• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMERAMAN YANG BERBEDA TERHADAP MELTABILITY, TINGKAT KEASAMAN DAN ASAM LEMAK BEBAS KEJU SUSU KAMBING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMERAMAN YANG BERBEDA TERHADAP MELTABILITY, TINGKAT KEASAMAN DAN ASAM LEMAK BEBAS KEJU SUSU KAMBING"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

221

PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMERAMAN YANG BERBEDA TERHADAP MELTABILITY, TINGKAT KEASAMAN DAN ASAM LEMAK BEBAS KEJU SUSU KAMBING

(THE EFFECT OF TEMPERATURE AND RIPENING TIME ON MELTABILITY, ACIDITY AND FREE FATTY ACID OF MILK GOAT CHEESE)

Ardiyani Puji Rahayu, Juni Sumarmono, Mardiati Sulistyowati Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Ardiyani_pr@yahoo.co.id ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji interaksi antara pengaruh suhu dan lama pemeraman terhadap meltability, tingkat keasaman (pH) dan kadar asam lemak bebas keju susu kambing. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor 1 (Suhu Pemeraman) terdiri atas 10oC dan 16oC. Faktor 2 ( lama pemeraman) terdiri atas 0 hari, 9 hari, 18 hari, 27 hari. Masing-masing perlakuan tiga ulangan. Peubah yang diamati adalah meltability, tingkat keasaman, dan kadar asam lemak bebas. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukan bahwa interaksi antara suhu dan lama pemeraman yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap meltability dan tingkat keasaman, tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar asam lemak bebas membentuk persamaan Y=0,249x+4,739 dan Y=0,167x+4,322. Lama pemeraman berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap meltability, tingkat keasaman, kadar asam lemak bebas. Suhu pemeraman berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar asam lemak bebas tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap meltability dan tingkat keasaman. Kesimpulan penelitian ini adalah pengaruh bersama antara suhu dan lama pemeraman yang berbeda dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas. Suhu pemeraman yang tinggi (16oC) menghasilkan kadar asam lemak bebas pada keju susu kambing yang lebih rendah dibanding dengan suhu pemeraman yang lebih rendah (10oC). Semakin lama pemeraman dapat meningkatkan meltability, nilai pH, asam lemak bebas dalam keju susu kambing.

Kata kunci : suhu pemeraman, lama pemeraman, meltability, tingkat keasaman, asam lemak bebas, keju susu kambing

ABSTRACT

The research was aimed to examine the effects interaction between temperature and ripening the meltability, acidity and free fatty acids. The research method used was experimental using a Completely Randomized Design (CRD) faktorial pattern 2 x 2. The first factor (temperature) consisted of 10°C and 16oC. The second factor (ripening) consisted of 0 day, 9 days, 18 days, and 27 days. Each treatment has three replications. Observed data were meltability, acidity, and free fatty acid. The collected data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and followed by regression analysis. Results showed that the interaction between temperature and ripening time not significantly (P>0.05) affected meltability and acidity, but it significantly (P <0.01) affected free fatty acids contents form the equation Y=0,249x+4,739 and Y=0,167x+4,322 . Ripening time very significantly (P<0.01) affected meltability, acidity, and free fatty acids. Temperature very significantly (P<0.01) affected free fatty acids contents but not significantly (P>0.05) affected meltability and acidity. In conclusion, the interaction between temperature and ripening can increase free fatty acid contents. High temperature (16oC) produces lower free fatty acid than low temperature (10°C). The longer ripening time resulted in higher meltability, pH value, and free fatty

(2)

222 acids contents of goat's milk cheese.

keywords: temperature, ripening time, meltability, acidity, free fatty acids, goat’s milk cheese PENDAHULUAN

Pengembangan peternakan semakin banyak dilakukan terutama ternak yang cocok di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Pengembangan kambing perah cukup potensial karena memiliki daya adaptasi relatif baik. Kambing PE merupakan salah satu ternak yang cukup potensial sebagai penyedia protein hewani baik melalui daging maupun susunya. Susu kambing dikenal bernilai gizi tinggi, dan mempunyai keistimewaan dari jenis susu lainnya terutama susu sapi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pemanfaatan secara luas kepada masyarakat mapun industri pengolahan susu terhadap susu kambing agar pemanfaatan susu kambing dapat lebih luas (Legowo dan Ahmad, 2005). Susu kambing saat ini mulai banyak dimanfaatkan di Indonesia. Walaupun pemanfaatannya masih terbatas dan lebih diarahkan sebagai produk kesehatan dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi, akan tetapi mulai saat ini susu telah diolah menjadi produk yang memiliki nilai gizi tinggi yaitu keju.

