• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) DALAM UPAYA KONSERVASI PENYU DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) DALAM UPAYA KONSERVASI PENYU DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) DALAM UPAYA KONSERVASI

PENYU DI INDONESIA Roby Yolis Pata’dungan1

NIM.0702045052

Abstract

This research describes about the implementation of CITES and also to determine the effectiveness of the implementation of the management of turtle conservation in Indonesia, especially in conservation areas in the district of Berau-East Kalimantan and Serangan-Bali. The results of this research are CITES implementation in Indonesia is done in the form of regulatory policy and work made by the Indonesian government and several organizations, and NGOs, to conserve turtle conservation in Indonesia, especially the Berau area of East Kalimantan , and Serangan-Bali to reduce the level of illegal exploitation and trade of the turtle populations of Indonesia.

Keywords: CITES, Turtle, Conservation

Pendahuluan

Indonesia memiliki 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha serta 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 juta ha, dan dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 taman nasional darat dan 6 taman nasional laut. Konservasi adalah proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau objek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Keragaman satwa dan tumbuhan serta kawasan konservasi yang cukup banyak tersebar di berbagai wilayah menjadikan Indonesia negara yang kaya akan keanekaragaman hayati ke-2 setelah Brazil. (http://www.menlh.go.id, diakses tanggal: 20 januari 2012).

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman dan sumber daya alamnya baik sumber daya yang dapat diperbaharui (perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang) maupun

1 Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: robyyolispatadungan@rocketmail.com

(2)

920

sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, gas, mineral atau bahan tambang lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa di sekitar kelautan mempunyai potensi yang sangat besar. Ada berbagai macam satwa dan tumbuhan liar yang hidup lautan Indonesia, antara lain rumput laut, terumbu karang, serta beberapa jenis mamalia dan reptil seperti paus, hiu, duyung, lumba-lumba, penyu dan sebagainya. Diantaranya, terdapat beberapa spesies yg termasuk kategori dilindungi, salah satunya adalah penyu.

Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Tercatat ada enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta).

Populasi keenam jenis penyu tersebut telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mengklasifikasikan beberapa jenis penyu sesuai dengan tingkat ancaman dan kepunahannya. Diantaranya, penyu belimbing, penyu Kemp’s Ridley dan penyu sisik diklasifikasikan sebagai “Sangat terancam punah”. Status ini diberikan IUCN Red list kepada spesies yang menghadapi resiko kepunahan dalam waktu dekat. Penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang atau penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), dan penyu tempayan atau loggerhead (Caretta caretta) digolongkan sebagai “Terancam punah”. Dalam kategori ini spesies dinyatakan sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Hanya penyu pipih (Natator depressus) yang dinyatakan berisiko rendah setelah melalui tahap evaluasi.

Aktivitas pemanfaatan penyu perairan di Indonesia merupakan sejarah yang cukup panjang. Sejak jaman kolonial penyu telah diburu oleh masyarakat nelayan untuk dimanfaatkan daging dan telurnya untuk mendapat sumber protein alternatif oleh masyarakat pesisir. Peningkatan intensitas aktifitas perburuan, pembantaian dan pemanfaatan penyu berlangsung sejalan dengan pengaruh teknologi baru. Dampak aktivitas tersebut semakin meningkat bersamaan dengan kemajuan teknologi, peningkatan jumlah penduduk, serta peningkatan ragam dan mutu kebutuhan. Hal ini terjadi karena terdorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kemudian berkembang menjadi suatu kegiatan usaha yang bersifat komersial.

Hingga saat ini pemanfaatan sumber daya penyu masih belum mengikuti cara-cara yang baik dan benar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara tingkat pemanfaatan dengan tingkat pertambahan populasi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menghiraukan pelestariannya, akan menyebabkan status populasi di alam yang sudah langka itu semakin terancam punah. Sebagai contoh kasus pembantaian penyu di Bali. Sejak jaman dahulu masyarakat Bali telah lazim mengkonsumsi daging penyu untuk keperluan adat, khususnya penyu hijau. Begitu pula di Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) sebagai salah satu habitan

(3)

921 penyu hijau terbesar di Indonesia, dimana segala bentuk olahan penyu baik dalam bentuk cinderamata, makanan, maupun telurnya, menjadi mata pencaharian bagi warga yang tinggal di sekitar habitat penyu. Bali dan Berau merupakan dua tempat di Indonesia yang kegiatan pemanfaatan dan perdagangan penyu cukup sering terjadi.

