BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Film Sebagai Komunikasi Massa
Film merupakan salah satu media yang paling banyak dipakai secara kolektif dan terikat. Film dapat melintasi batas-batas wilayah, bahkan sering kali mampu menembus beberapa kurun masa.
Film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukungnya. Pada mulanya hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920-an barulah film bersuara mulai dikenal, dan menyusul film warna pada tahun 1930-an. Peralatan produksi film juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik bagi khalayak luas.
Media massa memiliki sifat atau karakteristik yang mampu menjangkau massa dalam jumlah besar dan luas, bersifat heterogen, dan mampu memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa. Peran media massa tersebut menyebabkan media massa telah menjadi perhatian penting bagi masyarakat.
Sebagai salah satu media massa, McQuail mengatakan film merupakan alat komunikasi yang efektif karena memiliki kemampuan mengantarkan pesan secara unik. Hal ini dimungkinkan karena adanya unsur audio dan visual yang terdapat di dalam film sehingga memudahkan orang memahami pesan yang ingin disampaikan. Selain itu, film dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat,
dan kemampuan memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas membuat film lebih mudah mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya.
Industri film adalah industri yang tidak ada habisnya. Sebagai media massa, film digunakan untuk merefleksikan realitas atau bahkan membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat berbentuk fiksi atau non-fiksi. Melalui film, informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual.
Film sebagai komunikasi massa juga dapat memberikan informasi kepada audiennya. Seorang pembuat film dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya melalui media film. Dengan begitu ia juga ikut mendidik publik dengan pesan yang ada di dalam filmnya. Selain mampu untuk menginformasikan, menghibur, dan mendidik, film juga mampu untuk memengaruhi seseorang. Tanda-tanda dan simbol-simbol yang terdapat dalam sebuah film merupakan sebuah propaganda pembuat film untuk menyampaikan pesan kepada audien.
2.2. Film Dokumenter
Sejarah awal film dokumenter ditandai dengan munculnya film Nanook Of The North (1922) karya Robert Flaherty yang bercerita tentang kehidupan seorang dari suku Eskimo di wilayah Kutub Utara bernama Nanook. Film ini mendapat kritik oleh John Grierson di New York Sun pada 8 Februari 1962, dan saat itulah istilah dokumenter pertama kali digunakan. Grierson berpendapat bahwa apa yang
dilakukan Flaherty adalah sebuah perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian nyata yang ada.4
Menurut John Grierson, dokumenter adalah cara kreatif untuk
merepresentasikan realitas5. Melalui film dokumenter, realitas yang terjadi di dunia
nyata memang dapat dipindahkan melalui proses representasi ke dalam bentuk film. Representasi yang dibangun tentu saja tergantung dari tujuan pembuatan film, latar belakang produksi film, serta sikap dari kreator film dokumenter itu sendiri.
Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa, melainkan merekam sebuah peristiwa yang sungguh nyata terjadi. Berbeda dengan film fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot namun memiliki struktur yang pada umumnya
didasarkan dari sebuah tema atau argument pembuatnya.6 Film dokumenter bukan
sekedar dokumentasi yang hanya mengumpulkan file-file dan merangkainya tanpa ada pola. Film dokumenter bukan pula sekedar dokumentasi yang dibuat tanpa ada tema sentral dan tujuan pembuatan film. Dokumentasi dibuat dengan merekam apa yang terjadi dengan satu tujuan, mendokumentasikan secara audio visual, sedangkan dokumenter dibuat dengan pendekatan subyektifitas dari pembuatnya. Subyektifitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap suatu peristiwa. Jadi, ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada individu pembuat film dokumenter tersebut.
4 Fajar Nugroho, Cara Pintar Bikin Film Dokumenter, 2007, Hal. 34. 5 Susan Hayward, Cinema Studies: Key Concept, 2001, Hal. 90.