Keju merupakan produk hasil olahan susu dan merupakan bahan pangan sumber protein tinggi yang banyak digemari, populer dimasyarakat dan konsumsi keju di Indonesia semakin meningkat. Keju di Indonesia kebanyakan diproduksi menggunakan susu sapi, sedangkan keju yang diproduksi menggunakan bahan dasar susu kambing belum banyak dikembangkan sehingga merupakan peluang besar bagi pengembangan industri keju. Keju susu kambing merupakan produk dari hasil olahan susu kambing yang tahap pembuatannya secara umum meliputi pengasaman, penggumpalan, pemisahan dadih (curd) dari whey dan pemeraman atau pematangan. Pemeraman keju dilakukan untuk mengontrol proses dekomposisi keju akibat dari aktivitas bakteri dan enzim yang menghasilkan pembentukan komponen flavor dan juga perubahan tekstur (Widodo, 2003). Proses pematangan dengan cara penyimpanan keju selama periode tertentu dapat menghasilkan keju yang berkualitas. Tahap pematangan keju dilakukan dengan penyimpanan pada suhu rendah dan kelembaban tinggi. Pemeraman yang dilakukan saat penelitian berkisar antara 0 sampai 27 hari dengan suhu pemeraman 10oC dan 16oC. Penelitian ini diharapkan dalam waktu 0 - 27 hari dan pada suhu 10oC dan 16oC bisa memperoleh hasil paling optimal pada pemeraman yang relatif singkat.

METODE

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keju susu kambing. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor, dimana faktor 1 (suhu pemeraman) terdiri dari 10oC dan 16oC. Faktor 2 ( lama pemeraman) terdiri dari 0 hari, 9 hari, 18 hari, 27 hari, dengan parameter yang diamati meltability, tingkat keasaman, dan kadar asam lemak bebas. Jumlah perlakuan 8 macam dengan 3 kali ulangan dengan kombinasi sebagai berikut : 1a2a : suhu pemeraman 10oC dengan lama pemeraman 0 hari, 1a2b : suhu pemeraman 10oC dengan lama pemeraman 9 hari, 1a2c : suhu pemeraman 10oC dengan lama pemeraman 18 hari, 1a2d : suhu pemeraman 10oC dengan lama pemeraman 27 hari, 1b2a : suhu pemeraman 16oC dengan lama pemeraman 0 hari, 1b2b :

(3)

223

suhu pemeraman 16oC dengan lama pemeraman 9 hari, 1b2c : suhu pemeraman 16oC dengan lama pemeraman 18 hari, 1b2d : suhu pemeraman 16oC dengan lama pemeraman 27 hari. data yang diperoleh ditabulasikan dalam tabel tabulasi, kemudian dianalisis mengunakan analisis variansi. Analisis variansi dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diuji kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi (Steel and Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran meltability dilakukan berdasarkan deskripsi dari Shakeel-Ur-Rehman et al.,(2003) melalui proses pemotongan keju sesuai ukuran dengan cetakan yang telah diukur luasnya terlebih dahulu, kemudian pemanasan menggunakan microwave, luas (cm2) lelehan keju yang diukur dari posisi awal/semula merupakan hasil meltability.

Hasil analisis variansi menunjukan bahwa interaksi antara suhu dan lama pemeraman tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap meltability keju. Demikian juga dengan suhu pemeraman yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap meltability keju. Lama pemeraman sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap meltability keju yang artinya perlakuan lama pemeraman mempengaruhi kelelehan keju dari ukuran semula pada keju peram susu kambing. Hasil dari analisis variansi menunjukan bahwa semakin lama pemeraman keju susu kambing maka semakin tinggi meltability yang dihasilkan.

Gambar 1. Hubungan antara Lama Pemeraman dengan Meltability pada Keju Susu Kambing

Hasil analisis (Gambar 1) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara lama pemeraman terhadap meltability ditunjukan dalam persamaan Y= 1,392x + 4,67 dengan koefisien korelasi (r = 0,92) dengan koefisien determinasi (r2= 91,6%). Koefisien determinasi sebesar 91,6% menunjukan bahwa perlakuan lama pemeraman memberikan pengaruh terhadap meltability yang dihasilkan sebesar 91,6% sedangkan 8,4% dipengaruhi faktor lain. Setiap kenaikan lama pemeraman akan meningkatkan meltability yang dihasilkan sebesar 4,67 cm2.

