1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Biometrik merupakan ilmu pengetahuan yang membangun identitas seseorang berdasarkan sifat-sifat fisik, kimiawi, ataupun kebiasaan seseorang. Sistem biometrik dapat menggunakan ciri fisik (physical traits) maupun tingkah laku (behavioral traits). Contoh ciri fisik antara lain sidik jari, iris, wajah dan bentuk geometris tangan, sedangkan contoh ciri tingkah laku misalnya tanda tangan, pola penekanan keyboard, dan gaya berjalan (Ross et al. 2006).
Objek biometrik hendaknya memenuhi beberapa kriteria untuk digunakan sebagai objek. Kriteria biometrik tersebut antara lain universality (setiap orang memiliki biometrik tersebut), distinctiveness (biometrik tersebut berbeda pada setiap orang), permanence (tidak berubah-ubah dalam jangka waktu yang lama), dan collectability (dapat diukur secara kuantitatif) (Maltoni et al. 2003).
Tanda tangan merupakan salah satu objek biometrik yang mudah diperoleh, baik melalui kertas maupun peralatan elektronik seperti PC tablet, layar sentuh dan PDA. Meskipun demikian, biometrik tanda tangan masih menjadi topik riset yang menantang. Tantangan dalam biometrik tanda tangan ini antara lain karena variasi dalam kelas yang besar, tingkat universality dan permanence yang rendah, serta adanya kemungkinan serangan pemalsuan tanda tangan (Jain et al. 2008).
Metode pengenalan tanda tangan dapat diklasifikasikan berdasarkan informasi masukan tanda tangan menjadi dua kategori, online dan offline. Metode pengenalan tanda tangan online merujuk pada penggunaan fungsi-fungsi waktu dalam proses penandatanganan secara dinamis (misalnya lintasan posisi atau penekanan). Metode pengenalan tanda tangan offline merujuk pada penggunaan gambar statis dari tanda tangan (Jain et al. 2008).
Penelitian ini menggunakan metode pengenalan tanda tangan secara offline. Pengenalan tanda tangan dilakukan dengan menggunakan algoritme klasifikasi VFI5. Pada percobaan dengan penambahan fitur yang tidak relevan, algoritme VFI5 memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan algoritme nearest neighbor (Güvenir 1998).
Penelitian dengan menggunakan algoritme VFI5 sebelumnya telah banyak dilakukan untuk
klasifikasi berbasis teks, di antaranya diagnosis penyakit demam berdarah dengue, diagnosis gangguan sistem urinari pada anjing dan kucing, hingga klasifikasi pasien suspect parvo dan distemper pada data rekam medik rumah sakit hewan IPB. Pada penelitian pertama, diagnosis penyakit demam berdarah dengue dengan menggunakan algoritme VFI5 memiliki akurasi sebesar 100%, sedangkan ketika diklasifikasikan menggunakan ANFIS akurasi yang diperoleh adalah 86.67% (Apniasari 2007). Selanjutnya, diagnosis gangguan sistem urinari pada anjing dan kucing memberikan akurasi sebesar 77.38% ketika klasifikasi dilakukan tanpa menggunakan fitur pemeriksaan laboratorium, sedangkan ketika klasifikasi dilakukan dengan menggunakan fitur pemeriksaan laboratorium, diperoleh akurasi sebesar 86.31% (Ramdhany 2007). Pada klasifikasi pasien suspect parvo dan distemper, diperoleh rata-rata akurasi sebesar 90% (Iqbal 2007). Karena pada klasifikasi berbasis teks algoritme VFI5 mampu menglasifikasikan dengan akurasi yang tinggi, maka muncul dugaan bahwa algoritme klasifikasi VFI5 juga baik digunakan untuk identifikasi citra.
Sebelum melakukan klasifikasi citra, dilakukan praproses untuk mereduksi ukuran citra. Citra yang memiliki ukuran m×n piksel misalnya, akan memiliki m×n fitur pada algoritme VFI5 sehingga komputasi yang dilakukan menjadi lebih banyak. Untuk itu, diperlukan proses reduksi. Reduksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi dimensi melalui transformasi wavelet. Dibandingkan dengan metode reduksi PCA, reduksi dimensi menggunakan wavelet memiliki efisiensi komputasi yang lebih baik (Agarwal et al. 2005).
