• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAKWAH DI TELEVISI DAN BULAN RAMADHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAKWAH DI TELEVISI DAN BULAN RAMADHAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DAKWAH DI TELEVISI DAN BULAN RAMADHAN

Oleh Umaimah Wahid

Universitas Budi Luhur

Email : NYAKAMH@yahoo.com

1. Pendahuluan

Pada bulan Ramadhan tahun ini, sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, semua stasiun TV, baik Pemerintah maupun Swasta seakan berlomba menayangkan acara yang dikemas, baik dengan kemasan yang memang dikhususkan maupun kemasan yang dipaksakan, untuk menyambut Bulan suci yang dimuliakan itu.

Setiap bulan ramadhan televisi dan media massa lainnya seakan berlomba-lomba untuk tampil islami dan menambah jam tayang yang diisi dengan acara-acara yang dikemas untuk ramadhan. Jumlah jam siar untuk acara keagaman bertambah drastis atau bahkan mendominasi keseluruhan jam tayang yang ada. Kalau sebelum ramadhan acara keislaman hanya pada jam-jam tertentu dan itu pun dengan durasi waktu paling banyak rata-tara 30 menit, maka bila ramadhan tiba wajah televisi disulap dan terkadang terlihat dipaksakan acara tersebut sebagai acara ramadhan. Jam tayang prime time yang selama ini hanya diisi dengan sinetron, berita dan musik khususnya dangdut pada pukul 19.00-21.00 wib, saat ramadhan waktu prime time justru di pakai untuk acara bernuansa islam menunggu saat berbuka serta ditambah pada waktu sahur pun menjadi prime time.

(2)

terlihat hanya kemasan dengan simbol-simbol islam seperti assalamu’alakim, pakaian yang agak lebih sopan atau adanya tampilan saat-sat beribadah menjadi lebih banyak,akan tetapi dari segi cerita hampir sama yaitu menceritakan hubungan si kaya dan si miskin. Sikaya yang tamak dan si miskin yang kesusahan serta kemudian si miskin terlibat percintaan dan kawin dengan si kaya, hal ini seperti sinetron Titipan Illahi di Indosiar yang di mainkan oleh Anjasmara dan Tio Ivanka, yang tampak seperti protitipe dari alur cerita hasil senetron Indosiar di bulan ramadhan sebelumnya yaitu Doa dan Anugerah dengan bintang pria sama yaitu Anjasmara dan Kris Dayanti.

Demikian juga dengan acara di waktu sahur, baik di TV 7 yang merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya dengan presenter Dorce dan Cut Mini, RCTI yang ramadhan sebelumnya dengan ‘Kampung ramadhan’ tahun ini digantikan dengan ‘Sahur Bareng’ yang menghadirkan Miing dan Didin Bagito, yang seakan merupakan pindahan konsep dari tayangan sahur sebelumnya di Trans TV, yaitu ‘Yuk Sahur Yuk’. SCTV dengan konsep yang bahkan sudah empat tahun yaitu ‘Sahur Kita’ dengan pembawa acara yang juga sama yaitu Ulfa Dwiyanti dan Eko Patrio. dari tahun ke tahun sama saja format dan karakter yang dijalankan. Dan banyak acara ramadhan lainnya yang merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh TV sesuai dengan nuansa ramadhan.

2. Agama dan Televisi

(3)

Adalah hal yang wajar, bahwa sebagai sebuah media komersial yang berusaha menjaring sebanyak mungkin penonton. Sebuah station TV selalu berupaya mengkaitkan fenomena-fenomena populis yang ada ditengah masyarakat dengan produk-produk tayangan yang mereka buat, meski hal itu mengandung resiko terjadinya pembodohan terhadap pemirsa yang menonton. Dilain sisi sebagian penonton sendiri tidak terlalu peduli dengan pengkaitan menu acara dan Bulan suci Ramadhan selama apa yang disajikan itu menarik minat tonton mereka.

Dalam psykologi dakwah, kehadiran bulan suci Ramadhan merupakan sebuah moment khusus yang seakan-akan memang ada untuk dimanfaatkan dengan dukungan sosial yang sangat luar biasa. Yang menjadi tantangan ialah bagaimana membuat sebuah formulasi dakwah yang tidak hanya bisa mengundang minat tonton pemirsa tetapi sekaligus memberi pengetahuan-pengetahuan religius kepada masyarakat yang dalam bulan-bulan lain belum tentu atau bahkan tidak terdukung secara sosial.

