4.Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui metode atau cara yang baik
dan sesuai dalam membuat Perencanaan Kebutuhan Obat dan perencanaan
pendistribusian obat Ketika masa tanggap darurat bencana erupsi gunung
sinabung di Dinas Kesehatan Kabupaten Karo.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini diantaranya adalah untuk :
a. Terlaksanakannya sistem perencanaan obat yang baik dan benar sehingga
dapat memenuhi kebutuhan obat sesuai jenis, dosis dan jumlah obat
berdasarkan penyakit yang ada ketika bencana erupsi Gunung Sinabung.
b. Terlaksanakannya sistem perencanaan pendistribusian obat yang baik dan
benar sehingga Terdistribusinya obat ke masyarakat atau pengungsian sesuai
1.5.Manfaat Penelitian
1. Menjadi masukan bagi Dinas kesehatan Kabupaten Karo terutama bagian
pelayanan kesehatan khususnyan seksi perbekalan kesehatan dalam melaksanaan
manajemen logistik pengelolaan obat.
2. Bagi Ilmu Kesehatan Masyarakat, diharapkan sebagai referensi yang dapat
menunjang proses belajar mengajar untuk kepentingan pendidikan dan penelitian
terutama tentang manajemen logistik pengelolaan obat.
3. Bagi Peneliti dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan didalam ilmu
kebencanaan terutama tentang manajemen logistik pengelolaan obat, sehingga