• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ekofisiologi Tanaman Jeruk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ekofisiologi Tanaman Jeruk"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekofisiologi Tanaman Jeruk

Jeruk (Citrus sp) banyak dibudidayakan di daerah tropik dan sub tropik. Terdapat banyak seleksi kultivar jeruk yang berasal dari berbagai cara hibridisasi, mutasi dan poliploidi yang terjadi dalam species Citrus. Asal-usul jeruk yang terseleksi tersebut tidak jelas, sehingga sulit untuk melakukan pengelompokkan dan klasifikasi kultivar jeruk yang ada. Menurut Karsinah (1999) klasifikasi jeruk (‘true citrus’) sebagai berikut :

Famili : Rutaceae Subfamili : Aurantioideae

Suku : Citriae (‘Citrus dan Citroid’) Sub suku : Citrinae (‘Citrus’)

Grup : Jeruk (‘True Citrus’) Genus : Citrus

Umumnya jeruk diperbanyak secara komersial dengan biji. Biji tanaman jeruk mempunyai sifat poliembrional, artinya dari satu buah benih jeruk yang ditanam dapat tumbuh menjadi lebih dari satu kecambah jeruk (Rismunandar, 1981). Cara lain yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman jeruk adalah dengan melakukan penyambungan antara batang atas dan batang bawah. Batang atas biasanya berasal dari tunas vegetatif pohon induk, sedangkan bibit batang bawah biasanya merupakan hasil perbanyakan melalui biji. Perbanyakan tanaman ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi adalah jenis tanah, suhu, curah hujan serta ketinggian dari permukaan laut. Jeruk dapat tumbuh dengan baik di wilayah dataran sedang – tinggi ( 500 m dpl), pada tanah yang berdrainase baik, solum tanah minimum 50 cm, banyak mengadung bahan organik dan tekstur tidak terlalu liat (Djaenudin et al, 2000). Tingkat kemasaman tanah 4.0 – 7.8 (optimum 6), temperatur 13 – 35oC (optimum 22-23oC) dengan curah hujan 1000 – 3000 mm/thn (Masyarakat Jeruk Indonesia, 2004).

Menurut Djaenudin et al (2000), untuk tumbuh dan berproduksi tanaman jeruk dipengaruhi pula oleh kualitas lahan antara lain salinitas, alkalinitas dan toksisitas unsur hara (alumunium dan pyrit), karenanya kesesuaian lahan menjadi

(2)

sangat penting. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan. Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya yang terdiri dari tanah, iklim, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk suatu usahatani atau komoditas tertentu yang produktif Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara antara lain dengan perkalian parameter, penjumlahan atau meggunakan hukum minimum yaitu mencocokan (matching) antara kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) adalah :

1. Ordo : Kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan atas sesuai (S) dan tidak sesuai (N).

2. Kelas : Lahan yang tergolong sesuai dibedakan antara lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai margina (S3).

Kelas S1 sangat sesuai artinya lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan.

Kelas S2 cukup sesuai artinya lahan mempunyai faktor pembatas dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitas sehingga memerlukan tambahan masukan (input).

Kelas S3 sesuai marginal artinya lahan mempunyai faktor pembatas yang berat sehingga memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2.

Kelas N tidak sesuai artinya lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan sulit diatasi.

3. Subkelas : keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada masing-masing subkelas, kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai masukan yang diberikan.

4. Unit : keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang

(3)

diperlukan dan sering merupakan perbedaan detil dari faktor pembatasnya. Dalam praktek evaluasi kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang dilakukan.