2.2.1. Tipe Film Dokumenter
Dokumenter adalah program informasi yang bertujuan untuk pembelajaran
dan pendidikan namun disajikan dengan menarik.7 Tipe film lebih cenderung
mengelompok dari pendekatan wujud yang terlihat secara kasat mata serta dapat dirasakan dampaknya oleh audien sehingga lebih dekat dengan gaya film, seperti unsur mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Menurut Bill Nichols, klasifikasi tipe-tipe film dokumenter yaitu:
a. Tipe Expository
Tipe ini berupa narasi (voice over) yang memaparkan serangkaian fakta yang dikombinasikan bersamaan dengan gambar-gambar di film. Kekuatan narasi yaitu menyampaikan informasi abstrak yang tidak mungkin digambarkan oleh rekaman kamera serta dapat memperjelas peristiwa yang terekam kamera namun kurang dipahami. Penekanan pada jenis ini adalah penyampaian informasi.
b. Tipe Observational
Film dokumenter observational merupakan film yang pembuatnya menolak untuk mengintervensi obyek dan peristiwanya. Mereka berusaha untuk netral dan tidak menghakimi subyek atau peristiwanya. Tipe ini juga menolak menggunakan narasi atau komentar dari luar ruang cerita. Penekanannya adalah untuk memaparkan potongan kehidupan manusia secara akurat atau mempertunjukkan gambaran kehidupan manusia secara langsung.
c. Tipe Interactive
Tipe ini merupakan kebalikan dari dokumenter observational. Pembuat film menunjukkan diri secara mencolok dan melibatkan diri pada peristiwa serta berinteraksi dengan subyeknya. Aspek utama dari tipe ini adalah wawancara, terutama dengan subyek-subyeknya sehingga bisa didapatkan komentar-komentar dan respon langsung dari narasumbernya.
d. Tipe Reflexive
Tipe ini lebih memfokuskan pada bagaimana film itu dibuat, artinya audien dibuat menjadi sadar akan adanya unsur-unsur film dan proses pembuatan film tersebut. Tujuannya untuk membuka ‘kebenaran’ lebih lebar kepada audiennya.
e. Tipe Performative
Tipe film dokumenter ini pada satu sisi justru mengalihkan perhatian audien dari ‘dunia’ yang tercipta dalam film. Sedangkan disisi lain justru menarik perhatian audien pada aspek ekspresi film itu sendiri. Tujuannya untuk merepresentasikan ‘dunia’ film secara tidak langsung. Aspek penciptaan tersebut bertujuan untuk menggambarkan subyek atau peristiwanya secara lebih subyektif, lebih ekspresif, lebih mendalam serta lebih kuat menampilkan penggambarannya.
f. Tipe Poetic
Film dokumenter tipe ini cenderung memiliki interpretasi subyektif terhadap subyek-subyeknya. Pendekatan dari tipe ini mengabaikan
kandungan penceritaan tradisional yang cenderung menggunakan karakter tunggal dan peristiwa yang harus dikembangkan.
2.2.2. Genre Dokumenter
Dalam film banyak sekali genre yang sudah dikenal oleh masyarakat seperti drama, western, gangster, horror, science fiction, komedi, action, perang, detektif, dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya, genre film tersebut sering dicampur satu sama lain seperti horror-komedi, western-komedi, horror-science fiction, dan lain-lain. Selain itu genre juga bisa masuk ke dalam bagian dirinya yang lebih spesifik yang kemudian dikenal dengan nama sub-genre seperti dalam genre komedi dikenal screwball comedy, situasi komedi, slapstick, black comedy, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dalam dokumenter, Gerzon R. Ayawila dalam bukunya yang berjudul Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi membagi dokumenter kedalam dua belas genre, yaitu:
a) Dokumenter Laporan Perjalanan
Jenis ini pada awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang remeh-temeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue, travel film¸travel documentary, dan adventures film.
b) Dokumenter Sejarah
Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental memiliki aspek referential meaning (makna yang sangat bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hamper tidak boleh ada yang salah baik pemaparan maupun penafsirannya. Pada masa sekarang, film sejarah sudah banyak diproduksi terutama karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dari masa lalu. Tidak diketahui sejak kapan dokumenter sejarah ini digunakan, namun pada tahun 1930-an rezim Adolf Hitler telah menyisipkan unsur sejarah kedalam film-filmnya yang memang lebih banyak bertipe dokumenter.