Transformasi wavelet untuk reduksi dimensi sebelumnya telah dilakukan pada pengenalan citra wajah oleh Anjum & Javed (2006). Pada penelitian tersebut, hanya low pass filter yang digunakan karena diasumsikan low frequency yang memberikan kontribusi lebih banyak dalam merepresentasikan informasi citra wajah.
Pada reduksi dimensi ini, citra yang digunakan sebagai input dalam klasifikasi adalah citra pendekatan low-low level hasil transformasi wavelet. Kingsburry (2005) menyatakan bahwa energi dari citra “Lenna” untuk dekomposisi Lo-Lo atau citra pendekatan mencapai 96.5%. Sisanya tersebar ke sub citra
2 hasil dekomposisi detail, dan energi terendah
berada pada citra Hi-Hi atau citra diagonal, yakni 0.4%. Oleh karena itu, hanya citra pendekatan saja yang digunakan sebagai input untuk klasifikasi menggunakan algoritme VFI5.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan pengenalan tanda tangan dengan menggunakan algoritme VFI5 setelah dilakukan reduksi dimensi melalui transformasi wavelet. Selanjutnya dilakukan analisis kinerja pengenalan tanda tangan menggunakan algoritme VFI5 dan pengaruh dekomposisi wavelet terhadap akurasi yang diperoleh.
Ruang Lingkup
Terdapat beberapa batasan dari penelitian ini, yaitu:
1 Citra yang digunakan adalah citra tanda tangan yang diperoleh dari data skripsi (Setia 2007) sejumlah 10 tanda tangan, dan tiap-tiap tanda tangan terdiri dari 10 citra berukuran 40×60 piksel.
2 Reduksi fitur yang digunakan adalah menggunakan transformasi wavelet Haar. 3 Algoritme klasifikasi yang digunakan yaitu
algoritme VFI5 dengan bobot yang seragam untuk tiap fiturnya.
TINJAUAN PUSTAKA Pengolahan Citra Digital
Sebuah citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, f(x, y) dimana x dan y merupakan koordinat spasial (bidang) dan amplitudo dari f pada semua pasang koordinat (x,y) disebut sebagai intensitas atau gray level dari sebuah citra pada titik tertentu. Ketika x,y dan nilai amplitudo dari f bernilai diskret dan terbatas, kita menyebut citra tersebut sebagai citra digital. Bidang pengolahan citra digital mengacu pada pengolahan gambar digital dengan menggunakan komputer digital. Citra digital terbentuk dari elemen bilangan terbatas, dimana tiap-tiap elemen memiliki lokasi dan nilai tertentu. Elemen-elemen ini disebut dengan elemen gambar (picture elements), elemen citra (image elements), pels, atau pixel. Pixel merupakan istilah yang paling sering digunakan untuk menyebutkan elemen dari citra digital (Gonzalez & Woods 2002).
Tanda Tangan
Tanda tangan merupakan salah satu bentuk biometrik behavioral yang berubah-ubah tergantung dari kondisi fisik dan emosional
seseorang. Meskipun tanda tangan memerlukan kontak dengan alat tulis dan usaha dari sisi pengguna, tanda tangan banyak digunakan pada instansi pemerintahan hingga transaksi komersial yang sah sebagai salah satu bentuk otentikasi. Dengan adanya PDA dan PC tablet, tanda-tangan online bisa menjadi salah satu alat biometrik untuk digunakan pada perangkat-perangkat ini (Ross et al. 2006).
Klasifikasi
Klasifikasi merupakan salah satu bentuk analisis data yang digunakan untuk melakukan ekstraksi model yang mendeskripsikan kelas data yang penting atau memperkirakan kecenderungan selanjutnya dari suatu data. Analisis seperti demikian dapat membantu pihak yang berkepentingan dalam memahami data yang besar. Klasifikasi memperkirakan label kategorik yang bersifat diskret dan tak memiliki urutan. Misalnya, seorang ahli dapat mengembangkan model klasifikasi untuk memberikan kategori pada aplikasi peminjaman bank, apakah termasuk aman, atau berisiko. Metode klasifikasi banyak menerapkan pembelajaran mesin, pengenalan pola, dan statistik (Han & Kamber 2006).