Persyaratan kesesuaian lahan untuk jeruk dan kriteria sifat-sifat kimia tanah dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Jeruk Japansche Citroen (Citrus limonia Osbeck)

Jeruk Japansche Citroen (Citrus limonia Osbeck) merupakan varietas hybrida yang dihasilkan dari persilangan antara Citroes nobilis (keprok) X Citroes medica (lemon). Japansche Citroen (JC) bersifat mirip dengan Rough Lemon, tahan terhadap kekeringan, dapat merangsang pembentukan buah lebih awal dari biasanya dan menghasilkan produksi tinggi dengan kualitas yang baik. Jenis ini peka terhadap serangan Exocortis (Sugiyarto, 1994). Exocortis adalah sejenis virus yang dapat

menyebabkan terganggunya kulit tanaman dan menyebabkan tanaman menjadi kerdil (Niyomdhan, 1997).

Menurut Masyarakat Jeruk Indonesia (2004), jeruk Japansche Citroen mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pohon tegar dan produktif, ukuran sedang, cabang menyebar dan merunduk, duri kecil dan sedikit

2. Daun berwarna hijau gelap, aroma daun menyengat, pupus warna ungu

3. Bunga berukuran kecil hingga sedang, putik dan kelopak bunga berwarna ungu tua.

4. Buah berukuran kecil hingga sedang, warna kulit buah bila masak kekuningan sampai jingga kemerahan.

5. Biji jumlahnya banyak, berukuran kecil dan warna keping biji hijau muda, setiap buah berisi 8-10 biji, 100 kg buah diperoleh 8.000-10.00 biji yang baik, derajat poliembrioninya rendah yaitu 18.3%-50% semaian generatif 35%.

6. Tahan kekeringan

7. Daya dukung terhadap batang atas baik dan cepat menghasilkan buah yang berkualitas sedang hingga baik.

8. Peka terhadap Exocortis, Xyloporosis dan Phytopthora

(4)

Menurut Purbiati et al (2002) Japansche Citroen memiliki kevigoran yang tinggi, ukuran biji sedang (diameter 0,5 cm), mudah beradaptasi tetapi buahnya sangat masam dan kurang layak untuk dikonsumsi, oleh karenanya direkomendasikan sebagai batang bawah. Keragaan batang bawah jeruk Japansche Citroen dapat dilihat pada Lampiran 5.

Batang bawah Japansche Citroen memiliki tingkat kompatibelitas yang baik. Hasil penelitian Susanto (2003) menunjukkan penggunaan batang bawah Japansche Citroen bersifat lebih mendorong pertumbuhan vegetatif batang atas dibandingkan Rangpur Lime dan Rough Lemon. Sedangkan hasil penelitian Rahayuni dan Hadijah (1996) menunjukkan tanaman yang berbatang bawah Japansche Citroen tumbuh lebih vigor sehingga berukuran lebih besar dibandingkan dengan batang bawah Rough Lemon, Citrus aurantifolia, Citrus amblycarpa dan Citroen nobilis.

Kultur Jaringan Tanaman Jeruk

Program pengembangan tanaman jeruk menuntut adanya penyediaan bibit tanaman jeruk yang bebas penyakit, baik batang atas maupun batang bawah (Triatminingsih dan Karsinah, 2004). Pemilihan jenis batang bawah jeruk yang kompatibel dan adaptif pada beberapa jenis lahan juga merupakan faktor penting dalam pengembangan agribisnis jeruk di Indonesia karena akan mempengaruhi bentuk pohon, pola produksi dan produktivitas, kualitas buah serta lama masa produksi (Masyarakat Jeruk Indonesia, 2004).

Pada umumnya batang bawah jeruk diperbanyak dengan biji. Sebaiknya biji yang digunakan mempunyai derajat embrio nuselar yang tinggi, sehingga keseragaman batang bawah lebih terjamin (Starrantino dan Caruso, 1983). Bila materi yang tersedia terbatas, maka perbanyakan dapat dilakukan dengan teknik kultur in vitro. Pada tanaman jeruk dapat dilakukan dengan cara kultur ovul, kultur nuselar (Carimi, 2002), kultur tunas pucuk (Starrantino dan Caruso, 1983), dan kultur internode batang yang berasal dari perkecambahan in vitro maupun dari tanaman dewasa (Harada dan Murai, 1996). Teknik ini berguna untuk industri pembibitan jeruk dalam skala besar terutama untuk varietas-varietas tertentu yang ketersediaan bijinya sangat terbatas atau bergantung musim.