Beberapa penyebab terbesar penurunan populasi penyu di Indonesia juga dikarenakan adanya pemanfaatan telur penyu secara berlebihan. Selain itu, berbagai macam gangguan juga mengancam populasi penyu, antara lain: penangkapan dan pembantaian secara berlebihan dengan menggunakan alat-alat tombak, panah, dan faring. Di samping itu adanya gangguan terhadap terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat penyu, wilayah pesisir dengan hutan pantainya sebagai tempat bertelur, dan adanya berbagai kegiatan pembangunan yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan, misalnya: pembangunan hotel-hotel, tambak, pelabuhan, pengerukan, pabrik-pabrik dan penambangan serta pengeboran minyak di daerah lepas pantai. (http://www.wwf.or.id, Diakses tanggal 18 Desember 2012).

Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk menanggulangi permasalahan ini adalah dengan meratifikasi Konvensi Perdagangan Internasional untuk spesies tumbuhan dan satwa liar atau CITES (Convention on International Trade in

Endangered Species) yang merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat global

dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional serta tindak eksploitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar, melalui Keputusan Presiden No.43 tahun 1978. Ide berdirinya CITES sebenarnya sudah tercetus pada tahun 1960 dikarenakan banyaknya kasus-kasus perdagangan ilegal dan eksploitasi terhadap satwa-satwa dan tumbuhan langka yang hampir punah. Perdagangan dan eksploitasi ini beragam jenis, ada yang menjual hewan dan tumbuhan secara utuh dan dalam kondisi masih hidup, namun ada pula yang menjual bagian-bagian tubuh hewan secara terpisah, mulai dari kepala, kulit, tulang, daging serta bagian lainnya, untuk nantinya diolah menjadi berbagai macam produk. Mulai dari hiasan, makanan, dan bahan tekstil.

CITES dirancang sebagai resolusi yang diadopsi pada tahun 1963 pada pertemuan anggota IUCN (International Union for Conservation of Nature). Naskah Konvensi itu akhirnya disepakati pada pertemuan perwakilan dari 80 negara di Washington DC, Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, dan pada tanggal 1 Juli 1975 CITES resmi disepakati. Naskah asli Konvensi ini ditulis dalam beberapa bahasa yaitu, bahasa Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol, yang masing-masing versi sama dan otentik.

Di Indonesia, pemerintah berupaya untuk dapat mengatasi permasalahan perdagangan dan eksploitasi terhadap satwa-satwa liar Indonesia yang populasinya mulai terancam, dengan mengimplementasikan aturan-aturan serta kebijakan CITES sebagai sebuah Rezim Internasional yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

(4)

922

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Upaya ini turut melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tiap-tiap daerah di Indonesia sebagai perpanjangan dari pemerintah pusat, dan turut dibantu oleh beberapa Yayasan dan Organisasi yang juga bergerak di bidang lingkungan hidup seperti WWF-Indonesia dan The Nature Conservancy (TNC) untuk melakukan pengawasan di area konservasi penyu yang ada di daerah. Bagaimanakah efektifitas implementasi CITES di Indonesia pasca ratifikasi. Hal ini lah yang menjadi alasan penulis untuk menelitinya dengan mengambil judul “Implementasi CITES (Convention on

International Trade in Endangered Species) Dalam Upaya Konservasi Penyu di

Indonesia”.

Kerangka Dasar Teori 1. Rezim Internasional

CITES merupakan salah satu bentuk rezim internasional yang memiliki anggota lebih dari 150 negara hingga saat ini. Untuk menjelaskan rezim internasional, penulis menggunakan teori rezim internasional menurut Stephen D. Krasner: “Regime can be as sets of implicit of explicits principles, horm, rules, and decision making procedurs around which actors exportations couverage in a given area of international relations.”

