• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana?"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 0853 - 0823 Makalah ini utamanya berisi informasi tentang pengaruh siklus lima belas tahunan terhadap estimasi kekeringan di Indonesia berbasis hasil analisis data iklim global, khususnya data rata-rata bulanan ESPI (ENSO Precipitation Index) yang sebenarnya merupakan gabungan dari data El-Nino dan La-Nina yang dikenal dengan istilah EI dan LI masing-masing untuk ENSO Idex dan La-Nina Index, GPCP (Global Precipitation Climatology Project) dan siklus ke-24 matahari periode Januari 1979 hingga Desember 2006. Hal ini penting dilakukan mengingat kekeringan merupakan faktor yang amat sangat penting dalam menunjang berhasil tidaknya produksi padi (gabah) terkait dengan ketahanan pangan nasional. Dengan menggunakan teknik analisis wavelet dan juga FFT (Fast Fourier Transform), kami mendapatkan bahwa osilasi dominan daripada data ESPI adalah sekitar lima belas tahunan, walaupun ada juga osilasi lain antara satu setengah hingga 3 tahunan, namun bukanlah osilasi dominan, dan itu terjadi di sekitar tahun 1982 dan 1997, di saat kita memang mengalami musim kering yang berkepanjangan (lebih dari enam bulan dari batas normalnya). Jika siklus ini berjalan sempurna (tanpa ada faktor lain yang mengganggunya), maka berbasis kejadian tahun 1997, diperkirakan tahun 2012/2013 nanti, kita akan mengalami musim kering yang berkepanjangan seperti kejadian tahun 1997. Dan untuk mengetahui kawasan mana saja yang akan dilanda mengalami kekeringan terlebih dahulu, hasil analisis data GPCP menunjukkan bahwa hal itu akan dimulai dari kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terus merambat ke atas menuju daerah Sulawesi Selatan hingga kepulauan Maluku. Untuk meyakinkan apakah skenario ini akan menjadi kenyataan, maka dilakukanlah analisis dari data siklus sebelas tahunan matahari yang dikenal dengan siklus sun-spot, di mana pada siklus ke-24 nanti yang diduga akan jatuh pada tahun 2012/2013, bumi kita akan mengalami musim panas yang berkepanjangan akibat meningkatnya aktivitas badai surya (solar flare) matahari dari kondisi normalnya. Penjelasan lebih lanjut tentang ESPI, GPCP dan siklus ke-24 matahari kaitannya dengan estimasi musim kering yang berkepanjangan yang bakal terjadi di tahun 2012, dan mekanisme pembentukannya akan kami bahas secara penuh pada full makalah nanti.

Kata kunci : ESPI, GPCP, Siklus ke-24 matahari dan kekeringan I. Pendahuluan

Ide dasar penulisan makalah ini berawal dari adanya satu pertanyaan yang kini kembali hangat dibicarakan orang yakni “Isu Kiamat 2012: Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Kembali Berperan Aktif Disana?” Pertanyaan di atas tentunya menarik perhatian kita semua dari masyarakat awam hingga tingkat akademisi dan bahkan di tingkat peneliti itu sendiri yang terus “bergelut” dengan masalah isu kiamat 2012 yang notabene terkait erat dengan isu Badai Surya (Solar Flare) seiiring meningkatnya siklus ke-24 matahari yang diperkirakan akan jatuh di sekitar tahun 2012/2013. Benarkah hanya fenomena Badai Surya saja yang akan terjadi, adakah fenomena (bencana) atmosfer lain yang juga akan terkait dengan fenomena di atas?

Jika kita kaji dengan seksama terhadap bencana atmosfer yang terjadi di tahun 1982 dan 1997 (musim kering yang berkepanjangan) melebihi batasan normalnya, maka terlihat adanya siklus lima belas tahunan diduga akan kembali hadir di tahun 2012/2013 mendatang. Apa itu siklus lima belas tahunan, akankah dia kembali hadir bersamaan dengan datangnya siklus ke-24 matahari, dan adakah indikasi awal (semacam precursor) yang kiranya dapat kita gunakan untuk “menangkap” kehadiran musim kering berkepanjangan tadi.