c) Dokumenter Potret / Biografi
Sesuai dengan namanya jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang. Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas atau seseorang yang biasa namun memiliki kehebatan, keunikan, ataupun aspek lain yang menarik. Ada beberapa istilah yang merujuk kepada hal yang sama untuk menggolongkannya. Pertama, potret yaitu film dokumenter yang mengupas aspek human interest dari seseorang. Plot yang diambil biasanya adalah hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dan krusial dari orang tersebut. Isinya bisa berupa sanjungan, simpati, kritik pedas atau bahkan pemikiran sang tokoh. Kedua, biografi yang cenderung mengupas secara kronologis dari yang secara garis penceritaan bisa dari awal tokoh
dilahirkan hingga saat tertentu yang diinginkan oleh pembuat filmnya. Ketiga, profil yaitu sub-genre yang memiliki unsur pariwara (iklan/ promosi) dari tokoh tersebut. Pembagian sequence hamper tidak pernah membahas secara kronologis dan walaupun misalnya diceritakan tentang kelahiran dan tempat ia berkiprah, biasanya tidak pernah mendalam atau terkadang hanya untuk awalan saja. Profil umumnya lebih banyak membhaas aspek-aspek positif tokoh seperti keberhasilan ataupun kebaikan yang dilakukan. Akan tetapi sub-genre profil ini tidak berhenti pada orang atau manusia, namun bisa juga sebuah badan (institusi) seperti perusahaan, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, organisasi politik dan sebagainya yang lebih dikenal dengan istilah profil niaga atau company profile.
d) Dokumenter Nostalgia
Film-film jenis ini sebenarnya dekat dengan jenis sejarah, namun biasanya banyak mengetehgahkan kilas balik atau napak tilas kejadian-kejadian dari seseorang atau kelompok.
e) Dokumenter Rekonstruksi
Dokumenter jenis ini mencoba memberi gambaran ulang terhadap peristiwa yang terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri dalam mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus dibantu merekonstruksi peristiwanya. Peristiwa yang memungkinkan direkonstruksi dalam film-film jenis ini adalah peristiwa kriminal (pembunuhan atau perampokan), bencana (jatuhnya pesawat dan
tabrakan kendaraan), dan lain sebagainya. Rekonstruksi yang dilakukan tidak membutuhkan mise en scene (pemain, lokasi, kostum, make up, dan lighting) yang persis dengan kejadiannya, sehingga sangat berbeda dengan doku-drama yang memang membutuhkan keotentikan yang tinggi. Yang hendak dicapai dari rekonstruksi disini adalah sekedar proses terjadinya peristiwa tersebut. Dalam membuat rekonstruksi bisa dilakukan dengan shoot live action atau bisa juga dibantu dengan animasi.
f) Dokumenter Investigasi
Jenis dokumenter ini memang kepanjangan dari investigasi jurnalistik. Biasanya aspek visualnya yang tetap ditonjolkan. Peristiwa yang diangkat merupakan peristiwa yang ingin diketahui lebih mendalam, baik diketahui oleh publik ataupun tidak. Terkadang dokumenter seperti ini membutuhkan rekonstruksi untuk membantu memperjelas proses terjadinya suatu peristiwa. Bahkan dibeberapa film aspek rekonstruksinya digunakan untuk menggambarkan dugaan-dugaan para subyek di dalamnya.
g) Dokumenter Perbandingan & Kontradiksi
Dokumenter ini mengenengahkan sebuah perbandingan, bisa dari seseorang atau sesuatu seperti film Hoop Dreams (1994) yang dibuat oleh Steve James. Selama empat tahun, ia mengikuti perjalanan dua remaja Chicago keturunan Afro-America, William Gates dan Arthur Agee untuk menjadi atlet basket professional.
h) Dokumenter Ilmu Pengetahuan
Film dokumenter ini sesungguhnya yang paling dekat dengan masyarakat Indonesia, misalnya saja pada masa orde baru, TVRI sering memutar program berjudul “Dari Desa Ke Desa” ataupun film luar yang banyak dikenal dengan nama ”Flora dan Fauna”. Film genre ini bisa terbagi menjadi sub-genre yang sangat banyak, yaitu:
Film Dokumenter Sains
Film ini biasanya ditujukan untuk public umum yang menjelaskan tentang suatu ilmu pengetahuan tertentu misalnya dunia binatang, dunia teknologi, dunia kebudayaan, dunia tata kota, dunia lingkungan, dunia kuliner, dan sebagainya.
Film Instruksional
Film ini dirancang khusus untuk mengajari pemirsanya bagaimana melakukan berbagai macam hal yang mereka ingin lakukan, mulai dari bermain gitar akustik atau gitar blues pada tingkat awal, memasang instalasi listrik, penanaman bunga yang dijamin tumbuh, menari perut untuk menurunkan berat badan, bermain rafting untuk mengarungi jeram, dan sebagainya. Bahkan ada beberapa film instruksional yang bertujuan lebih serius, seperti bagaimana menjaga pola untuk hidup lebih lama dan lebih kuat dari HIV/AIDS atau seperti yang banyak berkembang saat ini, video motivasi tentang meningkatkan kualitas hidup.