Berdasarkan data yang diperoleh, meltability tertinggi diperoleh pada lama pemeraman 27 hari yaitu sebesar 40,37 cm2, lama pemeraman 18 hari yaitu 33,74 cm2, lama pemeraman 9 hari

(4)

224

yaitu 14,85 cm2 dan terendah pada lama pemeraman 0 hari yaitu 4,90 cm2. Hal ini diduga karena peningkatan meltability dipengaruhi oleh lama penyimpanan selama proses pemeraman.

Peningkatan meltability terbesar terjadi pada hari pertama pengukuran sampai pada pengukuran kedua yaitu 9 hari. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mcmahon et.al (1999) yang menyatakan bahwa peningkatan meltability keju terbesar pada pemeraman hari 1 sampai ke 7, meningkatnya meltability dikarenakan meluasnya matrik protein dalam keju menyebabkan keju mudah terhidrasi sehingga dapat meningkatkan meltability.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi meltability diantaranya adalah kalsium yang terkandung dalam keju, pemanasan yang digunakan saat pengukuran meltability. Selama pemeraman meltability akan meningkat seiring dengan perubahan air dan protein dalam keju (Kiely et al., 1992). Kandungan kalsium yang ada pada keju juga dapat mempengaruhi meltability karena kalsium yang lebih rendah memiliki sifat yang mudah meleleh karena pada saat penurunan kadar kalsium akan menyebabkan kadar air keju lebih tinggi sehingga para kasein lebih banyak mengikat molekul air (Sumarmono, 2012).

Pengukuran tingkat keasaman (pH) dilakukan dengan menggunakan elektroda kaca pH-meter (Hanna Instrument) dengan berat sampel 10 gram, pH keju diukur pada sampel yang telah dilumatkan dengan 10 ml air destilasi (Shakeel-Ur-Rehman, 2003). Pengukuran dilakukan pada 0, 9, 18, 27 hari selama keju diperam.

Gambar 2. Hubungan antara Lama Pemeraman dengan Tingkat Keasaman pada Keju Susu Kambing.

Hasil analisis variansi menunjukan bahwa interaksi antara suhu dan lama pemeraman tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tingkat keasaman keju. Demikian juga dengan suhu pemeraman yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tingkat keasaman keju. Lama pemeraman sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap tingkat keasaman keju peram susu kambing. Hasil dari tabel 2. menunjukan bahwa semakin lama pemeraman keju susu kambing maka semakin rendah tingkat keasaman yang dihasilkan.

Hasil analisis (Gambar 2) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara lama pemeraman terhadap tingkat keasaman ditunjukan dalam persamaan Y= 0,046x + 4,591 dengan koefisien korelasi (r = 0,90) dengan koefisien determinasi (r2= 85,9%). Koefisien determinasi sebesar 85,9% menunjukan bahwa perlakuan perbedaan lama pemeraman memberikan pengaruh terhadap nilai pH yang dihasilkan sebesar 85,6% sedangkan 14,4% dipengaruhi faktor lain. Setiap kenaikan lama pemeraman akan meningkatkan nilai pH sebesar 4,591 yang dihasilkan.

Y = 0,046x + 4,591 r² = 85,9% 0 2 4 6 8 0 5 10 15 20 25 30 Ti n gk at ke asa m an (pH)

(5)

225

Nilai pH sebesar 6,08 ini kapang mampu tumbuh sedangkan bakteri asam laktat pada keju umur 9 hari mengalami fase kematian oleh beberapa sebab, antara lain ketersediaan nutrisi pada media yang berkurang, energi cadangan dalam sel habis serta penumpukan asam metabolit lainnya selama proses fermentasi, sehingga kapang mampu tumbuh pada kondisi tersebut (Buckle, 1987). Daulay (1991) menyatakan bahwa meningkatnya nilai pH dikarenakan kapang yang ada dipermukaan keju tumbuh dan mempergunakan asam laktat yang tersedia untuk melakukan akktivitas proteolitik yang kuat dari enzim-enzim sel.