Kenapa hujan dengan intensitas sedang masih setia menaungi di sebagian wilayah kita? Bukankah matahari sudah mulai bergerak ke BBU sejak tanggal 21 Maret 2010? Mengapa kawasan Bandung Selatan dan sekitarnya masih bergelut dengan banjir ?. Saat ini fenomenanya “banjir” (flooding), lalu bagaimana di tahun 2012/2013 nanti, masih banjirkah? Beberapa hasil kajian penelitian sebelumnya terlihat bahwa selain gempa bumi (earthquake) yang mendominasi kawasan kita, ternyata tidak hanya masalah banjir, tetapi ada juga masalah kering (drought) yang berkepanjangan. Ini adalah wajar, karena fenomena monsoon merupakan osilasi utama yang menyelimuti hampir seluruh kawasan kita. Ciri utamanya adalah satu, yakni adanya perbedaan yang tegas/jelas bila musim penghujan & bila musim kemarau/kering.

Masalahnya adalah jika kita hanya terfokus kepada fenomena monsoon saja, maka tidak banyak hal yang dapat kita lakukan, karena ia hampir berosilasi sempurna ( sekitar dua belas bulanan). Yang menarik kita adalah bagaimana jika osilasi yang sempurna tadi “terganggu” atau “diganggu” fenomena lain? Hendaknya diingat bahwa masih ada fenomena lain yang harus kita perhatikan, yakni ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) dan DMI (Dipole Mode Indeks).

(2)

ISSN 0853 - 0823

Atas dasar itulah maka penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang konsep dasar siklus lima belas tahunan, mengintai bila indikasi awal siklus tadi akan datang, dan terakhir mengidentifikasi kawasan mana saja di Indonesia yang akan mendapat bahaya yang serius.

II. Gambaran Umum Pola Curah Hujan di Indonesia Tahun 1982 dan 1997

Sebelum masalah ini kami bahas lebih lanjut, ada baiknya kita tinjau kembali bagaimana perilaku pola curah hujan di atas kawasan Indonesia, khususnya di tahun 1982 dan 1997. Rangkaian Gambar 1 hingga Gambar 3 menggambarkan perbedaan yang signifikan distribusi curah hujan yang terjadi di Indonesia di tahun 1982 dan 1997.

Gambar 1. Diagram Hovmoller dari data radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing Longwave Radiation) periode Januari hingga Desember 1982.

(3)

ISSN 0853 - 0823

Gambar 2. Sama dengan Gambar 1, tetapi untuk tahun 1997.

Gambar 3. Diagram ketika fenomena El-Nino 3.4 dan DMI terjadi bersamaan.

Di sini terlihat bahwa jika hanya satu fenomena alam saja yang bergerak (katakanlah El-Nino) saja, maka dampak yang ditimbulkannya tidaklah besar. Namun, bila dua fenomena alam datang dalam waktu yang bersamaan (simultan), maka dampak yang ditimbulkannya akan amat sangat serius (severe).

Dari Gambar 4 terlihat jelas bahwa pada tahun 1982/83 dan 1997/98 telah terjadi lonjakan SST yang cukup signifikan di kawasan pantai Timur Pasifik yang ditandai dengan warna merah yang sangat menyolok. Hal ini berarti telah terjadi proses konveksi yang sangat intensif di kawasan pantai Timur

(4)

ISSN 0853 - 0823

Pasifik pada saat itu yang menyebabkan bergesernya awan-awan konvektif jauh meninggalkan wilayah Indonesia menuju ke arah timur. Sayangnya kita tidak mempunyai data atau gambar sebelum tahun 1982 agar diperoleh hasil yang lebih tajam dan akurat. Dengan keterbatasan di atas, maka dilakukanlah analisis statistik sederhana dari data ESPI (ENSO Precipitation Index) yang akan kami jelaskan kemudian.

Gambar 4. Penampang melintang laju kenaikan SST (Sea Surface Temperature) terhadap waktu periode Januari 1982 hingga Januari 2008.

Suhu permukaan laut di daerah tropis sangatlah bervariasi baik dalam skala ruang dan waktu. Interaksi yang cukup kuat antara atmosfer dan lautan di wilayah Samudera Hindia menghasilkan fenomena Dipole Mode yang didefinisikan sebagai gejala ataupun tanda-tanda menaiknya suhu permukaan laut yang tidak normal di Samudera Hindia sebelah selatan India yang diiringi dengan menurunnya suhu permukaan laut tidak normal di perairan Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah Barat Sumatera (Saji et al., 2003).

Indian Ocean Dipole Mode (IOD) didefinisikan sebagai perbedaan anomali Sea Surface Temperature (SST) antara Bagian Barat (10oLU-10oLS; 60oBT-80o BT) dan Timur (0o-10oLS; 90o BT-110oBT) dari Samudera Hindia (Saji et al., 1999; Behera and Yamagata; 2003) seperti terlihat pada Gambar 5. Dari Gambar tersebut terlihat adanya dua kutub pusat tekan rendah, satu terletak di pantai timur benua Afrika dan lainnya di pantai barat Sumatera, Indonesia.