Wavelet
Wavelet merupakan fungsi matematis yang memisahkan data menjadi beberapa komponen frekuensi yang berbeda dan mempelajari tiap-tiap komponen sesuai dengan resolusi yang tepat dengan skalanya masing-masing. Wavelet memiliki kelebihan dibandingkan dengan transformasi Fourier dalam menganalisis keadaan fisik yang memiliki sinyal tak kontinu dan memiliki variasi yang tajam. Wavelet dikembangkan secara bebas dalam bidang matematika, fisika kuantum, teknik elektro, dan geologi seismik (Graps 1995).
Wavelet ditunjukkan pertama kali sebagai dasar pendekatan baru untuk pemrosesan sinyal dan analisis yang disebut teori multiresolusi. Teori multiresolusi berkaitan dengan analisis dan representasi sinyal atau citra pada lebih dari satu resolusi. Hasil pendekatan teori multiresolusi yakni fitur yang tidak terdeteksi pada suatu resolusi dapat terdeteksi pada resolusi lain (Gonzalez & Woods 2002).
Dalam analisis multiresolusi (AMR), scaling function digunakan untuk menciptakan satu rangkaian pendekatan pada suatu fungsi atau citra, scaling function ini dinyatakan dalam persamaan berikut:
3 dimana koefisien dalam persamaan
rekursif ini merupakan scaling function (Gonzalez & Woods 2002).
Transformasi wavelet bekerja dengan mengambil rata-rata dari nilai masukan dan mempertahankan informasi yang diperlukan untuk mengembalikan ke nilai semula (McAndrew 2004). Secara umum, jika a dan b adalah dua bilangan, dapat dihitung rata-rata s dan selisih d melalui persamaan:
s = (a + b) / 2 ,
d = a – s ,
selanjutnya, nilai a dan b dapat diperoleh kembali melalui:
a = s + d ,
b = s – d .
Transformasi Haar
Transformasi Haar merupakan transformasi wavelet yang paling sederhana dan telah banyak digunakan pada citra (McAndrew 2004). Wavelet Haar dapat dituliskan sebagai pulse function:
1 0 10
dengan menggunakan relasi:
ψ 2 2 1 ,
nilai 2 sama dengan 1 jika 0 1/2 dan nilai 2 1 sama dengan 1 untuk 1/2 1. Pulse function ini juga dapat dituliskan sebagai:
2 2 1.
Dalam teori wavelet, fungsi ψ disebut mother wavelet dan fungsi disebut scaling function (McAndrew 2004).
Dekomposisi menggunakan transformasi Haar dilakukan dengan menggunakan bank filter dengan koefisien h0 = 1/ √2 h1 = 1/√2 dan
g0 = 1/√2 serta g1 = 1/√2. Bank filter Haar
ditunjukkan pada Gambar 1. h" h# 0 0 $
g" g# 0 0 $
0 0 h" h# $
0 0 g" g# $
& & & & Gambar 1 Bank Filter Haar.
VFI5
VFI5 merupakan algoritme klasifikasi yang memberikan deskripsi melalui sekumpulan interval fitur. Klasifikasi dari sebuah instance
baru didasarkan pada vote di antara klasifikasi yang dibuat oleh nilai dari tiap fitur secara terpisah. VFI5 merupakan algoritme supervised learning yang bersifat non-incremental, sehingga, seluruh contoh dalam data training diproses sekali dalam satu waktu. Tiap-tiap contoh training direpresentasikan sebagai nilai-nilai fitur vektor nominal (diskret) atau linear (kontinu), disertai dengan label yang menunjukkan kelas contoh.
Dari data training, algoritme VFI5 membentuk interval untuk tiap fitur. Suatu interval bisa berupa interval titik atau selang (range). Interval selang didefinisikan sebagai sekumpulan nilai yang berurutan dari fitur yang diberikan, sedangkan interval titik didefinisikan sebagai fitur bernilai tunggal. Untuk interval titik, hanya sebuah nilai yang digunakan untuk mendefinisikan sebuah interval.
Untuk tiap interval, diambil sebuah nilai tunggal yang merupakan vote dari tiap-tiap kelas dalam interval tersebut. Oleh karena itu, sebuah interval dapat merepresentasikan beberapa kelas dengan menyimpan vote dari tiap-tiap kelas (Güvenir 1998).
