BAB VI
PETANI PADI DI ANTARA „CEKAMAN IKLIM‟
DAN BENCANA
Pengantar
Ketergantungan petani padi pada hamparan tandah hujan terhadap musim tanam sangat tinggi. Pengaruh cekaman iklim berpengaruh terhadap hasil panen padi atau bahkan gagal panen dirasakan oleh petani padi. Perubahan musim yang yang dirasakan petani mempersepsikan bahwa iklim telah berubah sehingga petani tidak bisa menggunakan pengetahuan lokal seperti pranata mangsa dalam memulai musim tanamnya.
Bab ini menjelaskan tentang kondisi petani yang diperhadapkan pada pilihan sulit dalam mengambil keputusan dalam memulai musim tanamnya. Pilihan tersebut berpengaruh besar terhadap “kebutuhan tambahan” petani padi dalam satu hamparan di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Menggeser waktu tanam sebagai bentuk pilihan beradaptasi memiliki beberapa konsekwensi dan prasayarat baik teknis, sosial maupun finansial, yang berpengaruh terhadap tanggapan petani padi pada kawasan tadah hujan.
Keputusan Tanam
Dasar petani memulai musim tanam dengan menggeser waktu tanam tidak merupakan hal baru bagi petani. Ketika petani mengenal mesin pompa air dan ketersediaan air yang cukup, petani menggunakan teknologi pompa air sebagai “cara baru” dalam menyiasati genangan air pada puncak hujan yang selalu terpapar pada Musim Tanam I. Tingkat keterpaparan pada wilyah penelitian selalu
diaami pada bulan Januari-Pebruari ketika petani menggunakan waktu tanam yang disarankan oleh PPL DISTANAK Kabupaten Pati yang dimulai setiap awal bulan Oktober-November. Upaya memajukan musim tanam dilakukan petani untuk menghindari kejadian banjir pada lahan pertanian dan mendapatkan keuntungan lebih ketika masa panen belum dimulai.
Pengetahuan petani memajukan musim tanam direplikasi oleh kelompok tani lainnya dengan pendekatan kawasan hamparan yang teraliri air pompa sehingga memudahkan model pola tanam yang berlangsung. Keterikatan petani dalam satu hamparan tersebut membutuhkan pengetahuan bertani kolektif dan dilakukan dengan kebersamaan (kolektif). Pengetahuan dan ketrampilan petani yang relatif sama merupakan dasar melakukan tindakan kolektif dalam memulai musim tanam dan mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Pengaruh aktor dalam dalam jejaring sosial dalam membangun strategi menghadapi pola perubahan musim ditentukan oleh keputusan tanam oleh pengurus kelompok pompa yang diikuti oleh anggota kelompok tani yang bergatnung pada pengurus kelompok pompa tersebut. artinya pengurus kelompok pompa harus mempertimbangkan kecenderungan musim, ketersediaan air, kecukupan keuangan dalam membeli bahan bakar minyak dan kesepakatan dengan anggota kelompok tani dalam memastikan dimulainya musim tanam dengan mempertimbangkan kelompok tani lainnya pada hamparan yang terdekat karena berpengaruh pada serangan organisme pengganggu tanaman.
Pemimpin: Aktor Utama Perubahan
Pengambilan keputusan yang diambil oleh pengurus kelompok pompa yang memiliki kewenangan tinggi dalam memulai musim tanam pun dipengaruhi oleh kepemimpinan organisasi dimana pemimpin organisasi petnai merupakan simbol bahwa ketua dan pengurus kelompok tani merupakan masyarkat petani yang memiliki
struktur kelas di masyarakat. Pemimpin yang berkelas yang dimaksud adalah petani yang memiliki pengetahuan bertani yang mumpuni, memiliki pendidikan yang relatif tinggi, memiliki jaringan kerja yang efektif dengan pihak pemerintah, bank, lembaga swadaya masyarakat/organisasi non pemerintah maupun pihak lain yang mampu menyejahterakan pengurus dan anggota kelompok tani yang dipimpinnya.