Krasner menjabarkan secara rinci bahwa prinsip-prinsipnya adalah keyakinan akan fakta, faktor penyebab, dan prosedur-prosedur yang harus dilakukan. Norma adalah standar prilaku yang didefinisikan konteks hak dan kewajiban. Aturan adalah landasan untuk bertindak. Proses pembuatan keputusan adalah tindakan yang berlaku umum untuk membuat dan mengimplementasikan pilihan bersama. Krasner meletakan perkembangan rezim sebagai sebuah variabel yang dependen sedangkan variabel awal yang mempengaruhi dan dapat menjelaskan perkembangan rezim dibagi kedalam 5 poin yang paling utama, yaitu:

a. Kepentingan sikap actor

Menyatu pada hasrat bersama untuk memaksimalisasi fungsi kegunaannya masing-masing, dimana ini tidak termasuk fungsi kengunannya bagi negara lain. Variable ini hanya prihatin pada prilaku negara anggota lain apabila prilaku tersebut mempengaruhi kepentingan mereka.

b. Keputusan politik merupakan variabel kedua yang mempunyai dua macam orientasi terhadap penggunaan power, yaitu kekuasaan terhadap kepentingan umum (power in service of the common good) dan Kekuasaan terhadap kepentingan tertentu (power in the service of particular interest).

c. Norma-norma dan prinsip merupakan dua komponen kritis yang dapat mencerminkan karakteristik dari suatu rezim.

d. Pemanfaatan dan kebiasaan

Pemanfaatan menyatu pada prilaku dasar berdasarkan kegiatan aktual sedangkan kebiasaan merupakan kegiatan yang telah berlangsung lama.

(5)

923 Pengetahuan merupakan landasan untuk kerjasama dengan menjelaskan interkoneksi yang kompleks yang sebelumnya tidak dimengerti. (http://www.library.upnvj.ac.id/pdfdiakses tanggal 28 juni 2013)

2. Konsep Implementasi Kebijakan

Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor,

Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu

sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48).

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

Perspektif Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.

Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna

(6)

924

melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating

prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.

Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.

Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seolah-olah mematahkan perspektif organisasi dalam administrasi publik dan mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.

Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.

Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang

(7)

925 juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.

Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

2. Konsep Konservasi

Istilah konservasi yang biasa digunakan saat ini mengacu pada Piagam dari

International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yaitu Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance, Burra, Australia

atau lebih dikenal dengan Burra Charter.

(http://www.international.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf, diakses tanggal 20 juni 2013).

Dalam Burra Charter, konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau objek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut.

Kegiatan konservasi antara lain bisa berbentuk preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu dan rehabilitasi. Aktivitas ini tergantung dengan kondisi, persoalan, dan kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya pemeliharaan lebih lanjut. Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keasliannya dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas.

Ada beberapa perluasan tindakan konservasi:

a. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan

(8)

926

tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen eksisting tanpa menggunakan material baru.

b. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.

c. Preservasi (dalam konteks terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsi terjaga baik.

d. Konservasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikansi kebudayaannya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsolidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.

e. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan kepada pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai konstruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi.

Dalam praktiknya, CITES sebagai sebuah rezim lingkungan yang diorganisasikan melalui sebuah perjanjian antar negara-negara anggota yang menyusun sebuah kesepakatan untuk dipatuhi bersama. CITES melakukan tugas dan fungsinya sebagai sebuah rezim dalam bidang lingkungan dengan melakukan upaya konservasi, dan menerapkan aturan-aturan dan norma, serta prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh negara-negara anggota yang telah meratifikasi naskah CITES, termasuk Indonesia. Dan aturan-aturan tersebutlah yang diterapkan dan menjadi landasan dalam kegiatan konservasi penyu di Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu memberikan gambaran melalui data dan fakta-fakta yang ada tentang implementasi CITES dalam upaya pengelolaan konservasi penyu di Indonesia khususnya di wilayah Kabupaten Berau dan Serangan-Bali, Serta teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik analisis kualitatif.

Hasil Penelitian

Sebagai bagian dari sumber daya alam, Penyu dapat dimanfaatkan oleh manusia, namun pemanfaatan tersebut harus dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kelangsungan dan kelestariannya. Secara global perdagangan dan pemanfaatan semua jenis penyu diatur dalam ketentuan Convention of International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Di Indonesia

pemanfaatan penyu juga telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan ini mengatur pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dapat dilaksanakan yaitu dalam bentuk: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan. Dalam rangka mengatur pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut, Kementerian Kehutanan telah mengatur

(9)

927 pemanfaatan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar (dalam hal ini adalah penyu) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Keputusan tersebut dibuat dengan tujuan untuk menciptakan tertib peredaran guna menunjang kelestarian penyu Indonesia melalui pengendalian pengambilan, penangkapan, pengumpulan, pemeliharaan, dan pengangkutan. Selain itu juga bertujuan untuk menerapkan ketentuan CITES dalam peredaran tumbuhan dan satwa liar di Indonesia.