VFI5 merupakan versi terakhir yang dikembangkan dari algoritme VFI1. Pada tahap pelatihan dalam algoritme VFI1, jika fitur bersifat linear (kontinu), maka hanya dibentuk range interval. Dalam perhitungan count instance sebagai vote dari data latih, jika nilai fitur terletak tepat di dalam satu interval i, maka nilai count interval i ditambah 1, namun jika nilai fitur terletak pada batas bawah interval, nilai count untuk interval ke-i dan ke-(i-1) ditambah 0.5. Proses klasifikasi pada algoritme VFI1 dilakukan dengan melihat letak nilai fitur dari instance pengujian ef dalam interval
pelatihan. Jika i merupakan point interval dan nilai ef sama dengan nilai pada point interval,
maka fitur f memberikan vote untuk tiap kelas c sebesar nilai vote kelas pada interval pelatihan. Namun jika i merupakan range interval dan nilai ef sama dengan nilai batas bawah dari
interval tersebut, maka vote yang diberikan oleh fitur f adalah rata-rata vote pelatihan dari interval ke-i dan ke-(i-1).
Versi selanjutnya dari algoritme VFI1 adalah VFI2. Pada tahap pelatihan dalam algoritme VFI2, nilai end points digeser ke jarak tengah antara kedua end points pada algoritme VFI1. Artinya, jika pada algoritme VFI1 nilai end points-nya adalah 2, 4, 5 dan 8, maka pada algoritme VFI2 nilai end points-nya adalah 3, 4.5 dan 6.5. Adapun tahapan
4 klasifikasi pada algoritme VFI2 sama dengan
tahapan klasifikasi pada algoritme VFI1. Algoritme VFI3 tidak berkaitan dengan algoritme VFI2 dan dikembangkan dari algoritme VFI1. Ada penambahan beberapa kondisi untuk pembentukan interval dan klasifikasi. Kondisi ini mempertimbangkan apakah nilai instance terletak pada titik tertinggi, titik terendah, atau titik lain pada end points. Kondisi-kondisi dan ilustrasi lebih lengkap dapat dilihat pada Demiröz (1997).
Algoritme VFI4 dikembangkan dari algoritme VFI3. Pada algoritme VFI4, jika fitur merupakan fitur linear dan ada kelas yang memiliki nilai titik tertinggi sama dengan nilai titik terendah, maka selain dibentuk range interval, juga dibentuk point interval pada fitur nominal. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan pemberian vote pada kelas yang memiliki nilai titik tertinggi sama dengan nilai terendah. Pada tahap klasifikasi, jika nilai fitur pada instance pengujian terletak pada point interval, maka nilai vote yang diambil hanya dari nilai vote pada point interval hasil pelatihan.
Versi selanjutnya dari algoritme VFI4 adalah VFI5. Pada algoritme VFI5, dilakukan generalisasi pembentukan point interval pada fitur linear, tanpa memperhatikan apakah ada kelas dalam suatu fitur yang memiliki nilai titik tertinggi sama dengan nilai titik terendah. Algoritme dan ilustrasi untuk tiap versi VFI dapat dilihat di Demiröz (1997). Kelebihan algoritme VFI5 adalah prediksi yang akurat, pelatihan dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan klasifikasi cukup singkat, bersifat robust terhadap training dengan data yang memiliki noise dan nilai fitur yang hilang, dapat menggunakan bobot fitur, serta dapat memberikan model yang mudah dipahami manusia (Güvenir 1998).
1 Pelatihan
Hal pertama yang harus dilakukan dalam tahap pelatihan adalah menemukan titik-titik akhir (end points) dari tiap kelas c pada tiap fitur f. Titik akhir dari kelas c yang diberikan merupakan nilai yang terkecil dan terbesar pada dimensi fitur linear (kontinu) f untuk beberapa
instance pelatihan dari kelas c yang sedang diamati. Namun demikian, titik akhir dari dimensi fitur nominal (diskret) f, merupakan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain, untuk beberapa instance pelatihan dari kelas c yang sedang diamati. Titik akhir dari fitur f kemudian disimpan dalam array EndPoints[f].