(5)

Kultur in vitro dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk perbanyakan tetapi juga untuk perbaikan tanaman termasuk perakitan varian yang dapat adaptif pada lahan marjinal dan penyimpanan plasma nutfah. Selain itu untuk dapat merakit varietas baru, sebaiknya penelitian tidak hanya dilakuan di laboratorium tetapi harus dilanjutkan dengan pengujian lapang, oleh karenanya sangat diperlukan kerja sama dengan para pemulia konvensional. George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa keunggulan teknik kultur jaringan yaitu (a) dapat memperbanyak varietas hibrida baru untuk tujuan komersial, (b) dapat memperoleh tanaman baru yang bebas virus, (c) dapat memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan biji, (d) dapat memperoleh tanaman induk yang sama sifat genetiknya dalam jumlah banyak dan (e) dapat menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim.

Pada prinsipnya metode kultur jaringan merupakan cara untuk memperbanyak protoplas atau sel atau organ dalam media tumbuh aseptik (yang mengandung formulasi hara buatan) dengan lingkungan yang terkendali. Lestari (2008) menyatakan bahwa prinsip yang mendasari penggunaan metode kultur jaringan adalah pembuktian teori totipotensi sel.

Totipotensi sel adalah kemampuan sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sempurna jika ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai dan terkendali (Lestari, 2008). Arah pertumbuhan dan perkembangan suatu sel sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya, zat pengatur tumbuh yang ditambahkan, serta dipengaruhi oleh media tumbuhnya. Ketepatan pemilihan dan penggunaan media kultur sangat menentukan keberhasilan penggunaan teknik kultur jaringan.

Media kultur jaringan yang paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur jaringan adalah media dasar Murashige dan Skoog (1962). Walaupun pada awal mulanya unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini juga mendukung dan sesuai untuk hampir semua kultur jaringan tanaman. Media MS mengandung unsur makro dengan konsentrasi relatif tinggi terutama unsur N yang diberikan dalam bentuk NO3- dan NH4+ (nitrat

dan amonium).

George dan Sherington (1984), mengungkapkan kandungan media kultur jaringan yaitu unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S), unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, Co, Mo, B dan Cu), ditambah dengan sukrosa sebagai sumber karbon bagi tanaman. Menurut Winata (1988), unsur hara makro digunakan pada semua jenis

(6)

media, sedangkan hara mikro berbeda-beda komposisinya sesuai jenis media. Lebih lanjut dijelaskan bahwa unsur hara yang disediakan dalam media sebenarnya merupakan kebutuhan pokok bagi tanaman yang tumbuh di lapangan yang tersedia di dalam tanah. Unsur-unsur hara ini diberikan ke dalam media dalam bentuk garam-garam anorganik. Selanjutnya sejalan dengan perkembangan teknik kutur jaringan tanaman, komposisi media bervariasi sesuai dengan tujuan kultur.

Dalam menggunakan metode kultur jaringan, media sangat berkaitan erat dengan penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang ditambahkan ke dalam media tersebut. Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah golongan auksin, giberelin dan sitokinin. Dalam memilih dan menggunakan ZPT, Watimmena (1987), menjelaskan beberapa hal penting yaitu ZPT harus sampai dan berada cukup lama di jaringan target. Selain itu ZPT eksogen yang diberikan harus berinteraksi dengan fitohormon endogen, yang menimbulkan reaksi sinergis atau antagonis sehingga interaksinya akan tampil dalam pertumbuhan. Pemilihan jenis dan konsentrasi ZPT yang diberikan harus diperhatikan, karena pada prinsipnya pemberian ZPT eksogen akan merubah nisbah atau keseimbangan ZPT endogen (Winata, 1988).

Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dapat mempengaruhi arah pertumbuhan dan perkembangan suatu eksplan, serta dapat memacu terjadinya perubahan-perubahan metabolisme sel eksplan. Menurut Wattimena (1987), prinsip kerja ZPT adalah memacu suatu perubahan-perubahan metabolisme sel yang seterusnya menjurus pada respon fisiologi tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penting untuk mengetahui respon fisiologis suatu tanaman, sebab respon fisiologi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh satu ZPT, tetapi juga merupakan kerjasama beberapa ZPT. Masing-masing ZPT akan berada dalam keadaan seimbang agar pertumbuhan berjalan normal.

Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma

Pada dasarnya evolusi tanaman terjadi karena mutasi yang terus menerus di alam. Oleh karena itu banyak yang beranggapan bahwa keragaman yang ada sekarang disebabkan oleh mutasi. Mutasi adalah perubahan genetik baik gen tunggal maupun sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap

(7)

bagian tanaman namun lebih banyak terjadi pada jaringan yang masih aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas, biji, dan sebagainya.

Mutasi sebenarnya dapat terjadi secara alamiah di alam, tetapi peluang kejadiannya sangat kecil yaitu 10-7 – 10-6 (Syarifah, 2006). Untuk meningkatkan terjadinya mutasi alami, dilakukan mutasi buatan dengan menggunakan mutagen.

Menurut Poespodarsono (1988), mutagen dapat dikelompokkan kedalam 3 golongan yaitu : (1) mutagen kimia, seperti EMS (Ethyl Methane Sulfonate), DES (Diethyl Sulfate) dan NMU (Nitrosomethyl Urea), (2) mutagen fisik iradiasi, seperti sinar x, sinar , dan sinar , (3) mutagen fisik non-radiasi, seperti sinar UV. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan mutagen biologi (transposom).

Salah satu cara induksi yang saat ini banyak dilakukan yaitu induksi mutasi fisik iradiasi. Induksi iradiasi dapat menyebabkan mutasi karena sel yang diiradiasi dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia yang ada dalam jaringan tanaman, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan susunan kromosom (Poespodarsono, 1988). Sumber iradiasi yang sering digunakan yaitu sinar gamma dari Cobalt 60. Kelebihan sinar gamma antara lain karena energi dan daya tembusnya yang relatif tinggi, serta secara global telah terbukti paling efektif dan efisien dalam menghasilkan varietas unggul bermacam jenis tanaman (Maluszynski, et al, 2000).

Faktor yang mempengaruhi terbentuknya mutan antara lain adalah besarnya dosis iradiasi. Dosis iradiasi diukur dalam satuan Gray (Gy), 1 Gy sama dengan 0,10 krad yaitu 1 J energi per kilogram iradiasi yang dihasilkan (Soedjono, 2003). Dosis iradiasi dibagi tiga yaitu : Tinggi (>10 k Gy), sedang (1-10 k Gy) dan rendah (<1 k Gy).

Dosis optimum untuk mendapatkan mutan yang diinginkan selain dipengaruhi oleh teknik iradiasi dan jenis tanaman juga dipengaruhi oleh sinar iradiasi serta bentuk bahan tanaman yang diiradiasi. Bahan tanaman yang bisa digunakan antara lain ; biji, stek, umbi, planlet (tanaman kultur jaringan), polen, kalus, dan sebaginya. Iradiasi sinar gamma sebaiknya dilakukan pada tingkat kalus karena sel-selnya masih bersifat meristematik sehingga lebih responsif terhadap radioaktif dibandingkan dengan sel-sel dewasa (Soedjono, 2003).