Indikator diakuinya kemampuan pemimpin kelompok tani oleh anggota kelompok tani lebih di tekankan pada keberhasilan panen pada MT I dimana memulai keputusan tanam menjadi bentuk indikator keberhaislan pemimpin kelompok tani dan pengurusnya. Sedangkan pengambilan keputusan pemimpin dalam memulai musim tanam juga dipengaruhi oleh kelompok tani lainnya dalam mendapatkan modal dan infrastruktur dan mengendalikan OPT serta membangun jaringan dengan kelompok tani lainnya yang berdampingan dengan hamparannya.
Jika MT I mengalami kegagalan, pemimpin dan pengurus akan mengalami kerugian yang cukup besar selain biaya BBM yang cukup besar akan ditanggung pengurus melalui pinjaman bank juga anggota kelompok tidak mendapatkan hasil panen karena gagal panen.
Survival Strategy
Sebagai Adaptasi Dalam Pengurangan
Risiko
Bentuk petani menyiasati musim dengan memajukan musim tanam tersebut merupakan tindakan pengurangan risiko bencana dan bentuk adaptasi terhadap ketidakpastian musim yang sering dialami oleh petani pada umumnya. Menggeser musim tanam untuk menghindari genangan air (banjir) pada MT II memerlukan penyesuaian terhadap ruang sosial dan kelembagaan petani menghadapi ketidakpastian musim yang menyebabkan „bencana‟ bagi petani.
Dampak ketidakpastian musim tersebut memengaruhi tindakan kolektif petani dalam mengelola risiko bencana sehingga petani membutuhkan beberapa faktor yang berpengaruh, yaitu: 1. Pengaruh kelembagaan petani dalam ruang sosial
Kelembagaan petani dalam bentuk kelompok tani yang beranggotakan petani yang memiliki hamparan pada satu kawasan pertanian merupakan kelompok tani yang tetap karena memiliki ketergantungan pada sumber air dan organisme pengganggu tanaman. Sistem sosial yang berpengaruh terhadap petani memiliki kelekatan sosial yang relatif tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Sistem sosial tersebut berpengaruh pada upaya penyesuaian (adaptasi) menghadapi ketidakpastian iklim yang berpengaruh atau berdampak pada risiko yang diterima atau keterpaparan dampak pada petani.
Kelembagaan petani dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam memastikan petani dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim, diantaranya, yaitu:
a. Pemimpin Sebagai Aktor Perubahan
Petani masih bergantung pada pemimpin. Jika pemimpin kelompok tani mampu membawa perubahan melalui pengetahuan, modal ekonomi, jaringan dan penggunaan teknologi yang baru dan mampu memberikan kesejahteraan dalam menghadapi risiko bencana, kepercayaan anggota kelompok tani meningkat.
b. Pengaruh ekonomi politik, modal simbolik dan modal sosial Kelekatan sistem sosial petani berpengaruh pada sistem ekonomi politik dalam mendapatkan kekuatan simbol yang sering dipakai oleh petani pada masyarakat desa sebagai pemimpim seperti pertarungan modal, jaringan/pengaruh dan kepercayaan anggota kelompok tani sebagai pertarungan modal ekonomi dan modal sosial dalam memperebutkan kepentingan ekonomi politik lokal.
c. Agro ekologi dan kepengikutan
Ketergantungan petani pada wilayah agro ekologi atau hamparan mendorong kepengikutan petani pada pemimpin dan mayoritas dalam satu hamparan sehingga berpengaruh pada keputusan tanam dan jenis tanaman. Petani tidak bisa memilih jenis tanaman lainnya karena model hamparan dan sisttm pengairan. Ketergantungan tersebut menjebak petani dalam memastikan kemandirian dan kedaulatannya atas hak menentukan jenis dan keputusan tanamnya.