Batas bawah pada interval selang adalah -∞, sedangkan batas atas interval selang adalah +∞. List dari titik akhir pada tiap dimensi fitur linear diurutkan. Jika fitur tersebut merupakan fitur linear, terdapat dua jenis interval, interval titik dan interval selang. Jika fitur tersebut merupakan fitur nominal, hanya ada satu jenis interval, yaitu interval titik.
Selanjutnya, banyak instance pelatihan setiap kelas c dengan fitur f untuk setiap interval i dihitung dan direpresentasikan sebagai interval_class_count[f,i,c]. Pada setiap instance pelatihan, dicari interval i, yang merupakan interval nilai fitur f dari instance pelatihan e (ef)
tersebut berada. Apabila interval i adalah interval titik dan ef sama dengan batas bawah
interval tersebut (yang sama dengan batas atas untuk interval titik), jumlah kelas instance tersebut (ef) pada interval i ditambah 1. Apabila
interval i merupakan interval selang dan ef
berada pada interval tersebut maka jumlah kelas instance ef pada interval i ditambah 1. Proses
inilah yang menjadi vote pelatihan untuk kelas c pada interval i.
Agar tidak mengalami efek perbedaan distribusi setiap kelas, vote kelas c untuk fitur f pada interval i harus dinormalisasi dengan membagi vote tersebut dengan hasil penjumlahan tiap-tiap instance kelas c yang direpresentasikan dengan class_count[c]. Hasil normalisasi ini dinotasikan sebagai interval_class_vote[f,i,c]. Selanjutnya, nilai-nilai interval_class_vote[f,i,c] dinormalisasi sehingga hasil penjumlaham vote beberapa kelas di setiap fitur sama dengan 1. Tujuan normalisasi ini adalah agar setiap fitur mempunyai kekuatan voting yang sepadan pada proses klasifikasi dan tidak dipengaruhi oleh ukuran fitur tersebut. Ilustrasi tahap pelatihan pada algoritme VFI5 dapat dilihat pada Lampiran 1. Algoritme training secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.
5
train(TrainingSet): begin
for each feature f
for each class c
EndPoints[f] = EndPoints[f] ∪ find_end_points(TrainingSet, f, c);
sort(EndPoints[f]);
if f is linear
for each end point p in EndPoints[f] form a point interval from end point p
form a range interval between p and the next endpoint ≠ p
else /* f is nominal*/
each distinct point in EndPoints[f] forms a point interval
for each interval i on feature dimension f
for each class c
interval_class_count[f,i,c]=0
count_instances(f,TrainingSet);
for each interval i on feature dimension f
for each class c
t[c] class_coun c] i, [f, lass_count interval_c c] i, f, lass_vote[ interval_c = normalize interval_class_vote[f,i,c]
* such that ∑c interval_class_vote[f,i,c] = 1 *
End
Gambar 2 Algoritme pelatihan VFI5 (Güvenir 1998). 2 Klasifikasi
Tahap klasifikasi dimulai dengan inisialisasi vote dengan nilai nol pada tiap-tiap kelas. Pada tiap-tiap fitur f, dicari interval i yang sesuai dengan nilai ef, dimana ef merupakan nilai fitur f
dari instance pengujian e. Jika ef hilang atau
tidak diketahui, fitur tersebut tidak diikutsertakan dalam voting dengan memberikan vote nol pada setiap kelas yang hilang. Tiap-tiap fitur f mengumpulkan vote-vote-nya dalam sebuah vektor 〈feature_vote[f,C1], ..., feature_vote[f,Cj], ...
,feature_vote[f,Ck]〉, dimana feature_vote[f,Cj]
adalah vote fitur f untuk kelas Cj dan k adalah
banyak kelas. Sebanyak d vektor feature vote dijumlahkan sesuai dengan fitur dan kelasnya masing-masing untuk memperoleh total vektor vote 〈vote[C1], ..., vote[Ck]〉. Kelas dari instance
pengujian e adalah kelas yang memiliki jumlah vote terbesar. Ilustrasi klasifikasi pada algoritme VFI5 dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan cara kerja algoritme VFI5 terdapat pada Gambar 3.
classify(e):
/* e: example to be classified */ begin
for each class c
vote[c] = 0
for each feature f
for each class c
feature_vote[f,c] = 0 /* vote of feature f for class c */
if ef value is known
i = find_interval( f, ef )
feature_vote[f,c] = interval_class_vote[f,i,c]
for each class c
vote[c] = vote[c] + feature_vote[f,c]
return class c with highest vote[c] end
Gambar 3 Algoritma klasifikasi VFI5 (Güvenir 1998).