Perlakuan dosis tinggi umumnya akan mematikan bahan yang akan dimutasi atau mengakibatkan sterilitas, sedangkan dosis rendah dapat mempertahankan daya

(8)

hidup atau tunas, dapat memperpanjang waktu kemasakan pada buah-buahan dan sayuran, serta meningkatkan kadar pati, protein dan kadar minyak pada biji jagung, kacang dan bunga matahari. Tanaman mutan juga memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap serangan patogen dan kekeringan (Soedjono, 2003).

Iradiasi sinar gamma dapat memunculkan berbagai mutan baru sebagai sumber keragaman, diantaranya untuk mengembangkan tanaman yang toleran terhadap Al dan pH rendah. Hasil penelitian iradiasi sinar gamma pada kalus yang mengalami subkultur lama dapat meningkatkan keragaman genetik dan mendapatkan somaklonal nilam yang kadar minyaknya lebih tinggi dari tanaman induknya (Mariska

et al, 1997).

Menurut Delta et al (1995), iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya perubahan kandungan klorofil sebagai akibat perubahan jalur biosintesis pigmen klorofil dan waktu yang dibutuhkan untuk sintesis klorofil dalam jaringan palisade dan spongi sel-sel mesofil. Beberapa hasil penelitian dan publikasi mengungkapkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan ketidakseimbangan fungsi fisiologis tanaman, hal ini sebagai kontribusi iradiasi sinar gamma yang merusak DNA sehingga menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen (Duncan, 1997). Menurut Harten (1998), semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma, semakin meningkatkan efek kerusakan pada DNA, bahkan dosis tertentu dapat mengakibatkan perubahan struktur kromosom atau aberasi kromosom.

Menurut Kadir (2007), berdasarkan hasil penelitiannya iradiasi sinar gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dapat meningkatkan sifat toleransi tanaman nilam dari yang peka menjadi toleran terhadap kekeringan. Hasil penelitian iradiasi sinar gamma 400 rad dan seleksi in vitro pada taraf Al 0 –500 ppm pada pH 4 diperoleh beberapa tanaman kedelai yang diduga tahan terhadap cekaman Al dan kemasaman tanah (Mariska et al, 2001b).

Seleksi In Vitro

Seleksi in vitro merupakan salah satu metode dari variasi somaklonal. Teknik ini lebih efektif dan efisien karena perubahan sifat lebih terarah kepada sifat yang diinginkan, antara lain dengan memberikan tekanan seleksi dalam media kultur atau dengan memberikan kondisi tertentu agar dihasilkan somaklon-somaklon dengan sifat

(9)

yang diinginkan. Seleksi in vitro diketahui sangat berguna untuk menghasilkan varian somaklonal yang mempunyai populasi dengan karakteristik unggul tertentu, diantaranya mengembangkan klon yang toleran terhadap faktor biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (cekaman kekeringan, pH rendah dan Al tinggi). Munculnya variasi somaklonal dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu (1) jenis eksplan yang digunakan, (2) tipe kultur antara lain kultur kalus, kultur suspensi dan kultur protoplasma, (3) zat pengatur tumbuh, (4) lamanya fase pertumbuhan kalus, (5) komposisi bahan kimia dalam media (6) genotipe yang digunakan (Jacobsen, 1987).

Namun masalah yang sering dihadapi dalam seleksi In Vitro adalah sulitnya meregenerasikan massa sel yang tahan Al dan pH rendah, padahal regenerasi tanaman sangat penting untuk pembuatan klon yang mampu mempertahankan susunan genetik sehingga diperoleh tanaman yang tahan pada cekaman Al dan pH rendah (Purnamaningsih dan Mariska, 2003). Dengan demikian sistem regenerasi dari masa sel perlu dikuasai terlebih dahulu.