i) Dokumenter Buku Harian (Diary)
Seperti halnya sebuah buku harian, maka film genre ini mengacu pada catatan perjalanan kehidupan seseorang yang diceritakan kepada orang lain. Tentu saja sudut pandang dari tema-temanya menjadi sangat subyektif sebab sangat berkaitan dengan apa yang dirasakan subyek pada lingkungan tempat dia tinggal, peristiwa yang dialami atau bahkan perlakuan kawan-kawannya terhadap dirinya. Dari segi pendekatan, film jenis ini memiliki beberapa ciri yang pada akhirnya banyak yang menganggap gayanya konvensional. Struktur ceritanya cenderung linear serta kronologis, narasi menjadi unsur yang sering digunakan serta seringkali mencantumkan ruang dan waktu kejadian yang cukup detil. Pada beberapa film, jenis diary ini oleh pembuatnya digabungkan dengan jenis lain seperti laporan perjalanan (travel-doc) ataupun nostalgia.
j) Dokumenter Musik
Genre musik memang tidak setua genre yang lain, namun pada masa tahun 1980 hingga sekarang, dokumenter jenis ini sangat banyak diproduksi. Namun tidak semuanya merupakan dokumentasi konser music ataupun perjalanan tur keliling untuk mempromosikan sebuah album. Banyak sutradara yang membuatnya lebih dekat dengan genre lain seperti biografi, sejarah, diary, dan sebagainya.
k) Dokumenter Association Picture Story
Jenis dokumenter ini dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan namanya, film ini mengandalkan gambar-gambar yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka.
l) Dokudrama
Selain menjadi sub-tipe film, docudrama juga merupakan salah satu dari jenis dokumenter. Film jenis ini merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian nyata, bahkan selain peristiwanya, hamper seluruh aspek filmnya (tokoh, ruang, dan waktu) cenderung untuk direkonstruksi. Ruang (tempat) akan dicari yang semirip mungkin dengan tempat aslinya bahkan kalua memungkinkan dibangun lagi hanya untuk keperluan film tersebut. Begitu pula dengan tokoh, pastinya akan dimainkan oleh actor yang sebisa mungkin dibuat mirip denga tokoh aslinya. Uniknya di Indonesia justru pernah ada docudrama yang peran utamanya dimainkan oleh tokoh itu sendiri yaitu “Johny Indo” karya Franky Rorimpandey.
2.3. Sinematografi
Sinematografi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris cinematography yang berasal dari bahasa latin kinema yang berarti gerakan dan graphein yang berarti menulis. Jadi sinematografi dapat diartikan menulis dengan
gambar yang bergerak.8 Sinematografi merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabungkan gambar-gambar tersebut hingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide dan cerita. Di dalam sinematografi kita mempelajari bagaimana membuat gambar bergerak dan kemudian merangkai potongan-potongan gambar bergerak menjadi rangkaian gambar yang mampu menyampaikan maksud tertentu dan mengkomunikasikan informasi atau suatu ide tertentu.
Sinematografi memiliki prinsip yang sama dengan bidang fotografi, yaitu menangkap pantulan cahaya yang mengenai suatu benda. Perbedaan mendasar antara sinematografi dengan fotografi adalah fotografi menangkap gambar tunggal sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Jadi dapat disimpulkan bahwa sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar atau di dunia sinematografi dikenal dengan istilah montase (montage).
Dalam pembuatan sebuah film atau video, gambar tidak hanya sekedar gambar tetapi gambar merupakan informasi. Seorang penata gambar harus memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan melalui setiap gambar yang mereka rekam. Mereka harus mampu mengontrol dan mengatur setiap adegan yang diambil seperti faktor jarak, ketinggian, sudut, durasi pengambilan, dan hal-hal lainnya. Kesuksesan penata gambar dapat dilihat ketika penonton memberikan respon yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikannya ketika melihat suatu rekaman.
Jika berbicara mengenai proses pengambilan gambar dalam sebuah film, maka sudah seharusnya mengikutsertakan pada pemikiran dalam proses editing. Maka dalam setiap pengambilan gambar seorang penata gambar juga harus berpedoman pada bagaimana hasil pasca produksi yang akan dikerjakan setelah proses produksi selesai dilaksanakan.
Selain menggunakan pergerakan kamera serta komposisi obyek, permainan lensa juga memiliki peranan penting dalam proses penyampaian pesan melalui bahasa visual. Pemilihan serta permainan lensa akan menuntun penonton untuk memperhatikan pandangannya kepada obyek-obyek tertentu.