Penelitian Sebelumnya
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data pada penelitian Setia (2007). Pada penelitian tersebut, data tanda tangan dikumpulkan di atas kertas dan proses digitalisasi dilakukan dengan menggunakan scanner menjadi file citra 300 dpi format BMP dan mode RGB. Citra tanda tangan ini selanjutnya dikonversi menjadi citra 8 bit dengan format PCX berukuran 40×60 piksel.
Posisi yang dihasilkan citra tanda tangan masih tidak teratur dan acak. Oleh karena itu, dilakukan penyuntingan citra tanda tangan agar citra tanda tangan yang diperoleh bersifat teratur. Tahap selanjutnya dari proses pengambilan citra adalah cropping. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan bagian di luar pola yang bukan merupakan pola tanda tangan. Adapun data yang digunakan terdapat dalam Lampiran 3.
6 Pengenalan tanda tangan menggunakan
Hidden Markov Model (HMM) memperoleh akurasi rata-rata 75% untuk 8 state, 73% untuk 6 state, dan 53% untuk 4 state (Setia 2007). Pengenalan tanda tangan sebelumnya menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) propagasi balik mampu mengenali pola yang diberikan dengan akurasi tertinggi sebesar 99%, tergantung dari metode yang digunakan dari output JST (metode nilai maksimum atau metode threshold), representasi pola input yang digunakan sebagai representasi input JST, nilai toleransi galat, laju pembelajaran dan jumlah neuron lapisan tersembunyi (Riadi 2001).
METODE PENELITIAN
Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam proses klasifikasi citra tanda tangan dengan menggunakan praproses wavelet. Tahapan ini ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan klasifikasi.
Data
Semua citra tanda tangan yang digunakan dalam penelitian ini melalui praproses transformasi wavelet. Selanjutnya, citra latih dan citra uji diklasifikasikan menggunakan algoritme VFI5.
Praproses
Citra tanda tangan yang akan diproses dengan algoritme VFI5 direduksi terlebih dahulu menggunakan transformasi wavelet. Hal
ini dilakukan agar fitur yang dihitung tidak terlalu banyak sehingga proses komputasi lebih mudah dan cepat.
Transformasi Wavelet
Citra tanda tangan yang diproses menggunakan transformasi wavelet akan mengalami penurunan banyak fitur hingga 75% dari banyak fitur semula. Dalam penelitian ini, dilakukan transformasi wavelet hingga lima level. Setelah melalui transformasi wavelet, diperoleh empat citra yang memiliki dimensi baru, yakni citra pendekatan, citra detail horizontal, citra detail vertikal, dan citra detail diagonal. Ilustrasi citra hasil dekomposisi wavelet dapat dilihat pada Lampiran 4.
Data Latih dan Data Uji
Data dibagi ke dalam dua bagian, yaitu data latih dan data uji. Data latih digunakan untuk memberikan supervised learning pada algoritme VFI5, sedangkan data uji digunakan untuk menguji ketepatan hasil klasifikasi yang dilakukan oleh algoritme VFI5. Perbandingan antara data latih dan data uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah 3:2. Hal ini berarti terdapat 6 citra latih dan 4 citra uji untuk tiap-tiap kelas.
Algoritme VFI5
Terdapat dua proses dalam algoritme VFI5. Kedua tahapan ini yaitu pelatihan dan klasifikasi.
Pelatihan
Tiap-tiap matriks citra yang digunakan dibentuk menjadi matriks baris tunggal. Misalnya, matriks citra berukuran 3×4 piksel yang diilustrasikan pada Gambar 5.
f1 f2 f3 f4 f5 f6 f7 f8 f9 f10 f11 f12 Citra ke-1 & f1 f2 f3 f4 f5 f6 f7 f8 f9 f10 f11 f12 Citra ke-n f1 f2 … f11 f12 Citra ke-1 ⋮ f1 f2 … f11 f12 Citra ke-n