Pengaruh Kemasaman Lahan terhadap Tanaman

Kemasaman lahan adalah faktor stres terbesar yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dimana keberadaan aluminium merupakan faktor pembatas pertumbuhan pada tanah masam. Kelarutan ion Al yang tinggi pada tanah masam, sering berada pada pH dibawah 5.5 yang telah lama diketahui memberi efek negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Al telah dapat bersifat racun bagi tanaman meskipun konsentrasinya masih sangat rendah (mikromolar). Disamping ada sebagian Al membentuk ikatan dengan ligand atau dalam bentuk tidak beracun seperti aluminium silikat. Bentuk Al yang bersifat toksik bagi tanaman adalah ion trivalent Al 3+ yang dominan pada kondisi masam (Delhaize et al., 1995).

Kelarutan Al dalam larutan tanah akan meningkat dengan menurunnya nilai pH tanah. Al menghambat pertumbuhan tanaman dengan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan akar. Strategi pengembangan suatu varietas pada tanah masam dilakukan dengan mengembangkan tanaman yang toleran atau mampu menghindari pengaruh stres Al. Beberapa laporan menyatakan bahwa target utama dan pertama keracunan Al adalah jaringan akar tanaman. Ujung akar dan akar cabang menebal sehingga serapan dan translokasi unsur-unsur hara terganggu.

(10)

Ryan et al., (1993) menyatakan bahwa hanya ujung 2-3 mm dari akar jagung meliputi tudung akar dan meristem yang perlu diperlakukan dengan Al untuk menghambat pertumbuhan, sedangkan jika Al secara selektif digunakan pada zona pemanjangan atau pada semua bagian akar kecuali ujungnya, pertumbuhan tidak terganggu.

Menurut Jones dan Kochian (1995) akar yang diperlakukan secara cepat dengan Al akan terhambat pemanjangan sel-sel akarnya dan mengakibatkan ujung-ujung akar membengkak, namun ketika tanaman diperlakukan dengan Al lebih lama (lebih dari 24 jam) terjadi penghambatan pemanjangan dan pembelahan sel-sel akar.

Pengaruh kerusakan Al pada tanaman diawali dengan adanya gangguan terhadap tudung akar yang mempunyai sinyal dan merupakan detektor gaya gravitasi dan hambatan mekanis sehingga pada gilirannya akan mengurangi sekresi mucilage sel tudung akar dimana sel tersebut merupakan sumber pengatur endogen pertumbuhan.

Pada tingkat molekular, Al berhubungan dengan DNA sehingga interaksi Al dengan DNA akan menghentikan sifat-sifat fitokomia dan fungsi biologis seperti menghentikan pembelahan sel pada meristem akar, perpanjangan sel, sintesis DNA dan RNA (Matsumoto, 1991). Lebih lanjut dikatakan bahwa pada dinding sel, penghambatan terjadi karena Al menggantikan kedudukan Ca 2+ pada lamela tengah. Ca2+ merupakan second messenger dalam aktivitas H+-ATPase dengan bantuan protein regulator calmodulin. Dalam hal ini dengan digantikannya Ca2+ yang melekat pada calmodulin akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Ikatan Al dengan karboksil (RCOO-) membentuk ikatan kuat sehingga sel tidak mampu membesar. Selain itu Ryan et al., (1997) melaporkan hasil penelitiannya bahwa Al juga berhubungan dengn membran lipida bilayer pada sel dimana Al dapat memblok Ca2+ dan saluan K+ sehingga mengganggu proses penyerapan hara tanaman. Selanjutnya pada tingkat selular ion Al mempengaruhi permeabilitas dan aktivitas transpor membran plasma. Gejala yang umum diketahui dimana Al menghambat pertumbuhan akar dapat digunakan sebagai alat pengukur untuk mengidentifikasi pengaruh keracunan Al. Pada larutan hara dengan konsentrasi Al beberapa mikromolar dalam waktu 60 menit telah menghambat pertumbuhan akar.