Upaya pelestarian terhadap tumbuhan dan satwa liar di Indonesia turut melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tiap-tiap daerah di Indonesia sebagai perpanjangan dari pemerintah pusat, dan turut dibantu oleh beberapa Yayasan dan Organisasi yang juga bergerak di bidang lingkungan hidup seperti WWF-Indonesia dan The Nature

Conservancy (TNC) untuk melakukan pengawasan di area konservasi penyu yang

ada di daerah.

1. Konservasi Penyu di Berau – Kalimantan Timur

Di Pulau Sangalaki Kepulauan Derawan, pada tahun 1950-an, jumlah populasi yang bertelur diperkirakan sekitar 200-an ekor/malam. Dua dekade berikutnya (tahun 1970-an), jumlah ini menurun menjadi sekitar 150-an ekor/malam. Jumlah ini menurun drastis pada tahun 1993, ketika jumlah yang bertelur tersisa sekitar 39 ekor/malam dan pada tahun 2002 hanya tercatat sekitar 15 ekor/malam. Penurunan populasi penyu ini tentu karena beberapa pengaruh diantaranya karena penangkapan dewasa dan pemanfaatan telur.

Pemanfaatan telur penyu di Kabupaten Berau merupakan sejarah yang panjang sejak jaman kerajaan dahulu. Pada tahun sebelum 1901, telur penyu dijadikan alat tukar dan dieksploitasi besar-besaran. Namun pada tahun 1901-1945 ada pelarangan untuk menangkap penyu dewasa dan pemanfaatan terbatas untuk telur penyu dengan cara pelelangan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Setelah kemerdekaan, pengelolaan pulau tempat peneluran penyu ditangani oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang pada waktu itu dikenal dengan pemerintah swapraja/kewedanaan . Akan tetapi, karena situasi Negara masih belum menentu, pengelolaannya belum terlaksana dengan baik. Masyarakat Derawan pada saat itu sering memanfaatkan telur penyu sebagai barang barter dengan bahan kebutuhan pokok dengan masyarakat di Samarinda atau bahkan dengan masyarakat Philipina dan Malaysia. Baru setelah tahun lima puluhan pengelolaan diserahkan kepada perorangan (pihak swasta) melalui proses pelelangan. Pemanfaatan penyu melalui pelelangan ini diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) Istimewa Berau nomor 30 tahun 1953, yang dikeluarkan pasca berlakunya Undang-undang Darurat No. 3 tahun 1953 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan.

Berdasarkan Perda Istimewa Berau No. 30 tahun 1953 tersebut, pihak perorangan/swasta yang diberikan hak pengelolaan penyu dan telurnya diberikan kewajiban untuk membayar retribusi dengan jumlah yang telah ditentukan serta kewajiban lainnya seperti : menjaga kelestarian, mengadakan pengawasan dan

(10)

928

tidak memperdagangkan bagian-bagian lain selain telur penyu (misalnya daging dan karapasnya). Perda ini bertahan cukup lama, hingga dikeluarkannya Perda nomor 15 tahun 1983 yang mengatur hal yang sama (tentang penyu dan telurnya). Dengan adanya Peraturan Bupati tentang Kawasan Konservasi Laut (KKL), pemanfaatan secara langsung telur penyu selama ini dihentikan. Penetapan KKL bukan berarti menghentikan pemanfaatan penyu dan hasil laut lainnya. Pemanfaatan langsung segala bagian tubuh penyu sudah dilarang sebelumnya oleh aturan yang lebih tinggi (UU Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999). Rancangan pemerintah kabupaten Berau menetapkan kawasan perairan kepulauan Derawan sebagai KKL tentu bukan tanpa pertimbangan. Apalagi daerah ini merupakan daerah objek kunjungan wisata di Kalimantan Timur yang kaya akan keindahan bawah laut. Pemanfaatan secara lestari terutama manfaat tidak langsung menjadi pertimbangan utama, dan tentunya harus terus didukung oleh semua pihak sehingga keputusan membuat KKL menjadi titik tolak peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan. Peningkatan kunjungan wisata, peningkatan hasil tangkapan nelayan dan persepsi positif dunia terhadap pengelolaan adalah tujuan jangka panjang.