Dibutuhkan suatu kecerdasan psykologis untuk bisa menciptakan stimulus dakwah yang disukai oleh masyarakat, meski dalam beberapa hal performa personal seringkali menjadi kunci disukai tidaknya sebuah acara dakwah. Menciptakan acara yang disukai masyarakat dan laku sehingga mendatangkan keuntungan yang besar yang pada dasarnya merupakan tujuan utama sebuah tayangan yang dikemas ‘islami’ di bulan ramadhan, tentu saja jangan sama sekali menghilangkan substansi nilai-nilai-agama yang sebenarnya, bukan dipaksakan pas dengan realitas atau kecenderungan trend yang ada.

(4)

agama, dimana agama yang harus mengikuti trend zaman tapi bukan sama sekali trend kehidupan yang harus mengikuti nilai-nilai agama.

Mudahnya pemahaman agama yang ditampilkan selama bulan ramadhan di televisi telah berakibat pada taraf ‘mengentengkan’ nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini bukan juga suatu yang keliru bila kita kaitkan dengan paradigma televisi itu sendiri, sebagai media hiburan dan transformasi informasi yang letak kekuatannya pada visualisasi tayangan, maka tidak akan mungkin menyajikan keseriusan semata dalam televisi. Semua kemudian terarahkan oleh ideologi intertaint, yaitu bagaimana menghibur masyarakat penontonnya.

Televisi telah menjadi agama baru bagi sebagian besar masyarakat kita. Masyarakat belajar dan memang lebih menyukai belajar banyak hal dalam kehidupan mereka dari televisi karena mudah, cepat dan menarik. Televisi telah mampu menggantikan kehadiran ustan-ustan ceramah di mesjid-mesjid atau lapangan. Atau bahkan televisi telah menggantikan kebutujhna masyarakat untuk belajar agama secara khsusu dengan cara konvensional karena dianggap lama, dan juga mebutuhkan dana tertentu. Televisi sekan menjawab segalanya. Kekuarangtahuan mereka tentang agam seakan telah memadai dengan munculnya televisi dengan tayangan-tayangan islam di buklan ramadhan.

Dengan pasti dapat dikatakan maraknya tayangan di bulan ramadhan, bukan cerminan bahwa televisi telah religius, tapi lebih hanya mendukung ideologi pasar yaitu kapitalisme. Maka selama tayangan tersebut laku, akan terus diproduksi terlepas apakah tayangan tersebut telah jauh melenceng dari kaidah-kaidah agama. Konsep laku akan jauh diutamakan dari konsep mutu sebuah tayangan.

(5)

yang pernah sukses malah lebih disukai untuk ditayang ulang daripada diproduksi dalam kemasan baru karena dianggap terlalu beresiko terhadap kemauan pasar.

(6)

masalah besar ketika setiap stasiun televisi kemudian hanya berjalan menuruti selera pasar tanpa mengindahkan nilai-nilai moral,etika dan juga pendidikan demi mendapatkan keuntungan semata. Ideologi Hartsonn dalam ‘ a world of capitalism’ yang mengasumsikan ‘ Everything creates for money’ tanpaknya harus dirubah menjadi ‘ Money could be created by everything’, dan acara – acara dakwah harus dapat berperan sebagai salah satu medianya. Tantangan ini tidak hanya berlaku bagi stasiun-stasiun TV akan tetapi juga merupakan keharusan bagi para pelaku dakwah itu sendiri jika mereka ingin ikut ‘ bermain’ dalam dinamika globalisasi yang memang tak terbendungkan. Dan bulan Ramadhan ini merupakan bulan yang memberikan support sosio-kultural luar biasa bagi semua stasiun TV dan pelaku dakwah untuk mengaktualisasikan komitmen mereka. Mampukah ?

Kapitalisasi Agama

Banyaknya tayangan ramadhan ditelevisi tidak dapat dikatakan sebagai telah berubahnya televisi kita menjadi lebih islami disebabkan kebijakan dari pengeloka televisi yang memilih dan sedikit mendukung nilai-nilai agama dalam ragam acara mereka, namun fenomena tersebut tidak lebih hanya merupakan kosmetik televisi yang mengislamkan dengan bahasa dan pola pikir industri media khususnya televisi yang sangat kapitalisme. Dimana sistem kapitalisme ini, industri budaya telah dikelola dengan pengaruh sangat kuat dari pemahaman kapitalisme itu sendiri.