Lama pemeraman dalam penelitian ini menghasilkan peningkatan pH keju susu kambing, Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Hutagalung (2008) yang menyatakan bahwa selama penyimpanan, keju akan mengalami penurunan pH karena aktivitas enzim dalam memecah kasein meningkat. Lama pemeraman mempengaruhi nilai pH sehingga kenaikan pH pada keju peram, diduga akibat adanya asam laktat pada akhir pemeraman yang tidak diimbangi penurunan pH sehingga memberikan gambaran apabila dalam proses pemeraman sangat dimungkinkan degradasi protein lebih lanjut yang akan membebaskan senyawa basa dan menaikkan pH (Walstra, 1999).

Hasil dari pengukuran asam lemak bebas pada keju susu kambing yang diperam selama 0, 9, 18, 27 hari, menunjukan bahwa semakin tinggi suhu pemeraman maka kadar asam lemak bebas yang dihasilkan semakin rendah sedangkan semakin lama pemeraman keju susu kambing maka semakin tinggi kadar asam lemak bebas yang dihasilkan.

Hasil analisis variansi menunjukan bahwa interaksi antara suhu dan lama pemeraman berpengaruh sangat nyata (P>0,01) terhadap asam lemak bebas keju begitu juga dengan suhu pemeraman yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap asam lemak bebas keju hal ini dikarenakan selama hidrolisis terjadi pemecahan ikatan ester yang menghasilkan asam lemak bebas, mono gliserida, digliserida. Senyawa-senyawa ini mempunyai polaritas dan berat molekul yang lebih rendah dari trigliserida sehingga terjadi degradasi oksidatif dalam trigliserida rantai tidak jenuh. Suhu tinggi berperan dalam proses oksidasi serta pembentukan dimer dan polimer oksidatif dan non-oksidatif. Asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi dan berubah suhunya dari pada teresterifikasi dengan gliserol (Dorbaganes & Marquez, 1996).

Gambar 3. Hubungan antara Lama Pemeraman dengan Asam Lemak Bebas pada Keju Susu Kambing Y = 0,249x + 4,739 r² = 84,2% 0 2 4 6 8 10 12 14 0 5 10 15 20 25 30 A sa m le m ak b e b as (%)

Lama pemeraman (hari)

suhu rendah suhu tinggi

Y=0,167x +4,322 r2=96,7%

(6)

226

Hasil analisis (Gambar 3) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara lama pemeraman dengan suhu tinggi (16oC) terhadap asam lemak bebas ditunjukan dalam persamaan Y= 0,167x + 4,322 dengan koefisien korelasi (r = 0,97) dan koefisien determinasi (r2= 96,7%). Koefisien determinasi sebesar 96,7% menunjukan bahwa perlakuan lama dan suhu pemeraman yang tinggi memberikan pengaruh terhadap kadar asam lemak bebas yang dihasilkan sebesar 96,7% sedangkan 3,3% dipengaruhi faktor lain. Setiap kenaikan suhu dan lama pemeraman akan meningkatkan kadar asam lemak bebas sebesar 4,322 yang dihasilkan. Sedangkan pada suhu pemeraman yang rendah (10oC) terhadap asam lemak bebas ditunjukan dalam persamaan Y= 0,249x + 4,739 dengan koefisien korelasi (r = 0,97) dan koefisien determinasi (r2= 84,2%). Koefisien determinasi sebesar 84,2% menunjukan bahwa perlakuan lama dan suhu pemeraman yang tinggi memberikan pengaruh terhadap kadar asam lemak bebas yang dihasilkan sebesar 84,2% sedangkan 5,8% dipengaruhi faktor lain. Setiap kenaikan suhu dan lama pemeraman akan meningkatkan kadar asam lemak bebas sebesar 4,739 yang dihasilkan.

Asam lemak bebas atau FFA menunjukan sejumlah asam lemak bebas yang terkandung oleh lemak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis (Gunawan dkk, 2003). Pada saat reaksi hidrolisis akan dihasilkan gliserida dan asam lemak bebas dengan rantai pendek (C4-C12) akibat yang ditimbulkan dari reaksi ini adalah terjadinya perubahan bau yaitu timbulnya aroma tengik (Djamiko dan Pandjiwidjaja, 1984).

SIMPULAN

Pengaruh bersama antara suhu dan lama pemeraman yang berbeda dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas. Suhu pemeraman yang tinggi (16oC) menghasilkan kadar asam lemak bebas yang lebih rendah dibanding dengan suhu pemeraman yang lebih rendah (10oC). Semakin lama pemeraman dapat meningkatkan meltability, tingkat keasaman rendah dengan melihat nilai pH yang semakin meningkat begitu juga dengan asam lemak bebas dalam keju susu kambing.

DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K. A., R. A. Edward.,G. H. Fleet, and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo, Adiono : Food Science. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Daulay, D. 1991. Fermentasi Keju. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Djatmiko, B dan P. Widjaja. 1984. Teknologi Minyak dan Lemak. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dorbaganes, M. C and G. Marquez-Ruiz. 1996. Dimetric and Higher Oligometric Triglycerides. In

Perkins, E. G. and M. D. Erickson. 1996. Deep Frying Chemistry, Nutrition and Practical Aplications. AOCS Press. Champaign, Llinois.

Gunawan, M. Triatmo dan A. Rahayu. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng. Jurnal UNDIP. Semarang. Hutagalung, I. L. 2008. Pengujian Level Enzim Rennet, Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap

Kualitas Kimia Keju dari Susu Kerbau Murrah. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. Diakses (15 November 2012).

(7)

227

draw pH on the development of curd structure during the manufacture of Mozzarella cheese. Food Struct. 11:217–224.

Legowo, A., Nurwantoro, A. N., Al Baari. 2005. Kadar Protein, Lemak, Nilai pH dan Mutu Hedonik Keju cottage dengan Bahan Dasar Susu Kambing dan Susu Sapi Skim. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Mcmahon, D. J. Robert L. F. Craig J. O. 1999. Water Partitioning In Mozarella Cheese And Its Relationship To Cheese Meltability. Journal of Dairy Science, 82 (7) : 1361-1369.

Shakeel-Ur-Rehman, N. Y. Farkye, and B. Yim. 2003. Use of Dry Milk Protein Concentrate in Pizza Cheese

Manufactured by Culture or Direct Acidification. Journal of Dairy Science 86: 3841–3848.

Sumarmono, J. 2012. Kalsium pada proses pembuatan keju . E-paper Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. http://panganhewani.blog. unsoed.ac.id. Diakses (11 November 2012).

Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1991. Principles and Procedures of Statistics; a Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company, New York.

Walstra, P. 1999. Casein sub-micelles : do they exist. International Dairy Journal, 9(3-6): 189-192. Widodo, W. 2003. Bioteknologi Fermentasi Susu. Pusat Pengembangan Bioteknologi. Universitas

Gambar

Gambar 1. Hubungan antara Lama Pemeraman dengan Meltability pada  Keju Susu Kambing
Gambar 2. Hubungan antara Lama Pemeraman dengan Tingkat Keasaman pada Keju  Susu Kambing
Gambar 3. Hubungan antara Lama Pemeraman dengan Asam Lemak Bebas pada Keju  Susu Kambing  Y = 0,249x + 4,739 r² = 84,2% 0 2 4 6 8 10 12 14 0 5 10  15  20  25  30

Referensi

Dokumen terkait

.DNDR PHUXSDNDQ VDODK VDWX NRPRGLWDV HNVSRU ,QGRQHVLD \DQJ SRWHQVLDO XQWXN GLNHPEDQJNDQ NDUHQD NRQVXPVL NDNDR GXQLD \DQJ FHQGHUXQJ PHQLQJNDW 1DPXQ NDNDR QDVLRQDO PHQJKDGDSL

Hubungan antara juragang dan personilnya dalam aktivitas pelayaran sangant nampak dimana juragang tidak akan bekerja sendiri tanpa adanya personil (ABK) yang bekerja

Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates. Regression Weights: (Group number 1 -

Kenaikan tersebut sebagian besar disumbangkan dari pendapatan bisnis voucher yang memberikan kontribusi sekitar 80% dari pendapatan perseroan.. Perseroan mempertahankan margin

Aktivitas siswa mencapai rata-rata 81,25% pada siklus I, sedangkan pada siklus II seluruh aktivitas rata-rata mencapai 100% (sangat aktif). Hasil belajar siswa pada siklus

Sedangkan hasil pemecahan masalah siswa pada gambar 3b tampak bahwa siswa tidak memulai menyelesaikan masalah dengan membuat deskripsi kualitatif dan cenderung menggunakan

penyebab dari tingkat alpha – sakit bisa dikarenakan aktivitas di warehouse yang terlalu lelah karena dari pengamatan penulis, aktivitasnya masih dilakukan secara semi manual,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha esa karena dengan rahmat, karunia,penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berjudul perancangan visual media interaktif untuk