2. Konservasi Penyu di Serangan – Bali

Turtle Conservation and Education Center atau Pusat Konservasi dan Pendidikan

Penyu (TCEC) dibuka oleh Gubernur Bali, Dewa Barata, pada 20 Januari 2006 di Pulau Serangan, Bali. TCEC dibangun sebagai bagian dari strategi yang komprehensif untuk menghapus perdagangan penyu illegal di pulau Serangan. Berdiri di lahan seluas 2,4 hektar, TCEC berupaya mendukung komunitas Serangan untuk menemukan mata pencaharian alternatif diluar perdagangan penyu. Pusat ini memanfaatkan potensinya untuk pendidikan, pariwisata, konservasi serta penelitian, dengan sentuhan bisnis, untuk memberikan kesempatan baru bagi penyu yang terancam punah di Serangan.

Empat aspek fundamental dari TCEC termasuk mengakhiri perdagangan penyu dengan mendorong masyarakat agar tidak mengkonsumsi produk-produk penyu (baik untuk keperluan agama atau yang lainnya), dan secara umum mendukung konservasi penyu; menyediakan penyu untuk upacara keagamaan tanpa harus membunuhnya, dan memonitor ukuran dan jumlah penyu. Hal ini untuk mengendalikan dengan ketat penggunaannya; membuka kesempatan kerja bagi masyarakat local Serangan; dan pada akhirnya menjadi pengawas bagi perdagangan penyu- khususnya di Serangan, dan secara umum di Bali.

Penetapan TCEC didukung oleh WWF, Gubernur Bali, Walikota Denpasar, serta BKSDA Provinsi Bali dan masyarakat lokal. Pulau Serangan, bersama dengan desa Tanjung Benoa, selama beberapa dekade dikenal sebagai pasar gelap terbesar untuk daging dan produk-produk penyu lainnya . Serangan merupakan pelabuhan bagi ratusan kapal penangkap penyu yang berlayar hingga Derawan, Berau-Kalimantan Timur, dan wilayah Papua. Perdagangan dan perburuan besar-besaran ini, tidak hanya menghancurkan populasi penyu laut di sekitar wilayah Bali saja tetapi juga menyebabkan dampak ekologis terhadap sejumlah kawasan di Indonesia.

(11)

929 TCEC berperan sebagai tempat transit bagi proses reproduksi penyu. Bersama mitra masyarakat nelayan yang telah dibina, TCEC mengumpulkan telur-telur penyu dari pantai saat musim bertelur tiba, yaitu sekitar Bulan Juli-Agustus. Telur-telur ini kemudian ditetaskan dan dipelihara hingga berusia kurang lebih 3-5 bulan. Ketika itulah, tukik atau anak penyu ini secara massal dilepaskan kembali ke laut agar dapat tumbuh di habitat aslinya. Setelah berjalan beberapa tahun, kini telah berkembang sembilan lokasi binaan TCEC sebagai pusat penetasan penyu yang tersebar di seluruh Bali, antara lain Perancak (Negara), Pengambangan, Pantai Saba, Pantai Kuta, dan Serangan.

Upaya konservasi yang dilakukan TCEC juga meluas hingga ke pulau Jawa, untuk melindungi pantai tempat panyu bertelur yang sering dijarah oleh para pedagang telur penyu. Sejumlah telur dari Jawa ditetaskan di TCEC. Sebagian akan dibebaskan saat panjangnya mencapai 40 cm, sementara yang lainnya dibesarkan untuk keperluan upacara adat.

Kesimpulan

Implementasi CITES dalam upaya konservasi penyu di Indonesia, khususnya di Berau dan Bali merupakan proses penerapan serangkaian aturan yang muncul melalui sebuah perjanjian atau kesepakatan. Dimana Indonesia sebagai negara yg ikut meratifikasi kesepakatan tersebut, menerapkan kewajiban-kewajiban CITES dengan mengadopsi system informasi, manajemen, serta unit pelaksanaan hukumnya, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi kesepakatan CITES berkewajiban untuk menerapkan atau mengadopsi aturan-aturan dan hukum yang berlaku dalam kesepakatan CITES melalui peraturan domestic dan undang-undang di Indonesia. Dapat dilihat bahwa implementasi CITES di Indonesia cukup berhasil, melihat dari wujud adopsi aturan CITES di dalam peraturan-peraturan pemerintah Indonesia dan undang-undang yang diberlakukan di Indonesia terkait masalah pemanfaatan semua jenis penyu yang ada di Indonesia, khususnya di Berau – Kalimantan Timur dan Serangan Bali. Selain itu keefektifan implementasi CITES dapat dilihat dari menurunnya tingkat pemanfaatan penyu di Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.