(7)

pekerja atau pengelola televisi yang akan menggagas program yang lebih bermartabat dan cerdas. Hal itu dapat dipahami karena bukan moralitas dan harkat kemanusiaan yang dipikirkan atau menjadi orientasi pihak pekerja dan pengelola televisi. Tapi justru pertimbangan mereka adalah apakah sebuah program yang dibuat akan mampu mendatangkan spot iklan yang banyak sehingga mendatangkan keuntungan yang banyak pula.

Dalam konteks diatas McQuail (1996) menjelaskan bahwa pada dasarnya tayangan televisi bersifat amoral. Artinya para pekerja dan pengelola televisi tidak akan memikirkan apakah program yang mereka hasilkan dan siarkan akan mengakibatkan kerusakan moral dan kehidupan sosial masyarakat pemirsanya. Jadi televisi tidak memiliki tanggung jawab moral. Mereka justru memahami bahwa pilihan masyarakat sendiri yang menentukan apakah sebuah tontonan akan di tonton atau tidak. Jadi masyarakatlah yang bertanggung jawab atas akibat yang mereka pilih yang muncul dari pengaruh sebuah acara televisi. Karena dengan mengemukakan alasan lain banyak juga orang yang menonton acara televisi tapi mereka tidak terpengaruh oleh isi acara tersebut.

(8)

Jadi sangat sulit memang mengharapkan akan muncul sebuah tayangan serius untuk membahas secara serius pemahaman agama dengan baik di bulan ramadhan , Kalau ada pun hanya satu dua seperti Tafsir Misbah di Metro TV dengan penafsit Prof. Dr. Qurash Shihab.

Mungkin dapat dikatakan bahwa kecenderungan dikuasainya tayangan televisi dengan tayangan jenis hiburan karena memang televisi adalah untuk menghibur siapa saja yang menonton setelah lelah melakukan beragam kegiatan lainnya. Televisi khususnya di Indonesia menjadi sarana hiburan massal karena murah dan paling dekat dengan hidup kita.

Kepentingan yang dominan dalam setiap produksi tayangan ramadhan adalah ideologi kapitalis yang bertujuan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dan karenaya acara disesuaikan dengan suasana masyarakat yang sedang melaksanakan ibadah puasa,juga kecenderungan bahwa ibadah puasa di Indonesia seakan lebih diutamakan karena lebih bergairah dilaksanakan dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Dan yang lalu dapat disimpulkan ialah kuatnya landasan kapitalis dalam proses dan tujuan produksi sebuah acara yang bahkan tidak dapat ditolak sekalipun oleh kuatnya nuansa Ramadhan, yang ada ialah pemanfaatan Bulan Ramadhan itu sendiri untuk mencapai atau meraih tujuan-tujuan diatas. Dan jika suatu acara dinilai sukses secara komersial, maka terbuka kemungkinan untuk ditayangkan terus di tahun mendatang, sebaliknya jika tidak maka akan dicari format dan kemasan yang berbeda sehingga lagi-lagi tujuannya adalah mendatangkan iklan dan keuntungan yang banyak.

(9)

atau mencari jawaban tapi bagaimana memaparkan dan menghibur. Tapi bukan berarti bahwa media tidak berpengaruh pada konstruksi budaya, justru sangat berpengaruh dan bahkan media massa khusunya televisi telah menjadi alat transformasi budaya yang paling kuat dan dominan di masyarakat. Hampir tidak ada kekuatan lainnya yang mampu menyaingi kedahsyatan media massa dalam persoialan tersebut. Karenanya tantangan sangat serius bagi para da’i, pemikir islam untuk mampu menggunakan media sesuai dengan kapasitas ummat islam.

Mampukah kalangan pemikir islam melawan superstruktur yang telah ada, dimana telah terbentuk persepsi dan wacana tertentu dimasyarakat tentang jenis budaya yang diterima dan tidak, berdasarkan kecenderungan tayangan media yang telah mengakar saat ini. Kecenderungan tersebut membentuk frame bahwa tayangan yang menarik adalah tayangan yang mewakili nilai-nilai modern yaitu ideologi dan dominasi pop culture (budaya pop), dimana semuanya diharapkan berlangsung cepat dan mendapatkan hasil yang cepat pula,serta kalau bisa usaha yang mudah. Ini yang kemudian akan memunculkan kaum hedonis baru yang justru mengutamakan kesenangan, bagaimana menikmati hidup dengan mudah.