d. Komodifikasi Kelembagaan Petani
Bentuk kelembagaan baru yang didasarkan atas hamparan dengan pendekatan wilayah yang teraliri oleh jaringan irigasi pompa merupakan bentuk baru kelembagana petani dalam memastikan terjaminnya kelangsungan sumber penghidupan petani. Inovasi petani merupakan bentuk kemampuan petani menghadapi tantangan ketidakpastian musim dengan mengadaptasikan teknologi dan pengetahuan bertani
2. Adaptasi sebagai Survival Strategy
Penyesuaian yang dilakukan petani menghindari puncak hujan pada kawasan ini merupakan bentuk penyesuaian (adaptasi) petani padi menghadapi ketidakpastian musim atas risiko bencana banjir (genangan) pada setiap musim tanam pertama. Strategi menggeser waktu tanam dilakukan petani untuk menghadapi risiko puncak hujan membutuhkan prasyarat untuk beradaptasi. Berikut beberapa prasyarat sosial yang dibutuhkan petani dalam beradaptasi, yaitu:
a. Pengetahuan dan informasi sebagai pedoman survival strategy
Pengalaman bertani sebagai kemampuan petani menghadapi berbagai risiko merupakan bentuk pengetahuan yang melekat. Pranata mangsa sebagai bentuk pengetahuan lokal meskipun sudah tidak dipakai lagi karena sudah tidak tepat digunakan petani tetapi “ilmu titen” menjadi pengetahuan lokal yang sering dipakai oleh sebagian besar petani padi di pulau jawa. Kejadian yang berulang terus menerus menjadi pedoman petani padi dalam mengelola lahan pertanian padi. Pedoman tersebut sering digunakan dan menjadi pengetahuan yang digunakan turun menurun seperti halnya tanda alam yang selalu dikenali petani padi dalam menghadapi perubahan musim. Seperti yang dinyatakan oleh Karjo maupun Gunretno (2009, 2014)
“……..banjir nggeneng iso dipastike kedaden tiap tahun baru cino wulan pebruari, dadi petani kene nak iso....tandur luwih cepet ben panen iso nang wulan januari opo nak iso desember……”
(“...genangan banjir bisa dipastikan terjadi setiap tahun cina bulan pebruari, jadi petani disini jika bisa...tanam lebih cepat agar dapat panen sebelum bulan januari atau jika bisa desember....”) (Karjo)
Pengetahuan dalam bentuk tanda alam sudah tidak dipakai petani padi karena sudah mengenal pompa dalam menggeser waktu tanam untuk menghindari puncak hujan.
1. Konstruksi sosialdalam teknologi pertanian
Inovasi petani dalam menggeser waktu tanam yang mendasarkan pengetahuan lokal (ilmu titen) yang dimiliki petani menjadi pedoman dalam memulai musim tanam dan penggunaan pompa air sebagai alat pendukung petani menghadapi risiko ketidakpastian musim.
Keberadaan pompa air, ketersediaan sumber air pengetahuan lokal atas musim dan ketersediaan air yang menyukupi untuk memulai musim tanam merupakan prasyarat dalam beradaptasi. Replikasi inovasi petani dalam menggeser waktu tanam tersebut
tersebar dengan cepat dan membangun kontruksi sosial baru petani padi di Desa Baturejo.
2. Coping mechanism dalam jejaring sosial
Kelekatan sosial dalam tindakan kolektif merupakan bentuk coping mechanism dalam jejaring sosial masyarakat perdesaan. Jejaring sosial terbentuk ketika memulai musim tanam meskipun tidak ada komunikasi antar kelompok tani tetapi secara berbarengan keputusan tanam dapat dimulai untuk mereduksi OPT pada awal musim tanam.
3. Risiko bencana dan tanggapan pasar
Pasar memiliki peran penting ketika petani mengambil keputusan menggeser waktu tanam. Harga gabah pada bulan desember-januari lebih tinggi dibandingkan harga gabah panen raya sehingga biaya operasional ketika menggeser waktu tanam dapat tergantikan
Catatan Penutup:
Mal adaptation
dan transfer teknologi
Kebutuhan adaptasi dalam menggeser waktu bertolak belakang dengan upaya mitigasi perubahan iklim seperti yang dilansir oleh IPCC. Upaya mitigasi dengan menurunkan emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil yang memicu emisi karbon bertolak belakang dengan upaya adaptasi yang dilakukan petani Desa Baturejo. Kebutuhan penggunaan bahan bakar fosil oleh mesin pompa air yang menimbulkan emisi yang cukup besar merupakan bentuk mal adaptation. Kepentingan petani padi dalam menjamin sumber penghidupan lebih ditekankan pada perhitungan ekonomi untuk menjamin sumber penghidupan tidak sejalan dengan upaya mitigasi yang seharusnya menjadi bagian dalam adaptasi yang dilakukan.Transfer teknologi rendah emisi menjadi kebutuhan dalam mendorong adaptasi petani padi mengurangi emisi dan mampu
mengelola risiko atas dampak perubahan iklim yang memengaruhi sumber penghidupan petani padi.