Daftar Pustaka 1. Buku

Chasek, Pamela S. , David Leonard Downie, Janet Welsh Brown. 2010,

“Global Environmental Politics”, Westview Press.

Curlier, Maria dan Steinar Andresen. 2002, “Inernational Trade in

Endangered Species : The Cites Regime,” dalam Edward L Miles

et.al,Environmental Regime Effectiveness, Confronting Theory with Eddence, (London : Mit Press)

Elliott, Lorraine. 1998, “ The Global Politics of the Environment “, ( London : Macmillan Press)

(12)

930

French, Hillary dan Lisa Mastny. 2001, ” Controlling International

Environmerntal Crime “, dalam Lester Brown, Christopher Flavin

dan Hillary French (eds), State of the World, (New York : W.W. Norton dan Company)

Gamer, Robert. 2000,“ Environment Politics : Britain Europe and the Globa

Environmen, edisi ke-2 (London : Macmillan Press)

Goudie, Andrew. 2000 “ The Human Impact on the Natural Environment “, edisi ke – 5 (Oxpford : Black Well Puslishers)

Hemley, Ginette. 1994, ” international WildlifeTrade a CITES Sourcebook “, ( Washington D.C : Island Press)

Huxley , Chris. 2000, “CITES: The Vision”, dalam John Hutton dan Barnabas Dickson Ced, Endangered Species Threatned Convention. The Past, Present, and Future of CITES, (London: Earth Scan)

Holdgate, Martin. 1999, ,”The Green Web. A union for World Conservation”, (London :Garthsoan)

Kartasasmita , Koesnadi. 1977, Administrasi Internasional, Lembaga Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung. Krasner, Stephen D. 1983, “International Regimes”, Cornell University Press.

Mofson, Phyllis. 1994, “ Zimbabwe an CITES : Illustrating the Reciprocal

Relation between the State and the International Regime “(Cambridge : Cambrige University Press)

Porter, Gareth dan Janeth Welsh Brown. 1996, “ Global Environmental

Politics “, edisi ke – 2, (Boulder, Colorado : Westview Press)

Schreurs , Miranda A. dan Elizabeth C. Economy. 1994,

“Internationaliozation of Environmental Politics”, (Cambridge : Cambrige University Press)

Underdah, Arild and Edward L. Milles. 2002, et. Al, Environmental Regime Effectiveness Confronting Theory With Evidence, MIT Press, Cambridge, Massachussetts.

Dokumen Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009, Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2. Media massa cetak dan elektronik / internet

“About Species Conservation” dalam:

http://www.iucn.org/about/work/programmes/species/.

“APAKAH CITES?”, dalam:

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/setjen/PUSSTAN/INFO_III0 1/IV_III01.html

Cifebrima Suyastri. 2013, “Efektivitas CITES Dalam Menangani

Perdagangan Satwa Liar Dengan Menggunakan Identifikasi Legalisasi Artikel CITES”, tersedia di:

http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JTS/issue/view/157 3. Artikel/Majalah:

Tantyo Bangun. (2010). Maskot yang terancam (Penyu Hijau Laut Berau). Dalam: National Geographic Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam norma subyektif terdapat dua aspek pokok yaitu: keyakinan akan harapan, harapan norma referen, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh

Pada Gambar 9 menjelaskan mengenai prinsip metode magnetik yang diilustrasikan menggunakan sebuah objek berbentuk kubus, lalu komponen- komponen yang digunakan

pada perusahaan manufaktur periode 2008-2009.Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur yang melakukan manajemen laba dalam rangka merespon perubahan tarif

Penelitian ini digunakan untuk uji asumsi klasik sebelum menguji hipotesis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Pengujian asumsi klasik ini digunakan agar variabel

Bagaimanakah hubungan dosis dengan efek toksik yang ditimbulkan terhadap sistem skeletal janin pada tikus bunting jika diberikan selama masa organogenesis?...

Dengan adanya permasalahan tersebut, Koperasi Wanita Putri Harapan perlu manggunakan sistem terkomputerisasi yaitu dengan menggunakan sistem informasi simpan pinjam yang

Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam mempengaruhi terciptanya kinerja karyawan PT.BPR Prisma Dana Manado secara optimal, nilai R (korelasi)

dan pengukura n Kesim pulan 3.2.Membersihkan Endapan karbon pada busi 3.3.Mengukur celah busi Memasang busi 4.1.Memasang busi dengan benar (torsi kekencangan sesuai, tidak