Penempatan sudut kamera juga memiliki pengaruh pada kondisi psikologis penonton. Sebagai contoh ketika menggunakan high angle, maka penonton akan diposisikan lebih tinggi dari obyek yang terlihat, hal ini membuat penonton lebih tinggi derajatnya dari obyek di dalam video. Namun sebaliknya, jika kita menggunakan low angle, maka penonton diposisikan lebih rendah dari obyek, sehingga membuat psikis penonton merasa lebih rendah derajatnya.
Oleh karena itulah seorang penata gambar harus memahami berbagai hal yang berkaitan dengan mutu dan kualitas gambar, di antaranya mampu membuat gambar dengan komposisi yang baik, paham berbagai teori tata cahaya, tata suara, editing serta motivasinya, dan teknik penyutradaraan disamping tentunya mengenal
dan mampu mengoperasikan kameranya dengan baik.9
2.3.1. Ukuran dan Komposisi Gambar
Seorang penata gambar harus memiliki pemahaman mengenai bagaimana membuat ukuran gambar yang baik dan menarik dalam setiap adegan filmnya. Pengaturan komposisi yang baik merupakan jaminan bahwa gambar yang ditampilkan tidak akan membuat audien merasa bosan dan enggan beranjak dari gambar yang kita tampilkan.
Secara sederhana komposisi dapat diartikan sebagai pengaturan unsur-unsur yang terdapat dalam gambar untuk membentuk suatu kesatuan yang serasi dalam sebuah bingkai. Dalam mengatur sebuah komposisi, seorang penata gambar harus mempertimbangkan dimana ia harus menempatkan obyek yang akan menjadi obyek utama dan seberapa besar ukuran obyek tersebut dalam sebuah frame. Berikut beberapa pembagian komposisi gambar:
a. Extreme Close Up
Pengambilan gambar yang berfokus pada salah satu bagian tertentu dari suatu obyek.
b. Big Close Up
Ukuran gambar ini sangat baik untuk menangkap ekspresi serta detail wajah dari seseorang. Batas pengambilan gambar ini antara dahi hingga dagu.
Gambar 2. Big close up c. Close Up
Batasan pengambilan close up adalah dari atas ujung kepala hingga bahu. Komposisi ini berfungsi untuk menangkap detail ekspresi wajah serta menyampaikan detail karakter dari sebuah obyek sehingga karakternya terutama manusia dapat terlihat dengan jelas.
d. Medium Shoot
Medium shoot merupakan komposisi pengambilan gambar antara kepala hingga pinggang. Komposisi ini berfungsi untuk menampilkan bahasa tubuh serta ekspresi wajah.
Gambar 4. Medium shoot e. Knee Shoot
Komposisi ini berfungsi menyampaikan aktivitas suatu obyek dengan keluasan suasana lingkungan dimana obyek tersebut berada.
f. Full Shoot
Komposisi ini digunakan untuk memperlihatkan suatu obyek secara keseluruhan dari atas hingga bawah serta menyampaikan aktivitas suatu obyek dengan keluasan lingkungan tempat obyek berada.
Gambar 6. Full shoot g. Wide Shoot
Komposisi ini sesuai digunakan untuk pengambilan gambar dengan jumlah obyek yang banyak dimana obyek serta ambience sekitarnya terlihat secara keseluruhan.
h. Group Shoot
Merupakan komposisi gambar yang terdiri dari dua obyek atau lebih.
Gambar 8. Group shoot i. Over Shoulder
Sebuah komposisi gambar dimana kamera berada di belakang bahu salah satu obyek dengan posisi bahu terlihat dalam frame sebagai foreground dari obyek utama.
j. Head Room
Merupakan jarak ruang antara kepala dengan tepi teratas dari suatu frame.
Head room
Gambar 10. Head room k. Looking Room
Looking room adalah ruang yang terdapat antara sisi pinggir frame dengan titik sudut pandang suatu obyek.
l. Foreground dan Background
Foreground merupakan obyek yang berada di depan obyek utama, sedangkan background merupakan kebalikan dari foreground yaitu obyek yang berada di belakang obyek utama.
Background
Foreground
Gambar 12. Foreground dan background m. Depth Of Field
Secara sederhana depth of field dapat diartikan sebagai bagian gambar yang terlihat tajam. Kualitas depth of field suatu gambar ditentukan oleh jarak obyek, panjang lensa, serta besaran aperture pada kamera.