Selain itu, ternyata IOD secara langsung maupun tidak langsung terkait erat dengan adanya Sirkulasi Walker (Walker Circulation) yang terjadi di sepanjang belt ekuator akibat adanya perbedaan tekanan antara wilayah bagian timur Samudera Hindia dekat Sumatera Bagian Barat dengan bagian barat Samudera Hindia dekat Afrika sehingga aliran udara berlangsung secara horizontal dari tekanan udara yang tinggi (wilayah dengan kumpulan massa udara dingin) menuju wilayah dengan tekanan udara rendah (wilayah dengan kumpulan massa udara hangat). Agak rumit memang untuk dijelaskan dengan rinci mekanisme pembentukannya. Namun, pada bahasan kali ini difokuskan kepada bagaimana IOD ini melintasi wilayah Indonesia yang dicirikan adanya variasi musiman dari parameter Sea Surface Temperature (SST), Sea Level Pressure (SLP) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR) di sepanjang kawasan Pasifik Barat mulai dari bagian timur pantai benua Afrika hingga pantai barat Pulau Sumatera.

(5)

ISSN 0853 - 0823

Gambar 5. Wilayah Indian Ocean Dipole Mode SST (Saji et al., 1999; Behera and Yamagata, 2003).

Fenomena IOD juga mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola curah hujan yang terjadi di suatu kawasan tertentu. Variasi curah hujan antara wilayah Sumatera Barat diduga memiliki hubungan yang terbalik dengan curah hujan yang terjadi di sebelah timur Afrika. Hal ini berarti pada saat wilayah Sumatera Barat mengalami curah hujan diatas normal hingga beberapa kawasan mengalami kebanjiran, maka di wilayah timur Afrika mengalami kekeringan, begitupun sebaliknya. Berdasarkan fenomena tadi, maka dikenal adanya dua macam IOD, masing-masing IOD Positif (+) dan IOD Negatif (−), seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Perbedan IOD (+) dan IOD (−) kaitannya dengan pergeseran massa udara (http://w3.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/saji/dmi.html).

IOD (+) terjadi saat wilayah pantai barat barat Sumatera bertekanan tinggi, sementara sebelah timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan diatas normal. Sebaliknya, di wilayah Barat Sumatera terjadi kekeringgan setelah massa uap airnya gagal diturunkan sebagai hujan.

Sebaliknya, pada saat IOD (−), wilayah barat Sumatera termasuk Sumatera Barat mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan. Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah Afrika Bagian Timur dan tekanan rendah di Bagian Barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya Indonesia Bagian Barat. Di sini terlihat adanya keterkaitan antara fenomena IOD dengan perilaku curah hujan di wilayah Indonesia Bagian Barat.

Hasil kajian yang dilakukan peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa kejadian IOD tidak terjadi setiap saat. Ia muncul di tahun 1964, 1965, 1969, 1971, 1975, 1976, 1986, 1996, dan 1997 (Rao, et al.,

(6)

ISSN 0853 - 0823

2002), sedangkan tahun ENSO terjadi pada tahun 1958, 1960, 1961, 1967, 1974, 1977, 1983, 1989, 1992, 1993, dan 1994 (Ashok et al., 2003). Berdasarkan informasi di atas terlihat bahwa kejadian IOD tidak terkait langsung dengan peristiwa ENSO karena kejadian tersebut berlangsung pada tahun yang berbeda. Namun kejadian ENSO diduga berhubungan dengan IOD dalam hal mekanisme pembentukannya.

Tabel 1. Tahun-tahun kejadian IODM (Rao et.al., 2002).

Peristiwa Dipole Mode Positif yang kuat Peristiwa Dipole Mode Negatif yang kuat

1877 1874 1902 1879-80 1923 1889 1926 1890 1935 1892-93 1944 1899 1946 1901 1953 1906 1961 1909-10 1963 1917 1972 1920 1982 1954-55 1994 1958-60 1997 1964 1975 1984 1989 1992 1996 Jika dicermati lebih mendalam, maka berdasarkan data Tabel 1 terlihat bahwa ada dua kejadian

ekstrim di mana Indonesia mengalami kemarau panjang melebihi batas normalnya yakni pada tahun 1982 dan 1997. Kalau fenomena ini murni diakibatkan oleh kejadian El-Nino semata, maka kemarau panjang yang terjadi, tidaklah separah yang kita duga. Kami menduga ada faktor lain yang ikut mendukungnya, yakni Dipole Mode (+). Hal ini amat sangat dimaklumi karena pada saat itu pusat-pusat konveksi bergerak menuju ke arah barat meninggalkan wilayah barat Indonesia.