Perkembangan kosmopolitan ini kemudian mengharuskan da’i dan pemikir islam untuk lebih peka dan tahu apa yang harus segera dilakukan untuk menjadi penyeimbang guna menciptakan perspektif dan alternatif gaya hidup di tengah masyarakat dan bukan hanya menjadi ‘pengikut atau diterjen’ dari perkembangan yang berlangsung. Para da’i bukan hanya pelaku pasif yang hanya mengisi acara sesuai dengan format yang telah dibuat oleh pekerja/stasiun televisi semata karena kekuasaan bagaimana tayangan yang baik menurut nilai-nilai Islam dapat ditentukan. Da’I pun diharapakan tidak lagi semata kosmetik televisi.

(10)

penuh untuk mengkonstruksi budaya. Bagaimana kita akan mungkin memunculkan budaya sesuai dengan nilai-nilai islam jika kita bukan sebagai pengambil keputusan, pemilik media dan memiliki orientasi tanggung jawab sosial budaya dan moral, jika kita tidak memiliki media massa. Jadi jangan bicara kekuatan mengubah dunia dengan niali-nilai islam jika tidak memiliki media.

Tentu tidak berlebihan jika kita berharap akan muncul secepatnya media-media baru dari kalangan Islam yang tidak hanya mementingkan kepentingan pasar , tapi juga memiliki ruh dan visi moral yang jelas dalam setiap produksinya. Harapan tersebut sebenarnya sangat wajar dan justru aneh bila sampai saat ini tidak ada media yang dikelola dan berorientasi Islam. Negera ini 80 % lebih ummatnya islam., dengan kata lain penonton media banyak dari kalangan islam. Universitas islam dan fakultas dakwah, pesantren, yang tentu melahirkan pemikir Islam dan para daiyang juga sangat memadai untuk kepentingan tersebut. Persoalannya mampukan atau terpikirkankah oleh umat islam dan khususnya pemikir islam bahwa orientasi harus diubah, tidak lagi asyik memperebutkan kekuasaan tapi bagaimana kita memiliki media massa yang Islami. Mampukan kita memiliki lembaga media yang akan memiliki beragam produksi berbasis nilai-nilai Islam.

Daftar Pustaka:

1. Gerbner, Gross, Morgan dan Signoreilli, A Cultural Analysis, 1986) 2. Invensenn Olf, Media and Religion, 1985.

3. Nick Stevenson, Understanding Media Culture, SAGE Publications, 1995. 4. Said Ramadhan, Ideologi Pasar Dalam Tayangan Ramadhan, Kompas, 27

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kondisi pipa pendingin sekunder, sehingga dapatdiketahui laju penipisan pipa sekunder berdasarkan hasil pengukuran yang pernah

Sub tema pelaksana dapat teridentifikasi dari tiga kategori, yaitu kader (P1,P2,P4) yang dipersiapkan dengan memberdayakan mahasiswa PSIK FK UNDIP sebagai

Kategori DTPs terapi obat yang tidak diperlukan terjadi sebanyak 1 (5%) ditunjukkan pada Tabel 5 dengan penyebab pasien mendapat obat untuk mengatasi gangguan batuk

Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan pengujian untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari penggunaan internet terhadap minat belajar mahasiswa pada Perguruan Tinggi yang ada di

Untuk mengetahui volume lalu lintas yang akan melalui Jalan Alternatif Arteri Nganjuk Caruban diwaktu yang akan datang maka diperlukan peramalan (forecasting)

Pengemasan menggunakan kemasan plastik jenis polyprophilene (P) yang lebih tebal. Proses pengemasan keju mozzarella ini menggunakan kemasan vacuum dengan menggunakan

Pemodelan Regresi Linear Untuk Prediksi Konsumsi Energi Primer Indonesia Menggunakan Hybrid Particle Swarm Optimization Dan.. Continuous Ant Colony Optimization Faris Febrianto 1

percakapan tersebut adalah …. Puisi lama yang menunjukkan adanya hubungan sampiran dan isi adalah …. Mari menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini! 1. Rina naik ke kelas empat.