Gambar 13. Depth of field n. Rule Of Third
Rule of third adalah petunjuk bagaimana cara memosisikan obyek di sepertiga bagian frame. Dalam aturan rule of third, frame dibagi menjadi tiga bagian sama besar baik secara vertikal maupun horizontal sehingga
memiliki sembilan area yang sama besar dan menghasilkan empat titik pertemuan yang disebut juga sebagai empat titik mata.
Gambar 14. Rule of third
2.3.2. Pergerakan Kamera
Dalam sebuah karya visual, kemampuan menyampaikan pesan melalui gambar merupakan sebuah keharusan. Karena itu sangatlah penting bahwa setiap gambar yang diambil dan ditampilkan harus memiliki makna agar pesan tersebut dapat tersampaikan dengan jelas. Dalam sebuah proses pengambilan gambar, penempatan obyek, komposisi obyek, serta pergerakan kamera adalah kunci dari proses penyampaian pesan itu sendiri. Untuk menciptakan gambar yang dinamis terdapat macam-macam gerakan kamera, yaitu:
a. Zooming
Zooming adalah suatu pergerakan dari lensa kamera menuju (in) obyek atau menjauh (out) dengan posisi kamera diam dan mengubah panjang fokal lensa (focal length) sehingga menimbulkan efek membesar bila mendekat dan mengecil bila menjauh.
b. Panning
Panning adalah gerakan horizontal kamera ke kiri (pan left) atau kanan (pan right) dengan bertumpu pada satu poros dan tidak berpindah tempat.
c. Tilting
Tilting adalah gerakan vertikal kamera ke atas (tilt up) atau ke bawah (tilt down) dengan bertumpu pada satu poros dan tidak berpindah tempat.
d. Tracking
Tracking adalah gerakan berpindah kamera ke kiri, kanan, maju, atau mundur.
2.3.3. Sudut Pengambilan Gambar
Dalam penataan kamera, secara teknik yang perlu diperhatikan salah satunya adalah sudut kamera. Pemilihan sudut pandang kamera yang tepat akan mempertinggi visualisasi dramatik suatu cerita. Sebaliknya, jika pengambilan sudut pandang kamera dilakukan dengan serabutan dapat membingungkan audien karena makna pesan sulit dipahami. Oleh karena itu sudut pandang kamera menjadi faktor yang sangat penting dalam membangun cerita yang berkesinambungan.
Menurut Askurifai Baksin, sudut pengambilan gambar dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Angle kamera obyektif
Merupakan angle kamera dari sudut pandang outsider, bukan dari sudut pandang pemain tertentu. Beberapa sudut obyektif yaitu:
1. High angle
Kamera ditempatkan lebih tinggi daripada subyek untuk mendapatkan kesan bahwa subyek yang diambil gambarnya memiliki status sosial yang rendah, kecil, dan lemah.
Gambar 15. High angle 2. Eye angle
Kamera ditempatkan sejajar dengan mata subyek. Pengambilan gambar dari sudut eye level bertujuan menunjukkan bahwa kedudukan subyek dengan audien sejajar.
3. Low angle
Kamera ditempatkan lebih rendah dari subyek untuk menampilkan kedudukan subyek yang lebih tinggi daripada audien dan menampilkan kesan kekuasaan, jabatan, dan kekuatan.
Gambar 17. Low angle b. Angle kamera subyektif
Kamera berada dari sudut pandang audien yang dilibatkan atau dari sudut pandang pemain lain. Angle kamera subyektif dilakukan dengan beberap cara yaitu:
1. Kamera berlaku sebagai mata audien untuk menempatkan mereka dalam adegan sehingga menimbulkan efek dramatic.
2. Kamera berganti-ganti tempat dengan seorang yang berada dalam gambar. Audien bisa menyaksikan suatu hal atau kejadian melalui mata pemain tertentu. Audien akan mengalami sensasi yang sama dengan pemain tertentu.
3. Kamera bertindak sebagai mata dari audien yang tidak kelihatan. Seperti presenter yang menyapa audien dengan memandang
langsung ke kamera, hubungan dengan audien dapat dibangun dengan cara seperti ini.
c. Angle kamera point of view
Merupakan suatu gabungan antara angle obyektif dan angle subyektif. Jarak pengambilan gambar point of view dilakukan sedekat shot obyektif dalam kemampuan mengambil sebuah shot subyektif. Kamera ditempatkan pada sisi pemain subyektif. Contohnya adalah mengambil close up pemain yang menghadap ke pemain di luar layar namun sebelumnya didahului dengan over shoulder shot.