III. DATA DAN METODE ANALISIS

Data utama yang dipakai pada penelitian ini adalah data DMI (Dipole Mode Index), data SST Niño 3.4, dan juga data ESPI (ENSO Precipitation Index) bulanan selama dua puluh sembilan tahun pengamatan periode Januari 1979 hingga Desember 2008 dengan alamat web-site masing-masing http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/;

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices, dan http:// precip.gsfc.nasa.gov/ESPItable.html. Data data tersebut kemudian dianalisis dengan teknik FFT dan

wavelet.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat analisis data time series bulanan data DMI, Niño 3.4 dan ESPI selama sembilan tahun pengamatan periode Januari 1979 hingga Desember 2008 seperti terlihat pada Gambar 7.

(7)

ISSN 0853 - 0823

Gambar 7. Data time series bulanan DMI, Niño 3.4 dan ESPI.

Dari gambar tersebut terlihat adanya kesamaan pola yang dihasilkan oleh data Niño 3.4 dan ESPI. Hal ini dimungkinkan mengingat kedua data tersebut sama-sama menggambarkan perilaku SST yang ada di Pasifik Tengah dan Timur. Sementara dari data DMI, walaupun memiliki pola yang tidak sama persis, namun dalam beberapa kali pertemuan, khususnya di tahun 1982 dan 1997 menunjukkan adanya pola yang serupa, keduanya menunjukkan intensitas di atas dua. Atas dasar itulah, maka dipandang perlu untuk dilakukan analisis spektral untuk ketiga data di atas, seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Analisis PSD untuk data DMI, Niño 3.4 dan ESPI.

Dari Gambar 8 terlihat bahwa spektral energi tertinggi adalah data Niño 3.4 dengan nilai osilasi dominan sekitar 45 bulanan atau sekitar 3,75 tahun. Sementara data ESPI dan data DMI menduduki posisi kedua, masing-masing berkisar antara 60 dan 36 bulan atau sekitar 5 dan 3 tahun.

Ada satu hal yang kiranya menarik untuk dikaji di sini yakni jika kedua fenomena alam tadi terjadi dalam waktu yang bersamaan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni di tahun 1982 dan 1997.

(8)

ISSN 0853 - 0823

Apakah benar kejadian ekstrim kering di tahun 1997 relatif lebih parah dibandingkan dengan tahun 1982? Untuk itu dilakukanlah analisis wavelet seperti nampak pada Gambar 9 (a) dan (b).

(a) data ESPI

(b) data DMI

Gambar 9. Analisis wavelet untuk data ESPI dan DMI periode Januari 1979 hingga Desember 2008.

Di sini terlihat bahwa fenomena kering ekstrim di tahun 1997 memang lebih panjang dibandingkan tahun 1982. Artinya hasil ini sesuai dengan Gambar 1 dan 2 (analisis wavelet untuk data ESPI periode Januari 1979 hingga Desember 2008). Dengan asumsi kedua fenomena di atas berjalan dengan sempurna, maka jika keduanya digabungkan (“dikawinkan”), maka akan terdapat osilasi “baru” dengan kisaran sekitar lima belas tahunan, yakni hasil korelasi silang antara data ESPI yang lima tahunan dengan data DMI yang tiga tahunan. Hal yang menarik lainnya adalah jika kondisi ekstrim tadi kita

(9)

ISSN 0853 - 0823

Gambar 10. Siklus bilangan sunspot ke 24 yang diperkirakan jatuh di 2012.

Gambar 11. Prediksi data total emisi CO2 fossil fuel yang diduga akan mencapai puncaknya di 2012/2013.

Kalaulah benar nantinya akan terjadi kekeringan panjang di tahun 2012/2013, daerah manakah yang pertama kali akan dilanda dan ke mana kira-kira akan menjalar? Rangkaian gambar berikut (Gambar 12(a) hingga 12(l)) kiranya akan dapat menjelaskannya. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan terlihat bahwa kekeringan panjang akan dimulai pada bulan Mei dan mencapai puncaknya sekitar bulan September, dan itu akan dimulai dari kawasan selatan Indonesia bagian tengah, tepatnya kawasan Nusa Tenggara Barat dan Timur, lalu menjalar ke Utara dan Barat.