Kesulitan dalam mempelajari Al berhubungan dengan proses-proses yang terdapat dalam tanaman disebabkan karena kompleksnya Al (Martin, 1988; Kinroide, 1991). Al terhidrolisa dalam larutan sebagai ion trivalent Al3+ dan dominan pada

(11)

kondisi pH <5, sedangkan Al(OH)2+ dan Al(OH)2+merupakan bentuk yang dominan

dengan makin tingginya pH. Pada keadaan tanah yang bereaksi netral, Al berbentuk Al(OH)3– atau gibsit, sedangkan pada tanah alkalin dijumpai bentuk Al(OH)4-.

Kation Al monomer membentuk ikatan dengan berbagai ligand asam organik dan anorganik seperti PO43-, SO42-, asam organik, protein dan lemak.

Pada tanah dengan pH rendah maka kapasitas ion H+ meningkat. Hal ini menyebabkan penyerapan unsur-unsur lainnya menjadi berkurang dan unsur Al berkelebihan. Meningkatnya konsentrasi Al terlarut akibat kemasaman tanah mengakibatkan terjadinya defisiensi P, K dan hara mikro seperti seng, tembaga dan molybdenum. Hasil penelitian Yamamoto et al., (1992) mendapatkan bahwa toksisitas Al selain mengakibatkan tanaman kekurangan nutrien juga mengubah struktur dan fungsi dari membran plasma dan menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar. Pada akhirnya tanaman akan mengurangi sistem perakarannya dan menunjukkan berbagai gejala kekurangan nutrien akibat keracunan Al (MacDiarmid dan Gardner, 1996).

Ada berbagai kriteria yang ditetapkan untuk menentukan apakah suatu tanaman toleran atau tidak terhadap cekaman Al. Samuel et al., (1997) menetapkan suatu kriteria bagi tanaman yang toleran terhadap cekaman Al yaitu : (1). Akar mampu untuk tumbuh terus dan ujung akarnya tidak mengalami kerusakan dan (2). Ion Al sedikit yang ditranslokasikan ke bagian atas dan sebagian besar ditahan di akar.

Menurut Marschner (1995) ada 2 kelompok mekanisme toleransi tanaman terhadap stres Al yaitu :

1. Mekanisme eksternal (exclution tolerance mechanism) adalah sistem toleransi yang dibangun oleh tanaman dengan cara mencegah Al untuk tidak masuk ke dalam sistem simplas. Bentuknya dapat berupa : immobilisasi Al di dinding sel, permeabilitas selektif dari membran plasma, barier pH di rhizosfer, eksudasi ligand pengkelat Al, efluks Al-fosfat.

2. Mekanisme internal (internal tolerance mechanism) terjadi dalam bentuk : kelatisasi Al oleh asam organik, protein atau ligand organik lainnya di sitoplasma, kompartementasi Al dalam vacuola, induksi sintesis protein pengikat Al, pengembangan enzim resisten, sintesis protein terikat Al yang spesifik pada membran plasma yang akan menurunkan serapan Al ataupun peningkatan pengeluaran Al.

Referensi

Dokumen terkait

Daerah potensi genangan diturunkan dari titik tinggi Peta RBI menggunakan teknik interpolasi Spline with Barriers untuk menghasilkan model permukaan digital (DEM). DEM

At a similar loading, alkanolamide indicated a higher degree of silica dispersion, greater silica natural rubber e interaction and higher reinforcing ef ciency than ami-

PIU main tasks are: providing accurate and timely data and information for decision making purposes in all levels of university’s management, conducting

Skripsi atau Tugas Akhir yang berjudul “ Perancangan Aplikasi Perencanaan Pola Hidup Sehat Menggunakan Metode Sistem Pakar Forward Chaining Berbasis Web Dengan

Penelitian ini menunjukkan hasil uji SEM (Lampiran IV, hal.76), terlihat pada (Gambar 5.2) jumlah pori-pori yang lebih kecil dari pada permukaan email gigi tanpa

Dilihat dari usia dan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa responden adalah guru yang memiliki kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya sehingga guru PNS SMA Negeri