(10)

ISSN 0853 - 0823

(a) bulan Januari (b) bulan Februari

(c) bulan Maret (d) bulan April

(11)

ISSN 0853 - 0823

(g) bulan Juli (h) bulan Agustus

(i) bulan September (j) bulan Oktober

k) bulan November (l) bulan Desember

Gambar 12. Distribusi spasial intensitas curah hujan rata-rata per bulan periode 1979-2006 (27 tahun pengamatan) hasil observasi data GPCP.

V. KESIMPULAN

Perlu adanya pendalaman lebih lanjut tentang fenomena/bencana atmosfer yang “sepertinya” akan kembali berulang di tahun 2012/2013, yakni musim kering yang berkepanjangan. Kapan/bila dua fenomena alam terjadi bersamaan (simultan) dan dampak yang ditimbulkannya perlu dikaji lebih lanjut. Banyak cara yang dapat dilakukan, satu di antaranya adalah adalah terus-menerus memantau perkembangan atau perilaku data Nino 3.4, DMI, ESPI dan Monsoon. Pengembangan model interaksi

(12)

ISSN 0853 - 0823

antara fenomena Monsoon, ENSO, dan DMI, nampaknya amat sangat diperlukan. GPCP merupakan salah satu cara instant yang dapat digunakan untuk memantau kawasan mana saja di Indonesia yang rentan terhadap bahaya kekeringan dan atau kebanjiran. Jika nantinya fenomena kering panjang itu benar-benar akan terjadi di sekitar tahun 2012/2013, maka nampaknya kawasan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) lah yang akan pertama kali akan mengalami musim kering jauh di bawah normal.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2003 : A Look at the Relationship between the ENSO and the Indian Ocean Dipole. J. Meteor. Soc. Jpn., 81 (1), 41-56.

Behera, S. K., and T. Yamagata, 2003 : Influence of the Indian Ocean Dipole on the Southern Oscillation. J. Meteor. Soc. Jpn., 81 (1), 169-177.

Rao, S. A., S. K. Behera, Y. Masumoto, and T. Yamagata, 2002 : Interannual Subsurface Variability in the Tropical Indian Ocean with a Special Emphasis on the Indian Ocean Dipole. Deep-Sea Res. II, 49, 1549-1572.

Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata : 1999 : A dipole mode in the tropical Indian Ocean, Nature., 401, 360-363

Saji, N. H., and T. Yamagata, 2003 : Possible Impacts of Indian Ocean Dipole Mode Events on Global Climate. Climate Res., 25 (2), 151-169.

(http://cics.umd.edu/~yin/GPCP/main.html). (http://paos colorado.edu/research/wavelets) (http://www.cdc.noaa.gov/map/climate/olr.html) (http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/) (http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices) (http://precip.gsfc.nasa.gov/ESPItable.html)

Gambar

Gambar 1. Diagram Hovmoller dari data radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing   Longwave Radiation) periode Januari hingga Desember 1982
Gambar 3. Diagram ketika fenomena El-Nino 3.4 dan DMI terjadi bersamaan.
Gambar 4. Penampang melintang laju kenaikan SST (Sea Surface Temperature)   terhadap waktu periode Januari 1982 hingga Januari 2008
Gambar 6. Perbedan IOD (+) dan IOD (−) kaitannya dengan pergeseran massa   udara  (http://w3.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/saji/dmi.html)
+6

Referensi

Dokumen terkait

The aim of this paper is to propose a fuzzy logic model for landslide susceptibility assessment in District Mansehra of Pakistan using the available information and the expert

Teknologi pengendalian lalat kacang yang efektif dan efisien adalah cara kimiawi dengan menggunakan insektisida yang bersifat sistemik (monokrotofos), diaplikasikan pada pagi hari

Dari kelebihan tersebut dibuatlah program kreatifitas mahasiswa bidang kewirausahaan berupa produksi handsanitizer daun kemangi (Ocinum cannum) yang dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis burung milik beberapa penggemar burung dan di sebuah penangkaran burung di Jakarta telah terinfeksi virus avian influenza..

Hasil analisis membuktikan bahwa coeficient corelasi sebesar 0,799 dan nilai p value sebesar 0,003 (P<5%), sehingga dapat dinyatakan ada hubungan

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis diperoleh kesimpulan bahwa tingkat pemahaman wajib pajak, kesadaran perpajakan wajib pajak serta kepatuhan wajib

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... yang memainkan peran batur atau pembantu yang sedikit ceriwis dan

Hasil data terakhir menunjukkan bahwa untuk nasabah Bank ABC, dimensi kualitas pelayanan customer service (variabel-variabel) yang secara signifikan berpengaruh terhadap